• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Rabu, 07 Maret 2012
no image

RELEVANSI TASAWUF DENGAN KESEHATAN MENTAL MENURUT SYEKH AHMAD RIFA'I BIN MUH. MARHUM

Pemikiran tasawuf Kiai Rifa'i pada dasarnya juga merupakan bagian dari gagasan untuk mempertahankan hubungan harmonis antara syari'at dan hakikat yang dirumuskan dengan istilah Ushul, Fiqh, dan Tasawuf. Gagasan tasawuf Kiai Rifa'i tidak membentuk komunitas yang disebut tarikat sebagaimana ditulis oleh Alwan Khairi1 tetapi hanya sebatas ajaran tentang pembinaan akhlak melalui pengisian diri dengan akhlak mahmudah dan peniadaan diri dari akhlak madzmumah dalam rangka mencapai kedekatan pada Allah yaitu Ma'rifat dan Taqarrub yang dapat dilakukan siapa saja tanpa harus melalui tata aturan sebagaimana lazim terjadi dalam dunia tarikat. Jika hendak ditelusuri berdasarkan apa yang ditulis dan dialami sendiri oleh Kiai Rifa'i, akan terlihat ia tidak pernah menyebut dirinva baik secara langsung ataupun tidak sebagai penganut tarikat Qodiriyah. Lebih-lebih hampir dalam setiap kitab yang ditulisnya ia selalu menyatakan dirinya sebagai penganut tarikat Ahlussunni (ikilah kitab... saking Haji Ahmad Rifa'i bin Muhammad Marhum Syafi'iyah madzhabe Ahlussunni ). Sekalipun tidak membentuk tarikat (komunitas sufi), namun paling tidak pemikiran tasawufnya memberikan elemen moral bagi para muridnya dalam melaksanakan tasawuf. Kenyataan di atas, semakin memberikan dukungan bahwa Kiai Rifa'i memang berusaha memberikan kriteria pengikut Ahlussunnah yang dalam bidang tasawuf mengikuti pandangan Junaid al-Baghdadi sebagaimana dikemukakan dalam kitabnya Ri'āyah al-Himmah Untuk mengetahui corak tasawuf Kiai Rifa'i digunakan kriteria berdasarkan pembagian tasawuf menjadi akhlaqi (amali) dan falsafi. Dalam hal ini, Rifa'i menyatakan dirinya sebagai pengikut jalan Sunni 3 dalam dunia tasawuf sebagaimana dinyatakan dalam berbagai tempat pada kitab-kitabnya. Memang harus diakui bahwa pembagian ini mengandung unsur kekaburan mengingat tasawuf adalah pengalaman batin manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya yang memiliki watak subjektif. Oleh karena itu, kriteria yang biasanya dipakai untuk mengidentifikasi tidak menghasilkan corak yang akurat dan tetap. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa pembagian tersebut biasanya didasarkan kecenderungan tokoh-tokoh sufi yang pada satu pihak menekankan aspek amaliah dan di lain pihak menekankan aspek pemikiran. Yang pertama, menghasilkan rumusan-rumusan tingkah laku yang dipandang dapat mendekatkan seseorang pada Tuhan, sementara yang kedua menghasilkan rumusan pemikiran tentang kemungkinan manusia mengalami kesatuan dengan Tuhannya. Inilah yang sering disebut dengan istilah tasawuf nadzari yang banyak mengambil ide-ide berasal dari kebudayaan luar Islam (Ats- Tsaqafah al-Ajnabiyyah). Pemaparan mengenai pemikiran tasawuf dari delapan tokoh sebagaimana telah diutarakan dalam bab tiga (enam tokoh masuk dalam kategori amali dan dua tokoh masuk dalam kategori nadzari atau falsafi) ini cukup memberikan gambaran pengalaman ruhani mereka yang memiliki titik berat pada dua kategori yang berbeda satu dengan lainnya, yaitu yang berorientasi kepada amal (akhlak) di satu pihak dan yang berorientasi kepada pemikiran (nadzari) di lain pihak. Jika dilihat dalam kerangka pemikiran berdasarkan pengalaman para sufi yang dikategorikan menjadi dua di atas, yakni 'amali (akhlaki) dan Tasawuf Sunni memiliki corak 'amali karena tokoh-tokohnya memberikan tekanan pada pelaksanaan syari'at terlebih dahulu baru kemudian menghiasinya dengan amaliah tasawuf. Corak ini berbeda dengan falsafi yang menekankan aspek pemikiran dan menitik beratkan pada aspek kesatuan dengan Allah. Abdul Djamil, Ibid, hlm. 122. nadzari (falsafi), maka corak pemikiran tasawuf KH. Ahmad Rifa'i termasuk dalam kategori 'amali (akhlaqi) atas dasar pertimbangan bahwa isi ajaran tasawuf Rifa'i berupa latihan ruhani dengan jalan (1) pengisian diri dengan sifat terpuji (tahalli/ 2) ,( تحّلى ) pengosongan sifat tercela (takhalli/ تخّلى ) yang kemudian ditindaklanjuti dengan kedekatan kepada Allah (taqarrub), dan (3) pengenalan Allah dengan mata hati (makrifat). Dengan demikian mengenai persoalan tasawuf, pemikirannya dapat dikategorikan dalam tasawuf 'amali dan lebih banyak rumusan ajaran akhlak yang pada akhirnya berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui jalan pengisian diri dengan sifat terpuji dan pengosongan diri dari sifat tercela. Tasawufnya tidak mengesankan arti yang spesifik sebagaimana tasawuf konvensional yang idiom-idiomnya mengesankan adanya unsur eksklusif seperti pengertian taubat, wara, dan zuhud. Bagi Kiai Rifa'i, pengertian butirbutir akhlak terpuji dan akhlak tercela, memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda dengan pengertian akhlak. Titik puncak tasawufnya adalah diperolehnya kedekatan kepada Allah yang dihiasi dengan tiga kondisi, yaitu khauf, mahabbah, dan ma'rifat. Karena hanya berupa tataran moral dan tujuan akhirnya adalah tiga kondisi tersebut maka pemikiran tasawufnya bukanlah tasawuf falsafi. B. Analisis Konsep Tasawuf K.H. Ahmad Rifa’i relevansinya dengan Kesehatan Mental Kiai Haji Ahmad Rifa’i dalam kitabnya Abyan al-Hawaij tidak menyebut istilah kesehatan mental secara eksplisit, apalagi menguraikan istilah itu. Meskipun demikian, konsepnya tentang pembersihan diri melalui zuhud, qona’ah, sabar dan sebagainya dapat diambil kesimpulan bahwa secara implisit ada konsep kesehatan mental. Alasan peneliti menyimpulkan seperti itu karena dalam literatur yang berkembang sebagaimana diungkapkan oleh Ramayulis bahwa setidak-tidaknya terdapat tiga pola untuk mengungkap metode perolehan dan pemeliharaan kesehatan mental dalam persfektif Islam yaitu Pertama, metode pengembangan potensi jasmani dan rohani; kedua, metode iman, Islam dan ihsan; dan ketiga, metode takhalli, tahalli dan tajalli6 Ahmad Rifa’i meletakkan iman, Islam dan ihsan sebagai tiga sendi pokok yang mutlak harus dikaji dan diamalkan oleh umat Islam. Sedangkan metode iman, Islam dan ihsan itu dalam literatur yang berkembang sebagaimana telah dikemukakan di atas merupakan metode perolehan dan pemeliharaan kesehatan mental/ jiwa. Jika dihubungkan pemikiran dan metode KH.Ahmad Rifa'i dengan konsep tasawuf masuk dalam kategori metode tahalli yaitu mengisi diri dari sifat-sifat yang terpuji. (mahmudah). Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Mustafa Zahri bahwa metode dan fase-fase yang harus dilalui untuk mencapai pengisian diri menuju jiwa yang sehat yaitu melalui takhalli ( membersihkan diri dari sifat-sifat tercela), tahalli (mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji), dan tajalli (memperoleh kenyataan Tuhan) Penegasan Mustafa Zahri didukung pula oleh Amin Syukur yang menyatakan dalam tasawuf lewat amalan dan latihan kerohanian yang beratlah, maka hawa nafsu manusia akan dapat dikuasai sepenuhnya. Adapun sistem pembinaan dan latihan tersebut adalah melalui jenjang takhalli, tahalli dan tajalli.8 Sejalan dengan itu Hanna Djumhanna Bastaman mengemukakan empat pola wawasan kesehatan mental dengan masing-masing orientasinya sebagai berikut: pertama, pola wawasan yang berorientasi simtomatis; kedua, pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri; ketiga, pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi; keempat, pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian Ahmad Rifa’i dalam kitab Abyan al-Hawaij menegaskan: يائكووولوع فركارايكي له فرتيل ا حب الدنياطمع اتباع الهوى كتولا عجب رياتكبرحسودسمعه ايكوله بسوءارتني Terjemahnya: Delapan perkara yang merupakan sifat-sifat tercela yaitu mencintai dunia, tamak, mengikuti hawa nafsu, riya, ujub, takabbur, hasud, dan sum’ah Pemikiran Ahmad Rifa’i di atas masuk dalam kategori takhalli. Dengan demikian tampaklah bahwa zuhud, qona’ah, shabar, tawakkal hatinya, mujahadah, ridho, syukur, masuk dalam kategori kriteria jiwa atau mental yang sehat. Sedangkan cinta dunia, tamak, mengikuti hawa nafsu, ujub, riya, takabbur, hasad, sum’ah, masuk dalam kriteria jiwa atau mental yang sakit 11 KH. Ahmad Rifa’i tidak menyatakan dengan tegas pengertian kesehatan mental, namun beliau membuat kriteria–kriteria yang mengarah pada pengertian tentang jiwa/mental yang sehat dan sakitnya jiwa. Kriteriakriteria tersebut adalah : a. Kriteria Jiwa Yang Sehat 1. Zuhud Secara harfiah zuhud adalah bertapa di dalam dunia. Sedangkan menurut istilah yaitu bersiap-siap di dalam hatinya untuk mengerjakan ibadah, melakukan kewajiban semampunya dan menyingkir dari dunia yang haram serta menuju kepada Allah baik lahir maupun batin Dalam menjelaskan kata ini Ahmad Rifa’i lebih menekankan pada aspek pengendalian hati daripada aspek perilaku yang harus ditampilkan Jika perkembangan zuhud pada fase yang paling awal ditandai dengan tindakan konkrit menjauhi kehidupan dunia sebagaimana yang diperlihatkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah dan lainnya, maka dalam pemikiran Ahmad Rifa’i titik beratnya adalah pada pengendalian hati supaya tidak tergantung pada harta. Oleh karenanya Ahmad Rifa’i menekankan bahwa zuhud bukan berarti tidak ada harta tetapi tidak ada ketertarikan dengan harta. 2. Qona’ah Secara harfiah qona’ah adalah hati yang tenang. Sedangkan menurut istilah adalah hati yang tenang memilih rihda Allah, mencari harta dunia sesuai dengan kebutuhan untuk melaksanakan kewajiban dan menjauhkan maksiat.13 Pengertian ini merupakan kelanjutan sikap zuhud yang tidak mau mengejar kehidupan dunia selain kebutuhan pokok Dalam menjalankan zuhud ia memberikan penekanan qona’ah itu sebagai suatu kondisi jiwa yang bernuansa pada aktivitas batin. Hal ini dapat dilihat lebih lanjut ketika ia mengemukakan pernyataan yang mendudukkan arti kaya pada proporsi yang lebih bersifat batini dengan ungkapannya. Dari syair KH.Ahmad Rifa'i sebagaima telah dikemukakan dalam bab tiga skripsi ini tersimpul pengertian bahwa kekayaan bukan hanya berisi harta tetapi rasa puas terhadap apa yang dimiliki. Atas dasar pengertian ini maka orang bisa merasa kaya meskipun secara lahiriah ia miskin 3. Sabar Sabar secara harfiah bermakna menanggung penderitaan. Sedangkan menurut istilah menanggung penderitaan yang mencakup tiga hal yaitu: a. Menanggung penderitaan karena menjalankan ibadah yang sesungguhnya b. Menanggung penderitaan karena taubat dan berusaha menjauhkan diri dari perbuatan maksiat baik lahir maupun batin c. Menanggung penderitaan ketika tertimpa sesuatu bencana di dunia dan tak mengeluh Dengan pembatasan ruang lingkup pengertian sabar yang demikian ini, ia terlihat berusaha memberikan makna yang mempunyai cakupan menurut pengalaman subyektif dari para sufi. Di satu pihak sabar dikaitkan dengan pelaksanaan hukum Allah sebagaimana pendapat al-Khawwas yang menyatakan bahwa sabar adalah sikap teguh terhadap hukum-hukum dari Al-Quran dan As-Sunah. Pengertian ini sejalan dengan apa yang diberikan oleh al-Qusyairi yang menyatakan bahwa di antara bermacam-macam sabar adalah kesabaran terhadap perintah dan larangan-Nya. Di pihak lain sabar dikaitkan dengan musibah seperti pendapat Abu Muhammad al-Jarir yang menyatakan bahwa sabar adalah suatu kondisi yang tidak berbeda antara mendapat nikmat dan mendapat cobaan. Kelanjutan dari pengertian sabar menurut Ahmad Rifa’i adalah menempatkan kesabaran secara proposional khususnnya pengertian ketiga. Di sini ia menekankan bahwa kesalahan terhadap penyimpangan agama (yang mengandung unsur keharaman) tidak diperlukan lagi. 4. Tawakal Ia mengartikan tawakal adalah pasrah kepada Allah terhadap seluruh pekerjaan, sedangkan secara istilah adalah pasrah kepada seluruh yang diwajibkan Allah dan menjauhi dari segala yang haram 5. Mujahadah Arti harfiah dari mujahadah ialah bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perbuatan sedangkan secara istilah adalah bersungguhsungguh sekuat tenaga dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, memerangi ajakan hawa nafsu dan berlindung kepada Allah dari orang-orang kafir yang dilaknati Dalam penjelasan selanjutnya, Ahmad Rifa’i lebih menekankan pada aspek kesungguhan dalam memerangi hawa nafsu dengan tujuan memperoleh jalan benar serta keberuntungan. 6. Ridha Akhmad Rifa’i mengartikan ridha dengan senang hati, sedangkan menurut istilah adalah sikap menerima atas pemberian Allah dibarengi dengan sikap menerima ketentuan hukum syari’at secara ikhlas dan penuh ketaatan serta menjauhi dari segala macam kemaksiatan baik lahir maupun batin. Dalam dunia tasawuf, kata ridha memiliki arti tersendiri yang terkait dengan sikap kepasrahan sikap seseorang dihadapan kekasihnya. Sikap ini merupakan wujud dari rasa cinta pada Allah yang diwjudkan dalam bentuk sikap menerima apa saja yang dikehendaki olehnya tanpa memberontak. Implikasi dari pemahaman terhadap konsep ridha ini adalah sikapnya yang menerima kenyataan sebagai kelompok kecil di tengah-tengah akumulasi kekuasaan pada waktu itu. Implikasi lain terlihat pada pelaksanaan syari’at Islam yang dilakukan dengan penuh ketaatan dan penuh berhati-hati seperti masalah perkawinan, shalat jum’at dan lain-lain. 7. Syukur Ahmad Rifa’i memjelaskan kata syukur yakni mengetahui akan segala nikmat Allah berupa nikmat keimanan dan ketaatan dengan jalan memuji Allah yang telah memberikan sandang dan pangan. Rasa terima kasih ini kemudian ditindaklanjuti dengan berbakti kepada-Nya. Sejalan dengan pengertian di atas, bersyukur dapat dilakukan dengan tiga cara: pertama, mengetahui nikmat Allah berupa sahnya iman dan ibadah. Kedua, memuji lisannya dengan ucapan Alhamdulillah. Ketiga, melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan Allah. Cara bersyukur semacam ini sejalan dengan penjelasan al-Qusyairi mengatakan bahwa bersyukur dapat dilakukan melalui lisan anggota badan dan hati. Makna lain dari pengertian syukur menurut Ahmad Rifa’i adalah adanya prioritas pada dua unsur pokok yaitu keimanan dan ketaatan serta tercukupinya sandang dan pangan. Pandangan ini memiliki relevansinya dengan sifat terpuji lainnya seperti Qona’ah yang berupa ketenangan hati memilih ridha Allah dengan cara mencari harta dunia sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan tersebut sebatas terpenuhinya hal-hal yang dapat membantu ketaatan melaksanakan kewajiban dan menjauhkan diri dari kemaksiatan. Sekalipun menganjurkan sikap sederhana, tetapi tidak menganjurkan sikap fakir sebagaimana yang ada dalam tradisi sufi tradisional, Ahmad Rifa’i tidak menganjurkan untuk menganjurkan untuk menolak akan tetapi menolak ketergantungan kepada harta. 8. Ikhlas Apa yang disebut ikhlas menurut Ahmad Rifa’i adalah membersihkan, sedangkan secara istilah ikhlas adalah membersihkan hati untuk Allah semata sehingga dalam beribadah tidak ada maksud lain kecuali kepada Allah. Segenap amal tidak akan diterima jika didasarkan oleh rasa ikhlas ini. Untuk mewujdkan keikhlasan dalam beribadah dituntut adanya dua rukun ikhlas; pertama, hati yang hanya bertujuan taat kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Kedua, amal ibadahnya disahkan oleh peraturan fikih. Dalam memberikan penjelasan mengenai kata ikhlas ini Ahmad Rifa’i hendak membawa persoalan kepada situasi amaliah keagamaan kalangan yang memiliki pamrih kepada selain Allah dalam setiap amal perbuatannya. Ia mengaitkan orang yang tidak ikhlas dalam beribadah dengan perbuatan syirik (menyekutukan Allah). Penjelasan ini memiliki kemiripan dengan17 tradisi tasawuf abad III Hijriah ketika para tokohnya semisal Hasan Basri yang menolak gaya hidup para penguasa yang dinilai dalam jalan yang salah. Pandangan di atas ini semakin memperjelas posisi Ahmad Rifa’i sebagai tokoh agama yang cukup keras terhadap penyimpangan yang memiliki keterkaitan dengan kekuasaan kolonial dan pembantu-pembantunya. Ia menyatakan bahwa orang-orang yang dalam ibadahnya memiliki pamrih terhadap urusan dunia maka tidak akan selamat bahkan dimasukkan dalam kategori kafir. b. Kriteria jiwa yang sakit 1. Hubb al Dunya (Mencintai Dunia) Menurutnya hubb al-dunya adalah cinta pada dunia, sedangkan secara istilah adalah cinta pada dunia yang dianggap mulia dan tidak melihat pada akhirat yang nantinya akan sia-sia 18 Perilaku ini dianggap Ahmad Rifa’i sebagai suatu perbuatan yang tercela karena memandang dunia lebih mulia dibanding akhirat. Ia menekankan celaan terhadap dunia yang dapat membawa orang lupa akan akhirat. Dengan batasan ini maka ia masih memberikan peluang untuk menyisihkan pada dunia selama tidak menjadikan orang lupa akan akhirat. 2. Tamak Pengertian tamak menurut Ahmad Rifa’i adalah hati yang rakus terhadap dunia sehingga tidak memperhitungkan halal dan haram yang mengakibatkan adanya dosa besar.19 Meskipun sifat ini dikemukakan dalam rangka takhalli, namun sebenarnya mengandung ajakan untuk menciptakan isolasi dengan kebudayaan kota sebagaimana ditampilkan oleh kekuasaan dan pejabat pribumi yang mengabdi untuk kepentingan pemerintah saat itu. Dalam kitabnya yang sarat dengan kritik yang ditujukan kepada masyarakat pribumi yang selalu mengabdikan pada pemerintah kolonial pada saat itu. Yang disebut itba al- hawa’ menurut Ahmad Rifa’i adalah menuruti hawa nafsu, sedangkan secara istilah adalah orang yang hatinya selalu mengikuti perbuatan buruk yang telah diharamkan oleh syariat. Pengertian tersebut dikemukakan dalam konteks mencela orang kafir di satu pihak dan orang munafik di satu pihak. 4. ‘Ujub Pengertian ujub menurutnya adalah: Ujub tegese anggawoaken dalem kebatinan Utawi makna istilah kapertelanan Iku majibaken sentosane badan Saking siksa akhirat keslametane Iku kawilang dosa gede ning batine.20 Terjemah: 'Ujub artinya mengherankan dalam batin Adapun makna istilah penjelasannya Yaitu memastikan kesentosaan badan Dari siksa akhirat keselamatannya. Sekalipun masuk dalam kategori haram dan dosa besar, namun Rifa'i masih memberi harapan untuk diampuni jika mau bertobat. Hanya saja ia membedakan antara tobatnya orang yang menjadi panutan dengan orang awam. Tobatnya orang yang menjadi panutan, harus melalui siksa terlebih dahulu karena telah banyak menyesatkan orang lain sebagaimana dinyatakan: "Orang alim yang tobat disiksa di neraka Sebab dosanya mengajak kepada durhaka besar Diikuti oleh orang banyak itu Itulah dosa zahir menjadi besar celaka." Secara bahasa ‘ujub adalah mengherankan dalam hati/batin. Sedangkan makna secara istilah adalah memastikan kesentosaan badan dari keselamatan siksa akhirat. Menurutnya ‘ujub yang sebenarnya adalah membanggakan diri atas hasil yang telah dicapai di dalam hatinya dan dengan angan-angan merasa telah sempurna baik dari segi ilmu maupun amalnya dan ketika ada seseorang tahu tentang ilmu dan amalnya maka ia tidak akan mengembalikan semua itu pada yang kuasa yakni telah memberikan nikmat tersebut, maka ia telah benar dikatakan’ujub. 5. Riya’ Yang dimaksud riya’ menurut Ahmad Rifa’i adalah memperlihatkan atas kebaikannya kepada manusia biasa. Sedangkan menurut istilah adalah melakukan ibadah dengan sengaja dalam hatinya yang bertujuan karena manusia (dunia) dan tidak beribadah semata-mata tertuju karena Allah. Dengan pengertian seperti ini beliau membatasi riya’ sebagai penyimpangan niat ibadah selain Allah. 6. Takabur Pengertian takabur menurut Ahmad Rifa’i adalah sombong merasa tinggi. Sedangkan menurut istilah adalah menetapkan kebaikan atas dirinya dalam sifat-sifat baik atau keluhuran yang disebabkan karena banyaknya harta dan kepandaian. Inti perbuatan takabur dalam pengertian tersebut adalah merasa sombong karena harta dan kapandaian yang dimiliki seseorang. 7. Hasud Jika penyakit hasud telah menyebar luas, dan setiap orang yang hasud mulai memperdaya setiap orang yang memiliki nikmat maka pada saat itu tipu daya telah menyebar luas pula dan tidak seorangpun yang selamat dari keburukannya karena setiap orang pembuat tipu daya dan diperdaya. Ahmad Rifa’i mengartikan hasud adalah berharap akan nikmatnya tuhan yang ada pada orang Islam baik itu ilmu, ibadah maupun harta benda. 8. Sum’ah Secara bahasa sum’ah adalah memperdengarkan kepada orang lain. Sedangkan secara istilah adalah melakukan ibadah dengan benar dan ikhlas karena Allah akan tetapi kemudian menuturkan kebaikannya kepada orang lain agar orang lain berbuat baik kepada dirinya. Dalam pembahasan ini beliau menekankan pada jalan yang harus ditempuh bagi seseorang muslim agar selalu mengerjakan sifatsifat terpuji dan menjauhi sifat-sifat tercela yang dapat membawanya pada kerusakan pada amaliah lahir maupun batin. Beliau mengajak kepada kita unuk berperilaku dengan benar, baik secara lahir maupun batin. Sedangkan untuk meninggalkan sifat tercela beliau menyatakan: Tan ngistoaken ing syarat sahe sembahyang Pada shalat teksir batalan syarat kurang Ikulah wong sasar anut syaitomn kawilang Dhahir becik ning donyane kesawang Iku wong pada kena rencanane syaiton Asih anut maring syaiton neroko pinaringan Terjemahannya: Tidak memperhatikan syarat sahnya sembahyang Sama melaksanakan shalat terksir rusak kurang syarat Itulah orang sesat mengikuti syaitan terbilang Lahirnya baik di dunia terlihat Itulah orang yang terrkena rencananya syaitan Cinta menggikuti kepada syaitan neraka didapat Dengan mengkaji atau menelaah pemikiran Kiai Haji Ahmad Rifa’i sebagaimana telah dikemukakan, bahwa Ahmad Rifa’i secara ekplisit tidak menyebutkan istilah kesehatan mental, namun secara implisit dengan membagi cara-cara pembersihan jiwa, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pembagiannya itu berhubungan dengan kesehatan mental. Sebagai buktinya ia mengemukakan konsep zuhud, qona’ah, shabar, tawakkal, mujahadah, ridho, syukur, ikhlas, cinta dunia, tamak, mengikuti hawa nafsu, ujub, riya, takabbur, hasad, dan sum’ah Konsep pemikiran K.H Ahmad Rifai, bila dihubungkan dengan metode perolehan dan pemeliharaan kesehatan mental, maka termasuk cara-cara penyucian diri. Dalam metode penyucian diri dikenal dengan istilah takhalli, tahalli dan tajalli.22 Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan juga dari kotoran-kotoran serta penyakit hati yang merusak, contohnya: hasud, al-hirsu, al-takabur, al-ghadhab, riya, sum’ah, ujub, syirik. Sedangkan Tahalli maksudnya adalah menghias diri dengan jalan membiasakan diri dengan sifat dan sikap perbuatan yang baik, contohnya: zuhud, warak, sabar, syukur, tawakal, dan sebagainya. Adapun tajalli berarti lenyap atau hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan atau terangnya Nur yang selama itu tersembunyi (gaib); atau fana segala sesuatu (selain Allah) ketika nampak wajah Allah. Dari sini tampak bahwa konsep K.H Ahmad Rifa’i sama dengan konsep tasawuf dalam menyucikan diri. Konsep takhalli, tahalli dan tajalli bila ditempuh oleh seseorang tentu saja akan memperoleh jiwa yang sehat. Ini berarti konsep K.H Ahmad Rifa’i, secara Implisit sangat berhubungan dengan kesehatan mental. Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran, dan penyakit hati yang merusak. Langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengetahui dan meyadari, betapa buruknya sifat-sifat tercela dan kotor tersebut, sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya. Bila hal ini bisa dilakukan dengan sukses, seseorang akan memperoleh kebahagiaan. Tahap selanjutnya ialah tahalli yakni menghias diri dengan jalan membiasakan dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak dan perilakunya selalu berjalan di atas ketentuan agama. Setelah seseorang melalui dua tahap tersebut maka tahap ketiga yakni tajalli, seseorang hatinya terbebaskan dari tabir (hijab) yaitu sifat-sifat kemanusian atau memperoleh nur yang selama ini tersembunyi (Ghaib) atau fana segala selain Allah ketika nampak (tajalli) wajah-Nya Apabila proses penyucian diri berupa takhalli, tahalli dan tajalli telah selesai dan berhasil dicapai selama dalam riyadhah, berarti seseorang telah memperoleh ketrampilan dan keahlian dalam memelihara kesehatan mental. Keahlian dan ketrampilan ini tidak hanya penting bagi orang yang mengalami masalah tapi juga bagi konselor terutama da’i yang tugasnya menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar. Seterusnya ia dapat melanjutkan ketrampilan dan keahliannya itu dengan lebih sempurna dengan mengkaji dan meneliti berbagai macam ilmu dan pengetahuan, khususnya yang relevan dengan keberadaan manusia dan segenap misterinya. Hal ini dapat dilakukan baik lewat kajian-kajian teori, aplikasi maupun empirik, baik alam lahir manusia maupun alam batinnya. Pemberdayaan terhadap potensi dan keahlian yang bertingkat-tingkat itu adalah dengan berupaya meningkatkan pemahaman penghayatan dan pengalaman-pengalaman ibadah seperti pada fase tahalli pada tingkat yang lebih tinggi. Semakin dalam dan kokohnya pemberdayaan itu maka akan kian meningkatkan keahlian dan ketrampilan dalam melaksanakan tugasnya sebagai konselor (jika ia menjadi konselor), psikodiagnostikus dan psikoterapis secara proporsional dan profesional. Karena proses pemahaman dan penerimaan informasi serta data melalui kajian teori, aplikasi dan empirik yang bersifat lahiriyah maupun batiniah adalah selalu dalam bimbingan illahiyah. Konselor, psikodiagnostikus dan psikoterapis dalam Islam, mereka bukan sekadar manusia biasa dan orang kebanyakan akan tetapi mereka adalah hamba Allah yang memikul amanat dan tanggung jawab yang besar yaitu tidak hanya sebagai hamba Allah tetapi juga sebagai wakil Allah dalam mendidik, mengembangkan, memberdayakan dan melindungi serta menyembuhkan alam dari kerusakan dan kehancuran; khususnya adalah manusia sebagai alam kecil dan umumnya alam lingkungan semesta sebagai alam kabir. Allah Zat Wajibul Wujud, yang Maha konselor, Maha psikodiagnostikus dan Maha Psikoterapis. Oleh karena itu seseorang tidak akan dapat memahami, mengetahui dan mempelajari seluk beluk manusia secara sempurna jika tidak belajar dan menimba ilmu pengetahuan itu dari- Nya Dari uraian di atas jelaslah kiranya bahwa konsep Ahmad Rifa’i dapat dijadikan sebagai sarana untuk menciptakan ketenangan jiwa, rasa dilindungi oleh yang kuasa dan termanifestasikannya seluruh potensi hidup manusia ke jalan yang benar menuju ridha illahi. Keutuhan kepribadian atau kemantapan kepribadian merupakan kerja fungsi-fungsi yang harmonis atau aspek-aspek kejiwaan yang meliputi kehidupan jasmaniah, psikologis dan kehidupan sosial budaya. Keutuhan kepribadian itulah yang menentukan kebahagiaan seseorang. Pengertian bahagia bersifat relatif, bergantung dari pengertian konsep manusia dan tujuan hidupnya. Bagi muslim yang mempunyai tujuan hidup beribadah, kebahagiaan akan tercapai apabila ia mampu memahami, menghayati dan mengamalkan kenikmatan-kenikmatan yang terdapat dalam beribadah, baik berupa melaksanakan perintah Tuhan maupun meninggalkan larangannya. Penghayatan bahwa ia berasal dari Allah, melaksanakan aktivitas atas bantuan Allah semua itu dilakukan untuk dan karena Allah dan kembali berserah diri kepada Allah merupakan inti kehidupan muslim yang bersifat dinamis. Derajat penghayatan tersebut merupakan ukuran bagi tingkatan kebahagiaan. Dewasa ini kesehatan mental berusaha membina kesehatan mental dengan memandang manusia sebagaimana adanya. Artinya, kesehatan mental memandang manusia sebagai satu kesatuan psikosomatis, kesatuan jiwa raga atau kesatuan jasmani rohani secara utuh. Jiwa yang sehat merupakan tujuan kesehatan mental. Psikoterafi menangani orang sakit untuk disembuhkan dan kesehatan mental menangani orang yang sehat untuk dibina agar tidak jatuh menjadi sakit jiwa. Kedua ilmu itu saling berkaitan. Psikologi dan agama merupakan dasar atau landasan dan sekaligus sebagai alat, baik untuk menyembuhkan gangguan jiwa maupun untuk pembinaan kesehatan mental. Baik agama maupun psikologi berupaya membentuk, mengolah, membina dan mengembangkan kepribadian yang utuh, kaya rohani dan mantap Pribadi yang utuh atau kepribadian yang terintegrasi menunjukkan adanya susunan hirarkis yang teratur dan kerjasama yang harmonis antara fungsi-fungsi kejiwaan atau aspek-aspek mental. Kalau fungsi kejiwaan bekerja terpisah satu sama lain, tidak ada keterarutan susunan secara hirakis, tidak ada penjalinan, tetapi tiap fungsi atau aspek seolah-olah merupakan kesatuan yang berdiri sendiri, maka kepribadian menunjukkan desintegrasi atau disharmoni. Demikian pula kalau fungsi kejiwaan itu bekerja secara berlawanan. Kalau pada seseorang terjadi kekacauan peranan fungsi kejiwaan maka keadaan mentalnya tegang. Derajat integrasi dan keharmonisan menunjukkan derajat keutuhan kepribadian dan derajat kesehatan mental. Dari uraian di atas tampak bahwa konsep tasawuf K.Ahmad Rifa'i mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan mental. Dikatakan demikian karena ajaran yang dikemukakannya berhubungan dengan jiwa manusia. Dengan mengklasifikasikan sifat-sifat tercela dan sifat-sifat terpuji manusia, menunjukkan bahwa ia menghendaki agar manusia mampu mengenal dirinya dan Tuhan-Nya. Pemikiran seperti ini termasuk metode pembersihan diri, dan metode pembersihan diri terkait dengan aspek kebutuhan manusia pada Tuhan serta pada dirinya sendiri dalam upaya mewujudkan rida ilahi di atas mental yang sehat. Metode pembersihan diri versi KH.Ahmad Rifa'i ada relevansinya dengan kesehatan mental. Dikatakan demikian karena apabila seseorang mengamalkan konsep KH.Ahmad Rifa'I maka secara otomatis akan membentuk jiwa atau mental yang sehat. Dengan demikian manakala teori KH.Ahmad Rifa'I diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari maka merupakan keniscayaan bahwa mental orang itu menjadi sehat. Dengan jiwa yang bersih dan dengan selalu membuang sifat-sifat yang tercela dan mengisi dengan sifatsifat yang terpuji maka manusia tersebut dapat menghindar dari kecemasan, kegelisahan dan kekosongan jiwa dari sentuhan agama. Hal ini sudah barang tentu berimbas pada mental yang terkait di dalamnya aspek rohani manusia itu.
no image

PUISI TASAWUF

TASAWUF DALAM PUISI ARAB MODERN (Studi Puisi Sufistik Abdul Wahab Al-Bayati) oleh : Khairul Fuad 1. Pengantar Tasawuf (Islamic mysticism) dan sastra (adab) mempunyai keterkaitan yang timbal-balik (mutualisma). Tasawuf memberikan corak ide tersendiri, sekaligus bertanggung jawab atas warisan besar, berupa sastra baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Muslim lainnya. Corak ide tersebut adalah pemujaan kepada Tuhan dan permintaan tolongNya, yang dituangkan oleh para Sufi ke dalam rentetan puisi yang indah dan menyentuh hati. Sedangkan peran sastra menyediakan perangkat untuk menyampaikan ideide tersebut. Perangkat sastra itu merupakan genre-genre, baik dalam bentuk puisi, prosa, maupun drama. Genre sastra berupa puisi sering digunakan oleh para Sufi dalam menuangkan pemikiran-pemikiran tasawufnya. Seperti Al-Hallaj menuangkan pemikiran Hululnya melalui medium puisi, “saya adalah orang yang mencintai dan orang yang mencintai adalah saya, kami adalah dua ruh yang termanifestasikan dalam satu badan, jika kamu melihat kami, maka kamu melihat dia, dan jika malihat dia, maka kamu melihat kami”. Para sufi memang tidak menutup kemungkinan, adalah seorang penyair, namun demikian seorang penyair belum tentu seorang sufi, karena mereka hanya menggunakan ide-ide pemikiran tasawuf ke dalam karyanya. Tasawuf sarat dengan tanda warisan puisi yang tidak dapat dihilangkan. Para sufi tidak hanya menggunakan tema-tema puisi seperti kekasih yang hilang, mabuk anggur, atau binasa (fana) cinta terhadap kekasih sebagai ekspresi ide dan rasa yang tergantung dengan puisi. Namun mereka memanfaatkannya untuk penghalusan tema, hasrat, emosi dan diksi di dalam puisi, yang sebelumnya tema-tema itu di dalam tasawuf merupakan aspek integral perasaan tasawuf. Mutualisma tasawuf dan puisi terkait dengan keberadaan puisi Arab lama. Permulaan puisi Arab lama atau puisi Arab klasik konvensional pra Islam, sering juga disebut dengan qasidah mencakup beberapa unsur. Unsurunsur tersebut adalah nasib (erotic introduction), madih (panegyric), hija (defamation), fakhr (vainglory), ritha (elegy). Kritikus sastra abad pertengahan menyatakan bahwa keterkaitan tasawuf dan puisi didasari oleh tiga pokok utama, pertama nasib atau mengingat (dzikr, rememberance) terhadap kekasih, kedua perjalanan (Contohnya: perjalanan haji), ketiga kesombongan (Fakhr). Pokok utama yang pertama dapat dipahami terbentuknya puisi tasawuf. Sebab, nasib memulai dengan mengingat kekasih (atau sesuatu yang dicintai) hilang. Sedangkan, mengingat ditunjukkan melalui simbol-simbol tertentu, seperti mengingat runtuhnya puing-puing (dzikr al-atlal), imajinasi penyair kepada kekasih yang menghilang, dan hubungan rahasia antara penyair dan kekasihnya6. Mengingat (dzikr, rememberance) di dalam unsur nasib merupakan sumber utama baik di dalam puisi itu sendiri, maupun di dalam tasawuf. Nasib yang digambarkan, digunakan dan ditransformasikan ke dalam sastra tasawuf memiliki unsur-unsur, pertama, pernyataan menyalahkan kekasih yang hilang karena perubahan bentuk dan perasaan (ahwal) secara berkelanjutan. Kedua, tingkatan (station,maqomat) perjalanan kekasih yang menjauh dari penyair, ketiga, imajinasi kesenangan dan ketenangan menimbulkan kenangan kepada kekasihnya di tempat reruntuhan kampungnya yang terisolasi. Imajinasi itu mendasari hasil kerja seni, sehingga gambaran kekasih seperti taman yang hilang. Unsur-unsur di atas menggambarkan hubungan antara sastra (baca: puisi) dan tasawuf. Station (maqomat) sebagai perjalanan kekasih ibarat maqomat, perjalanan seorang sufi kepada Tuhan yang dicintai. Perubahan dan keadaan kekasih ibarat perubahan “keanggunan” Tuhan dan perubahan keadaan spiritual seorang sufi. Dzikr juga membimbing seorang penyair menjauh dari kekasih, beralih dzikr yang membimbingnya ke jalan sufi (Sufi way) melalui sang kekasih. Dzikr menjadi sarana untuk menuju tujuan yang jauh di tempat yang tinggi, sehingga terjadi apa yang disebut dengan ahwal dan merasa kesenangan bersama Tuhan. Selanjutnya, memperoleh nasutNya dengan harapan bahwa tujuan telah dekat dan memperoleh kebahagiaan. Dengan keadaan seperti ini Tuhan terlihat berdzikir kepada mereka, seperti mereka berdzikir kepadaNya. Jika tidak ada dzikirNya kepada mereka, mereka belum memenuhi dzikir kepadaNya. Seperti puisi mengenai dzikir di bawah ini. IngatMu untukku adalah keindahan yang menjelma Menjanjikanku anugerah dariMu Bagaimana aku melupakanMu, wahai pemanjang harapan Engkau selalu bersemayam di pelupuk mata Puisi tasawuf (mystical poetry) muncul dari salah satu dari genre-genre qasida, yaitu nasib. Kemudian puisi tasawuf ini mengalami perubahanperubahan seiringa dengan pergantian masa. Perubahan itu ditunjukkan setelah masa Islam, sehingga keberadaan puisi tasawuf tersebut menjadi karya seni dari beberapa seni puisi Arab yang mempunyai kemandirian, pertimbangan, dan pemahamannya sendiri11. Sebagai karya seni yang mandiri, puisi tasawuf kaya dengan kiasan, tamsil atau perumpamaan, sehingga memunculkan lesikografi simbol tersendiri dalam sejarah Islam12 . Karya puisi mempunyai peran penting untuk menguatkan perasaan cinta kepada Tuhan, bahkan sarana menuju keadaan ekstasi (syatahat)13 Dari tasawuf juga, muncul himpunan penyair yang mengekspresikan Tuhan sebagai keindahan dan cinta yang mutlak yang tertuang di dalam karyanya, dan tidak hanya memunculkan para ahli mistik. Misalnya, agama Kristen mempunyai penyair mistik, John of The Cross yang setara dengan Jalaluddin Rumi, Fariduddin Al-Attar dan penyair mistik lainnya14. Dengan demikian tasawuf dan puisi mempunyai jalinan yang saling menguntungkan. Di sisi lain, keterjalinan tersebut adalah penggunaan ekspresi ide-ide yang mungkin dianggap aneh, seperti penggunaan huruf q pada awal kata qarb yang berarti dekat, sekaligus awal huruf dari kata qof yang berarti gunung. Gunung mistik yang mengelilingi dunia dan tempat burung mistik simurgh atau anqo (phoenix) bersinggah. Penggunaan ide itu dimaksudkan untuk menyampaikan sebuah makna terdalam kepada pembaca15. Sama halnya dengan puisi Arab modern menggunakan ide-ide tasawuf untuk memberikan makna yang lain kepada masyarakat, karena perkembangan kehidupan modern ditandai oleh kehidupan tanpa puisi, dengan kata lain jauh Ekstasi identik dengan istilah istilah metaforis seperti, fana (annihilation), wajd (feeling), ghaybat (absence of self), jadzab (attraction), sukr (Intoxication), dan hal (emotion). dari nilai-nilai humanistik. Ide-ide tasawuf juga mengkritik kehidupan modern yang mengagung-agungkan matrealisme di atas kehidupan spiritual. Para penyair diuntungkan dengan penggunaan ide-ide tasawuf, mereka dapat menghindarkan diri dari pernyataan langsung dan menambahkan kesegaran di dalam puisinya. Ide-ide tasawuf sangat dominan dalam mengeksplorasi makna-makna yang simbolik, sedangkan sastra sendiri (baca: puisi) mempunyai ciri kebahasaannya yang memerlukan penafsiran tertentu, bahasanya adalah bahasa kedua. Jadi para penyair mudah memadukan ide-ide tasawuf dalam puisinya. Beberapa contoh penyair Arab modern adalah Khalil Gibran (1883- 1931) seorang penyair mahjaris dari Lebanon, dia menggunakan ide, citra dan simbol tasawuf untuk memprotes kejumudan (kebekuan) masyarakat muslim tradisional. Misalnya puisinya yang berjudul Sang Nabi (The Prophet) memuat simbol tasawuf di dalam spiritnya, bait puisinya: People of Orphalese, beauty is life when life unveils her holy face, but you are life and you are the veil (masyarakat orfalese, indah adalah hidup ketika tidak menutupi wajah sucinya, tapi kamu hidup dan tertutup) Gibran adalah sastrawan yang gemilang di antara sastrawan-sastrawan modern, lahir di wilayah Busro pada tahun 1883. Ketika anak-anak, Gibran bersama saudara-saudaranya, Petrus, Sultanah dan Miryanah dibawa oleh ibunya ke Boston, Amerika Serikat, setelah kematian bapaknya. Dia masuk ke sekolah kristen dan menggemari bidang seni di Boston, namun sempat kembali ke Libanon dan bergabung ke sebuah sekolah negeri untuk mempelajari bahasa Arab. Dia pernah melanjukan studinya dalam bidang seni ke Perancis selama tiga tahun atas bea siswa dari sebuah lembaga pendidikan Amerika Serikat yang dipimpin oleh Marie Haskal. Dia sangat mengagumi pemikiran filsafat Nietszhe. Dia bersama rekan-rekannya sesama satrawan perantauan (mahjaris) seperti Mikhail Nu’ayma, Illiya Abu Madi, Abdul Masin Haddad, Rashid Ayyub, Nasib Aridah, Wlliam Katsaflin dan Nadroh Haddad mendirikan sebuah gerakan budaya yang terlembagakan bernama Al-Rabitoh Al-Qalamiyyah. Gibran meninggal pada tahun 1931 karena terserang penyakit TBC. Karya-karyanya adalah dam’ah wa ibtisam, al-ajnihah al-mutakassaroh, al-arwah al-mutamarridah, arais almurawwaj, al-nabiy, al-majnun, ramal wa zabad, al-saiq dan yasu ibn al-insan. Mahjaris adalah istilah untuk menyebutkan para penyair Arab yang tinggal di perantauan, khususnya di Amerika Utara. Perlu untuk ditekankan terhadap para penyair kelompok ini adalah upaya mereka untuk melakukan misi-misi protes terhadap kebijakan negeri asal mereka, terutamapersoalan feodalisme dan kitik terhadap para agamawan (clergy man). Di dalam uapaya protes, mereka menggunakan simbol kedalaman perasaan agama (religiousity), hal ini dapat dimengerti sabab diksi-diksi puisi mereka banyak dipengaruhi oleh Bibel yang berbahas Aeab dan Kitab Perjanjian Baru (The New Testament). Mikhail Nuayma (1889-1988) penyair mahjaris dari Lebanon juga, dia pernah menulis sosok penyair di dalam puisinya yang berjudul Al-Ghirbal (The Sieve), yang digambarkan dengan ide, citra dan simbol tasawuf, demikian baitnya: What is a poet? A poet is a prophet, a philosopher, a painter, a musician,and a priest in one. He is prophet because he can see with his spirituality eye what cannot be seen by other mortal. A painter because he is capable of moulding what he can see and hear in beautiful forms of verbal imagery, a musician because he can hear harmony where we can find discordant noise. . . Lastly a poet is a priest because he serves the goddes of truth and beauty20 Apa itu penyair? Penyair adalah Nabi, filosof, pelukis, musisi dan kyai sekaligus. Dia seorang Nabi, karena dapat melihat dengan mata spiritual yang tidak dapat dilihat oleh makhluk lain, seorang pelukis, karena dia mampu membentuk apa yang dilihat dan melihat dengan keindahan imajinatif, seorang musisi, karena dia dapat mendengar harmoni, ketika kita berada di suasana kegaduhan. Akhirnya seorang penyair adalah kyai, karena dia melayani kebenaran dan keindahan ilahiyyah. Kehidupan Al-Hallaj (858-922) menjadi sorotan besar para penyair modern, seperti Adonis (Ali Ahmad Said) (1930- )21 dari Lebanon. Nuayma adalah satrawan modern Libanon, lahir di Bishkanta, sebuah dataran tinggi di Libanon. Kemauan besarnya tampak sejak kanak-kanak, dia memperoleh pendidikan dasar di desanya, kemudian melanjutkan ke sekolah Rusia di Al-Nasiroh, Palestina, yang kemudian memberinya bea siswa untuk melanjutkan studinya di Rusia. Setelah itu, dia melanjutkan ke Amerika Serikat, mengambil studi ilmu hukum dan sastra. Di New York, dia bertemu dengan rekan-rekan sesama sastrawan yang tergabung penyair mahjaris dan mendirikan gerakan budaya Al-Rabitoh Al-Qalamiyyah. Kritikannya dimuat di majalah Al-Funun. Setahun paskakematian Gibran pada tahun1932, dia kembali ke Libanon dan sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan perpustakaan dengan memperbanyak koleksi buku di bidang sastra, misal kritik sastra, puisi, prosa, dannovel. Dia meniggal pada tahun 1988 dan mewarisi beberapa karya sastra, misal Gembala Bapak dan Anak, Hamas Al-Junun, Al- Marahil, Kaana ma Kana, Muzakirat Al-Arqas, Al-Bayadir, Sout Al-Alim, Al-Nur wa Al-Dayjur, Mirdad, dan Sab’un. Lihat Abdul Ali Muhana, Ali Na’im Khurais, Masyahir Al-Syu’ara wa Al- Udaba, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1990, hlm 236-237. Demikian juga dengan Adul Wahab Al-Bayati (1926- ) yang akan diteliti karya puisinya, dia adalah penyair dari negeri Iraq, alumnus Akademi Pelatihan Guru di Baghdad pada usia 24 tahun, dia mengambil jurusan Bahasa Arab. Pada tahun 1950, dia mengakhiri karir guru, kemudia mempublikasikan bunga ramapai pertamanya, yang berjudul Malaika wa Sayatin (malaikat dan setan). Al-Bayati mangekspresikan karya puisinya menggunakan simbol-simbol dari para tokoh sejarah dunia atau sebuah tempat, termasuk juga unsur-unsur tasawuf yang sangat mendominasi dalam gaya bahasanya (uslub), sehingga karya-karyanya kadang-kadang sulit dipahami. Misalnya dalam unsur tasawuf, dia menulis puisi tentang sepak-terjang tokoh tasawuf Al-Hallaj. Tulisannya mengenai kebangsaan Libanon. Dia mempunyai julukan Adonis. Dia bekerja sebagai editor di sebuah majalah avant-garde, Syi’r dan pengasuh kolom sastra di harian Beirut Lisanul Hal. Puisinya bergaya simbolis yang rumit dan unik pada masanya. Adonis memperhatikan ekspresi seni terhadap keadaan sosial-politik, sebagaimana perhatiannya terhadap metafisika dan tasawuf. Di samping seorang sastrawan, dia juga kritikus sastra, namun demikian tidaj mudah untuk membaca kritiknya, sebagaimana puisinya. Dia adalah sosok penyair Arab yang terkenal pada waktu itu. Karya karyanya adalah Qolat Al-Ard (1945), Qosoid Ula (1957), Awraq fi Al-Rih (1958), Aghoniy Mihyar Al-Dimasqiy (1962), Kitab Tahawwulat wa Al-Hijr fi Asalim Al-Layl wa Al-Nahr, Al-Masrah wa Al-Maraya (1968). Lihat An Anthology of Modern Arabic Poetry, diseleksi oleh M. M Badawi, Beirut: Oxford University Press, Dar An-Nahar, hlm xxxvii. Salah Abdul Sabur lahir di Mesir, lulusan dari Universitas kairo tempat dia mempelajari sastra Arab dan di bawah pengaruh kritikus dan penulis DR. Louis Awwad yang memperkenalkan sastra Barat modern kepada generasinya, khususnya puisi-puisi T. S. Elliot. Secara umum, Salah Abdul Sabur dikenal sebagai dedengkot penyair kontemporer di Mesir. Dia juga dikenal sebagai penulis social-realist, namun perkembangan berikutnya, perhatiannya cederung terhadap spiritual dan metafisika. Di samping penyair, dia juga kritikus sastra dan mempublikasikan kritikannya setiap minggu di harian Kairo Al-Ahram. Dia juga asisten editor sastra di harian tersebut. Karya-karyanya adalah Al-Nas fi Al-Bilad (1957), Aqulu lakum (1961), Ahlan Al-Faris Al-Qodim (1964). Dia juga menulis drama puisi Masat Al- Hallaj (1965). Lihat Anthology of Modern Arabic Poetry, diseleksi oleh M. M Badawi, Beirut: Oxford University Press, Dar An-Nahar, 1970, hlm xxxvii. Lihat juga Khalil L. Semaan, Islamic Mysticism in Modern Arabic Poetry and Drama, dalam International Journal Study of Middle East, Great Britain: Cambridge University Press. Lihat Al-Hallaj berjudul Qira’at Kitab Al-Tawasin Li Al-Hallaj (Membaca Kitab Tawasin karya Al-Hallaj), bait puisinya sebagai berikut. Satu setelah yang lain, tangan-tangan diangkat si depan wajah otoriter tapi pedang-pedang penguasa memotong satu setelah yang lain di setiap tempat Mengapa Tuhanku tidak kau angkat tangan keluasan? Revolusi kaum papa dicuri oleh pencuri-pencuri revolusi di setiap zaman Zappata adalah contoh dan seratus nama yang lain Mengapa ya Tuhanku, Al-Hallaj digantung?27 Dalam puisinya yang lain berjudul Ain al-Syams (eye of the sun), Al- Bayati mengungkapkan hubungan percintaan antara Ibn Al-Arabi (1156-1240 M) dengan kekasihnya Al-Nizam. Al-Bayati menulis puisi tersebut dengan menggunakan tehnik simbolisme, yaitu simbol sufistik, seperti kijang yang disimbolkan sebagai rahasia Tuhan dan cahaya merupakan simbol Tuhan28. Sedangkan puisinya sebagai berikut. Tuan, perindu, budak Cahaya, awan Qutb dan murid Dan pemilik keagungan Berkata kepadaku menunjukkanku setelah kijang mrnyingkapkanku Tapi aku mengejarnya lari di bawah cahaya di kota-kota dalam Orang asing memburunya, dia di tanah lapang kota yang hilang Menjadikan kulitnya rebab dan senar kecapi Ini aku lari, pohan-pohon berdaun di malam hari Perindu sungai Barada yang memukau Tuan tergantung di atas tembok 2. Rumusan Masalah Penelitian ini yang berjudul Tasawuf dalam Puisi Arab Modern (Studi Puisi Sufistik Abdul Wahab Al-Bayati), difokuskan pada pokok masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana corak tasawuf di dalam puisi Abdul Wahab Al-Bayati?, 2. Mengapa Al-Bayati memiliki ide sufistik?. 3. Metodologi Penelitian ini menggunakan metode hermeneutik, yaitu mencakup tiga unsur, mengerti, menafsirkan dan menerapkan sebuah teks30. Struktur teks itu sendiri mempunyai sistem penandaan (signifying). Sistem penandaan mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifier) merupakan bentuk formal yang menendai sesutu yang disebut petanda, selanjutnya petanda (signified) merupakan sesuatu yang ditandai oleh penanda, atau artinya31. Hubungan penanda dan petanda di antaranya terdapat sifat arbiter (semena-mena). Hubungan ini sering disebut dengan simbol, hubungan yang ditentukan oleh konvensi. Menurut pendapat Charles Sander Pierce bahwa simbol adalah tanda yang mencakup hal yang telah mengonvesi di masyarakat. Penanda dan petanda tidak memiliki hubungan kemiripan ataupun kedekatan, tetapi terbentuk karena kesepakatan32. Sedangkan, prespektif tasawuf bertalian erat dengan makna-makna simbolik, bahkan menurut Abu Al-Wafa Al-Ghonimah Al-Taftazani di dalam bukunya Madkhol ila Al-Tasawuf Al-Islam, bahwa penggunaan simbol di dalam tasawuf menjadi corak tasawuf abad ke tiga dan ke empat Hijriyah33. Di dalam Al-Luma, Abu Nasr Al-Sarraj Al-Tusi berpendapat bahwa simbol (rumz) adalah makna dalam (batin) yang tersembunyi di bawah perkataan yang tampak, tidak dapat dicapainya kecuali oleh para ahlinya34. Dengan demikian simbolistik sebagai studi hermeneutik di satu pihak dan wacana tasawuf yang memproduksi makna-makna simbolistik di pihak lain, saling berkaitan. Oleh karena itu, penggunaan metode hermeneutik ini melalui pendekatan simbolisme menghubungkan secara fungsional antara tasawuf dan sastra. 3. 1 Data Primer Penelitian ini menggunakan data primer dari kumpulan puisi (Bunga Rampai) Abdul Wahab Al-Bayati yang berjudul Hub wa Maut wa Nafy li Abdil Wahab Al-Bayati. Bunga rampai ini diseleksi oleh Bassam K. Frangieh dari karya-karya puisinya. 3. 2 Data Skunder Sedangkan data skunder, penelitian ini memperolehnya dari bunga rampai yang lainnya dan bebrapa makalah yang membahas puisinya. Seperti bunga rampai Abdul Wahab Al-Bayati Usturo Al-Taihi baina Al-Mahod wa Wiladat, yang diseleksi oleh Haidar Taufiq Baidown. Makalah Islamic Mysticism in Modern Arabic Poetry and Drama, yang ditulis oleh Khalil I. Semaan. 3.3Analisis Data Mengidentifikasi data teks puisi Abdul Wahab Al-Bayati yang mengandung makna simbolik. Kemudian, teks-teks simbolik tersebut dianalisis dari sudut pandang tasawuf, baik dalam satu rangkaian wacana tasawuf, maupun makna simbolik semata. Makna-makna simbolik tasawuf diperoleh dari pemaknaan secara teks kata dan kamus-kamus simbol tasawuf konvensional. Penelitian ini juga meaganalisis data dari tokoh-tokoh tasawuf, karena Al-Bayati sering menggunakan tokoh-tokoh tertentu, termasuk tokoh tasawuf di dalam puisinya. 4. Hasil dan Pembahasan Simbol sufistik memiliki kekhasan sendiri, karena muatan wacananya secara keseluruhan meliputi, baik pemikiran, istilah-istilah maupun para tokohnya. Muatan-muatan tersebut digunakan para penyair untuk menghidupkan karyanya, supaya memuat makna-makna tertentu. Simbol baik di dalam sufistik maupun sastra tidak mengartikan teks dengan arti sebenarnya, lebih-lebih sufistik selalu memandang segala sesuatu dari sisi batiniyyah (esoteris), yang tidak tampak daripada sisi dohiriyyah (eksoteris), yang tampak. Para penyair sufi juga beranggapan bahwa pisi merupakan simbol-simbol kebenaran dan keindahan jiwa manusia. Penyair Abdul Wahab Al-Bayati mempunyai pandangan multi-budaya, dikarenakan interaksinya dengan budaya-budaya lain, sehingga dapat memecahkan ketertutupan yang mengitarinya. Sebagai buktinya, Dia telah melanglang buana ke manca negara dalam perjalanan intelektualnya. Dengan demikian, penyair Iraq ini diperkirakan juga menyerap pemikiran sufistik sebagai salah satu budi daya manusia, kemudian memanfaatkan simbolsimbolnya di dalam karya-karya puisinya. Annamarie Schimmel, peneliti tasawuf, membuktikan penggunaan simbol sufistik yang dimanfaatkan oleh Al-Bayati, seperti simbol tokoh sufistik, Al-Hallaj. Dia memuat pembuktiannya di dalam kompilasi antologinya yang berjudul Al-Halladsh, Martyrer der Gottes Leibe. Menurutnya tokoh Al-Hallaj juga dijadikan simbol oleh para penyair Arab modern lainnya seperti, Adonis, Salah Abdul Sabur, dengan karya dramanya yang berjudul Masat Al-Hallaj Al-Bayati memanfaatkan simbol-simbol sufistik di dalam karya puisinya untuk mengungkapkan idealisma yang menyatakan bahwa kemenangan selalu diikuti oleh onak duri kehidupan yang menyakitkan dan perjuangan panjang yang tulus. Simbol-simbol sufistiknya meliputi berbagai wacana sufistik, tokoh-tokoh, pemikiran dan istilah-istilahnya. 4.1 Simbol Al-Hallaj Al-Bayati menjelaskan tentang kehidupan sufi syahid (martyr) Abu Mughits Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj, secara mini-ephic di dalam puisinya serimg disebut dengan Al-Hallaj. Dia menulis puisi berjudul Azab Al-Hallaj (Derita Al-Hallaj), jelas memberikan kesan secara simbolistik mengenai sekelumit kepahlawanan sang sufi. Kata azab di atas yang berarti penderitaan, mengisyaratkan kehidupannya yang dipenuhi oleh duka nestapa yang disebabkan oleh konsep dan pemikirannya yang kontroversial. Selain itu, visi politik Al-Hallaj yang menganjurkan pemerintahan bersih (clean governance), berbeda dengan visi pemerintahan pada waktu itu dan gagasan itu membahayakan kebijakan sang khalifah (pemimpin)35 . Al-Hallaj lahir di daerah Fars, wilayah Iran dekat Teluk, pada tahun 858 H. Bapaknya seorang penenun kapas (hallaj), sedangkan kakeknya adalah seorang majusi, bernama Muhmiy penduduk Baidoi di Fars. Al-Hallaj tumbuh dewasa di Wasit dan menetap di Tustar, kemudian pergi belajar tasawuf di Baghdad, dia berguru dengan Al-Junaid bin Muhammad, Abu Husain Al-Nurry, Amr Al-Malikiy, dan tokoh-tokoh sufi lainnya. Puisi Azab Al-Hallaj memuat bebrapa simbol sufistik sebagai berikut. 4.1.1 Murid Murid adalah seseorang yang menginginkan kebijaksanaan dan pencari Tuhan (The Reality One) di bawah petunjuk seorang Mursyid (spiritual guide). Murid mengisyaratkan awal perjalanan sufistik Al-Hallaj dalam mencari Tuhan. Penggambaran Al-Bayati di dalam puisinya sebagai berikut. Kau jatuh dalam kegelapan dan kekosongan jiwamu terpeciki cat kau mium dari sumur-sumur mereka mabuk menyelimutimu Murid (novice) secara semantis berasal dari kata arada, berarti orang yang menginginkan. Prespektif sufistik, orang yang menerima otoritas dan petunjuk dari orang yang telah melintasi beberapa maqomat (station) dari perjalanan kesufiannya. Murid juga disebut orang yang menginginkan murod (yang diingini), yaitu syaikh atau mursyid. Penggambaran Al-Hallaj yang mengalami kekosongan setelah menempuh kehidupan sebagai murid. Kekosongan itu terisi kembali oleh spirit baru di dalam jiwanya, al-asbagh yang berarti cat membari kesan kuat tentang semangat baru, karena cat menimbulkan warna dalam jiwanya. Mereka dalam puisi di atas dapat dipahami sebagai mursyid yang memiliki sumur, dan Al-Hallaj meminum airnya sampai mengalami mabuk , al-duwar. Kata al-duwar, secara semantis berasal dari kata dara yang berarti berputar, dengan demikian dapat dipahami dengan keadaan mabuk. Seorang yang mengalami mabuk, secara fisik akan merasakan tubuhnya berputar-putar. Bahkan puisi itu memperkuat makna mabuk dengan kata syaraba (minum) dalam lariknya syarabta min abarihim, kau minum dari sumur-sumur mereka. Al-Hallaj dalam kamu lirik, mengalami mabuk setelah meminum air sumur mereka. Mabuk disebabkan olh tuntunan dari sang Mursyid yang menunjukkan kepada Murid jalan menuju Tuhan. Simbol mabuk (sukr, spiritual intoxication) berarti merasakan anggur Tuhan (The Wine of Divine Love, Isyq) yang dituangkan oleh pembawa cangkir (Saqi). Sedangkan simbol saqi adalah orang-orang yang sangat dicintai, sebagaimana seorang Mursyid atau Syaikh toriqoh (The Master of Sufi Path), sang pemberi kasih sayang yang menyalurkan arak cinta (wine of love) kepada pecinta (lover). Di samping itu, puisi Al-Bayati juga menggambarkan kondisi seorang Murid yang mengalami sama’ (spiritual concert), dengan kata lain, bahwa Murid akan mengalami ekstasi (wajd) untuk menemukan Tuhan. Kejadian eksatasi melalui konser musik spiritual yang dibangun oleh seorang sufi untuk membuka pengetahuan dan kesadaran seorang Murid. Gambaran Al-Bayati sebagai berikut. Kau ketuk pintuku setelah seorang penyanyi tidur setelah gitar hancur dari mana aku dan kau dalam Tuhan mencari cahaya di mana aku mengakhiri dan kau mulai mengakhiri janji kita hari mahsyar, janganlah kau rusak penutup kalimat angin di atas air Jika dicermati dari gaya bahasa allussion, puisi di atas mencerminkan gaya bahasa metaphorical allussion, yaitu penggunaan unsur-unsur tertentu yang mendukung maksud puisi dari kontekstual yang diingini. Unsur tersebut adalah penyanyi dan gitar. Gambaran Murid dengan segala aspeknya, mengisyaratkan posisi awal Al- Hallaj dalam menempuh kehidupan mistikal yang panjang. 4.1. 2 Penghancuran (Fana) Penghancuran atau fana berarti penghapusan diri, pemutusan atau kematian dari diri melalui hubungan dengan Tuhan. Manusia musnah dari dirinya sendiri, kepunahan batas-batas individu di dalam tingkat penyatuan (union). Fana merupakan akhir tingkatan mikraj (ascent) mennuju Tuhan, ketika perjalanan menuju sang Sumber. Murid akan melalui beberapa tingkatan untuk menuju fana, masing-masing tingkatan membawanya dekat dengan tujuan akhirnya. Tingkatan fana mancapai ratusan, bahkan ribuan tingkat. Kefanaan Al-Hallaj tergambar jelas dalam puisinya yang berjudul Al-Muhakamat, sebagai berikut Aku bermimpi bahwa aku bukan perindu dua kata kami menjadi satu aku memeluk diriku sendiri aku memberkahi diriku sendiri, Engkau menyenangkanku kesedihan dan kesunyianku Pengalaman fana adalah subyektifitas Al-Hallaj sendiri, sehingga dia merasa tidak ada yang lain kecuali Tuhan, bahkan dia melupakan jargonnya yang sangat terkenal Ana Al-Haq (Saya adalah Kebenaran), terindikasi dari teks puisi di atas yang menyatakan dua kata. Namun demikian, dua kata tersebut yang menghantarkan Al-Hallaj sebagai syahid di jagat tasawuf. Seperti dalam puisi lainnya. Aku sampaikan dua kata kepada penguasa Aku menyebutnya “kamu pengecut” Secara historis, dua kata ini sering dilontarkan oleh Al-Hallaj dalam berbagai kesempatan, seperti pendapat Louis Massignon. Salah satunya adalah pengadilan atas dirinya, ketika Hakim Abu Yusuf bertanya kepadanya, “siapa kamu?”, “ana al-haq”, jawabnya45. Para teolog yang merasa terganggu atas pernyataannya, melancarkan propaganda untuk menyudutkannya. Propaganda tersebut sampai ke telinga Mu’tasim, Khalifah pada waktu itu, dan membuat menteri Ali ikut menyudutkannya juga. Hal tersebut menjadikan Khalifah mengambil keputusan hukum untuk memasukkannya ke dalam penjara dan menunggu eksekusi mati. Pengadilan tersebut menjadi kenyataan dengan mengeksekusi mati Al- Hallaj dengan sangat kejam. Louis Massignon mencatat, setelah ribuan cambukan ditimpakan kepadanya, mereka (orang-orang khalifah) memotong kedua tangan dan kakinya secara bergantian, kemudian dinaikkannya ke tiang gantungan, supaya mudah dilihat oleh khalayak, akhirnya kepalanya dipenggal. Sedangkan Al-Bayati memotret kejadian tersebut melalui baitbait puisi yang berjudul Al-Salb (penyaliban). Para hakim, saksi dan penjagal menyerbuku membakar lidahku menjarah kebunku meracuni sumurku mengejar para tamu kebingunganku, ketakjubanku bagaimana aku dapat menyalib di atas dinding? api membunuh manjadikan abu apakah yang aku dapat? Kau yang menutup pintu ketandusan dan kesia-siaan mejaku, makan malam terakhirku dalam pesta hidup bukalah jendela dan berikan tanganmu untukku Al-Salb (crucifixion) adalah penggambaran proses fana sebagai jalan menuju peleburan bertemu dengan Tuhan. Penyaliban atas dirinya adalah kehidupan, sebab dia merasa akan bertemu Tuhannya, seperti senandung puisinya. Bunuhlah aku wahai para sahabatku sungguh terbunuhku adalah kehidupanku kematianku di dalam hidupku kehidupanku di dalam matiku Penyaliban Al-Hallaj juga diceritakan oleh Ishaq Ibrahim, ketika dia disalib di atas tiang gantungan, dia berteriak, “oh Tuhanku, kini aku di sini di tempat hasratku dan pandanganku terpesona oleh keagungan-Mu”. “Tuhanku aku mengerti Engkau memperlihatkan cinta-Mu secara khusus kepada orangorang yang membenci-Mu, jadi bagaimana mungkin Engkau tidak memeperlihatkan cinta-Mu padaku yang diperlakukan tidak adil karena diri- Mu” Puisi Al-Salb yang menggambarkan penyaliban terhadap Al-Hallaj dapat dianalogikan dengan penyalliban yang dilakukan oleh tentara Pilatus kepada Yesus di Golgota51. Dalam tradisi sastra Arab modern, simbol penyaliban Yesus adalah penggambaran keterasingan (exile) di negeri orang, karena dipicu oleh perbedaan visi politik di negeri sendiri. Puisi ini menggambarkan baik citra maupun fakta memilukan yang dialami oleh Al- Halaj. 4.1. 3 Pemberontakan Iblis Al-Bayati juga menulis sebuah puisi yang didasari oleh karya monumental Al-Hallaj, Kitab Al-Tawasin, karya ini merupakan karya monumental dalam bidang sastra tasawuf. Karya tersebut dikumpulkan oleh para murid Al-Hallaj dan langsung di bawah bimbingan syaikh mereka. Kata Al-Tawasin diambil dari gabungan awal ayat dari surat Taha dan awal ayat dari surat Yasin, kedua ayat tersebut tidak memiliki makna yang jelas. Di dalam wacana ilmu tafsir, ayat tersebut sering disebut dengan huruf almuqoto’ah, dan hanya Tuhan yang paling mengetahui makna dari rangkaian huruf tersebut. Kitab Al-Tawasin terdiri atas beberapa bab, bab pertama isinya tentang penghormatan kepada Nabi Muhammad, bab kedua tentang sesuatu yang takteridentifikasi dan realitas bagian dari kebenaran. Kemudian bab ketiga tentang buku perputaran, bab keempat dan kelima tentang mi’raj Nabi Muhammad. Akhirnya bab keenam azaliy wa iltibas yang membicarakan tentang iblis dan fir’aun Puisi ini membicarakan mengenai kebangkitan ide-ide Al-Hallaj dengan menghadirkan karya monumentalnya. Puisi Al-Bayati berjudul Qiraat fi Kitab Al-Tawasin li Al-Hallaj untuk menunjukkan sikap-sikap perlawanan terhadap sebuah kemapaman. Hal ini ditunjukkan oleh puisi ini yang merujuk kepada kitab Al-Tawasin, khususnya pada sub judul al-azaliy wa iltibas, Al- Bayati beranggapan bahwa isi dari sub judul tersebut memuat pemberontakan Iblis. Iblis melakukan pemberontakan lantaran Tuhan memerintrahkannya bersujud kepada Adam, seperti pernyataan di bawah ini. Tuhan berkata kepadanya, “sujudlah kepada Adam” “tidak ada selain Engkau”, jawabnya Tuhan berkata lagi kepadanya, “kau terlaknat” “tidak ada selain Engkau”, dengan jawabannya yang sama my deflection is the outcome of Your trancendence, of Your purity; and my reason is my madness for you. I know none but You. In between You and I, there none exist, if ought exist, it is I. Penolakanku adalah hasil dari trasenden dan kesucian-Mu, alasanku adalah kegilaanku pada-Mu, aku tahu tidak ada selain Engkau dan Adam tidak ada, hanya ada Engkau. Antara Engaku dan aku. Tidak ada yang ada, jika memang ada, itulah aku Perlawanan Iblis menunjukkan klaim monoteistik (monotheistic claim) dengan menolak sujud kepada Adam, karena hanya Tuhan yang wajib disujudi, sekaligus totalitas pecinca (lover) kepada yang dicintai (beloved). Totalitas tersebut menimbulkan persepsi bahwa tidak ada jalan yang lain kecuali kepada yang dicintai. Oleh karena itu, Al-Bayati mengekspresikan sisi perlawanan kaum pinggiran baik secara tekstual simbolik di dalam puisi, seperti puisi di bawah ini. Pemberontakan kaum papa dicuri oleh pencuri pemberontakan di setiap masa dalam hamparan dan hutan masa kecil cintaku Al-Hallaj temanku di setiap bepergian, kita membagi roti dan menulis puisi tentang visi orang miskin yang kelaparan di kerajaan bangunan besar Perlawanan (revolution) terhadap kekuasaan disimbolkan melalui sikap pengasingan diri (exile) dari situasi yang dipenuhi kepalsuan. Hal tersebut, secara sufistik dapat disamakan dengan sikap para zuhud yang mengasingkan diri dari kehidupan borjuistis yang dialami oleh para elit pada awal-awal perkembangan tasawuf. Perlawanan tersebut tampak di dalam bait puisi di bawah ini. Dari bawah tugu sang tiran bumi ini dari bawah abu-abu abad ini dari belakang, jeruji penjara aku menangis malam di benua-benua, aku korbankan cintaku untuk binatang buas yang menunggu di tiap pintu Genarasi-generasi dan kafilah-kafilah bangsa-bangsa dan kerajaan-kerajaan binasa oleh banjir Salah satu orang, tangan tangan naik di wajah tiran tapi pedang-pedang sultan memukul salah satu orang di mana tempat mengapa, Tuhanku, tidakkah Kau angkat tangan keluasaanmu?58 Puisi ini juga memuat simbol tokoh revolusioner Meksiko Emiliano Zapata, seperti dalam bait puisi di bawah ini. “Zapata” contoh dari sekian nama terkenal yang lain di dalam kamus orang-orang suci lagi syahid mengapa wahai Tuhanku, Al-Hallaj disalib? Demikian pula simbol tokoh Al-Hallaj yang menggambarkan perjuangan untuk mempertahankan pendiriannya, sekaligus melawan kemapaman para elit politik (sultan dan para kroninya). Sedangkan, Emiliano Zapata adalah penggagas revolusi agraris di Meksiko. Revolusinya melibatkan para petani untuk melawan Hacienda yang mengambil tanah mereka. Bahkan gerakan revolusioner Zapata sangat mempengaruhi keadaan negara Meksiko sampai sekarang, dia tercatat sebagai revolusioner di abad ke 2060. Simbol Zapata di dalam puisi Qiraat fi Kitab Al-Tawasin li Al-Hallaj memberikan makna persamaan perjungannya dengan perjuangan Al-Hallaj. Mereka berdua sama-sama menyuarakan perlawanan terhadap penguasa tiranik. Kematian meraka berakhir tragis, kematian Al-Hallaj telah dijelaskan sebelumnya, sedangkan kematian Zapata ditembak mati melalui penyergapan yang dilakukan oleh tentara Carrancista. Mayatnya dibawa ke Cuautla dan dikebumikan juga di sana. Kematian keduanya merupakan konsekwensi yang harus ditanggung dari gerakan revolusi. Bait puisi ini menggmbarkan keadaan tersebut, Mengapa Tuhanku Kau angkat tangan ampunan-Mu?, Pencuri-pencuri revoluisi mencuri revoluisi kaum miskindi sepanjang masa, Mengapa Tuhanku Al-Halaj dibunuh?. Akan tetapi, revolusi telah memompa semangat perjuangan, seperti kaum proletar Hallajian, yaitu kaum buruh pabrik penenunan di Ahwaz yang memberontak penjual budak yang akan membangun kanal-kanal dan dam62. Gambarannya seperti bait puisi di bawah ini. Orang-orang papa mengelilingi Al-Hallaj di sekitar api Di malam hari, diselimuti rasa demam Kadang datang dan menghilang di balik dinding 4. 2 Simbol Cinta Secara sufistik, cinta adalah motivasi kekuatan perwujudan Tuhan terhadap penciptaan-Nya, seperti pernyataan-Nya di dalam Hadist Qudsi, “Aku adalah harta yang tersembunyi, Aku mencintai untuk diketahui, maka Aku menciptakan makhluq”. Di pihak lain, cinta juga menjadi motivasi pecinta (muhib) untuk mengarahkan secara total kepada yang dicintai (mahbub), yaitu Tuhan. Cinta kadang-kadang merupakan inti dari spiritual dan daya tarik menuju penyatuan Tuhan (God Union) . Cinta mempunyai padanan kata, di antaranya hawa (passion), mahabbat (love kindness) dan isyq. Hawa adalah cinta yang ditimbulkan oleh hasrat-hasrat badaniyyah, mahabbat adalah cinta yang muncul dari hati, kemudian isyq adalah cinta yang hadir dari jiwa, cinta ini memiliki tiga unsur, kejujuran, kemabukan, dan ketiadaan. Isyq merupakan tingkatan yang lebih tinggi daripada dua tingkatan cinta lainnya. Isyq adalah turunan kata dari kata asyaqoh yang berarti tanaman anggur, ketika angin berhembus menerpanya, tanaman tersebut akan layu dan mati. Cinta yang mendalam dan mambara akan mengeringkan dan membuat tanaman akan menguning. Cinta spiritual dapat merontokkan akar kedirian. Cinta ini mempunyai dua sisi, sisi juz’I yaitu cinta yang dialami oleh sesama manusia, dan sisi kulliy yaitu cinta yang hanya dimiliki oleh Tuhan. Persamaan dua sisi itu adalah keberadaan rindu (syauq). Puisi Al-Bayati yang berjudul An Waddah Al-Yaman wa Al-Hub wa Al- Maut, bukan hanya menggambarkan isyq juz’I, melainkan juga menggambarkan isyq kulliy. Puisi tersebut menggambarkan isyq antara Waddah Al-Yaman dengan seorang putri raja, yang berakhir di ujung kematian. Waddah Al-Yaman adalah nama sebutan, sedangkan nama aslinya Abdul Rahman bin Ismail, dia seorang Arab Yaman, tapi di pihak lain, dia berasal dari Parsi yang diutus ke Yaman sebelum Islam. Waddah Al-Yaman adalah seorang yang tampan, oleh karena itu dia memperoleh sebutan waddah yang berarti putih (abyad). Dia sangat mencintai perempuan Yaman yang bernama Raudoh, seorang anak Khalifah. Karena cintanya kepada Raudoh, dia memujinya melalui puisi-puisi ghazl, sebab dia juga penyair ghazl. Akan tetapi rasa cintanya tidak dapat terwujud, sebab kekasihnya dinikahi oleh orang lain, bernama Al-Walid bin Abdul Malik. Sebagai pembanding dari peristiwa di atas, Al-Bayati memasukkan peristiwa percintaan antara Othello dan kekasihnya Desdemona, yang juga berakhir tragis dengan kematian. Kematian itu dipicu oleh rasa cemburu yang besar dari pihak ketiga. Al-Bayati menyitir percintaan itu dari puisi Pujangga Inggris, William Shakespear dengan judul The Tragedy of Othello, The Moor of Vinice. Adapun puisinya sebagai berikut. Sebelum hadir di buku-buku Novel-novel dan puisi-puisi Othello telah ada Kala kalajengking-kalajengking pencemburu menggigitnya Ya Waddah Sebelum muncul di buku-buku Othello pembunuh bersimbah darah Tapi Desdemona Tak akan mati waktu ini Inikah kamu yang akan mati Cinta di atas adalah gambaran cinta juz’i yang dialami sesama manusia dan bersifat kemabukan semata, belum mencapai tingkatan fana. Sebaliknya cinta kulliy, yang bersifat kefanaan tergambar di dalam bait puisinya yang diulang-ulang. Aku tidak menemukan kemurnian cinta, tapi aku menemukan Tuhan Cinta sejati adalah cinta yang berasal dari Tuhan, ketika Dia mencintai hamba-Nya, Dia akan melihat kapadat eksistensi pecinta dan membawanya ke tingkatan fana, bahkan berlanjut ke tingkatan baqo. Ruzbihan berpendapat bahwa cinta yang berasal dari sang Mahasempurna, maka akan menghasilkan cinta yang sempurna juga. Beberapa sufi memperkuatnya bahwa cinta adalah totalitas atas segala kesempurnaan yang ada di dalam esensi setiap individu dan hanya ditujukan kepada Tuhan 4.3 Citra Sufistik Perempuan Al-Bayati menggambarkan mabuk cintanya tidak langsung ditujukan kepada Tuhan, akan tetapi melalui simbol perempuan yang bernama Aisyah. Sesuai tehnik perpuisiannya, Aisyah adalah ilustrasi pahlawan, gambaran cinta, dan dia selalu hadir di dalam puisi-puisinya. Sisi sufistik, simbol perempuan memiliki tempat khusus, dia menjadi subjek, sekaligus objek kerinduan. Perempuan adalah subjek yang merindu terus-menerus mencari jalan yang menuntunnya kepada sang kekasih, Tuhan, meskipun di tengah jalan muncul berbagai ujian dan gangguan. Pada saat yang sama menjadi objek kerinduan maskulin yang tertinggi dan mulia, perempuan menjadi personifikasi Tuhan yang meliputi ciri-ciri maskulinitas dan feminitas dalam dirinya sendiri Di dalam penggambarannya, Aisyah datang ketika prosesi spiritual telah mencapai tingkatan cinta, seperti baitnya, Menggadaikan kesucian bajunya utuk anggur, menangis gila untuk cinta, Aisyah bangkit dari bawah rerumputan liar, batu-batu hitam, kijang kuning emas berlari, sedang aku mengikutinya dalam keadaan gila. Bait lain juga menggmbarkan keberadaannya yang sangat berarti, Aku tidak menelanjangi lukaku dalam keadaan mabuk, jika aku tidak kehilangan Aisyah di warung tujuan. Simbol warung (han atau tavern) menggambarkan hati seorang sufi yang sempurna, yaitu seorang yang telah merealisasikan kesatuan Tuhan dengan rumah sufi. Yang dimaksud warung adalah alam Tuhan (alam lahut) Setelah mengalami prosesi spiritual yang panjang, kerinduan hanya kepada Tuhan yang diwujudkan simbol perempuan, Aisyah. Akhirnya, tumpuan kesempurnaan hati sampai pada tingkatan baqo (abiding), bukan hanya fana (annihilation). Seperti bait puisi, Aku bertanya-tanya dalam sukr dan sahw tentangmu. Simbol sukr dan sahw adalahsama-sama mabuk, akan tetapi masing-masing memiliki perbedaan. Tingkatan sukr adalah ketiadaan diri dalam mabuk bersama Tuhan yang dicintai, sebaliknya sahw adalah ketiadaan diri yang setingkat lebih tinggi daripada tingkatan sukr. Mabuk sahw tidak sekedar mabuk, mabuk yang dibarengi oleh kedewasaan spiritual (spiritual maturity). Sahw ibarat mabuk memakai minuman sorga (tasnim) dan sukr ibarat mabuk memakai minuman dunia (kafur) 5. Simpulan Abdul Wahab Al-Bayati menggunakan simbol-simbol tasawuf, juga kadang-kadang memasukkan mitologi agama kuno (asatir al-diniyyah alqodimah) di dalam karya puisinya. Simbol tasawuf itu di antaranya, Al-Hallaj, fana dan cinta. Dia berusaha memunculkan kembali pemikiran-pemikiran tasawuf pada masa modern untuk memperkuat pola pikirnya dalam menjawab tantangan luar yang semakin beragam. Al-Bayati menggunakan simbol-simbol tasawuf sebagai media untuk melakukan kritik sosial, dia betul-betul menerapkan kritikan, baik secara pemikiran, lewat simbol penyaliban Al-Hallaj dan secara sikap, lewat pengasingan di negara lain. Dia memperhatikan persoalan kemanusiaan (humanistik) juga di dalam puisinya. Di dalam menyoroti persoalan ini, dia memanfaatkan tokoh-tokoh kemanusian di dalam sajarah dunia, seperti Zappata. Pada akhirnya, sikap humanistiknya bertumpu kepada Tuhan. Dia menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir, dengan begitu karya-karyanya memuat nilai-nilai sufistik. DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahab Al-Bayati, Love, Death and Exile, diterjemahkan oleh Bassam K. Frangieh, Washington D. C.: Georgetown University Press, 1990. Al-Hallaj, Al-Tawasin, diedit oleh Louis Massignon, Paris: Librare Paul Guethner, 1913. Al-Attar, Fariduddin, Para Auliya, diterjemahkan oleh A. J. Arberry, Bandung: Penerbit Pustaka, 1983. Abdul, Salah Sabur, Tragedi Al-Hallaj, diterjemahkan oleh Abdul Hadi W. M., Bandung: Pustaka Pelajar, 1988. Al-Wafa, Abu Al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’i Usmani, Bandung: Penerbit Pustaka, 1985. Abdul, AL-Shaikh Aziz Al-Din Yarwan (editor), Misykat Al-Anwar wa Misfat Al-Anwar li Imam Al-Ghazali, Beirut: Alam Al-Kitab, 1986. A, Michael Sells (editor), Early Islamic Mysticism (The Classic of Western Spirituality) Sufi, Qur’an, Mi,raj, Poetic and Theological Writing, New York: Paulist Press, 1996. Armstrong, Amatullah, Sufi Terminology (Al-Qomus Al-Sufi), Kuala Lumpur: A. S. Noordeen, 1995. Al-Din, Khoir Al-Zarkiliy, Al-Alam Qomus Tarajim li Asyhar Al-Rijal wa Al-Nisa inda Al-Arab wa Al-Mustaghribin wa Al-Mustasyriqin, jilid II, Beirut: Dar Al-Ilmi li Al-Malayin, tanpa tahun. Ghozi, Muhammad Arabiy, Al-Nusus fi Mustalaht Al-Tasawwuf, Dar Qotiyyah, 1975. Hakim, Abdul Hassan, Tasawwuf ri Al-Syi’r Al-Arabiy Nasyatuhu wa Tatawwaruhu wa Makanatuhu hatt Al-Qorn Al-Salis Al-Hijriy, Al- Qohiroh: Maktabah Al-Anjaluy Al-Misriy, 1954. Hadi, Abdul W. M., Tasawuf yang Tertindas Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001. Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama, Jakarta: Penerbit Paramadina, 1996. Hartoko, Dick dan B. Rahmanto, Pemandu di Dunia Sastra, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986. Hasyimi, Ahmad, Jawahirul Balaghoh fi Al-Ma’aniy wa Al-Badi’iy, Indonesia: Maktabah Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyyah, 1960 Joko, Rahmat Pradopo, Beberapa Teori Sastra Metode Kritik dan Penerapannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 195. Kamran, Gilani, Ana Al-Haq Reconsidered, New Delhi: Kitab Bhavan, tanpa tahun Khadra, Salma Jayyusi, Modern Arabic Poetry The Development of its Forms and Themes under The Western Literature, Leiden: EJ Brill, 1977. Moreh, S, Modern Arabic Poetry 1800-1970 The Development of its Forms and Themes under The Influences of Western Literature, Leiden: EJ Brill, 1976. M, M Badawi, A Short History of Modern Arabic Literature, England: Clarendon Press Oxford, Masiggnon, Louis, Al-Hallaj Sang Sufi Syahid, diterjemahkan oleh Dewi Candraningrum, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001. Moshe and Bernard (editor), Mystical Union and Monotheistic Faith An Ecuminical Dialogue, Mc Gin Mac Millan Publishing Company, 1989. Meier, Frirt, The Mystic Path, di dalam An Anthology of Islamic Studies, Canada: Institute of Islamic Studies Mc Gill University, 1996. Nasr, Abu Al-Sarraj Al-Tusi, Al-Luma, disunting oleh Abdul Halim Mahmud dan Toha Abdul Baqi Surur, Mesir: Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1960. Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah mada University Press, 1995. Nurbakhsh, Javad, In Tavern of Ruin, London: Khaniqahi Nimatillah Publication, 1978. , Sufi Symbolism, Vol II, London: Khaniqahi Nimatullah Publication, 1986. Qodir, Abdul Mahmud, Al-Falsafah Al-Sufiyyah fi Al-Islam Masodiruha wa Nadoriyyatuha wa Makanatuha min Al-Din wa Al-Hayat, Dar Fikr Al- Arabiy, tanpa tahun. R, Ismail Al-Faruqi dan Louis Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, Bandung: Penerbit Mizan, 1998. Schimmel, Annamarie, Mystical Dimension of Islam, Chapel Hill: The University of North Carolina Press, 1975. , Jiwaku adalah Wanita Aspek Feminin dalam Spiritual Islam, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, Bandung: Penerbit Mizan, 1998. Shri, Heddy Ahimsa Putra, Strukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra, Yogyakarta: Galang Press, 2001. T, Marietta Stepaniant, Sufi Wisdom, New York: State University of New York Press, 1994. Al-Mu’jam Al-Wasit, Jilid II, Majma Al-Lughoh Al-Arabiyyah The New Encyclopaedia Britanica, Vol 19, Chicago: Encyclopaedia Britania Inc, 1974.
no image

Sejarah Perkembangan Tasawuf

Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan rasulullah saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat nabi. Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh abu Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah. Tulisan ini akan berusaha memberikan paparan tentang zuhud dilihat dari sisi sejarah mulai dari pertumbuhannya sampai dengan peralihannya ke tasawuf. Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi. Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Zuhud disini berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada ditangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya. Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki. Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalam tasawuf. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat,meskipun dengan sistematika yang berbeda – beda. Al-Ghazali menempatkan zuhud dalam sistematika : al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud, al-tawakkul, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla. Al-Tusi menempatkan zuhud dalamsistematika : al-taubah,al-wara’,al-zuhd, al-faqr,al-shabr,al-ridla,al-tawakkul, dan al-ma’rifah. Sedangkan al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan maqam : al-taubah,al-wara’,al-zuhud, al-tawakkul dan al-ridla. Jalan yang harus dilalui seorang sufi tidaklah licin dan dapat ditempuh dengan mudah. Jalan itu sulit,dan untuk pindah dari maqam satu ke maqam yang lain menghendaki usaha yang berat dan waktu yang bukan singkat, kadang – kadang seorang calon sufi harus bertahun – tahun tinggal dalam satu maqam. Benih – benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari –hari ia berkhalwat di gua Hira terutama pada bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berdzikir bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalahkehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteduhan iman, ketaqwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad – abad sesudahnya. Setelah periode sahabat berlalu, muncul pula periode tabiin (sekitar abad ke I dan ke II H). Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah darimasa sebelumnya. Konflik –konflik sosial politik yang bermula dari masa Usman bin Affan berkepanjangan sampai masa – masa sesudahnya.Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok kelompok Bani Umayyah,Syiah, Khawarij, dan Murjiah. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah – khalifah BaniUmayyah secara bebas berbuat kezaliman – kezaliman, terutama terhadap kelompok Syiah, yakni kelompok lawan politiknya yang paling gencar menentangnya.Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein bin Alibin Abi Thalib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti – hentinya itu membuat sekelompok penduduk Kufah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut kelompoknya itu dengan Tawwabun (kaum Tawabin). Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaumTawabin itu dipimpin oleh Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi yang terbunuh di Kufah pada tahun 68 H. Suatu kenyataan sejarah bahwa kelahiran tasawuf bermula dari gerakan zuhud dalam Islam.Istilah tasawuf baru muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250 H.) dengan meletakkan al-sufy di belakang namanya. Pada masa ini para sufi telah ramai membicarakan konsep tasawuf yang sebelumnya tidak dikenal.Jika pada akhir abad II ajaran sufi berupa kezuhudan, maka pada abad ketiga ini orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana fi mahbub), bersatu dalam kecintaan (ittihad fi mahbub), bertemu dengan Tuhan (liqa’) dan menjadi satu dengan Tuhan (‘ain al jama’). Sejak itulah muncul karya –karya tentang tasawuf oleh para sufi pada masa itu seperti al-muhasibi (w. 243 H.), al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H.), dan al-Junaidi (w. 297 H.). Oleh karena itu abad II Hijriyyah dapat dikatakan sebagai abad mula tersusunnya ilmu tasawuf. SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF Menurut sejarah, orang yang pertama kali memakai kata “sufi” adalah Abu Hasyim al Kufi (zahid Irak, w. 150). Sedangkan menurut Abdul Qosim Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Talha bin Muhammad al Qusyairi (tokoh sufi dari Iran 376-465 H), istilah ”tasawuf” telah dikenal sebelum tahun 200 H. Tetapi ajaran pokok yang selanjutnya merupakan inti tasawuf itu baru muncul secara lengkap pada abad ke 3 Hijriyah. Pada abad ke 2 Hijriyah itu itu belum diketahui adanya orang-orang yang disebut sufi; yang terlihat adalah aliran Zuhud (penganutnya disebut zahid). Seperti diketahui dalam sejarah, para zahid besar dalam abad ke 2 H. (seperti al Hasan al Basri, abu Hasyim al Kufi, Sufyan as Sauri, Fudail bin Iyad, Rabi’ah al Adawiyah dan Makruf al Karkhi) dan lebih-lebih lagi mereka yang hidup pada abad2-abad berikutnya (eperti al Bistaami, al Halaj, Junaid al Bagdadi, al Harawi, al Gazali, Ibn Sab’in, Ibni Arabi, abu al Farid, Jalaluddin ar Rumi) telah mengolah atau mengembangkan sikap atau emosi agamadalam hati mereka dengan kesungguhan yang luar biasa. Sebelum munculnya Ar Rabbi’ah al Adawiyah (w.185 H) tujuan tasawuf yang diupayakan oleh para zahid menurut penilaian para ahli, tidak lain dari terciptanya kehidupan yang diridhai oleh Tuhan didunia ini, sehingga di akhirat terlepas dari azab Tuhan (neraka) dan memperoleh surga-Nya. Untuk tiba pada identifikasi akhir tasawuf denga thariqah, yang kita ketahui terjadi pada abad ke 3 H, kita harus meneliti apa yang sebenarnya terjadi dalam tradisi Islam yang mengakibatkan timbulnya tasawuf. Ada sejumlah peristiwa yang berlangsung pada masa itu, yang kesemuanya membuat tasawuf mengemuka : 1) kecenderungan mencampuradukan asketisme dengan jalan itu; 2) semakin mantapnya aliran-aliran yurisprudensi eksetorik; 3) pernyataan-pernyataan kaum syi’ah mengenai para imam; 4) munculnya filsafat Islam; 5) meningkatnya formalism ahli-ahli hokum; dan 6) tuntutan untuk memastikan bahwa pesan integral dari wahyu, sejak saat itu dikaitkan dengan tasawuf. Jika diperhatikan keenam hal tersebut, kelihatan kaitan erat dengan kemunculan tasawuf. Tasawuf yang sering kita temui dalam khazanah dunia islam, dari segi sumber perkembangannya, ternyata muncullah pro dan kontra, baik dikalangan muslim maupun dikalangan non muslim. Mereka yang kontra menganggap bahwa tasawuf islam merupakan sebuah faham yang bersumber dari agama-agama lain. Pandangan ini kebanyakan diwakili oleh para orientalis dan orang-orang yang banyak terpengaruh oleh kalangan orientalis ini. Dengan tidak bermaksud untuk tidak melibatkan diri pada persoalan pro dan kontra itu, dalam tulisan ini, kami akan mempertengahkan paham tasawuf dalam tinjauan yang lebih universal karena tentang asal usul atau ajaran tasawuf, kini semakin banyak orang menelitinya. Kesimpulannya perbedaan paham itu disebabkan pada asal usul tasawuf tersebut. Sebagian beranggapan bahwa tasawuf berasal dari masehi (Kristen), sebagian lagi mengatakan dari unsur Hindu-Budha, Persia, Yunani, Arab, dan sebagainya. Untuk itulah, kami akan menguraikan asal usul tasawuf dalam konteks kebudayaan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah tasawuf yang ada di dunia islam terpengaruhi dengan konteks kebudayaan tersebut atau tidak. 1. Unsur Nasrani (Kristen) Bagi mereka yang berbbanggpan bahwa tasawuf berasal dari unsur Nasrani, mendasarkan argumennya pada dua hal. Pertama, adanya interaksi antara orang Arabdan kaum Nasrani pada masa jahiliyah maupun zaman islam. Kedua adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para asketis atau sufi dalam hal ajaran cara mereka melatih jiwa dan mengasingkan diri dengan kehidupan Al-masih dan ajaran-ajarannya, serta dengan para rahib ketika sembahyang dan berpakaian. 2.Unsur Hindu Budha Tasawuf dan system kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap fakir. Darwis Al-Birawi mencatat adanya persamaan cara ibadah dan mujahadah pada tasawuf dan ajaran hindu. Demikian juga pada paham reinkarnasi, cara pelepasan dari dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah. 3. Unsur Yunani Kebudayaan Yunani seperti Filsafat, telah masuk ke dunia islam pada akhir Daulah Amawiyah dan puncaknya pada masa Daulah Abbasiyah ketika berlangsung zaman penerjemahan filsafat Yunani. 4. Unsur Persia dan Arab Sebenarnya Arab dan Persia memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Namun belum ditemukan argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang Persia itu terkenal sebagai ahli-ahli tasawuf. Barangkali ada persamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut agama manu dan mazdaq; antara istilah hakikat Muhammad dan paham Hormuz dalam agama zarathustra. A. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Tasawuf Dalam Islam Pertumbuhan Tasawuf Jauh sebelum lahirnya agama islam, memang sudah ada ahli Mistik yang menghabiskan masa hidupnya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya; antara lain terdapat pada India Kuno yang beragam Hindu maupun Budha. Orang-orang mistik tersebut dinamakan Gymnosophists oleh penulis barat dan disebut al-hukama’ul uroh oleh penulis Arab. Yang dapay diartikan sebagai orang-orang bijaksana yang berpakaian terbuka. Hal tersebut dimaksudkan, karena ahli-ahli mistik orang-orang India selalu berpakaian dengan menutup separuh badannya. Selanjutnya dapat dikemukakan beberapa nash yang mengandung ajaran tasawuf yaitu: Nash-nash al-qur’an, antara lain QS; Al-Ahzab ayat 41-42 yang artinya: : Hai orang-orang yang beriman berdzikirlah dengan menyebut nama Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya di waktu pagi dan petang”. Nash-nash hadits yang antara lain artinya berbunyi;” Bersabda Rosulullah saw: takutilah firasat orang-orang mu’min, karena ia dapat memandang dengan nur (petunjuk Allah). H.R.Bukhary yang bersumber dari Abi Sa’id Al-Khudriyyi. Kehidupan Rosulullah saw yang menggambarkan kehidupan sebagai sufi yang sangat sederhana, karena beliau menjauhkan dirinya dari kehidupan mewah, yang sebenarnya merupakan amalan zuhud dalam ajaran Tasawuf. Perkembangan Tasawuf a. Pada abad pertama dan kedua Hijriyah 1.Perkembangan tasawuf pada masa sahabat Para sahabat juga mencontohi kehidupan rosulullah yang serba sederhana, dimana hidupnya hanya semata-mata diabdikan kepada tuhannya. Beberapa sahabat yang tergolong sufi di abad pertama, dan berfungsi sebagai maha guru bagi pendatang dari luar kota Madinah, yang tertarik kepada kehidupan shufi, para sahabat-sahabat tersebut antara lain, Khulafaurrasyidin, Salman Al-Farisiy, Abu Dzarr Al-Ghifary, dll. 2.Perkembangan tasawuf pada masa tabi’in Ulama-ulama sufi dari kalangan tabi’in adalah murid dari ulama-ulama sufi dari kalangan shahabat. Kalau berbicara tasawuf dan perkembangannya pada abad pertama, dengan mengemukakan tokoh-tokohnya dari kalangan shahabat, maka pembicaraan perkembangan tasawuf pada abad kedua dengan tokoh-tokohnya pula. Tokoh-tokoh ulama sufi Tabi’in antara lain, Al-Hasan Al-Bashry,Rabi’ah Al-Adawiyah, Sufyaan bin sa’id Ats-Tsaury, Daud Ath-Thaaiy, dll. b.Pada abad ketiga dan keempat hijriyyah. Perkembangan tasawuf pada abad ketiga hijriyyah Pada abad ini perkembangan tasawuf pesat, hal ini ditandai dengan adanya segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran tasawuf yang berkembang pada masa itu, sehingga mereka membaginya ke dalam tiga macam, yakni; Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa, ilmu akhlaq dan Metafisika. Tokoh-tokoh sufi pada masa ini diantaranya; Abu Sulaiman Ad-Daaraany, Ahmad bin Al-Hawaary Ad-Damasqiy, Abul Faidh Dzuun Nun bin Ibrahim Al-Mishry, dll. Perkembangan tasawuf pada abad ke empat hijriyyah Pada abad ini ditamdai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan dengan kemajuannya di abad ketiga hijriyyah, karena usaha maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing. Tokoh-tokoh sufinya antara lain Musa Al-Anshaary, Abu Hamid bin Muhammad, Abu Zaid Al-Adamy, Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahhab, dll. c.Pada abad kelima hijriyyah Disamping adanya pertentangan yang turun temurun antara Ulama sufi dengan ulama Fiqih, maka pada abad kelima ini, keadaan semakin rawan ketika berkembangnya mahzab Syi’ah ismaa’iliyah; yaitu suatu mahzab yang hendak mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keturunan Ali bin Abi Thalib. Karena menganggapnya bahwa dunia ini harus diatur oleh imam, karena dialah yang langsung menerima petunjuk dari Rosulullah saw. Menurut mereka ada 12 imam yang berhak mengatur dunia ini yang disebut sebagai imam mahdi, yang akan mmenjelma ke dunia dengan membawa keadilan dan memurnikan agama islam. Kedua belas imam itu adalah: Ali bin Abi Thalib Hasan bin Ali Husein bin Ali Ali bin Husein Muhammad Al-Baakir bin Ali bin Husein Ja’far shadiq bin Muhammad Al Baakir Musa Al-Kazhim bin Ja’far Shadiq Ali Ridhaa bin Kazhim Muhammad Jawwad bin Ali Ridha Ali Al-Haadi bin Jawwaad Hasan Askary bin Al-Haadi Muhammad bin Hasan Al-Mahdi d.Pada abad keenam, ketujuh dan kedelapan Hijriyyah Perkembangan tasawuf pada abad keenam Hijriyyah; para ulama yang sangat berpengaruh pada zaman ini adalah Syihabuddin Abul Futu As-Suhrawardy, Al-Ghaznawy, Perkembangan tasawuf pada abad ketujuh Hijriyyah; ada beberapa ahli tasawuf yang berpengaruh di abad ini diantaranya; Umar Abdul Faridh, Ibnu Sabi’iin, Jalaluddin Ar-Ruumy, dll. e.Pada abad kesembilan, kesepuluh Hijriyyah dan sesudahnya. Dalam beberapa abad ini, betul-betul ajaran tasawuf sangat sunyi di dunia islam, artinya nasibnya lebih buruk lagi dari keadaannya pada abad keenam, ketujuh dan kedelapan Hijriyyah. Factor yang menyebabkan runtuhnya ajaran tasawuf ini antara lain; ahli tasawuf sudah kehilangan kepercayaan di kalangan masyarakat islam. Serta adanya penjajah bangsa eropa yang beragama Nasrani ynag menguasai seluruh negeri islam. B. Perkembangan Tasawuf Di Indonesia Tersebarnya ajaran tasawuf di Indonesia tercatat sejka masuknya agama islam di Negara ini. Ketika pedagang-pedagang muslim mengislamkan orang-orang Indonesia, tidak hanya menggunakan pendekatan bisnis, tetapi juga mengguanakan pendekatan tasawuf. KESIMPULAN · Zuhud adalah fase yang mendahului tasawuf. · Munculnya aliran –aliran zuhud pada abad I dan II H sebagai reaksi terhadap hidup mewah khalifah dan keluarga serta pembesar – pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syiria, Mesir, Mesopotamia dan Persia. Orang melihat perbedaan besar antara hidup sederhana dari Rasul serta para sahabat. · Pada akhir abad ke II Hijriyyah peralihan dari zuhud ke tasawuf sudah mulai tampak. Pada masa ini juga muncul analisis –analisis singkat tentang kesufian. Meskipun demikian,menurut Nicholson,untuk membedakan antara kezuhudan dan kesufian sulit dilakukan karena umumnya para tokoh kerohanian pada masa ini adalah orang – orang zuhud. Oleh sebab itu menurut at-taftazani,mereka lebih layak dinamai zahid daripadasebagai sufi. DAFTAR PUSTAKA 1. Aceh, Abu  Bakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo, Ramadhani,1984. 2. Al-Taftazani, Abu al-Wafa, al-Ghanimi, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islamy, Qahirah, Dar al-Tsaqafah , 1979. 3. Al-Tusi, al-Luma’, Mesir,dar al-Kutub al-Hadisah,1960. 4. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993. 5. Hasan, Abd-Hakim, al-Tasawuf fi Syi’r al-Arabi,Mesir,al-Anjalu al-Misriyyah,1954.
Sabtu, 29 Mei 2010
no image

JUMLAH NABI DAN RASUL

1. Jumlah Nabi dan Rasul-rasul Allah SWT

Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ إِلَى أَنْ قَالَ فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ كَمِ النَّبِيُّونَ؟ قَالَ :« مِائَةُ أَلْفِ نَبِىٍّ وَأَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ أَلْفِ نَبِىٍّ ». قُلْتُ : كَمِ الْمُرْسَلُونَ مِنْهُمْ؟ قَالَ :« ثَلاَثُمِائَةٍ وَثَلاَثَةَ عَشَرَ »(الحاكم ، والبيهقى فى شعب الإيمان) أخرجه الحاكم (2/652 ، رقم 4166) ، والبيهقى فى شعب الإيمان (1/148 ، رقم 131) . وأخرجه أيضًا : البيهقى فى السنن الكبرى (9/4 ، رقم 17489) .

Dari Abu Dzar r.a berkata, aku masuk ke masjid dimana beliau di sana, maka aku bertanya kepada Nabi , 'Berapakah jumlah Nabi semuanya?" Nabi menjawab, "Semuanya ada 124.000 nabi.” ”Dan berapakah jumlah Rasul?” beliau menjawab:” 313 Rasul.” ( HR. Hakim, Al Baihaqi)



Ada juga yang mengatakan 314 (sebagaimana pendapat Syeikh Al Malawi dalam Kifayatul Awwam) atau 315 orang rasul.



Sebagaian Ulama’ berpendapat bahwa Jumlah Rasul itu 314. Dari mana angka 314 tersebut ?

Dari kata (مُحَمَّدْ) yang terdiri dari 3 huruf mim ( م atau مِيْمْ atau م م ي), 1 huruf kha ( ح atau حاَ atau ح ا) dan 1 huruf dal ( د atau دَالْ atau د ا ل) dan huruf arab itu mempunyai nilai numerik yaitu:

م = 40; ي = 10 maka مِيْمْ atau م ي م= 40+10+40 = 90

ح = 8; ا = 1 maka حاَ atau ح ا = 8+1=9

د = 4; ا = 1; ل = 30 maka دَالْ atau د ا ل = 4+1+30 = 35

Maka jumlah numeriknya = ( (90x3) + (9x1) + (35x1) = 270+9+35=314

2. Kitab-kitab suci dan Shuhuf
Menurut Ats-Tsa'labi, semua kitab yang diturunkan kepada para rasul ada empat. Yaitu kitab Taurat, kitab Injil, kitab Zabur dan kitab Al Qur'an. Adapun suhuf-suhuf yang diturunkan kepada mereka, semuanya berjumlah 111 suhuf. Di antaranya, 60 suhuf diturunkan kepada Nabi Syits bin Adam, 30 suhuf kepada Nabi Idris dan 20 suhuf kepada Nabi Ibrahim. Ada yang mengatakan: Adam عليه السلام - 10 shuhuf; Syits عليه السلام - 60 shuhuf; Idris عليه السلام - 30 shuhuf; Ibrahim عليه السلام - 30 shuhuf; Musa عليه السلام - 10 shuhuf

Wahab bin Munabbih berkata, Allah swt menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa عليه السلامdi atas lembaran-lembaran batu zamrud hijau. Kemudian Nabi Musa عليه السلام menulisnya kembali dalam dua puluh empat sifr (bagian kitab). Di setiap sifrnya ada seribu surat (jadi ada 24.000 surat). Sedangkan di setiap suratnya ada seribu ayat. Kitab ini dipegang erat-erat oleh kaum Bani Isra'il sekaligus menjadi pedoman bagi mereka. Setelah beberapagenerasi kemudian sesudah Musa عليه السلام wafat, khususnya di akhir zaman, mereka banyak merubah dan menyelewengkan isi kitab Taurat tersebut. Menurut Ibnu 'Abbas r.a, orang yang junub tidak diperbolehkan memegang kitab-kitab yang diturunkan Allah swt kepada para nabi, yaitu Taurat, Injil, Zabur dan Al Qur'an.

Rasul adalah orang laki-laki pilihan yang Allah berikan wahyu berisi syari’ah dan diperintahkan untuk menyampaikan kepada kaumnya. Sedang nabi adalah orang laki-laki yang Allah berikan wahyu kepadanya berisi syari’ah, tetapi tidak diperintahkan untuk menyampaikan kepada kaumnya.
Rasul dan nabi sama-sama mendapatkan wahyu, tetapi sering kali seorang Nabi diutus Allah kepada kaum yang memang sudah beriman sehingga perannya hanya menjalankan syari’ah yang sudah ada itu dan tidak membawa ajaran yang baru. Seperti para Nabi yang pernah Allah utus kepada Bani Israil setelah ditinggalkan Nabi Musa, mereka bertugas mengajarkan dan mengamalkan Taurat, tidak membawa ajaran yang baru/bukandari Taurat. (QS. 2: 246).
Di sinilah rahasia sabda Nabi : al ulama waratsatul Anbiya, bukan waratsaturrasul, karena peran ulama hanya terbatas pada menyampaikan ajaran agama yang ada bukan membuat aturan baru.

Jumlah Nabi dan Rasul
Ketika Rasulullah ditanya oleh Abu Dzar, tentang berapa jumlah para nabi dan rasul itu? Nabi menjawab 120 (seratus dua puluh) ribu, dari mereka itu terdapat 313 (tiga ratus tiga belas) rasul. Dari jumlah itu, yang tersebut namanya dalam Al Qur’an terdapt 25 orang, yaitu : 1.Adam, 2. Nuh, 3. Idris, 4. Shalih, 5. Ibrahim, 6. Hud, 7. Luth, 8. Yunus, 9. Ismail, 10. Ishaq, 11. Ya,qub, 12. Yusuf, 13. Ayyub, 14. Syu’aib, 15. Musa, 16.Harun, 17. Yasa’, 18. Dzulkifli, 19. Dawud, 20. Zakariyyah, 21. Sualaiman, 22. Ilyas, 23. Yahya, 24. Isa dan 25. Muhammad SAW.
18 orang nabi disebutkan namanya dalam surah Al An’am/6: 83-86, kemudian yang lainnya disebutkan di ayat-ayat lain seperti QS. Ali Imran/3: 33, Al A’raf, 65, 73, 85, Huud/11:50, 61, 84, Al Anbiya/21: 85.
Syubuhat yang muncul dalam masalah Nubuwwah dan Risalah.
Mengapa nabi dan rasul itu tidak dari bangsa malaikat saja ?
Para nabi dan rasul diambil dari bangsa manusia itu sendiri, ( QS. 3:144) bukan dari jenis makhluk lain, meskipun pernah ada permintaan dari kaum kafir agar nabinya dari bangsa malaikat. Hal ini sangat tidak mungkin, karena akan bertentangan dengan fungsi dan tugas rasul yang menjadi teladan. Bisa jadi ketika nabi yang dari malaikat itu menyerukan sesuatu umatnya mudah saja menolak dengan mengatakan :”Wajar saja ia bisa berbuat begitu, karena memang dia malaikat, sementara kita manusia biasa, bagaimana bisa seperti dia…..dst”
Mengapa nabi dan rasul itu selalu dari laki-laki, tidak ada yang wanita.
Begitu juga tidak ada nabi atau rasul dari kaum wanita. Kenabian adalah mutlak pilihan Allah, tidak ada intervensi siapapun dalam penunjukannya (QS. 21:7), disamping itu tugas-tugas kenabian yang harus dilakukan memang banyak yang bertentangan dengan fitrah kewanitaan, seperti menerima wahyu, berbaur dengan umat, berjihad, keluar rumah, dsb.
Bagaimana jadinya jika nabi itu wanita yang sedang berhalangan lalu mendesak turun wahyu.. Dan sepanjang sejarah manusia memang belum pernah ada nabi wanita.
SIFAT RASUL
1. Basyariyyaturrasul
Para nabi adalah manusia biasa yang juga membutuhkan hal-hal yang bersifat umum, seperti makan, minum, menikah, berketurunan dan sifat kemanusian/basyariyyah lainnya. (QS. 25: 20, 13:38, 5:75)
Para Nabi tidak memiliki kekuasaan sedikitpun yang menjadi kekhususan Allah, seperti mengetahui hal-hal ghaib, menguasai alam, mendatangkan keuntungan atau kerugian, memberkahi, dsb, kecuali yang telah Allah berikan kepadanya. QS. 7:188, Jin: 26-27
2. Ishmaturrasul
Para rasul adalah orang yang ma’shum, terlindung dari dosa dan salah dalam kemampuan pemahaman agama, ketaatan, dan menyampaikan wahyu Allah, mereka telah dibekali Allah kesempurnaan dalam hal amanah, shidq/ kejujuran, fathonah/ kecerdasan, dan tabligh/ penyampaian, sehingga selalu siaga dalam menghadapi tantangan dan tugas apapun.
3. Iltizamurrasul
Para rasul adalah orang-orang yang selalu komitmen dengan apapun yang mereka ajarkan. Mereka bekerja dan berda’wah sesuai dengan arahan dan perintah Allah, meskipun untuk menjalankan perintah Allah itu harus berhadapan dengan tantangan-tantangan yang berat baik dari dalam diri pribadinya, maupun dari para musuhnya. Dalam hal ini para rasul tidak pernah sejengkal-pun menghindar atau mundur dari perintah Allah.
4. Mukjizat Rasul.
Para rasul juga dibekali mukjizat dan tanda-tanda keistimewaan lainnya, untuk membuktikan kebenaran kerasulannya, bahwa mereka datang dari Allah SWT. Seperti yang pernah Allah berikan kepada Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad SAW.
5. Rasul Ulul-Azmi.
Dari 25 orang rasul itu terdapat lima orang rasul yang dikenal dengan Ulul- Azmi minarrusul, yaitu : Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad SAW. Mereka itu Allah sebutkan dalam firman Allah: “Dan Ingatlah ketika kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu sendiri, dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh” QS. Al Ahzab/33:7
Lima rasul ulul-azmi inilah yang harus selalu kita kenang dan kita hayati perjalanan hidupnya, tanpa melupakan atau mengecilkan peran dan keteladanan rasul-rasul lainnya.
Nabi Nuh, as. Kegigihannya dalam berda’wah siang dan malam, tanpa mengharapkan jasa dan imbalan dari kaumnya. Keberadaan istri dan anak yang menjadi pengahalang da’wahnya serta ia tidak pernah terpengaruh oleh tantangan dan ejekan itu.
“Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu, sebagaimana kamu sekalian mengejek kami” QS. Hud/11: 38
Nabi Ibrahim, as. Kepatuhannya dalam menjalankan perintah Allah, mulai dari pernyataannya memisahkan diri dari kepercayaan kaumnya termasuk ayahnya sendiri, caranya berdialog menunjukkan kebatilan patung/berhala kepada kaumnya, keberaniannya menghancurkan patung-patung sesembahan Namrud dan kaumnya, hingga murka dan pembakaran Ibrahim oleh kaumnya (QS.21: 51-69).
Maka wajar orang yang sedemikian hanifnya, dan tinggi semangat da’wahnya, Allah tidak relakan terbakar oleh api Namrud. Demikian juga kepindahannya ke Makkah, tanah tandus yang tidak berumput (QS. 14:37), kesiapan istri dan keluarga ketika harus ditinggal sendiri, Ibrahim pergi memenuhi perintah Allah. Kesungguhannya untuk berkorban, kebesaran jiwa istri, dan kepatuhan anak untuk dikorbankan, hanya karena memenuhi perintah Allah.
Nabi Musa, as. Kisah terbanyak dalam Al Qur’an adalah kisah Musa dan Fir’aun. Sejak kecilnya sudah dihadapkan dengan bahaya. Kerelaan ibunya menghanyutkan bayi Musa di sungai Nil, adalah sebuah pengorbanan yang tak terhingga.
Pembelaannya pada Bani Israil yang tertindas, membuatnya keluar dari istana Fir’aun, menuju ke Madyan, menjadi penggembala kambing Nabi Syu’aib selama sepuluh tahun. Lalu diperintahkan Allah kembali menemui Fir’aun mengajaknya beriman kepada Allah,QS. Al Qashash/28:2-40, Musa mulai berhadapan dengan tantangan besar, ditentang dan dimusuhi Fir’aun. Musa berhasil membawa sebagian Bani Israil setelah mengalahkan tukang-tukang sihir Fir’aun. Musa di uji kesabarannya membawa Bani Israil, keluar dari Mesir menuju ke Baitul Maqdis dan pendurhakaan Bani Israil pada Musa, (QS.5:20-25).
Nabi Isa, as. Kelahiran tanpa ayah (19:16-22), tuduhan keluarga Maryam atas diri Maryam, (19:27-28). Mukjizat Isa yang bisa berbicara saat di buaian, menyembuhkan orang sakit, dan menghidupkan orang mati, atas izin Allah (3:49) tidak membuatnya keluar dari statusnya sebagai hamba Allah (4:172).
Tantangan dari kaum Yahudi, yang berusaha membunuhnya (4:157-158). Pengkultusan yang dilakukan oleh kaum Nasrani, karena Isa dianggap memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti menyembuhkan orang sakit, menghidupkan orang mati, dan membuat burung dari tanah (3:49, 4:1710, 5:72-73, 116-120) membuatnya berdoa “ Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesngguhnya Engkau yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana ”.
Nabi Muhammad, SAW. Kesabarannya yang tak terhingga dalam mengajak kaumnya bertauhid kepda Allah. Tantangan dari kaumnya dan bahkan pamannya sendiri, hingga ia harus terusir dari kampung halamannya. Ke Thaif, dilempari batu, dituduh orang gila, tapi yang keluar dari mulutnya, hanya permohonan kepada Allah agar menunjuki mereka. Dst.
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net