• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Rabu, 07 Maret 2012
no image

PERANAN GURU TARIKAT

Peranan Guru Mursyid Dalam Thariqat Islam Thariqat Naqsabandiyah Bagaimanakah jalannya sehingga dikatakan Guru Mursyid itu pedoman kita di alam zikir atau di alam kerohanian? untuk mendapatkan penjelasan dan fahamnya, marilah kita lihat keterangannya di dalam Al Qur’an. Kita kembali kepada firman Allah yang diterangkannya dalam Al-Hijr 26, tatkala Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama di muka bumi ini dengan firman-Nya: “Wa laqad khalaqnal insaana min shal-shaalim-minhamain-masnuun” Artinya: “Dan sesungguhnya kami (Allah) telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat yang kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk” (QS: AI-Hijr 26) “Wa jaan-na khalaqnaahu min qalbu min naaris-samuum” Artinya: “Dan kami (Allah) telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas” (QS: Al-Hijr 27) dan lagi Allah berfirman: “Wa idz qaala rabbuka lil malaaikati innii khaaliqum basyaram min shalshaalim minhama-im-masnuun” Artinya: “Dan ingatlah ketika Allah berfirman kepada para malaikat: sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat yang kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk” (QS: Al-Hijr 28) “Fa-idzaa saw-waituhuu wa nafakhtu fii hi mir-ruuhii faqa‘uu laahuu saajidiin” Artinya: “Maka apabila telah Aku sempumakan kejadiannya dan telah meniupkan ruh-Ku maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (QS: AI-Hijr 29). “ Fasajadal malaaikatu kulluhum ajma‘uun” Artinya: “Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya, bersama-sama” (QS: Al-Hijr 30). “Illaa Ibliis, abaa ay-yakuuna ma‘as sajidiin” Artinya: “Kecuali lblis, ia enggan ikut bersama-sama (malaikat) yang sujud itu” (QS: Al-Hijr 31). “Qaala yaa Ibliisu maalaka allaa ta kuuna ma‘as saajidiin” Artinya: “Hai iblis, apa sebabnya kamu tidak ikut sujud bersama-sama mereka yang sujud itu” (QS: Al-Hijr 32). “Qaala lam akulli asjuda libasyarin khalaqtahuu minshal-shaalimmin hamain masnuun“ Artinya: “Berkata iblis: aku sekali-kali tidak akan bersujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakan dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk” (QS: Al-Hijr 33) “Qaala fakhruj minhaa fa inaaka rajiim” Artinya: “Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk” (QS: Al-Hijr 34). “Wa inna ilaikal-la‘nata ilaa yaumiddiin” Artinya: “Dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat” (QS: AI-Hjjr 35). “Qaala rab-bi fa anzhiimii ilaa yaumiyub ‘atsuun” Artinya: ”Berkata iblis; Ya Tuhanku (kalau begitu) maka beri tangguhlah padaku sampai hari (manusia) dibangkitkan” (QS: Al-Hijr 36). “Qaala fa innaka minal munzhariin” Artinya: “Kalau begitu maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang di beri tangguh” (QS: AI-Hijr 37). “Ilaaa yaumil waqtil ma‘luun” Artinya: “Sampai hari (suatu) waktu yang ditentukan“ (QS: Al-Hijr 38) “Qaala rabbi bimaa agh waitanii la-uzay-yinan-na lahum fil ardhi wa la-ugh-wiyan-nahum ajma‘iin” Artinya: “lblis berkata: Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi dan pasti akan aku menyesatkan mereka semuanya” (QS: Al-Hijr 39). “Ilaa ibaadaka minhumul mukhlasiin” Artinya: “Kecuali Hamba-hamba Engkau yang mukhlis diantara mereka“ (QS: Al-Hijr 40). “Qalaa haadzaa shiraatum ‘alay-yamustaqiim” Artinya: “lni adalah jalan-Ku yang lurus, kewajiban Aku-lah (menjaganya)“ (QS: Al-Hijr 41) “Inna ‘ibaadii laisaa laka ‘alaihim sulthaanun illaamanit-tab‘aka minal ghaawiin” Artinya: “Sesungguhnya Hamba-hamba-Ku (Nur Muhammad) tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka” (QS: AI-Hijr 42) Sebenarnya apa sebabnya Iblis mengingkari perintah Allah, tidak mau bersujud kepada Adam untuk menghormatinya? jawabnya: tidak lain karena ia merasa lebih mulia dari Adam, karena ia Iblis diciptakan Allah dari api yang sangat panas, sedangkan Adam hanya dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Malaikat bersujud kepada Adam, bukan saja untuk mentaati perintah Tuhannya, tetapi yang terpenting yang dilihatnya adalah karena adanya ruh (ciptaan) Allah yang terjadi dari ruh-Nya itu yang bersemayam dalam lembaga Adam ini. Inilah pada hakikinya yang disujuti para malaikat yang bersujud. Sedangkan Iblis terdinding pandangannya dari melihat ruh (ciptaan) Allah ini, yang tercipta dari Nur Illahi sendiri, yang disebut Nur Muhammad. Tidak tembus penglihatan iblis kearah ini, adalah disebabkan rangsangan ketakaburan, yang melihat dari lahimya saja, yaitu kejadiannya dari cahaya api, sedangkan Adam dari tanah liat, lumpur hitam yang diberi bentuk. Penglihatan lahimya inilah mendinding yang tersembunyi dalam lembaga Adam itu!. Nur Muhammad inilah pada hakikatnya yang disebut Hamba Allah atau Nur Muhammad yang dikekalkan. Karena Nur Muhammad inilah yang akan mengemban amanah Allah yaitu membawa RisalahNya yaitu menegakkan agamanya, mengajari, membimbing/menuntun umat manusia kembali kejalan Allah atau thariqimmusthaqiim, jalannya yang lurus!. Dan sebarang tentu tiada mungkin Nur Muhammad yang terjadi dari Nur Illahi ini berjalan kian-kemari dengan tidak punya Wadah atau jasad. Maka sebab itulah diciptakan Allah lembaga Adam untuk wadahnya yang pertama (sebagai yang diterangkan tersebut diatas). Oleh sebab itulah Nabi Adam As sebagai Khalifah Allah yang pertama dimuka bumi ini, yang kelanjutannya akan diteruskan oleh orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan (orang-orang yang beriman, beramal shalih) (QS: An Nur 55), yaitu para Nabi-Nabi Allah, sahabat-sahabat Nabi, tabi’in, Aulia-aulia/Wali-wali Allah, Ulama-ulama terdahulu dan hingga Ulama-ulama yang sekarang ini sebagai pewaris penerusnya.Dengan adanya pewaris penerusnya atau Al Ulama Warshatul Ambiya yang terus bersambung sampai akhir zaman, maka tidak perlu lagi menambah Nabi sesudah Nabi Muhammad Saw. Sudah barang tentulah Nabi-nabi dan Rasul-rasul itu haruslah berwujud manusia juga (mempunyai bentuk Adam, seperti manusia biasa saja, yaitu kawin, punya anak-istri, punya tempat tinggal, punya harta), tetapi diri bathinnya sudah terisi dari fi’il sifat zat Allah yang disebut Nur Muhammad yang terjadi dari Nur Illahi, sebagai Ruh yang dikekalkan dan ditiupkan Allah dalam lembaga Adam As. Berfirman Allah SWT: Bersabda Nabi Saw: Yang artinya: “Sesungguhnya Allah telah menjadikan sebelum segala sesuatu akan Nur Nabimu Muhammad Saw, dari pada Nur-Nya” (Fawaidul-makiyah halaman 154). Lalu dengan terciptanya Nur Muhammad itu, dibentuklah rohani yang berwujud manusia sebagai wadahnya atau tempatnya dan disitu pulalah rupanya atau pangkalnya kemenangan manusia itu, sebagai makhluk yang termulia disisi Allah, yaitu kemampuannya tentang mengemban amanah Allah untuk tugas-tugas agamanya, yang semula ditawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan merasa khawatir akan menghianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh (QS: Al Ahzab 72). Dan selagi Nur Muhammad itu tetap sebagai awal ia diciptakan Allah dan tetap memegang amanat yang dipertaruhkan Allah, yaitu menegakkan dan meninggikan agamanya, yaitu mengajari mengembalikan aqidah umat, membimbing dan menuntunnya kepada tujuan islam yang dianutnya dan bathinnya juga tetap berlandaskan zikirullah yang berkekalan kepada Allah penciptanya (karena untuk itulah dia dijadikan), maka tetap pulalah ia suci bersih khalis mukhlisin dan barang siapa berpegang kepadanya, yang mengikutinya, menitilah rakhmat Allah, sebab tangan Allah diatas tangan Hamba-Nya (QS: Al Fath 10). Syahadatain adalah dasar pokok dari agama Islam. Tidak sempuma syahadat tauhid yang tidak disertai dengan syahadat rasul. Karena tidak mengenal kita akan Allah, kalau tidak melalui rasul-Nya, baik secara syariat maupun hakikatnya. Marilah kita lihat keteranganya dalam satu hadist qudsy sebagai berikut: Berfirman Allah, bersabda Rasulullah Saw: “Lamma taro fa Adamul khatii’ata qola: Ya Rabbi as’aluka bihaqqi Muhammadin illaa maa ghofarta lii, faqolallohu ta‘alaYa Adamu kaifa ‘arafta Muhammadan walam akhlughu qola Ya Rabbi innaka lammaa kholaqtanii rofa’tu roksi faro-atu ‘alaa qowaai mil ‘arsyi maktuuban: Laa ilaha illallahu Muhammadan rasululloh, tu‘alimtu innakalam tudhif ilaa asmaaika ilaa ahabbal kholqi ilaika ilayya faidzaa saaltanii bihaq faqod ghofartulaka“ Yang artinya: “Pada ketika telah membuat kesalahan Nabi Adam As, ia bertaubat dan berkata: “Ya Allah saya mohon kepada Mu dengan Haq Muhammad supaya engkau ampuni saya”, maka Allah menjawab: “Hai Adam, bagaimana mengetahui Muhammad sedang ia belum ada?”menjawab Adam: “Wahai Allah, setelah Engkau jadikan saya mengangkat kepala melihat tiang Arasy, dimana tertulis kalimah Laailaha illallah, Muhammadan rasulullah; maka tahulah saya, bahwa Engkau tidak akan menyertakan namaMu , kecuali dengan nama orang yang Engkau kasihi“. Maka menjawab Allah, “engkau benar wahai Adam, ia adalah seorang yang paling saya kasihi. Kalau engkau memohon kepada saya dengan Haknya, engkau akan Aku ampuni. Kalau tidaklah karena dia, engkau tidak akan Aku jadikan“ (H.R.Imam Baihaqi dalam kitab Balailu Nubuah. Imam Hakim dan Imam Tabrani). Apa sabda Nabi Saw, tanda-tanda dari seorang yang dicintai Allah? Bersabda Nabi Saw dalam suatu hadist qudsi: Berdo‘a Nabi Musa As: “Ya Rabbi, aku ingin mengetahui yang manakah Hamba yang Engkau kasihi untuk aku cintai padanya ?” Menjawab Allah dengan firman-Nya: “Jika engkau lihat HambaKu banyak berzikir mengingat Aku, maka Akulah yang mengizinkannya berzikir dan Aku kasih padanya, sebaliknya bila engkau melihat orang yang tidak berzikir, maka Akulah yang menghijabnya (mendindingnya) dan Aku benci padanya“ (RR.Bukhari). Guru Mursyid adalah ahli zikir dan dengan kaitan Hadist Qudsi tersebut diatas adalah kekasih Allah. Dan orang-orang yang tidak berzikir kepada Allah termasuk dalam orang-orang yang dibenci Allah. Dan maksud bahwa Allah tidak akan menyertakan nama-Nya kecuali dengan nama orang yang dikasihi-Nya, pemahamannya adalah dimana Hamba berada, disana Allah menyertainya. Engkau hadirkan Mursyid dalam Latifatul Qolbumu, pasti Allah ada besertamu !. Sebenamya pandangan Adam As pada hakikatnya bukanlah berupa tulisan, tetapi yang dilihat olehnya adalah tanda atau makna dari Nur alan Nur, yaitu Nur Illahi dengan Nur Muhammad (cahaya berlapis wcahaya) yang pemahamannya diajarkan Allah kepada Adam dengan pemahaman ilmu laduniyah, maka untuk pengertian yang lebih mudah difahami diterangkan Nabi Saw-lah, seperti bunyi hadist tersebut diatas. Berfirman Allah SWT: “Wa maa arsalnaa mir-rasuulin illaa liyuthaa‘a biidznil-laah wa lau an-na-hum idz-zhalamuu anfusahum jaa-uuka fas tagharul-laaha was taghfara lau mur-rasuulu lawajadul laaha taw-waa-bar rahiima” Artinya: “ Tidaklah kami (Allah) utus rasul itu kecuali untuk ditaati dengan izin Allah. Kalau mereka setelah menganiaya dirinya sendiri, lalu datang kepadamu sambil memohon ampun kepada Allah. Sedang Rasul pun ikut pula memohon ampun, tentu mereka mendapati. Allah Maha Penerima taubat dan penyayang” (QS: An Nissa’ 64). Dengan keterangan hadist Nabi Saw dan firman Allah tersebut diatas bahwa berwasilah itu memang dibenarkan. Dan maksud wasilah itu bukanlah perantara tetapi adalah berkat seseorang yang memang dikasihi Allah. Kalau pada Rasulullah Saw sudah pada tempatnyalah kita berwasilah, namun kepada Guru Waliy-yam-mursyda yang mengajar, menuntun dan membimbing kita di alam zikirullah wajib kita berberwasilah dengannya. Sebab alam zikirullah itu adalah perjalanan gaib, yang sudah pasti akan sesat kalau tanpa penuntun dan pembimbingnya. Oleh karena itu bersabda Nabi Saw: “Man waqqara ‘aliman faqad waqqara Rabbahu” yang artinya: “Barang siapa yang menghormati ‘Alim Ulama adalah ia menghormati (mengagungkan akan Allah). Dengan kata lain: “Barang siapa berhubungan dengan ‘Alim Ulama, pada hakikatnya adalah ia berhubungan dengan Allah”. (H.R. Abul Hassan AI Mawardi). Apa sebab? jawabnya: Sebab pada lahimya ‘Alim Ulama-lah yang mengajar memperkenalkan kita kepada syariat Agamanya dan pada Bathinnya Rohanianya jugalah (Nur Muhammad) yang menjadi Imam kita di alam zikirullah sebagai Guru yang Mursyid, sebagai hambaKu kata Allah, yang tidak kuasa Iblis mengicuh, menipu dan menyamamya. Sebab ini adalah jalanKu yang lurus (thariqat), kewajibanKu-Iah menjaganya!. Demikianlah firman Allah dalam Qur’an AI Hajir 41-42 tersebut diatas. Yang terpenting disini melihatlah kita rahasia yang terkandung dalam Guru Mursyid itu, yaitu bahwa Nur Muhammad yang terjadi dari pada Nur Ilahi itu tidak mungkin bisa tembus disamari/ diserupai oleh Iblis yang hanya terjadi dari cahaya api yang panas itu. Karena apa?, karena Nur Muhammad adalah dari RuhKu kata Allah, sedangkan cahaya api adalah buatanKu. Nur Muhammad adalah yang dikekalkan Allah, sedangkan cahaya api adalah Iblis (tidak dikekalkan). Dapatlah kita fahami dan rasakan sudah, kalaulah Allah tersembunyi, Adam terjadi, Muhammad mewadahi Guru Waliy-yam-mursyid mewarisi. Faham clan mcngertikah apa arti mewarisi? Jawabnya: “ Kalau si A mewariskan tongkatnya kepada si B, pasti tongkatnya yang itu-itu juga. Kalau disaat berzikir engkau mengikuti Imam-mu, yang tata caranya menghadirkan Guru Mursyid dalam latifatul-qalbumu, adalah engkau menghadirkan lmam-mu Nur Muhammad, sebab Nur Muhammad itupun dibangsakan dengan wadahnya atau jasmaninya, yang ujungnya tak ubahnya engkau menghadirkan Nur Illahi. Barulah dapat kita fahami makna dari firman Allah diujung surat Al Hadid 4 juz 27 yang bunyi Firman-Nya: “Wa huwa ma ‘akum aina maa kuntum” Artinya: “Dia (Allah) bersamamu dimana saja kamu berada” (QS: Al Hadid 4). Maka sebab itulah Syekh lbrahim Ad Dasuqi An Naqsabandiy dengan tegas mengatakan: “Bahwa wajib hukumnya dalam thariqat Naqsabandiyah memegang/berimam kepada seorang Guru Mursyid yang bersilsilah yang pangkalnya sampai kepada diri Nabi Muhammad Saw, meski ia seorang Alim besar sekalipun. Seseorang yang tidak berimam dengan seorang Guru yang Mursyid dalam mengamalkan kerohanian thariqat Islam, Thariqat Naqsabandiyah, maka tampilah segala lintasan hati dan fikiran, menyerang dihembus-hembuskan syaitan, dan yang paling celaka masuklah Iblis menuntunnya menjadi Imamnya dalam berzikir itu karena tidak ada lagi tempat takutnya dan tidak disadari Iblis langsung menguasai Ruhnya dan mengimaminya, kemudian menyesatkan dan menjerumuskannya. Yang akibatnya selama hayatnya dikandung badannya yaitu selama umumya, yang bersangkutan tidak lepas dalam umbang-ambingan syaitan, dinina-bobokannya, dititinya kebaikkan-kebaikkan dan kebajikan-kebajikan si hamba, tetapi diujungnya dibawanya hanyut dan akhir hayatnya tidak disadari tersungkurlah si hamba dipangkuannya dengan hasil yang dikehendaki syaitan, yaitu kesudahan yang tidak baik atau SuulKhatimah. Sesuai dengan ikrar Iblis diujung surat Al Hijr 39, yang berbunyi: “Wala-ugh-wiyan-nahum ajma ‘in “ Artinya: “Dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya”. (QS: Al Hijr 39). “Ilaa ibaadaka minhumul mukhlaasiin” Artinya: “Kecuali Hamba-hamba Engkau yang mukhlis diantara mereka” (QS: Al Hijr 40). Oleh karena itu lebih dahulu sudah dijelaskan Allah seperti bunyi firman-Nya dalam surat Al Khafi tersebut diatas yang kita ulangi seperti berikut: “Dzaalika min aayaatil laah, may yahdil laahu fahual muhtad; wa may yudhil falan tajida laahu waliy yam mursyidaa” Artinya: “Itulah salah satu tanda-tanda kekuasaan Allah. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, dialah yang beruntung, maka siapa yang Allah membiarkannya sesat, maka tidak seorang Waliy-yam-mursyid pun yang dapat memberikannya pertolongan”(QS: Al Khafi 17) Dengan pengertian bagi siapa yang tidak mendapat Guru Waliy yam mursyid sebagai penuntun dan pembimbingnya di alam zikir atau di alam kerohanian, pasti ia akan sesat dari arah tujuan. Oleh karena itu berpegang tegulah kamu pada tali Allah!, yang disebut tali Allah itu ialah pembawa risalahnya, pembawa agamanya. Utusannya kepada Ummat. Itulah dia Nabi Muhammad Saw. Tetapi sekarang ini beliau Nabi Saw tidak ada lagi ditengah-tengah kita, yang ada adalah Khalifah-khalifahnya, yaitu penerus dari usahanya itu; karena beliau bersabda: “Man ahabbanii fal-yastanni bi-sunnatii” (Siapa yang mencintai aku, maka hendaklah ia berjalan menurut perjalananku (Sunnahku)). ‘alaikum bi-sunnatii wa sunnatil-khulafaa-ir-rasyidinaa min ba’dii, adl-dluu-‘alaihaa bin nawaajidzi” Dan hendaklah kamu menurut sunnahku dan sunnah Khalifah-khalifahku yang lurus sesudahku. Gigitlah sunnahku itu dengan gigimu! (maksudnya pegang tegulah sunnahku itu!). Dan siapakah Khalifah-khalifah beliau yang lurus itu? Jawabnya: Ulama-ulama Warshatul Ambiya, yang mengajarkan sunnahnya itu pada orang lain atau masyarakat umum, muslimin dan muslimat selain dari Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali dan lain-lain tentunya. Di dalam Thariqat Naqsabandiyah, maka seorang Ulama itu harus ada memegang ijazah yang di dalamnya kelihatan dari mana ia berguru, dari guru ke guru, hingga sampai kepada Guru dari segala Guru, yakni diri Nabi Muhammad Saw. lnilah disebut dalam Thariqat Islam Naqsabandiyah Khalifah-khalifahku yang lurus disebut tali Allah. Dengan adanya Guru Mursyid sebagai Imam untuk dipegang atau dihadirkan, dia akan tetap menjadi tameng dan benteng, pembimbing dan penuntun, sekaligus penolak, pemusnah segala yang bathil dan penggabung dan penegak segala yang hak. Sebagaimana yang diterangkan bahwa thariqat (thariq) adalah jalan, maksudnya jalan rohani. Dan setiap perjalanan walau berjalan kaki atau berjalan dengan motor, sudah sebarang tentu banyak yang dilihat di kiri-kanan jalan atau bertemu dihadapan kita. Begitu juga tatkala kita berjalan rohani dengan berzikir khafi sebagai kenderaannya, kemungkinan juga kita akan banyak melihat di kiri-kanan kita dan berjumpa menjelma dihadapan kita, yang kesemuanya tidak pemah kita melihatnya di alam nyata. Maka sebagai alat uji cobanya setiap apa yang kita lihat atau yang bertemu dihadapan kita yang haq atau yang bathil, yang benar atau yang palsu, kita harus uji coba dengan menghadirkan Mursyid dihadapkan kepada apa saja yang terlihat atau yang menjelma dihadapan kita. Kalau Mursyid sudah kita hadapkan kepada setiap yang kita lihat atau yang mendatang kehadapan kita, namun ia tetap hadir dan ada, menandakan yang datang itu adalah yang haq. Dan kalau ia lenyap musnah terbakar, pertanda adalah itu yang bathil, yang didalamnya bersembunyi Iblis laknatullah!. Disinilah kita melihat keampuhan Nur Muhammad yang diwadahi Guru yang Mursyid yang terbit dari Nur Illahi, yang hakikatnya hanya Allah lah pemusnah yang bathil. Sebagai tamsil marilah kita ambil contoh bagaimana itu Mursyid untuk mengambil fahamnya. Kita sama mengetahui bahwa mas tulen dengan mas imitasi adalah sama-sama kuning. Banyak orang bodoh yang tertipu kalau tidak mengetahui ilmunya cara menguji cobanya. Setiap sesuatu itu ada ahlinya. Untuk menguji coba Mas tulen dengan imitasi, pergilah ke tukang mas. Bagaimana cara tukang mas menguji cobanya?, jawabnya: si tukang mas lebih dahulu meng-gosokkan mas tulen tadi ke batu gosok, kemudian dioleskannya sedikit air keras di atas bekas gosokan itu. Kalau kuning bekas gosokkan itu tetap tidak hilang, bagaimanapun juga itu pasti mas tulen. Tetapi kalau bekas kuning gosokkan itu hilang atau lenyap, pertanda itu adalah pasti mas imitasi atau palsu. Ini adalah ilmu pastinya tukang mas sebagai alat uji coba. Dan Guru Mursyid adalah ilmu uji coba di alam Rohani atau di alam gaib. Oleh karena itulah Guru Mursyid itu mempunyai kedudukan yang sangat menentukan dalam thariqat Islam Thariqat Naqsabandiyah. Maka tatkala orang bertanya kepada Nabi Muhammad Saw; “Wahai Rasulullah, terangkanlah kepada kami tanda-tanda yang baik untuk kami ambil menjadi teman yang akan kami pergauli”. Menjawab Nabi Saw: “Yaitu seorang sahabat, kalau engkau berzikir kepada Allah dia menolong engkau dan kalau engkau lupa berzikir diperingatinya akan engkau; kalau engkau memandang kepadanya membawa ingatmu kepada Allah dan jika kamu mendengarkan fatwanya, ilmu kamu tentang akhirat menjadi bertambah-tambah “. Maksudnya, jika engkau berzikir dia menolong engkau, ialah disaat berzikir itu dimana kita menghadirkannya mengenallah kita mana yang bathil dan mana yang haq, yaitu mengenal mana langkah Syaitan dan mana langkah Malaikat dan kalimat kalau kita lupa berzikir diperingatinya; maksudnya, disaat kita bertawajjuh berzikir diarahkan ingat kita itu kembali, tatkala menyimpang kepada yang lain. Kalimat kalau engkau memandang kepadanya, membawa ingatmu kepada Allah; karena disebabkan dengan petunjuk dan tuntunannyalah kita mengenal Allah, sudah sebarang tentu memandang kepadanya itu membawa ingat kita kepada Allah. Dan kalimat bilamana kamu mendengar fatwanya, ilmu kamu tentang akhirat menjadi bertambah-tambah sebab fatwa yang diterangkannya selalu menjurus atau mengarah kepada kebesaran Allah dan kebahagiaan hari akhirat, yang dilandasi dalil keterangan dari Qur’an dan Hadist, disertai pengalaman Rohaniah yang nyata. Maka sebab itu: Hadirkanlah didalam hatimu Nabi Saw dengan pribadinya yang mulia dengan mengucapkan: “Salamun ‘alaika ay-yuhan Nabiyyu warakhmatullahi wabara kaatuh” (“Salam kepadamu wahai Nabi rakhmat sejahterah dan berkah Allah atasmu”) Karena kita tidak hidup dizaman Nabi Saw dan tidak mengenal beliau, hanya mengenal Ulama sebagai pewaris khususnya. Dalam kerohanian ialah Guru Mursyid, maka disinilah Guru Waliy yam mursyid sebagai pewarisnya berfungsi atau berkedudukan untuk dihadirkan. Sesuai dengan firman Allah yang berbunyi: “Washbir nafsaka ma‘al-ladziina yad’uu na rab-bahum bilghadaati wal ‘asyiy-yi yuriiduuna wajhahuu wa laa ta’du ‘ainaaka ‘anhum; turiidu haayatid-dun-yaa; wa laa tuthi ‘man aghfal naa qalbahuu ‘an dzikrinaa wat-taba ‘a hawaahu wa kaana amruhu furuthaa” Artinya: “Tahanlah dirimu dengan sabar bersama-sama orang yang memuja (yang berzikir) kepada Allah pagi dan petang (berkekalan), demi mengharapkan keridhaan-Nya. Janganlah engkau lepaskan dia dari pandanganmu (tetap hadir), disebabkan terpengaruhnya oleh kehidupan mewah dan janganlah engkau turutkan pula orang yang hatinya telah Kami (Allah) lalaikan dari berzikir kepada kami (Allah), orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya”(QS: Al Khafi 28). Bersabda Nabi Saw yang diriwayatkan Abu Hurairah: “Ia berkata, aku telah hafal dari Rasulullah 2 (dua) macam ilmu; pertama ialah ilmu yang dianjurkan aku untuk menyebarluaskan kepada sekalian manusia, yaitu llmu Syariat (yang lahir). Dan yang kedua, ialah ilmu yang seperti “Hai‘atil Maknun”, artinya llmu bagaikan perhiasan yang sangat indah, yang aku tidak diperintahkan untuk menyebar-luaskan kepada manusia. Maka apabila ilmu itu aku sebar-luaskan niscaya engkau semua akan memotong leherku (engkau akan menghalalkan darahku)”(H.R. Tabrani). Mengapa Abu Hurairah mengatakan bahwa ilmu yang kedua itu tidak disebar-luaskannya? jawabnya karena ilmu yang kedua ini adalah ilmu yang bukan makanan panca indra, tetapi adalah ilmu kerohanian atau ilmu bathin yang menyangkut masalah hati nurani yang hanya diketahui oleh orang-orang yang tertentu yang sudah mempelajarinya yang terkenal dengan sebutan Mukasyafah atau ilmu yang menyangkut dengan Ruh. Yang jalannya sekarang ini disebut thariqat, kemudian apa yang terselip dalam thariqat itu, yang disebut hakikat, yang kelanjutannya untuk mendapatkan pengetahuan dan pengenalan yang sempuma, yang tidak khayali, yang disebut ma’rifat atau peng-enalan hati semata-mata, sebagaimana firman Allah yang berbunyi: “Maa kadzabal fu aadu maa ra‘aa” Artinya: “Tidak dusta hati itu tentang apa yang dilihatnya (dirasakannya)” (QS: An Najm 11). Ilmu inilah yang diisyarahkan Nabi Saw dengan sabdanya: “Bahwa kelebihan Abu Bakar Siddiq Ra itu dari kamu semua, bukanlah lantaran banyaknya shaatnya, banyaknya puasanya dan banyaknya ia meriwayatkan hadist, tetapi adalah karena mutiara yang tersimpan rapi didalam dadanya”. Itulah hadist yang diterangkan Abu Hurairah seperti Hai’atil Maknun atau perhiasan yang indah. Sebagai seorang mukmin kita wajib percaya tentang azab kubur dan nikmat kubur, karena termaktub didalam Qur’an dan kepercayaan ini akan meningkat lagi menjadi haqqul yaqin, bilamana Allah memperlihatkan kepada kita dengan mata rohani atau mata hati kita dialam zikir. Berfirman Allah dalam hal ini; “Wa man kaana fii haadzi a’maa fa huwa fil aakhirati a’maa wa adhal-lu sa biilaa” Artinya: “Dan barang siapa yang buta mata hatinya di dunia ini, maka di akhirat pun ia akan buta pula dan lebih sesat lagi jalannya “ (QS: Al Isra’ 72). Jelas kita lihat disini, bukan buta mata kepala, tetapi buta mata hati yang didalam dada!. Pengalaman-pengalaman rohani yang demikian inilah yang tidak dapat dicapai dengan ilmu Fikih, Tauhid dan Tasawuf. Oleh karenanya ilmu syariat yang bathin ini tidak bersifat umum dan tidak pula khusus, tetapi akan diajarkan kepada mereka yang mau, yang dapat petunjuk dari Allah SWT. Inilah pokok dari pada ilmu dari para Nabi-nabi dan Wali-wali Allah, yang dipujikan Saidi Syekh Abdul Kadir Jailani dengan sebutan Garuda-garuda yang kuat sayapnya yang sanggup terbang membubung tinggi untuk mencapainya. Yaitu anak-anak manusia yang kuat yakin dan tebal kemauannya. Demikialah 2 (dua) macam ilmu yang diwariskan Nabi Saw kepada umat Islam ini, yaitu syariat yang lahir dan syariat yang bathin. Dan kedua-duanya ilmu ini bertitik-tolak dengan dasar pokok, suci lahir dan suci bathin, tidak sah shalat kita laksanakan kalau masih ada sedikit najis yang melekat dibadan. Adapun najis ialah setiap benda yang secara muthlak haram mendekatinya. Dan adapun najis bathin tidak dapat dilihat dengan mata kepala karena dia adalah kotoran hati. Dan adapun yang najis bathin yang bersemayam dalam hati manusia banyak sekali, yang antara lain disebut: dengki, khianat, ujub, riya, takabur, bangga, sombong, dendam, cemburu, pantang kerendahan, pantang kelintasan, tinggi sebenang dan lain-lain lagi. Sebagaimana tidak syahnya shalat kalau badan masih bemajis, apalagi kalau masih bersarang najis-najis bathin dalam rohaniah kita, adalah hijab atau dinding tertolaknya ibadah kita atau amal-amal kebajikkan yang kita lakukan, betapa pun alim besamya kita!. Karena Allah menilik hati kita. Kalau najis yang lahir dapat dibersihkan dengan air atau tayamum dengan syarat dan rukunnya yang sudah ditentukan oleh hukum syara’, demikian juga halnya dengan najis bathin dapat dibersihkan dengan zikir dalam latifatul qalbi sesuai dengan syarat rukunnya pula. Kalau najis yang lahir seperti tahi kencing dapat tercium dan terlihat orang disebelah kita, tetapi kalau najis bathin seorangpun tidak dapat mengetahuinya kecuali Allah dengan diri kita sendiri. Manusia melihat lahir kamu, rupa dan badanmu, tetapi Allah tembus hingga sampai hatimu. Sungguh banyak ilmu syariat yang lahir tidak dapat diketahui dan difahami manusia, karena tidak dipelajari juga syariat yang bathin, tidak kurang juga banyaknya yang tidak diketahui dan difahami,adalah juga karena tidak dipelajari. Untuk mempelajari dan mendalami kedua ilmu ini, tidak cukup 20 tahun atau 40 tahun, tetapi menghendaki masa yang panjang dan mungkin menghendaki waktu selama hayat dikandung badan atau mungkin ditambahi Tuhan umur kita ratusan tahun lagi, belum juga habis-habisnya. Oleh karenanya, kita dahulukan mempelajari sekedar yang penting-penting dari syariat yang lahir itu, untuk menopang dan syarat rukun dimana kita mendalami ilmu syariat yang bathin itu. Karena apa? Syariat yang lahir lebih banyak hubungan antara manusia yang kegunaannya terbatas, sedangkan syariat yang bathin menyangkut hubungan khusus kepada Allah dan kegunaanya tidak habis-habisnya sepanjang zaman, yaitu sampai ke alam akhirat yang kekal abadi. Kita mantapkan tentang Istinja tentang thaharah atau berwudhu’, tentang shalat, tentang puasa, tentang zakat, tentang haji, kemudian tentang menjalin hubungan dengan manusia. Sebelum kita mempelajari dan mendalami syariat yang bathin, tidaklah berbeda sebelum kita mempelajari ilmu agama Fikih, Tauhid dan Tasawuf, yang juga memerlukan juga seorang guru, seorang pengajar dan pendidik, seorang pembimbing dan penuntun. Kalau dimasa hayat Nabi Saw, umat dapat belajar langsung kedua-dua ilmu ini kepada Nabi Saw, tetapi dimasa kita dewasa ini, Guru-guru yang mengajarkan tentang ilmu bathin atau kerohanian ini sudah tinggal satu-satu saja, karena kalau ilmu syariat yang lahir adalah jasmani yang dididik, diajari, tetapi syariat yang bathin adalah rohaniah yang dididik, diajari, dan dituntun. Maka sebab itulah Allah mengangkat Nabi Saw sebagai Rasul-Nya sebagai Maha Guru dari Jin dan Manusia, bagaimana melakukan mu’amalah yang dikehendaki-Nya begitu juga dengan cara-cara amal ibadah atau Ubudiyah yang diridhai-Nya. Dan kedua-duanya ini sudah diwariskan kepada para sahabat, kemudian turun kepada tabi’in dari tabi’in turun kepada tabi’it-tabi’in, kemudian turun kepada Ulama yang terdahulu dan selanjutnya turun temurun kepada Ulama-Ulama yang sekarang tidak putus-putusnya selama dunia terkembang. Dan kalaulah silsilah ini tidak ada lagi yang meneruskan, maka Allah SWT akan mengkiamatkan dunia ini. Dan hal ini disabdakan Nabi Saw dengan hadistnya yang diriwayatkan Muslim yang berbunyi: “Laa taquumus saa‘atu hatta laa yabqo‘alaa wajhil ardhi may yaquulu Allah-Allah” (“Tidak akan datang kiamat, kecuali kalau tidak ada lagi yang menyebut Allah-Allah”) atau orang-orang zikirullah“. (H.R.Muslim) Berfirman Allah SWT: “Qul in kuntum tuhib-buunal-laha fat tabi‘uunii yuhbibkumul-laa hu wa yaghfir lakum dzunuubakum, wal laahu ghafuurur rahiim” Artinya: “Katakanlah, jika kamu benar-benar cinta kepada Allah, turutlah aku (Muhammad) pasti Allah mengasihimu dan sekaligus mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS: Ali Imran 31). Dan bersabda pula Nabi Saw dalam satu hadist: “Demi zat yang diriku dalam genggamannya kudrat dan iradat Allah, tidaklah beriman salah seorang kamu, sehingga adalah aku (Nabi Saw) lebih dikasihinya dari pada orang tuanya, anaknya dan manusia lainnya”. Dengan firman Allah dan Sabda Nabi Saw diatas, adalah menyuruh dan mengikuti dan mengasihi. Adapun mengikuti yang dimaksud Allah disini adalah mengikuti amamya, dan sunnah Nabi-Nya lahir dan bathin, semua pekerjaan besamya, yaitu mengarahkan manusia ini kejalan Allah dan meruhah kemungkaran-kemungkaran yang menjadi kegemaran manusia itu kepada kebaikan dan kebajikan, dengan perkataan dan perbuatan, yaitu dengan syariat dan thariqatnya sehingga menjadi kenyataan. Dan kasih akan Nabi Saw diatas segala-galanya, maksudnya tidak lain adalah supaya terarah kasih kita itu kepada Allah, sebagai puncak dimana letaknya segala kasih dan cinta, karena Allah tidak mau diduakan, disekutukan atau disyarikatkan. Lihatlah dan dengarlah betapa tegas difirmankan Allah: “Qul in kaana aabaa-ukum wa abnaaukum wa ikhwaanukum wa azwaajukum wa ‘asyiiratukum wa amwaaluniq taraftumuuhaa wa tijaaratun takhsyauna kasaadahaa wamasaakinu tardhaunahaa ahabba ilaikum-minal-laahi wa rasulihii wa jihaadin fi sabiilihii fatarab bashuu hat-taa ya’tiyal laahuu bi amrih, wal-laahu laa yahdil qaumal faasiqiin” Artinya: “Katakanlah: Jika Bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, pemiagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan RasulNya dan (dari) menegakkan jalan Allah (thariqatullah), maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusannya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik” (QS: At Taubah 24). Dan berfirman lagi Allah dalam Qur’an Surat Saba’ 37,yang berbunyi: “Wa maa amwaalukum wa laa aulaadukum bil latii taqur-ribukum ‘indanaa zulfaa il-laa man aamana wa ‘amila shaalihan fa ulaai ka lahum jazaa udh dhi’fi bimaa ‘amiluu wa hum fil ghurufaati aaminuun”. Artinya: “Sekali-kali bukanlah harta benda dan anak-anakmu yang mendekatkanmu kepada Kami, namun amal-amal dari orang-orang yang beriman dan mengerjakan perbuatan yang baik-baik jua. Mereka itulah yang akan memperoleh balasan berlipat ganda karena amalnya. dan mereka menempati tempat-tempat yang tinggi di Surga dengan aman sejahtera”. (QS: Saba’ 37). Maksud kalimat, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusannya, bukanlah keputusan yang menyenangkan, tetapi adalah keputusan yang menyengsarakan!. Karena Allah-Iah yang mutlak tidak mau di sekutukan!. Dosa mencuri, dosa minum khamar, dosa zinah dan dosa-dosa lainnya, kalau bertaubat masih bisa diampunkan Allah, tetapi dosa menduakan Dia dengan yang lain tidak ada ampunan. Dan mencintai yang lain melebihi diri cintanya kepada Allah, termasuk menduakan Allah. Demikianlah halnya dengan HambaNya Nabi Saw dan juga Guru Mursyid yang mengajarkan khusus dalam kerohanian tidak boleh dan tidak mau diduakan. Dalam kaitan ini terhadap Guru Mursyid yang antara lain berbunyi: “Bahwa seorang murid tidak boleh sekali-kali menentang Guru Mursyidnya harus membesarkan kedudukan Gurunya itu lahir dan bathin. la tidak boleh meremehkan, apalagi mencemoohkan, mengecam Gurunya baik dihadapannya ataupun dibelakangnya. Salah salu yang harus diyakininya, bahwa maksudnya itu akan tercapai kama didikan dan asuhan Gurunya itu. Dan oleh kama itu, jika pandangannya terpengaruh oleh pendapat Guru yang lain, maka yang demikian itu akan menjauhkan dia dari pada Guru Mursyidnya dan tidaklah akan terlimpah atasnya percikan cahaya Nur Nubuah (cahaya kenabian)”. Maka sebab itu dengan terpaterinya kasih kepada Nabi Saw dan mengikut atau menurut segala pekerjaan-pekerjaan, atau amal ibadat yang dilakukannya, yang diwarisi Guru Mursyid; tak ubahnya kalau kita contohkan, adalah bagaikan sepotong besi biasa yang didekatkan kepada besi berani sebagai induk magnet, terjadilah kontak, ikatan atau hubungan yang menyatu, sehingga sepotong besi biasa tadi dapat pula menjadi titian kepada besi seterusnya. Dari besi ke besi biasa dan setiap besi berpegang dengan dia tetap akan mendapat kontak, ikatan atau hubungan dengan besi berani yang pertama sebagai induk magnetnya. Menurut syariat yang bathin yang diajarkan atau Maha suci Allah dari pada dapat seumpama, tetapi tamsilan ini sekedar mendapatkan faham, supaya kita dapat pengertiannya, karena dapat dirasakan. Menurut Syariat yang bathin yang diajarkan atau yang diturunkan Guru-guru Naqsabandiyah, dengan menghadirkan Guru Mursyid dalam berzikir kepada Allah, pengertian, pemahaman dan prakteknya adalah terjadinya kontak, berhubungannya Ruh kita dengan Ruhaniah Guru Mursyid, kemudian dari Ruhaniah Guru Mursyid, berhubung atau kontak pula dengan Ruhaniah Gurunya. Dari Ruhani ke Ruhani Guru hingga sampai hubungan atau kontak itu kepada Ruhaniah Guru dari segala Guru Mursyid, yaitu Ruhaniah Rasulullah Muhammad Saw, kelanjutannya kepada Ruh suci Malaikat Jibril As, yang akhimya kepada sumbemya, yaitu Maha Pencipta Ruh Allah SWT. Ruh atau daya hidup itu, walaupun nampaknya berpisah-pisah keadaannya adalah karena terpisah oleh Jasmaniahnya atau badannya; bagaikan bola-bola lampu listrik yang terpisah-pisah kelihatannya tetapi daya hidupnya, arus atau strumnya adalah satu, yaitu dari induk atau pusatnya (Centralnya). Dan kalaupun wayemya atau kabel sambung-bersambung keadaannya, namun arus atau strumnya adalah satu, yaitu dari sumbemya. Pemahamannya dalam kerohanian, menghadirkan Guru Mursyid yaitu Jasmaniahnya bersambung pulalah kepada Ruhaniahnya dan dari Ruhaniah Guru ke Ruhaniah Guru hingga sampai kepada Ruhaniah yang Khalis-Mukhlisin Rasulullah Muhammad Saw, maka turutlah Ruh yang berpegang itu, berhubungan dan berhampir kepada Maha Pencipta, sebagaimana Rasul Saw berpegang, berhubung dan berhampir dengan Allah Maha Pencipta yang sudah dikenalnya; dengan demikian mengenal pulalah Ruh kita kepada Allah penciptanya. Sehingga terciptalah hubungan yang tahkik atau pengenalan yang tidak khayal lagi, yaitu Awaluddin Ma’rifatullah atau permulaan agama adalah mengenal Allah dan akhir agamapun wajib mengenal Allah!. Demikianlah realisasi atau kenyataan dari sabda Nabi Saw yang berbunyi: “Hendaklah ada engkau beserta dengan Allah dan jika belum dapat engkau beserta Allah, maka hendaklah engkau beserta dengan orang yang ada dianya beserta Allah“ (H.R.Abu Daud Al Thiyalis dengan Sanad Muthasyhil syshih ‘an Ibnu Mas’ud). Untuk mengenal seseorang yang beserta Allah, buat kita sekarang ini menghendaki penelitian dan pendalaman yang panjang, yang sebarang tentu di awali dan didasari dengan keterangan atau hadist Nabi Saw sebagai Imam dari segala Imam yang mencintai Allah dan yang dicintai Allah dan yang beserta denganNya. Dan apa sabda Nabi Saw tanda-tanda dari seorang yang dicintai Allah? Bersabda Nabi Saw dalam satu hadist Qudsy yang diriwayatkan oleh Bukhari, yang artinya sebagai berikut: Berfirman Allah, bersabda Nabi Saw: “Berdo‘a Nabi Musa As: “Ya Rabbi, aku ingin mengetahui yang manakah Hamba yang Engkau cintai untuk aku cintai padanya?“ Menjawab Allah dengan firman-Nya yang berbunyi: “Jika engkau melihat hambaKu yang banyak berzikir mengingat Aku, maka Akulah yang mengizinkannya berzikir dan Aku kasih padanya. Sebaliknya bila engkau melihat orang yang tidak berzikir, maka Akulah yang menghijabnya (mendindingnya) dan Aku benci padanya”. Dan ada 17 sifat keutamaan yang harus dimilikinya yang menjadi perangainya dan menjadi pakaian hidupnya, yaitu: 1.Lelaki yang merdeka 2.Tabliq 3.Taqwa 4.Qana’ah 5.Wara’ 6.Ikhlas 7.Tawadhu’ 8.Sabar 9.Ridha 10.Syukur 11.Zikir 12.Khusyu’ 13.Cinta kepada Allah 14.Tawakal 15.Mengetahui ilmu Agama 16.Mempunyai ijazah yang bersilsilah 17.Mempunyai pendirian yang teguh, yang tidak guyah dan memberi syafaat (pertolongan/bantuan) Semua keterangan-keterangan dari 17 sifat keutamaan tersebut di atas secara luas dan panjang lebar ada kami muatkan dalam buku yang kami susun yang berjudul: *Tuntunan mencari Al Ulama Warshatul Ambiya*, milikilah buku itu dan lihatlah disana! dan untuk mengenal bathin atau mengenalnya dari kerohanian ialah dari cetusan Zikirullah atau pengenalan Ruh atau yang disebut Mukasyafah. Memang dalam pengenalan bathin ini, bukanlah penglihatan dengan mata kepala, tetapi adalah pengenalan mata hati atau mata Ruhani yang berfungsi disini, dan hanya bisa diketahui/diperoleh didalam suluk Lalu kita bertanya adakah penglihatan mata hati? Jawabnya, mari kita dengar firman Allah dalam Surat An Najm 11 Juz 27 yang berbunyi: “Maa kadzabal fu aadu mara‘aa” Artinya: “Tidak berdusta hati itu mengenal segala perkara yang dipandangnya (yang dilihatnya)”. (QS: An Najm 11). Bersabda pula Nabi Saw: “Kalau syetan-syetan itu tidak mempengaruhi hati anak Adam, tentu mereka itu bisa melihat kerajaan langit (alam gaib)” (H.R. Akhmad). Lalu kita bertanya lagi, bagaimanakah membukakan pandangan bathin itu?. Inilah ilmu yang mengenal hati atau Ruh yang diwariskan Nabi Saw kepada sahabat-sahabat yang kelanjutannya diwarisi Ulama-ulama yang kuat yakin. Dan Allah pun tidak melarang untuk menda-lami tentang iImu mengenai Ruh ini, hanya firmanNya: “Wa yas-aluunaka ‘anirruuh, qulir-ruuhu min amri rab-bii wa maa uutitum minal ‘ilmi illaa qaliila” Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang Ruh. Katakanlah, Ruh itu termasuk urusan TuhanKu dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (QS: AI Isra’ 85). Tetapi ketahuilah, bahwa sedikit bagi Allah itu adalah sudah tidak terhingga banyaknya dan luasnya bagi hamba; bagaikan senuktah atau setitik air pada Allah, adalah pada hamba bagaikan lautan samudra yang luas. Guru Mursyid inilah dalam kerohanian Islam Thariqatullah Thariqat Naqsabandiyah yang ahli tentang pengetahuan Ruh ini, yang dapat mengajarkan, menunjuki dan menuntun dalam kerohanian (dalam perjalanan bathin ini), yang sungguh tidak dapat dilihat, diraba atau dijangkau oleh panca indra atau otak pemikiran. Sebab dia adalah ilmu keajaiban hati, yang khusus hatilah yang mengetahuinya dan menguasainya. Maksud hati disini bukanlah hati daging yang segumpal itu, tetapi adalah hati yang hayati, yang hidup yang tiada mati-mati, yaitu hati nurani atau hati sanubari. Yang dalam kaitan ini dianjurkan Allah untuk bertanya kepada ahlinya tentu, sebab segala sesuatunya itu ada ahlinya, sebagaimana firman Allah yang berbunyi: “Wa maa arsalnaa min qablika il-laa rijaalan-nuuhii ilaihim fas-alu ahladz-dzikri in kuntum laa ta‘lamuun” Artinya: “Dan Kami (Allah) tidak mengutus Rasul-rasul sebelum kamu, kecuali beberapa orang laki-laki yang diberi wahyu kepadanya. Karena itu bertanyalah kepada ahli zikir, jika kamu belum tahu” (QS: An Nahl 43). Kita sependapat dengan peringatan yang dianjurkan Wali Allah Imam Al Ghazali, karena kita sudah mengalami. Beliau memperingati, bahwa seseorang murid tidak boleh tidak, harus mempunyai Syekh yang ahli zikir memimpinnya. Sebab jalan Iman adalah samar, sedangkan jalan Iblis adalah dari segala penjuru banyaknya. Dan siapa yang tidak mempunyai Syekh (Guru Waliy-yam-mursyid) sebagai penuntun, penunjuk jalan, ia pasti akan disambar dan dituntun oleh Iblis dalam perjalanannya. Karena itu murid harus berpegang kepada Guru Mursyidnya, sebagaimana seorang yang buta dipinggir sungai berpegang kepada penuntunnya, pasrah mempercayakan diri kepadanya dan jangan menentangnya sedikitpun dan berjanji mengikutinya dengan mutlak. Karena sedang menjalani satu perjalanan diatas dunia di alam yang nyata dan terang, wajib kita bertanya kepada penunjuk jalan, konon lagi pula dalam perjalanan rohaniah atau jalan bathiniah, yang sama sekali belum pemah kita tempuh, yang penuh dengan kegaiban-kegaiban yang halus-halus sudah sebarang tentulah memerlukan seorang penunjuk dan penuntun. Maka dalam adab dari pada murid terhadap Gurunya, antara lain berbunyi: “Pertama-tama ia harus menyerahkan diri sepenuh-penuhnya, tidak syak dan ragu-ragu kepada Gurunya rela ia dengan segala yang ditunjuki dan yang diajarkan oleh Gurunya itu dan dikhidmatinya dengan sepenuh hati dan jiwa raganya, dengan jalan yang demikianlah terlahir iradah yang mumi dan Muhibbah yang akan merupakan penggerak dalam usahanya, merupakan kebenaran dan keikhlasan yang tidak dapat dicapai kecuali dengan jalan demikian itu (sepanjang sesuai seperti yang di kehendaki syariat Nabi Muhammad Saw). Tetapi bagi siapapun orangnya yang belum memasuki kerohanian Thariqat Naqsabandiyah, pandangannya pada Guru Mursyid ini adalah sebagai guru-guru biasa saja, seperti mana kafir Qurays dahulu, memandang Nabi Saw adalah anak manusia biasa saja yaitu anak Abdullah dan Aminah, sehingga mereka terdinding dari jalan Allah dan Agama yang diridhai-Nya. Jangankan kafir Qurays bahkan sampai kepada Paman Nabi Saw, yaitu Abu Lahab dan Abu Jahal tidak mengetahui keNabian dan keRasulannya, bahkan Pamannya yang paling dekat sekali kepada Nabi Saw yang memelihara, mengasuh, dan membesarkannya yang tidak lepas dari pandangan dan pengamatannya setiap hari, tidak mengetahui dan tidak yakin bahwa anak abang kandungnya itu Muhammad Saw adalah Nabi dan Rasul akhir zaman bahkan penghulu dari segala Nabi-nabi dan Rasul-rasul Allah, sehingga abu Thalib tidak mati dalam Islam. Bagaimana orang akan mengetahui, bahwa di dalam kelapa itu ada minyak yang tersembunyi sebelum mengalami tata cara pengolahannya. Begitu juga bagaimana manusia umumnya mengenal Nabi Muhammad Saw lahir dan bathin, sedangkan manusia itu sendiri tidak mendalami ajarannya lahir dan bathin, yaitu Islam ini. Sama juga halnya bagaimana pula kita untuk mengenal seorang Guru itu sebagai Ulama Warshatul Ambiya atau Pewaris Nabi itu lahir dan bathin, sebelum kita memasuki dan mendalami syariat yang lahir dan bathin yang diwarisinya. Guru Mursyid adalah pewaris Jasmaniah dan Ruhaniah dan Guru-guru agama Islam kebanyakkan hanya mewarisi syariat yang lahir saja. Diatas tadi, kita bicara tentang Ruh. Memang bahwa pada setiap orang itu, maka disebut ia yang termulia dari segala makhluk, bukanlah disebabkan bentuk badan dan wajahnya saja, tetapi adalah karena Ruh yang bertasaruf dalam jasmaninya. Jadi kalau Ruh itu sudah tidak ada lagi hilanglah segala kemuliannya itu. Melihatlah kita bahwa nila-nilai kemulian manusia adalah terletak pada Ruh itu, sedang badan hanya alat atau kenderaan dari Ruh itu. Demikian jugalah hubungan yang langsung dengan Allah adalah Ruh itu, yang awalnya dimulai dari dunia ini tentunya yang ujungnya sampai di alam Masyhar nanti. Dengarlah apa pengalaman Imam Ghazali dalam hal ini: Berkata Imam Gahazali, “bahwa yang berjalan untuk mencapai dekat Allah itu, bukan badan tetapi adalah hati. Tidaklah maksudku dengan hati itu daging yang bisa dilihat, tetapi adalah satu rahasia Allah yang tidak diketahui dan dilihat mata kepala, suatu yang halus dari segala yang halus kepunyaan Allah. Sekali disebut dengan kata-kata Ruh, sekali dengan kata-kata “An nafsul muthmainnah”(Jiwa yang tentram). Agama menyebutkan dengan hati (al qalb) karena hatilah kenderaan pertama bagi rahasia itu. Dan perantaraan hatilah maka seluruh badan menjadi alat kenderaan bagi tubuh halus itu. Dan untuk menyingkap tutup dari rahasia itu, adalah sebagian dari Ilmu Mukhasyafah (Suluk), payah diperoleh tanpa kesungguhan belajar dan mengamalkan dan tidak mudah menerangkannya. Paling tinggi dapat dikatakan sesuatu zat yang amat bemilai, suatu mutiara yang amat mulia, lebih mulia dari segala yang dapat dilihat dengan mata, (dia itu urusan Allah, Amrun Illahi)”. Bahwa tubuh halus itu ialah yang berusaha mendekati Allah, karena dia urusan Allah, dari Allah sumbemya dan kepada Allah kembalinya. Karenanyalah Allah berfirman: “Innamaa waly-yukumul-laahu wa rasuul-luhuu wal-ladziina aamanul-ladziina yuqiimuunash-shalaata wa yu’luunaz-zakaata wahum raaki‘un” Artinya: “Sesungguhnya pemimpinmu/penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk kepada Allah” (QS: Al Maidah 55). Betapa Allah dalam ayat ini menunjukkan seolah-olah adalah orang-orang mukmin atau orang-orang yang beriman itu adalah tali Allah yang kedua sesudah Rasul. Maka pemimpin dan penolong yang dimaksudkan Allah disini baik lahir maupun bathin. Maksud kalimat yang ciri-cirinya tetap mengerjakan shalat, ialah orang-orang yang beriman yang istiqomah hubungan atau kontaknya, yaitu yang lebih lengkap lagi seperti ikrar yang diucapkan Nabi Saw. Yang: “inna shalati“nya, yang “wanusuki”nya, yang “wamahyaya”nya, yang “wa mamati”nya “lillahi rabbil ‘alamin”; yang shalatnya, yang ibadatnya, yang hidup dan matinya, hanya buat Allah seru sekalian Alam. Dan maksud kalimat yang menunaikan zakat, lagi pula mereka tunduk kepada Allah ialah orang-orang mukmin yang bukan saja mengeluarkan zakat hartanya, tetapi juga menyerahkan seluruh kehidupannya buat mengabdi kepada Allah, Tuhannya, katakanlah itu zakat badan yang tarku masyiwallah, yang mengutamakan Allah dan yang menomor duakan yang lain dalam hati dan perbuatannya. Berfirman Allah: “Wa may-yatawal-lal-laaha warasuula-huu walladziina aamanuu fa in nahiz-bal-laahi humul ghaalibuun” Artinya: “Dan barang siapa memilih Allah, RasulNya dan orang-orang mukmin (yang beriman) menjadi pemimpin (ikutannya/penolongnya), maka sesungguhnya pengikut agama Allah itulah yang pasti menang” (QS: Al Maidah 56). Lalu kita bertanya, mengapakah Allah menyertakan Rasul dan orang-orang mukmin disini, mengapa tidak langsung saja kepadanya?, jawabnya: ialah bagi mereka yang belum mempelajari peraturan agama, yaitu syariat Islam yang lahir, harus dan wajib mendatangi seorang guru agama, yaitu mempelajari rukun Islam yang lima perkara, belajar istinja’, thaharah (bersuci) sampai tegaknya shalat sesuai rukun 13 dan mengetahui rukun Iman yang enam perkara sebagai awal dari ilmu tauhid. Kemudian belajar pula ilmu syariat yang bathin kepada Guru Mursyid supaya ada Rabitah (ikatan atau hubungan) dengan nyata yang dapat dilihat oleh mata kepala, kepada siapa kasih atau abdi taat itu kita tunjukkan sebagai tempat sasarannya; sebagaimana meletakkan kasih, abdi dan taat kita kepada kedua Ibu Bapa yang jelas dan nyata, ada yang dilihat kepada siapa ditempatkan. Sedang abdi, taat dan zikir kepada Allah atau ingat kepadaNya itu tidak dapat ditunjukkan kepada sesuatu arah; karena Zat Allah menurut keyakinan Ahli Sunnah Wal Jamaah bagaimana kudusnya ialah: 1.Dia tunggal, tidak ada satu juga yang menyamai-Nya. 2.Qadim (kekal) yang tidak berpemulaan, selalu ada dan tidak berkesudahan, abadi yang tidak berubah-ubah. 3.Dia bersifat dengan segala kesempumaan, tidak mengalami dan tidak terputus, walaupun abad sudah silih berganti dan ajal makhluk telah putus-putus, tetapi Dia lah yang dahulu dan mengetahui segala sesuatu. 4.Dia tidak bertubuh dan tidak berupa, tidak sama dengan yang wujud, tidak di alam arah tidak diatas bumi dan tidak diatas semesta langit 5.Dia bersemayam diatas Arasy-Nya menurut yang dimaksud oleh firmanNya, tetapi Dia ada di Arasy, dilangit, dan dimana saja, sampai ke dalam tanah 6.Dia dikatakan *Di atas*, bukan berarti lebih dekat kepada Arasy dan langit, bukan pula lebih jauh dari pada bumi dan tanah 7.Dia lebih tinggi dari Arasy dan langit, sebagaimana tingginya dari bumi dan langit 8.Dia dekat kepada apa saja yang ada, bahkan lebih dekat dari pada urat leher kita, karena dekatnya itu tidak sama dengan dekat alam yang bertubuh, tidak sama pula dengan Dia dengan zat segala makhluk 9.Dia tidak bertempat pada suatupun dan sesuatupun tidak pula bertempat didalamnya. (Ada beberapa pasal lagi keterangan-keterangan tentang kedudukanNya, yang dilain halaman kita teruskan) Kita kembali kepada tujuan pokok, yaitu karena zat Allah itu Maha Bijaksana dipakai NyaIah hamba Nya, kekasih Nya Nabi Muhammad Saw atau jasmani anak Abdullah dan Aminah sebagai wadah atau tempat yang kelihatan dimana mata manusia itu meletakkan kasihnya pada Pandangan pertamanya, sebagai jalan kasihnya pada Allah yang belum pemah dilihat dan dirasakannya. Karena apa maka dipakaiNya jasmani Nabi Muhammad Saw sebagai tempat meletakkan pandangan kita sebagai tanda kasih untuk berhubungan dengan Allah itu, karena untuk membuktikan hubungan kita pada Nur Muhammad yang dikekalkan Nya itu yang terjadi dari Numya Nur Ilahi, dari diriNya sendiri dan tali wayer untuk berhubung dengan Dia. Karena itulah Ahli Silsilah itu, berfungsi sebagai tali Allah. Disinilah kita melihat bahwa pangkal Islam atau sahadatain itu berfungsi yang padat, yang tidak sempuma kalimat tauhid kalau tidak disertakan sahadat Rasul. Ini jelas digambarkan seperti bunyi hadist qudsy diatas tadi dan kelanjutannya Berfirman Allah: “Qul-in kuntum tuhib-buunal laaha fat-tabi-‘uunii yuhbib kumullaahu wa yaghfir lakum dzunuubakum, wal laahu ghafuurur rahiim” Artinya: “Katakanlah: jika kamu benar-benar cinta kepada Allah turutlah aku Muhammad; pasti Allah mencintaimu pula dan sekaligus mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS: Ali Imran 31). Bersabda Rasulullah Saw: “Ahib-bul-laaha li-maa yagh-dzuu-kum bihi min ni‘amini wa-ahibbuu-nii lil-laahi-ta‘aala” Artinya: “Cintailah Allah, karena Ia memberikan makanan kepada kamu daripada nikmat-nikmatNya. Dan cintalah aku (Rasulullah Saw) karena Allah Ta‘ala” (HR At Tarmidzi dari Ibnu Abbas) Sofyan berkata: “Siapa yang mencintai orang yang mencintai Allah Ta’ala, maka sesungguhnya ia mencintai Allah. Dan siapa yang memuliakan Allah, maka sesungguhnya ia memuliakan Allah Ta’ala”. Nabi Muhammad Saw membaca didalam do’anya: “Allaahummarzuqniihubbaka wa hubb man-ahabba-ka wa hubba maa yuqar-ribunii ilaa hubbika waj‘al hub-baka ahabba ilayya minal maa-ilbaaridi”. artinya: “Wahai Allah Tuhanku! Anugrahilah aku mencintai Engkau, mencintai orang yang mencintai Engkau dan mencintai apa yang mendekatkan aku kepada mencintai Engkau!. Jadikanlah kecintaanku kepada Engkau itu yang aku lebih cintai dari air dingin yang nyaman” (H.R. Abu Na’im dari Abud Darda’) Guru Mursyid adalah kasih dan cinta kepada Gurunya karena Gurunyalah yang memberikan bekas lahir dan bathin pada memeliharakan dia dan yang membukakan hijab dan menyampaikan dia kepada Ilmu Ma’rifat yang besar dan luas itu atas izin Allah. Maksud cinta disini ialah mengikut segala suruh Guru sepanjang tidak menyalahi pada syariat Nabi Saw dan menghentikan segala larangannya. Oleh karena itu cinta kepada Guru otomatis cinta kepada Rasulullah Saw, sedang Rasulullah adalah kekasih atau kecintaan Allah, dengan pengertian bahwa Guru Mursyid Al Ulama Warshatul Ambiya itu adalah pewaris Rasul, yang otomatis juga kekasih Allah. Jelas apa yang diterangkan hadist Qudsy tersebut diatas tadi, bahwa orang yang memperangaikan zikir menjadi pakaian hidupnya, pertanda bahwa dianya adalah kecintaan Allah. Dengan yang demikian itu Ulama Guru Mursyid yang ahli zikir, tidak dapat disangkal, jelas kekasih dan kecintaan Allah. Siapa yang mencintai sesuatu dengan sendirinya ia banyak menyebutnya dan menyebutkan apa yang bersangkutan dengan dia. Maka tanda cinta kepada Allah, ialah cinta kepada Al Qur’an kalamNya dan cinta berzikir kepadaNya. Cinta kepada Rasulullah Saw, dan setiap orang yang dibangsakan kepadanya (yang dikatakan keturunannya, yaitu yang meneruskan atau mewarisi pekerjaannya). Bahwa barang siapa yang mencintai utusan orang yang mencintai adalah orang itu utusan dari orang yang dicintai. Dan yang demikian itu tidaklah perkongsian atau penyekutuan/syirik. Siapa yang keras kecintaanya pada Allah di hatinya, maka bagaimana ia tidak mencintai Al Qur’an, Rasul dan Hamba-hamba Allah yang shalih. Dan setiap yang kita cintai, sudah sebarang tentu selalu hadir. Dan bilamana kita menghadirkan Guru Mursyid, adalah menghadirkan Rasul Saw dan otomatis menghadirkan Allah. Inilah realisasi kenyataan maksud hadist Nabi Saw yang diriwayatkan Abul Hasan Al Mawardi yang bunyinya: “Man waqqra aliman faqad waqqara Rabbahu” Artinya: “Barang siapa yang menghormati Alim Ulama, adalah ia menghormati (mengagungkan akan Allah)”. Dengan kata lain: “Barang siapa yang berhubungan dengan Alim Ulama, pada hakekatnya adalah ia berhubungan dengan Allah”. Pernah seorang arab desa datang kepada Nabi Saw, seraya bertanya: “Ya Rasulullah, kapan kiamat?” Nabi Saw menjawab: “apa yang engkau sediakan bagi kiamat itu?” Arab desa itu menjawab: “Tiada aku sediakan untuk kiamat itu banyaknya shalat dan puasa, hanya selain dari aku mencintai Allah dan RasulNya”. Lalu bersabda Nabi Saw: “Al mar-uma ‘a-man ahabba” artinya: “Manusia itu bersama orang yang dicintainya”(H.R. AI Bukhari dan Muslim dan Annas). Berkata Annas: “Tidaklah aku melihat kaum Muslimin yang bergembira dengan sesuatu sesudah Islam, sebagaimana gembiranya mereka dengan hadist diatas ini!”. Oleh karena itu, melihatlah kita betapa pentingnya kita mengenal, mengikuti dan mencintai seorang Guru yang mewarisi pekerjaan Rasul Saw, dengan pengertian yang luas yaitu yang bersilsilah yang ia berguru kepada Gurunya, dari Guru ke Guru hingga sampai hubungannya kepada Guru dari segala Guru Mursyid, yaitu Nabi Besar Muhammad Saw (Rasulullah) sampai ke Malaikat Jibril As dan hingga kehadirat Allah Subhana Wata’ala. Dalam hal ini telah berfirman Allah di dalam Al Qur’an surat Al Baqarah 269, yang berbunyi: “Yu‘-til-hikmata man yasyaa-u waman yu’tal-hikmata fa qad uutiya khairan katsiiran” Artinya: “Allah memberikan kebijaksanaan (hikmah) kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan orang yang diberikan Allah kebijaksanaan itu, sesungguhnya telah diberi kebaikan yang banyak” (QS:Al Baqarah 269) Maka sebab itulah bersabda Nabi Saw bahwa kelebihan Abu Bakar itu dari pada kamu, bukan lantaran banyaknya shalatnya atau banyak puasanya, banyaknya ia meriwayatkan hadist saja, tetapi kelebihan Abu Bakar dari pada kamu adalah karena ilmu bagaikan mutiara yang tersusun rapi didalam dadanya. Sebagaimana yang diriwayatkan Abu Hurairah ilmu yang seperti Hai’atil Maknun (perhiasan yang indah!). Adakah tandanya orang yang diberikan hikmah itu? Nabi Saw bersabda: “ldzaa ra-aitumul-‘abda waqad u’thiya shamtan wa zuhdan fid-du-ya faq-taribuu minhu fa-innahu yulqil hikmata” Artinya: “Apabila kamu melihat searang hamba dan yang telah dianugrahkan kepadanya diam dan zuhud, maka dekatilah kepadanya. Sesungguhnya ia akan mengajarkan ilmu hikmah” (H.R.Ibnu Majjah). Senang diam dan zuhud dalam arti tauhid adalah seorang yang bukan ketiadaan uang dan harta. Usaha dan anak-istri, tetapi semuanya apapun yang dimilikinya tidak berpengaruh lagi mengikat hati dan dirinya untuk ibadah taqarrub (mendekatkan dirinya kepada Allah), malahan dipergunakannya menjadi alat untuk menopangnya dalam lebih banyak berbakti kepada Allah. Dan bahwa Guru Mursyid sebagai yang mewarisi dari pekerjaan Rasululah Saw telah menurunkan jalan untuk mendapatkan hikmah itu kepada kita, dengan mengajarkan kita, yaitu mengajarkan ilmu zikirulla. Dan ini jugalah yang menjadi dasar bagi kita untuk berguru dan mema-suki thariqatullah, jalan kepada Allah Thariqat Naqsabandiyah. Dan kalau ada yang dasarnya berguru itu adalah dikarenakan sebab lain, segeralah kita perbaharui kembali niat kita dengan dasar firman Allah dan sabda Rasulullah Saw, agar benar-benar menjadi seorang pribadi yang istiqomah (terus-menerus) berguru, “Lii ila kalimatillahil au liya, laailaha illallaah wallahu Akbar” (berdasarkan ikhlas semata-mata karena Allah). Dengan demikian adalah kita Hamba-hamba yang disinarkan Allah akan hatinya dengan iman, yaitu “abddun naw-warallaahu qalbahu bil-iimaani”. Dan tatkala ditanyakanlah Rasul Saw tentang arti asy-syarah (melapangkan) pada firman Allah Ta’ala yang berbunyi: “Fa man yuridil-laahu an yahdihu yasy-rah shadrahu lil islami” Artinya: “Maka siapa yang di kehendaki oleh Allah akan diberikanNya petunjuk niscaya disyarahkan (dilapangkan) dadanya orang itu masuk Islam” Lalu ditanyakan kepada Nabi Saw: Apakah asy-syasarah itu?, Nabi Saw menjawab: “lnnan-nuura idzaa khalafil-qalbin-syaraha lahushshodru wan-fasaha”. Artinya: “Bahwa nur itu apabila masuk dalam hati; niscaya lapanglah dadanya dan meluas”. Ditanyakan lagi: “Wahai Rasulullah, adakah yang demikian mempunyai alamat (tanda)?, Nabi Saw menjawab: “Na‘am, attajaafii-‘an daaril ghuruuri wal-inaabatu ilaa daaril-khuluuki walis-ti-daa-du lil-mauti qabla nuzulihi”. Artinya: “Ya, ada, yaitu merenggangkan diri dari negeri tipuan (dunia) kembali negeri kekal dan bersedia bagi mati sebelum datangnya” Bagaimana pengertian bersedia mati sebelum datangnya, yaitu mati nafsunya dari perbuatan berlega-lega, dari berfoya-foya, mati keinginannya dari perbuatan keji dan tercela, mati dirinya dari maksiat lahir dan bathin, menjauhi perbuatan yang tidak bennanfaat bagi Allah, Rasul dan Agamanya, sehingga hampir keseluruhan waktunya tersita buat meninggikan dan menegakkan serta menyebar luaskan Islam Mulia Raya dalam setiap dada umat dan dengan sedaya mampunya menanamkan tauhid yang tidak goyah, sehingga setiap pribadi yang terarah mendapatkan dan merasakan sempurna Islamnya, sempurna Imannya, sempurna Tauhidnya dan sempurna Ma’rifatnya yaitu pengenalan kepada Allah SWT yang ditujunya. Dan menyesuaikanlah dia dengan segala gerak geriknya seperti apa yang diperangaikan dan di ikhrarkan Nabi Muhammad RasululIah Saw yang berbunyi: “Innashalati(bahwa shalatku), Wanusuki (ibadahku), Wamahyahya (hidupku), Wamamati (matiku), adalah bagi Allah Tuhan Khaliqul Alam. Dan terpenuhilah olehnya seperti mana kehendak Khaliknya, bahwa dia diciptakan adalah semata-mata untuk mengabdi kepadaNya”. Itulah Al Ulama Warshatul Ambiya (Ulama yang mewarisi pekerjaan Nabi Saw) yang mendapatkan Syafaat Allah, Syafaat NabiNya dan atas izin Allah memberikan Syafaat pula kepada yang mengikut dia (jamaahnya). Dia seorang sahabat, kalau engkau berzikir kepada Allah dia menolong engkau dan kalau engkau lupa berzikir diperingatinya akan engkau dan kalau engkau memandangnya membawa ingatmu kepada Allah, dan jika kamu mendengar fatwanya, ilmu tentang akhirat menjadi bertambah-tambah!.. Nah, letakkanlah keningmu diatas lantai bersujud syukurlah kepada Allah Tuhanmu dan Ruhmu taqarrub kepangkuannya dan ucapkanlah dengan suara jiwamu: “Subhanallah, walhamdulillah, wa la ilaha ill allah, wala-hu Akbar, wa la haula wa la quwwata ilia billahil aliyil adlim” Artinya: “Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada yang disembah selain Allah, segala puji bagi Allah. Allah yang Maha Besar, tiada daya dan upaya melainkan dengan Allah Yang MahaTinggi dan Maha Agung”. Dan salawat dan salammu yang tiada habis-habisnya kehariban junjungan Nabi dan utusannya Muhammad Saw, penyelamat umat dengan ucapan: “Allahumma shalli ala Muhammad abdika wa Nabiyyika wa rasulikan-nabiyyil-ummiyyi wa ala alihi wa syabihi wa sallim”. Artinya: “Wahai Allah Tuhanku, anugrahilah rakhmat kesejahteraan kepada Muhammad, hambaMu, NabiMu dan RasulMu, Nabi yang Ummi kepada kaum keluarganya dan sahabat-sahabatnya”. Serta khimatmu yang ikhlas terhadap Gurumu dimana engkau diciptakan Allah tergolong dalam jamaah Hamba-hambaNya yang beramal shalih yang membimbing engkau, mengingatNya dan dekat kepadaNya. Yang tegas dan jelas hal ini diterangkanNya dalam Al Qur’an Surat Saba’37, yang berbunyi: “Wa maa amwaalukum wa laa aulaadukumbil latii tur-ribukum ‘indanaa zulfaa il-laa man aamana wa ‘amila shaalihan fa-ulaa-ika lahum jazaa-udhdhi’fi bimaa ‘amiluu wa hum filghurufaati aaminuun”. Artinya: “Sekali-kali bukanlah harta benda dan anak-anakmu yang dapat mendekatkan dirimu kepada Kami (Allah), tetapi adalah amal dari orang-orang yang beriman, beramal shalih. Mereka akan memperoleh balasan berlipat ganda karena amalnya dan mereka menempati tempat-tempat yang tinggi di Syurga dengan aman sejahtera”. (QS: Saba’ 37). Dengan demikian kita ulangi lagi apa yang disabdakan Nabi Saw, bahwa kamu itu adalah kekasih-kekasih Allah yang disinarkan Allah akan hatinya dengan iman, yaitu yang ‘Abdun nawwaral-Iaahu qalbahu bil iimani’, yang kehadiranmu adalah mendapat himbauan sebagai Hamba-hambaNya yang pilihan, sesuai dengan firmanNya yang menganjurkan: “Fadkhulii”(masuklah),· “Fadkhulii fii ibaadii” (masuklah dalam golongan para hamba-hambaKu (maksudnya, hamba-hamba yang beramal shalih)) (QS: Al Fajr 29). Dan, “Wadkhulii jannatii” (dan masuklah kedalam SyurgaKu) (QS: Al Fajr 30). Sesungguhnya Allah dengan tegas sekali memproklamirkan jika seseorang tidak masuk kedalam golongan para hamba-hambaNya yang beramal shalih ini, tak usah dia harap akan memperoleh Syurga!. Sekali lagi, tiada keberuntungan lagi diatas keberuntungan yang kita peroleh ini keberuntungan yang tiada lagi banding taranya. Inilah awal dari syafaat (pertolongan) Ulama di dunia, yang ujungnya nanti syafaat (pertolongan) Nabi Saw di Akhirat. Sungguh nyata sekali bahwa hubungan kita dengan Guru Mursyid, bukanlah seperti hubungan dengan Guru-guru lain dan bukan pula seperti hubungan dengan kaum keluarga, anak pinak dan orang tua, Ibu dan Bapak. Hubungan kita dengan Guru Mursyid adalah berkekalan dan berkepanjangan dari kehidupan yang terbatas sekarang ini, hingga sampai kepada hari kehidupan yang kekal nanti. Bagi orang yang berilmu dan berfaham dalam, sudah dilihatnya keterangan ini telah lebih dahulu di-terangkan dalam firmanNya yang berbunyi: “Wal ladziina aamanuu wat taba‘at hum dzur riy-yatuhum bi-iimanin alhaqnaa bihim dzur-riy-yatahum wamaa alat nahum min ‘amalihim bima kasabarahiim” Artinya: “Orang-orang yang beriman, yang keimanannya diikuti oleh anak cucunya, mereka akan Kami (Allah) temukan kembali dalam syurga dan tidak akan Kami kurangi amalan sedikitpun. Tiap-tiap orang itu terikat oleh usahanya masing-masing” (QS: At Thur 21). Dan dalam ayat 89 surat An Nahl, Allah mempertegas sekali lagi dengan firmanNya: “Wayauma nab‘atsu fii kul-li um-matin syahidan ‘alaahaa-ulaa, wa naz-zal-naa ‘alaikal kitaaba tibyaa-nal-likul-li syai-aw-wa hudawwa rah-matawwa basyraa lilmuslimiin” Artinya: “Dan ingatlah suatu hari. ketika manusia Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi dari mereka sendiri dan untuk mereka, lalu Kami(Allah) tampilkan engkau Muhammad menjadi saksi atas mereka seluruh umat. Dan telah Kami turunkan kitab (Qur‘an) untuk menjelaskan segala-galanya, bahkan untuk menjadi rakhmat dan berita gembira bagi orang-orang yang berserah diri kepada Allah”. (QS: An Nahl 89). Berkata Saidi Syekh Abul Qasim Al Junaidi dalam kata-kata berhikmahnya: “Bahwa barang siapa yang menyebut Allah tanpa saksi dan menyakini Allah dengan pengenalan yang putus, maka sebutan itu adalah kosong dan bohong”. Maka dalam Thariqat Naqsabandiyah, dituangkan jelas dalam kafiatnya yang (10)sepuluh setelah menghadirkan Guru Mursyid sebagai saksimu, barulah engkau baca Fatiha 1x dan Qulhu 3x dan berdo’a: “Ya Allah aku minta kepadamu seumpama pahala dari Fatiha dan Surat Al Ikhlas atau Qulhu yang aku baca ini, mohon engkau hadiahkan kepada Ruhaniah Guru Mursyidku, Ruhaniah Syekh Naqsabandiyah dan Ruhaniah Rasulullah Saw. Dan minta tolong aku pada Mursyidku ini, untuk menyampaikan Tahriqatku ini kehadirat Allah. Ya Allah tiada daya dan upayaku dan tiada kuasa aku untuk menghilangkan was-was yang ada dalam hatiku ini, yang datang dari kiri-kanan, muka belakang, atas dan bawah. Melainkan Mursyidku ini, karena Mursyidku ini adalah Khalifah Rasulullah” “Ya Allah tidak ada yang lain yang kuharapkan memberikan syafaat akan daku, melainkan Mursyidku ini juga, karena Mursyidku ini adalah Khalifah Rasulullah. Hanya Allah yang kumaksud, ridhoNya yang ku-ikut!”. Maka sehubungan dengan itu, meyakinkan Allah dengan firmanNya: “In-nal ladziina yubaayi ‘uunaka in-namaa yu-baayi ‘uunal laah, yadullaahi fauqa aidiihim faman nakatsa fa-in-namaa yankutsu ‘alaa nafsihi waman aufaa bimaa ‘aahada ‘alaihul laaha fa sayu’tihi ajran azhiima” Artinya: “Sesungguhnya orang yang berjanji setia (yang berikrar) dengan engkau, berarti mereka berjanji setia (berikrar) dengan Allah. Tangan (kekuasaan) Allah diatas tangan mereka (hambaNya) dan barang siapa yang melanggar janji atau ingkar akibatnya akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa yang menepati janji dengan Allah, maka sebarang tentu Allah memberikan pahala (manfaat) yang besar kepadanya”. (QS: Al Fath 10). Inilah janji setia yang dinamakan Bai’atur Ridwan, janji setia yang diridhoi Allah!.. Apakah janji setia antara kita dengan Guru Mursyid?, jawabnya: Tatkala engkau mandi taubat pada malam waktu engkau masuk Thariqatullah ini, engkau sudah berikrar berjanji setia untuk meninggalkan segala padang larangan Allah, meninggalkan maksiat lahir maupun bathin dan diajari engkau untuk berzikir kepada Allah, yang diawali kafiat 10 (sepuluh), seperti tersebut diatas. Kemudian disaat pertama kali engkau mendapat sentuhan tawajjuh, disaat itupulalah disemai ditanamkan bibit Nur Furqan dilahan Ruhanimu, sebagai kelanjutan syafaat (pertolongan) Ulama atau Guru Mursyidmu, dimana Allah berfirman: “Yaa ay-yuhal-ladziina aamanuu in tat taqul-laaha yaj’al-lakum furqaanaw-wa yukaf-fir‘ankum wal-laa hudzul fadhlil azhiim”. Artinya: “Hai orang-orang yang beriman!, jika kamu bertaqwa kepada Allah, pasti dia akan memberimu Nur Furqan: Menghapuskan segala kesalahanmu Allah mempunyai kurnia yang besar” (QS: Al Anfal 29). Yaitu Nur Furqan, ialah Nur yang menunjukkan perbedaan antara yang haq dengan yang bathil dan dengan Nur itu ia bisa menghindar diri dari segala kekacauan, kesulitan dan kebodohan atau kejahilan. Dan mengetahui langkah Malaikat dan langkah Syaitan. Kemudian, seperti hancur dan runtuhnya seluruh berhala-berhala di kota Mekkah dan lenyapnya segala kejahilan dan kebatilan, disaat bergeraknya pembersihan Nur Muhammad yang dipelopori wadahnya anak Abdullah dan Aminah Rasul yang agung itu Nabi Muhammad Saw, begitu pulalah lenyapnya segala keberhalaan atau kebatilan yang bersarang dalam dirimu, disinari Nur Furqan atau Nur Muhammad yang dipelopori wadahnya Al Ulama Warshatul Ambiya atau Guru Mursyidmu, yang terasa hari demi hari secara angsur berangsur mengkikis segala karat-karat dunia kita atau dosa-dosa kita yang melekat pada diri ruhani kita seperti hancur luluhnya karat-karat yang lengket pada besi yang disinari cahaya sinar laser, tatkala ditempa menjadi besi murni kembali!. Sumbemya dari Allah, awalnya dari Nur Muhammad, Guru Waliy-yam Mursyid atau Al Ulama Warshatul Ambiya. Nah! sangat jelas, sungguh tidak dapat disangkal bahwa hubungan kita dengan Guru yang Mursyid, tidak boleh putus, tetap berkepanjangan dan berkekalan, dari dunia sampai ke akhirat. Oleh karenanya Nabi Saw memperingatkan: Amalkan terus-menerus ilmu yang engkau pelajari dari Guru Mursyidmu, agar Allah mewariskan engkau (mengajarkan) engkau ilmu yang belum engkau ketahui, agar Allah menolong engkau dalam amalanmu, sehingga mendapatkan Syurga. Dan bilamana engkau ingkar dengan *Bai’atur Ridwan*, janji setia yang sudah diridhoi-Nya, yaitu yang tidak mengamalkan ilmu-mu, maka engkau akan tersesat dan Allah tidak merestuimu dalam segala pekerjaanmu, sampai engkau mendapatkan Neraka, maka justru karena itu, demi untuk berjalan dan terciptanya penghayatan dan pengamalan inilah, Naqsabandi menyusun rapi adab-adab antara kita sebagai murid kepada Guru kita sebagai Mursyid, agar kita tetap dalam kapsul atau Majelis Thariqat Naqsabandiyah. Bilamana adab-adab ini menjadi pakaian hidup dan perangai kita, pasti Allah akan meridhoi dan membantukita dalam segala hal keadaan kita yang sulit-sulit dan mengkurniai segala cita-cita kita yang baik-baik. Sebab adab-adab ini adalah yang disusun oleh Guru-guru kita yang Mursyid terdahulu, yang shalihin yang muttaqiin, yang muqarrabiin, yang arifin, yang siddiqiin. Dan menjadi peraturan segala Masaeh, yang bersumberkan Qur’anul-kariim dan Sunnah Nabi Saw. Dan adab-adab itu ada 30 fasal. Dan adapun garis-garis besarnya sudah terlampir dalam ijazahnya, lihatlah disana dan bacalah itu 1 x (satu kali) dalam seminggu. Dengan demikian adalah engkau menjadi insan yang berpegang pada Haqqul Yaqiin, seperti firman Allah dalam ayat 50 dan 51, surat Al Haqqah yang berbunyi: “Wa innahu la haqqul-yaqiin; fa sab-bih bismi rabbilml azhiim” Artinya: “Sesungguhnya mengenal Allah itulah Haqqul Yaqiin, maka sucikanlah Nama Allah Tuhanmu yang Maha Besar!”. Sungguh sedih dan merugi mereka yang tidak bernasib baik, yang tiada petunjuk Allah, untuk mendapatkan seorang Guru Waliy-yam-mursyid, diperjalanan panjang yang tiada ujung ini, yang penuh onak dan duri. Bagaikan berjalan, tiada mengetahui arah tujuan, bagaikan berlayar dilautan luas, tanpa kompas penunjukjalan; maka dalam Qur’an diujung surat Al Kahfi 17, Allah menerangkan dengan firmanNya: “Dzaalika min aayatillaah, may-yahdil-laahu fahual muhtad, wa mayyudlil fala tajida lahuu waliy-yam-mursyidaa”. Artinya: “ltulah salah satu tanda-tanda kekuasaan Allah. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, dialah yang beruntung, maka siapa yang Allah membiarkannya sesat, maka tidak seorang Waliy-yam-mursyid pun yang dapat memberikannya pertolongan” (QS: Al Khafi 17). Demikianlah penjelasan tentang keterangan Guru Mursyid, moga-moga kita tetap dilimpahkan-Nya rahmat (yaitu pimpinan dan petunjuk) tetap menjadi pengikut Majelis Zikir hambaNya., yang dipimpin, ditunjuki dan dipujikan Allah sebagai taman yang lebih mulia dan indah dipermukaan bumi ini, kalau dibukakan pahalanya (keutamaannya) bagi pandangan mata manusia, niscaya manusia itu ikut berperang untuk memperolehnya sehingga orang-orang yang mempunyai daerah kekuasaan, meninggalkan daerah kekuasaannya dan orang-orang yang mem-punyai perdagangan akan meninggalkan perdagangannya. Berkata sahabat Abu Dzar: “Bahwa mengunjungi Majelis Zikir Alim Ulama adalah lebih utama dari pada shalat 1000 rakaat dari pada berkunjung kepada 1000 orang yang sakit dan dari pada berziarah kepada 1000 jenazah” Bersabdalah Nabi Besar Muhammad Saw: “Apabila kamu melalui taman-taman syurga maka masuklah kamu kedalamnya”. Bertanya para sahabat: “Apakah taman-taman syurga itu yaa Rasulullah?, yaitu Alkah-alkah zikirullah“, jawab Nabi Saw. Keterangan: “Alkah zikir, ialah tempat dimana orang banyak duduk berkeliling berzikir bertawajuh kepada Allah” (H.R.Tarmidzi). Demikianlah sekelumit keterangan ala kadar tentang peranan Guru Mursyid dalam Thariqat Naqsabandiyah yang tidak kita jumpai dalam ilmu Fiqih dan Tauhid tetapi ada dalam Ilmu Tasawuf atau Ilmu Sufiah atau Ilmu Kerohanian Islam Thariqat Naqsabandiyah. Islam bukan Fiqih saja dan bukan Tasawwuf saja, tetapi Islam meliputi keduanya. Tata-cara yang terletak dalam Ilmu Sufi dan Tasawuf dan cara peramalannya dinamakan Thariqat cara-caranya yang bukan dalam llmu Fiqih. Oleh karena itu memperingatkan Allah di dalam Al Qur’an diujung surat An Nahl 43 dengan firmanNya: “Wa maa arsalnaa min qablika il-laa rijaalan-nuuhii ilaihim fas-aluu ahladz-dzikri in kuntum laa ta’ lamuun“ Artinya: “Dan Kami (Allah) tidak mengutus Rasul-rasul sebelum kamu, kecuali beberapa orang laki-laki yang diberi wahyu kepadanya. Karena itu bertanyalah kepada Ahli Zikir (ahlinya) jika kamu tidak tahu” (QS: An Nahl 43). Hakikat peranan Guru Mursyid dalam Thariqat Islam Thariqat Naqsabandiyah ditegaskan Berfirman Allah SWT: “Fa idzaa saw-waituhuu wa nafakhtu fiihi miruuhii fa‘uu lahuu sajidiin” Artinya: “Setelah Aku sempurnakan bentuknya dan Aku tiupkan ruh ciptaanKu kedalamnya, hendaklah kalian tunduk, bersujud kepadanya” (QS: Al Hijr 29). Itulah yang disebut Nur Muhammad yang terbit dari pada Nur Ilahi yang dikekalkan Allah Zat Wajibul Wujud didalam lembaga Adam As, maka inilah awalnya keutamaan anak manusia itu sebagai makhluk yang termulia dari segala makhluk ciptaan-Nya sehingga makhluk ciptaan-Nya itu adalah sebutan yang ketiga setelah Allah menyebut diri-Nya dan Rasul-Nya; yaitu makhluk manusia yang ber-iman, seperti firman-Nya yang berbunyi: “In namaa waliy-yukumul-laahu wa rasuuluhuu wal ladziina aama nul-ladziina yuqiimuunash-shalaata wa yu’luunaz zakaata wa hum raaki’uun”. Artinya: “Sesungguhnya pimpinanmu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang ciri-cirinya: tetap mengerjakan shalat menunaikan zakat lagi pula mereka tunduk kepada Allah” (QS: Al Maidah 55). Orang yang beriman inilah sebagai wasilah atau sebagai wadah untuk mendapatkan jalan pengenalan pada zat-Nya yang tiada ternilai itu (untuk mengenal-Nya). Yang sedikit sekali tentang ilmu-Nya diberikan kepada manusia. Sebab firman-Nya, hal ini adalah khusus urusan-Nya (Amrun Ilahi) yang berbunyi: “Wa yas-aluunaka anir-ruuh, qulir-ruuhu min rab-bii wa maa uutiitum minal ‘ilmi-il-laa qaliilaa” Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang Ruh. Katakanlah! “Ruh itu termasuk urusan Tuhan. Adapun ilmu yang telah kamu peroleh tentang Ruh itu masih terbatas sekali” (QS: Al Isra’ 85). Namun ada peluang sedikit sekali maksudnya tidak dilarang untuk mendalaminya dan mempelajarinya tentang ilmu-Nya yang kata Allah sedikit sekali itu, padahal bagi kita manusia, bagaikan lautan samudra luas yang tiada bertepi. Bilamana kita sudah menemukan orang yang beriman yang dipercayakan-Nya itu, terjawablah segala yang gaib yang tersembunyi tentang diri-Nya, tersingkaplah lapisan hijab atau pendinding, seperti malam gelap gulita ditembusi sinar cahaya bulan purnama, maka melihatlah kita dengan amat terangnya. Tatkala sahabat yang perkasa Khalifah Umar bin Khatab bertanya kepada Nabi Saw: *Dimanakah Allah Ta’ala berada, dilangitkah atau dibumi?* ,menjawab Nabi Saw: *Dihati orang mukmin*. Diterangkan dalam hadist Qudsy bahwa Allah Ta’ala berfirman: “Lam yasa‘nii ardhii wa laa samaii wa waasianii qalbu ‘abiil mukminuun layyinul waadi” Artinya: “Tiada yang dapat memuat zatKu bumi dan langitKu, yang dapat memuat zatKu ialah hati hambaKu yang Mukmin, yang lunak dan yang tenang!”. Lalu kita teringat pada sebuah pantun Tasawuf yang terdapat dalam kitab lama, yang berbunyi dalam bahasa Minang, seperti berikut: *Balilah sapek, balah ampek. Naik ka nibuang di tanggonyo, dimanoah Allah Ta‘ala kan dapek, Allah Ta‘ala balinduang di hambo-Nyo* *Bukan marabah makan padi tapi makan buah sikaduduak, kalaulah di Makkah tampek nabi kini basarato kita duduak*, inilah sahadatain Nuurun alan Nuur. Nur Ilahi berhampir dengan Nur Muhammad. Nah, zat Allah yang tiada dapat seumpama, yang laisakamislihi syaiun, yang tidak memerlukan tempat, jarak dan waktu dan bukan pula duduk bersimpuh dihati orang yang mukmin seperti layaknya kita duduk, tetapi yang dimaksud kalimat duduk dihati orang mukmin, adalah Ruhaniah yang Khalis-mukhlisin, yang suci murni, yang terbit dari fi’il sifat zat Allah Ta’ala, sebagai tali Allah yang menuju arahnya kepada Ma’rifatullah, yaitu jalan mengenal Allah, dalam hal iniberfirman Allah Ta’ala: “Wa’tashimuu bihabli-laahi jamii‘aw wa laa tafar-raquu, wadz kuruu ni’mat-talaahi ‘alaikum idz kuntum ‘adaa-am fa-al-la-fa baina kulubikum fa-ash-bahtum bini’matihii ikhwanaa, wa kuntum ‘alai syafaa hufratim-minaan-nari faaqadzakum minhaa, kadzaalika yubay-yinul-lahuu lakum aayaatihii la‘al-lakum tah-taduun” Artinya: “Berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai (berpecah-belah) ingatlah karunia Allah kepadamu ketika kamu dahulu (seperti) bermusuh-musuhan, lalu dipersatukanNya hatimu, sehingga kamu dengan karunia Allah itu menjadi bersaudara. Dan kamu dahulunya berada ditepi jurang Neraka, lalu Allah melepaskan kamu dari kecelakaan itu. Demikianlah Allah menjelaskan keterangan-keteranganNya kepadamu supaya kamu mendapat petunjuk” (QS: Ali Imran 103). Memang jelas dan nyata apa yang diterangkan Allah dalam ayat ini Bukankah dulunya kita sebelum kita masuk Thariqat Naqsabandiyah, antara kita sesama kita, tidaklah saling mengenali, tetapi sekarang kita akrabnya melebihi dari saudara kandung sendiri. Demikianjuga bukankah kita dulunya dipinggir jurang Neraka, yaitu selalu durhaka kepada Allah. Dan atas karunia Allah kita sekarang sudah mau bertaubat dan beribadah mengabdi kepadaNya. Jelas bukan khayal dan kira-kira tetapi nyata apa yang kita alami dan peroleh sekarang ini adalah berkat berpegangnya kita pada tali Allah itu. Maka untuk mendapatkan perpegangan yang teguh pada tali Allah inilah sebabnya, kita diwajibkan dalam Thariqat Naqsabandiyah berpegang-teguh kepada Guru Mursyid yang bersilsilah yang memperoleh ijazah dari Gurunya, dari Guru ke Gurunya hingga kepada diri Penghulu dari segala Guru Mursyid, yaitu diri Nabi Muhammad Saw. Beliau Rasulullah Nabi Besar Muhammad Saw itulah tali Allah, yang sudah mengenal dan Ma’rifah kepada Allah. Sebab itu bilamana kita berhubung mengingat Allah hadirkanlah wajah Nabi Saw dengan pribadinya yang mulia sebagaimana Abu Bakar As-Siddiq yang sabdanya tidak pernah lekang dari pada kehadiran Nabi Saw sekalipun didalam kakus (HR. Bukhari). Dan ucapkanlah *Salamun alaika ayyuhan Nabiyyu warakhmatullahi wabarakatuh!*, yang artinya: *Salam kami kepadamu wahai Nabi, rakhmat-sejahtera dan berkah dari Allah alas mu!*. Bilamana engkau menghadirkan wajah Nabi Saw berpeganglah (menyatulah) Ruhaniahmu yang sudah dicuci dengan zikirullah itu dengan Ruhaniahnya yang Khalis-mukhlisin dan terbawalah diri Ruhaniah mu dapat mengenal yang dimaksud dan yang dituju, “Awalluddin ma‘rifatullah” awal agama mengenal Allah dan akhir Agamapun wajib mengenal Allah (Methode ataupun cara ilmu ini hanya ada petunjuk (kafiatnya) dalam Ilmu Thariqat Naqsabandiyah (Tasawuf) dan tidak ada diperoleh/diajarkan dalam Ilmu Fiqih). Kita sekarang ini tidak lagi hidup dizaman Nabi Muhammad Saw, tetapi hidup dimasanya Ulama, sedang Ulama itu adalah pewaris Nabi oleh karenanya, hadirkanlah Ulama yang mewarisi Ilmunya, Ulama yang punya silsilah, demikian itulah jalannya maka Abu Bakar As Siddiq tidak pernah lekang (Rohaninya) dari diri Nabi Saw, sekalipun didalam jamban. Imam Sya’rani dalam kitabnya “Nafahatu adabiz zikir” menyatakan, bahwa salah satu dari pada adab zikir itu yang terpenting, hendaknya sejak dari permulaan zikir, hikmah Gurunya terus-menerus dalam kalbunya. Selanjutnya menganggap limpahan dari Gurunya itu pada hakikatnya pancaran Nur Nabi Saw. Syekh Tajuddin An Naqsabandiy dalam kitabnya Risalah menerangkan, bahwa apabila seseorang telah selesai dengan urusan dunianya, maka hendaklah ia mengambil wudhu, lalu masuk ketempat khalawatnya. Sesudah duduk pertama-tama dia harus menghadirkan Guru Mursyidnya!. Dan menurut Syekh Abdul Ghani An Nablusi, bahwa keterangan Syekh Tajuddin An Naqsabandiy tersebut adalah cara yang paling sempurna, sebab Syekh adalah merupakan pintunya kehadirat Allah dan Wasilah kepada Nabi Saw dan kepada Allah!. Bersabda Nabi Saw: “Kun ma‘allahi fain lam takun ma‘allahi takun ma‘aman ma‘allahi fain nahu yushiluka illallahi”. Artinya: “Adakanlah (Jadikanlah) dirimu itu berserta Allah. Jika engkau (belum bisa) menjadikan dirimu beserta Allah, maka adakanlah (jadikanlah) dirimu berserta dengan orang-orang yang beserta Allah” (H.R Abu Daud) Berfirman Allah SWT: “Yaa ay-yuhal-ladziina aamanat-taqullaaha wa kuunu ash-shadiqiin” Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan besertalah (beradalah) kamu dengan orang-orang yang benar”(QS: At Taubah 119). Syekh Abdullah menyatakan bahwa maksud ayat itu, kita diperintahkan Allah supaya bersama-sama dengan orang-orang yang benar baik pada rupa maupun makna. Dengan demikian itu, apabila murid tidak mengenal sesuatu yang dialaminya dalam berzikir, maka dia bisa bertanya kepada Syekh Mursyidnya, supaya tidak sesat jalan (mengetahui mana langkah Syaitan dan mana langkah Malaikat), mengetahui mana yang hak dan mana yang bathil, mengetahui yang lahir dan yang bathin. Oleh karena itu sependapat ahli Thariqat Naqsabandiyah yang bersilsilah, *Barang siapa yang tidak memegang Syekh yang Mursyid dalam Thariqat Naqsabandiyah, maka Syaitanlah yang akan datang menjadi Gurunya, dan apabila Syaitan menjadi Syekhnya, maka kafirlah dia!*. Maka tatkala orang bertanya kepada Nabi Saw; “Wahai Rasulullah, terangkanlah kepada kami tanda-tanda seseorang yang baik untuk kami ambil menjadi teman yang akan kami pergauli”, menjawab Nabi Saw: “yaitu seorang sahabat yang kalau engkau berzikir kepada Allah, dia menolong engkau, dan kalau engkau lupa berzikir diingatkannya akan engkau, dan bilamana engkau me-mandangnya membawa ingatmu kepada Allah, dan kalau mendengar fatwanya, ilmu kamu tentang akhirat menjadi bertambah-tambah”. Maksudnya, kalau engkau berzikir kepada Allah, dia menolong engkau, ialah dimana saat berzikir, bertawajjuh dengan menghadirkan Syekh Mursyid, dihadapkan kearah apa-apa yang kita jumpai dan hadapi di alam Gaib, dapatlah kita mengenal mana langkah Malaikat dan mana langkah Syaitan; mengetahui mana yang hak dan yang bathil. Dan maksud kalau engkau memandangnya membawa ingatmu kepada Allah, ialah diluruskannya arah zikir kita itu tatkala menyimpang kepada yang lain. Dan maksud kalau engkau memandangnya membawa ingatmu kepada Allah, ialah karena berkat tuntunan dan bimbingannya yang menumbuhkan iman dan taqwa yang semakin bersemi didalam dada kita, sehingga bila melihatnya membawa ingat kepada Allah. Kalau kamu mendengar fatwanya ilmu kamu tentang hari Akhirat menjadi bertambah-tambah, ialah sebab fatwa yang disampaikannya tetap menyangkut tentang Kemahaan dan Kebesaran Allah dan kebahagian hari Akhirat dan keutamaan amalan zikirullah yang menjadi amalan khas kita, penganut Thariqat Naqsabandiyah. Agar kehadiran Mursyid itu, jangan sampai seperti hinggap-hinggap lalat maka latihlah dirimu senantiasa akrab dengan Syekh Mursyid disetiap hal dan keadaan, didalam dan diluar ibadahmu agar ilmu itu menjadi bila berjalan dipertongkat, tidur dipergalang, bila disaat fiisakratul maut (mabuk mati) tumpangan pulang, agar hubunganmu kepada Allah tetap berkepanjangan dan berkekalan. Berfirman Allah SWT: “Washbir nafsaka ma‘al ladziina yad’uuna rab-bahum bil ghadaau wal asiy-yi yuriiduuna wajhahuu wa laa ta‘du‘anaka ‘anhum, turiidhu haayatid dun yaa, wa laa tuthi’man aghfalnaa qalbahuu ‘an dzikrinaa wat-ta ba’a hawaahu wa kaana amruhufuruthaa” Artinya: “Tahanlah dirimu dengan sabar bersama-sama orang-orang yang menyeru memuja kepada Allah (orang-orang yang berzikir) pagi dan petang (berkepanjangan), demi mengharapkan keridhaanNya. Janganlah engkau melepaskan dia dari pandanganmu (tetap hadir), disebabkan terpengaruh oleh kehidupan mewah, lintasan fikiran yang berbagai-ragam dan janganlah engkau turutkan pula orang yang hatinya telah Kami (Allah) lalaikan dari berzikir kepadaKami (Allah) orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya” (QS: Al Kahfi 28). Ketahuilah ada 25 (dua puluh lima) orang Nabi-nabi dan Rasul sebagai pengemban Risalah, penyelamat umat, dan adalah Nabi Muhammad sebagai Penghulunya. Beliau adalah Hamba Allah yang “Abduhu wa Rasuluh” Nabi Besar yang menempa dirinya dan menyediakan hidupnya untuk mengabdi kepada Allah, sebagaimana ikrar yang diucapkannya “lnna shalati, wanusuki, wamahyaya, wamamati, lillahi rabbil ‘alamiin”, yang artinya: “bahwa sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah bagi Allah Khalikul Alam semata-mata”. Dan perkataan yang diucapkan ini diiringi Beliau dengan perbuatannya yang nyata sehingga beliau terangkat menjadi Habibullah (Kekasih Allah). Nabi Isa As pun bersabda: “Bahwa pengabdian yang sedalamdalamnya kepada Allah, adalah mengangkat martabat setinggi-tingginya pada sisi Allah”. Maka dengan pengabdiannya yang sedalam-dalamnya itulah, mengangkat beliau akrab dengan Allah hingga digelar Ruhullah (Ruh Allah). Juga Nabi Musa As bersabda dan munajat berdo’a kepada Allah: “Yaa Allah bagaimana cara yang harus ku tempuh supaya aku sampai kepadaMu, melihat dan berkata-kata denganMu?”. Dijawab Allah SWT dengan firmanNya: ”Wahai Musa tinggalkanlah dulu indramu (dirimu), dan barulah engkau kemari! Maksud (Tasawuf) bukanlah Nabi Musa As harus mati lebih dulu baru ia dapat berjumpa dengan Allah. Tetapi keluar dulu engkau dari hawa nafsu mu yang rendah, barulah engkau dapat mendekatkan Aku dan melihat dan berkata-kata dengan Aku, Kata Allah”. Dengan perjuangan dan pengorbanan yang tiada tara, barulah ia Nabi Musa As, dapat dekat disisi Allah berkata-kata dengan Allah dengan sempurna kata-kata, sehingga barulah beliau mencapai gelar Nabi Musa Kalamullah (berkata-kata dengan Allah). Melihatlah kita dari sejarah Nabi-nabi tersebut diatas, mendekatkan diri kepada Allah itu tidak ‘kan mungkin berhasil kalau hanya sambil lalu, harus dengan pengorbanan dan perjuangan yang sungguh-sungguh. Pekerjaan besar dari semua Nabi-nabi dan Rasul-rasul sebagai tersebut diatas hanya dapat diteruskan oleh umat Nabi Muhammad Saw, dimana diterangkan dalam suatu hadist Qudsy yang berbunyi: *Nanti di hari kiamat akan duduk satu kaum sederetan dengan para Nabi-Nabi dan Rasul, sehingga tercengang para Malaikat dan Manusia lainnya, lalu hatinya masing-masing saling bertanya, siapakah mereka ini dan apakah amalan yang telah mereka perbuat sehingga kedudukannya sederatan dengan para Nabi-Nabi dan Rasul*. Dalam situasi dan suasana yang penuh dengan tanda tanya dan kekaguman itu, tiba-tiba hadirlah Nabi Besar Rasulullah Saw, seraya menjawab dengan penuh kepastian, * Umatku, mereka adalah Umatku! Mereka telah menempuh Thoriqoh (jalan) yang sukar, karena itulah mereka mendapat kedudukan sederetan dengan Nabi-Nabi dan Rasul *. Merekalah yang diterangkan oleh Allah dalam Al Qur’an sebagai satu golongan yang. dicintai Allah dan merekapun mencintai Allah. Terjalinlah keakraban antara hamba dengan Khalik-nya dan antara khalik dengan hambaNya. Hal ini jelas diterangkan Allah dengan firmanNya dalam surat Al Maidah 54, yang berbunyi: “Yaa ay-yuhal-ladziina aamanuu may yartad-da minkum ‘ab diinihii fasaufa ya’til-laahu biqaumiy-yuhib-buhum wa yuhibbuunahuu adzil-latin ‘alal mu’miniina a‘zi-zatin ‘alal kaafiriina yu jaahiduuna fii sabiilil-laahi wa laa ya-khaafuuna laumata laa-im. Dzaalika fadhlul laahi yu‘tiihi may-yasyaa, wal-laahu waasi’un ‘aliim” Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, barang siapa yang murtad dari agama Allah (Islam), maka kelak Allah akan membangkitkan suatu kaum yang dicintai Allah, dan merekapun mencintai Allah, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap kasar terhadap orang-orang kafir. Yang berjuang dijalan Allah, dan tidak takut terhadap kecaman orang. Itulah kurnia Allah, diberikanNya kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha luas pemberianNya dan Maha Mengetahui” (QS: AI Maidah 54). Dan berfirman Allah selanjutnya: “Wa may-yatawal-lal-laaha warasuula-huuwal ladziina aamanuu fa innahiz-bal-laahi humul ghaalibuun” Yang artinya: “Dan barang siapa memilih Allah, Rasul dan orang yang beriman menjadi pemimpinnya (ikutan/penolong), maka sesungguhnya pengingkut Agama Allah itulah pasti menang” (QS: Al Maidah 56). Orang-orang yang beriman inilah sebagai wadah sekaligus wasilah untuk mendapatkan jalan mendekatkan diri kepada Zat Wajibal Wujud yang dituju setiap hamba yang beroleh hidayah petunjuk Allah. Sebagai Ahli sunnah-wal-jamaah pakaiannya adalah fiqih, tauhid, tasawwuf, dan sunnah. Fiqih adalah pagar dan pergaulannya, tauhid adalah tujuannya yang mutlak yang tiada unsur lain yang syirik didalamnya, dan tasawuf adalah kemurnian, kesucian dan itulah akhlaknya. Kemudian sunah atau meneruskan pekerjaan Nabi Saw adalah usahanya sehari-hari sebagai hamba Allah yang tanpa pamrih. Mereka membersihkan seseorang dari Ilmu-ilmu yang bathil yang tidak pemah diajarkan ataupun dianjurkan Nabi Saw dimasa hayat beliau. Seperti ilmu pemanis, ilmu pelaris, ilmu kebal, ilmu samun hidup, ilmu pelet, ilmu hilang dan lain-lain yang bathil. Ilmu-ilmu yang demikian itu tergolong ilmu sihir yang dipelopori oleh Syaitan Jin Karkas dan Ifrid pengikut Iblis Laknatullah musuh buyutan cucu Adam As, hukumnya istidraj, kemudian membawa sengsara pada seseorang, dan sangat tersiksa difiisakratul Maut. Tersiksa di alam Barzakh dan pada hari berhisab di alam Masyhar. Sedangkan hidupnya didunia selalu resah, susah dan ge1isah. Ilmu-ilmu tersebut adalah pengsyarikatan atau syirik yang terang maupun yang tersembunyi, yang tiada ampunan dari Allah SWT . Pantaslah orang-orang Mukmin yang beriman itu layak menjadi sebutan yang ketiga sesudah Allah menyebut diriNya dan RasulNya. Dan Allah memutuskan dan menetapkan, bahwa barang siapa yang masuk golongan Allah, RasulNya dan orang yang beriman ini, pastilah mereka menang disegalabidang. Jelas, bahwa bila kamu beserta dengan orang-orang yang beriman, Allah dan RasulNya pasti beserta kamu. Dalam suatu hadist yang dirawikan Imam AI Mawardi menerangkan: *Man waqarro ‘aliman faqod waqarro robbah* Yang artinya: “Barang siapa hormat pada Ulama, bagaikan ia mengagungkan akan Allah. Dengan kata lain, barang siapa berhubungan dengan Ulama, bagaikan ia berhubungan dengan Allah”. Sebagai pewaris Nabi, orang yang beriman itu harus mewarisi syariat, thariqat, hakikat dan ma’rifah Nabi Saw. Belumlah sempurna kalau seseorang yang beriman atau Ulama hanya mewarisi syariat Nabi-nya saja. Sebab sekalipun syariat itu adalah pokok, namun tidaklah banyak manfaatnya kalau pokok itu tidak menghasilkan buah, maka thariqat adalah jalan untuk mendapatkan buah, sedangkan Hakikat itu adalah mengalami rasanya buah. Dan Ma’rifah dapat mengenal dan menentukan rasa buah itu. Inilah yang disebut sempurna pengenalan kepada yang dituju. Tanpa keraguan lagi didalamnya. Seperti mengenal cabe dengan pedasnya, mengenal empedu dengan pahitnya, mengenal garam dengan asinnya dan mengenal gula dengan manisnya. Berfirman Allah SWT, diujung surat AI Kahfi 17: “Dzaalika min aayatil-laah wa may-yudhlil-laahu fa-hual muhtaad wa mayyudhlil fa lan tajida lahuu waliyam-mursyida” Artinya: “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, dialah orang mendapat petunjuk. Dan siapa yang dibiarkan sesat, maka tidak ada seorang pemimpin yang dapat memberi petunjuk” (QS: Al Kahfi 17). Dengan demikian fahamlah kita bahwa orang-orang yang belum mendapat petunjuk untuk bertemu dengan Waliyyam mursyid itu dan memasuki thariqatnya adalah orang-orang yang belum mendapat hidayah daripada Allah SWT dan barang siapa yang sudah bertemu dan masuk dalam golongannya jelas bahwa itulah orang-orang yang diberi Allah petunjuk Waliyyam mursyid itulah Ulama Warshatul Anbiya yang mewarisi perkataan dan pekerjaan Nabi. Sebab perkataan itu tanpa perbuatan tidaklah bermanfaat. Allah telah memberi kekuatan didalam hatinya. Bagaimana hatinya tidak kuat dengan Allah sedang ia adalah berjalan kepada Allah dan berhampir kepadaNya. Dan hanya Allahlah tumpuannya, tempatnya bermohon, tempatnya berlindung, tempatnya bergantung, tempatnyabersandar, tempatnya mengambil hati dan tempatnya memuja dan memuji. Ulama yang Warshatul Anbiya kerjanya bukan pegawai, bukan pedagang, bukan petani, dan bukan pula nelayan. Pekerjaannya menghimbau Umat bertaubat Nashuha kembali ke jalan Allah, mengerjakan suruh-Nya dan meninggalkan laranganNya dan selalu berzikir kepada Allah dalam setiap hal dan keadaan dengan zikir khafi yang berkepanjangan dan berkekalan, diwaktu duduk, diwaktu berdiri dan diwaktu berbaring. Dan perdagangannya adalah Syi’ar dan tabliq dan mendo’akan jamaahnya semoga Allah memeliharakannya dalam kesehatan, dalam keselamatan dalam kesejahteraan, dalam kedamaian, dalam umur panjang dan kekal dalam ibadah. Dan tanamannya adalah orang yang beriman, layanannya adalah umat yang lapar dan haus ruhani maka pertama-tama Ulama atau orang yang beriman demikian inilah yang harus kita cari dan masuk dalam jamaahnya untuk mematuhi dan memenuhi himbauan dan undangan Allah, yang firmanNya: “Yaa ayya tuhan nafsul muthmainnah(27), Irzi’ii ilaa rabbiki radhiyatam mardhiyah(28), Fadkhulii fii ‘ibadaadii(29), Wadhkhulii jan nati” (30)(QS: Al Fajr) Yang artinya: “Wahai jiwa yang tenang; Kembalilah kepada Tuhanmu dengan senang dan disenangi Tuhan; Masuklah dalam kalangan hambaKu; Dan masuklah dalam SyurgaKu”. Menurut firman Allah ini, tak usah harap syurga sebelum kita menemukan dan masuk kedalam golongan hamba Allah yang beramal shalih ini. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Saba’ 37: “Wa maa amwaalukum wa laa aulaadu kumbil latii turqarribukum ‘indanaa zulfaa il-laa man aamana wa ‘amila shalihan fa ulaa ika lahum jazaa udh dhi’fi bimaa ‘amiluu wahum fil ghurufaati aaminuun”. Yang artinya: “sekali-kali bukanlah harta-benda dan anak-anakmu yang mendekatimu kepada Kami (Allah), Namun amal-amal dari orang-orang yang beriman dan mengerjakan perbuatan yang baik-baik jua. Mereka itulah yang akan memperoleh balasan berlipat ganda karena amalannya, dan mereka menempati tempat-tempat yang tinggi di Syurga dengan aman sejahtera “ (QS:Saba’ Bilamana kamu sudah menemukan hamba Allah yang beramal shalih ini dan masuk dalam kalangan mereka, bersabarlah dengan mereka dan mengamalkan ilmu zikirullah yang diajarkannya apabila kamu bersabar dengan mereka dan mengamalkan ilmu mereka maka ilmu itu akan melayani kamu. Dan kamu diberikan kepintaran hati dan cahaya bathin dan peningkatan derajat. Dan apabila derajat hamba sudah meningkat dari Islam kepada Iman, dan dari Iman kepada keyakinan, dari keyakinan kepada Ma’rifah dari Ma’rifah kepada cinta, dari cinta kepada yang dicintai, maka apabila demikian si hamba tidak akan ditinggalkan lagi oleh Allah. Apabila si hamba tidur, ia dijagakan. Apabila lalai maka ia diingatkan. Dan apabila ia berpaling, ia dihadapkan. Dan apabila ia diam, ia akan disuruh bicara. Ia senantiasa dalam penjagaan dan penganyoman Illahi. Jelas, apabila Nabi Saw Habibullah, maka Al Ulama Warshatul Anbiya atau Pewaris Nabi itu adalah kekasih-kekasih Allah. Layaklah mereka diberi hak untuk mensyafaati jamaah yang mengikuti dia atas seizin Allah (H.R. Ibnu Majjah). Dan mereka adalah sebagai saksi nanti dihari Kiamat pada pengikutnya (Jamaahnya). Kemudian Allah SWT menghadirkan Nabi Saw sebagai saksi pula atas mereka. Sesuai dengan firman Allah dalam surat An Nahl 89, yang berbunyi: “Wa yauma rab‘atsuf fii kulli ummatin syahiidan alaihim-min anfusihim wa ji‘naa bika syahiidan ‘alaa haa ‘ulaa wa nazzalnaa ‘alaikal kitaaba tibyaanal-likulli syai aw-wa hudaw wa rahmataw wa busyraa lil muslimin” Yang artinya: “Dan ingatlah suatu hari ketika mana Kami (Allah) bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi dan dari untuk mereka lalu Kami tampilkan engkau hai Muhammad menjadi saksi atas seluruh manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur‘an untuk menjelaskan segala-galanya. Bahkan untuk menjadi rahmat dan berita gembira bagi orang-orang yang berserah diri kepada Allah” (QS: An Nahl 89). Maka dalam Thariqat IsIam Thariqat Naqsabandiyah tidak ada putusnya seorang Guru Mursyid dengan jamaahnya, sehingga Nabi Saw bersabda dalam suatu hadist yang berbunyi: Barang siapa yang durhaka kepada Gurunya ada 3 hal yang memberatkan akan dia: Pertama :Disempitkan Allah rezekinya Kedua :Dilupakan Allah ilmu yang dipelajarinya Ketiga :Ditanggalkan Allah imannya disaat mau matinya Oleh karena itu, setiap jamaah hendaklah seperti sabda Nabi Saw, yang bunyinya sebagai berikut: *Jagalah kecintaan Ayahmu kepadamu, janganlah engkau putuskan hubungan atau engkar (karena kalau engkau putuskan hubungan atau engkar) niscaya Allah padamkan cahayamu, Allah jadikan engkau hina* (H.R.Tarmudzi). Dengan sabda Nabi Saw itu maka sudah jelas sekali supaya si anak itu berkewajiban memelihara dan memupuk kecintaan Ayahnya terhadap dirinya dengan sungguh-sungguh, supaya ke-cintaan ayahnya itu jangan hilang lenyap dari hatinya. Guru Mursyid dalam Thariqat Naqsabandiyah adalah Ayah Ruhani. Medan, Oktober 2002
no image

RELEVANSI TASAWUF DENGAN KESEHATAN MENTAL MENURUT SYEKH AHMAD RIFA'I BIN MUH. MARHUM

Pemikiran tasawuf Kiai Rifa'i pada dasarnya juga merupakan bagian dari gagasan untuk mempertahankan hubungan harmonis antara syari'at dan hakikat yang dirumuskan dengan istilah Ushul, Fiqh, dan Tasawuf. Gagasan tasawuf Kiai Rifa'i tidak membentuk komunitas yang disebut tarikat sebagaimana ditulis oleh Alwan Khairi1 tetapi hanya sebatas ajaran tentang pembinaan akhlak melalui pengisian diri dengan akhlak mahmudah dan peniadaan diri dari akhlak madzmumah dalam rangka mencapai kedekatan pada Allah yaitu Ma'rifat dan Taqarrub yang dapat dilakukan siapa saja tanpa harus melalui tata aturan sebagaimana lazim terjadi dalam dunia tarikat. Jika hendak ditelusuri berdasarkan apa yang ditulis dan dialami sendiri oleh Kiai Rifa'i, akan terlihat ia tidak pernah menyebut dirinva baik secara langsung ataupun tidak sebagai penganut tarikat Qodiriyah. Lebih-lebih hampir dalam setiap kitab yang ditulisnya ia selalu menyatakan dirinya sebagai penganut tarikat Ahlussunni (ikilah kitab... saking Haji Ahmad Rifa'i bin Muhammad Marhum Syafi'iyah madzhabe Ahlussunni ). Sekalipun tidak membentuk tarikat (komunitas sufi), namun paling tidak pemikiran tasawufnya memberikan elemen moral bagi para muridnya dalam melaksanakan tasawuf. Kenyataan di atas, semakin memberikan dukungan bahwa Kiai Rifa'i memang berusaha memberikan kriteria pengikut Ahlussunnah yang dalam bidang tasawuf mengikuti pandangan Junaid al-Baghdadi sebagaimana dikemukakan dalam kitabnya Ri'āyah al-Himmah Untuk mengetahui corak tasawuf Kiai Rifa'i digunakan kriteria berdasarkan pembagian tasawuf menjadi akhlaqi (amali) dan falsafi. Dalam hal ini, Rifa'i menyatakan dirinya sebagai pengikut jalan Sunni 3 dalam dunia tasawuf sebagaimana dinyatakan dalam berbagai tempat pada kitab-kitabnya. Memang harus diakui bahwa pembagian ini mengandung unsur kekaburan mengingat tasawuf adalah pengalaman batin manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya yang memiliki watak subjektif. Oleh karena itu, kriteria yang biasanya dipakai untuk mengidentifikasi tidak menghasilkan corak yang akurat dan tetap. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa pembagian tersebut biasanya didasarkan kecenderungan tokoh-tokoh sufi yang pada satu pihak menekankan aspek amaliah dan di lain pihak menekankan aspek pemikiran. Yang pertama, menghasilkan rumusan-rumusan tingkah laku yang dipandang dapat mendekatkan seseorang pada Tuhan, sementara yang kedua menghasilkan rumusan pemikiran tentang kemungkinan manusia mengalami kesatuan dengan Tuhannya. Inilah yang sering disebut dengan istilah tasawuf nadzari yang banyak mengambil ide-ide berasal dari kebudayaan luar Islam (Ats- Tsaqafah al-Ajnabiyyah). Pemaparan mengenai pemikiran tasawuf dari delapan tokoh sebagaimana telah diutarakan dalam bab tiga (enam tokoh masuk dalam kategori amali dan dua tokoh masuk dalam kategori nadzari atau falsafi) ini cukup memberikan gambaran pengalaman ruhani mereka yang memiliki titik berat pada dua kategori yang berbeda satu dengan lainnya, yaitu yang berorientasi kepada amal (akhlak) di satu pihak dan yang berorientasi kepada pemikiran (nadzari) di lain pihak. Jika dilihat dalam kerangka pemikiran berdasarkan pengalaman para sufi yang dikategorikan menjadi dua di atas, yakni 'amali (akhlaki) dan Tasawuf Sunni memiliki corak 'amali karena tokoh-tokohnya memberikan tekanan pada pelaksanaan syari'at terlebih dahulu baru kemudian menghiasinya dengan amaliah tasawuf. Corak ini berbeda dengan falsafi yang menekankan aspek pemikiran dan menitik beratkan pada aspek kesatuan dengan Allah. Abdul Djamil, Ibid, hlm. 122. nadzari (falsafi), maka corak pemikiran tasawuf KH. Ahmad Rifa'i termasuk dalam kategori 'amali (akhlaqi) atas dasar pertimbangan bahwa isi ajaran tasawuf Rifa'i berupa latihan ruhani dengan jalan (1) pengisian diri dengan sifat terpuji (tahalli/ 2) ,( تحّلى ) pengosongan sifat tercela (takhalli/ تخّلى ) yang kemudian ditindaklanjuti dengan kedekatan kepada Allah (taqarrub), dan (3) pengenalan Allah dengan mata hati (makrifat). Dengan demikian mengenai persoalan tasawuf, pemikirannya dapat dikategorikan dalam tasawuf 'amali dan lebih banyak rumusan ajaran akhlak yang pada akhirnya berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui jalan pengisian diri dengan sifat terpuji dan pengosongan diri dari sifat tercela. Tasawufnya tidak mengesankan arti yang spesifik sebagaimana tasawuf konvensional yang idiom-idiomnya mengesankan adanya unsur eksklusif seperti pengertian taubat, wara, dan zuhud. Bagi Kiai Rifa'i, pengertian butirbutir akhlak terpuji dan akhlak tercela, memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda dengan pengertian akhlak. Titik puncak tasawufnya adalah diperolehnya kedekatan kepada Allah yang dihiasi dengan tiga kondisi, yaitu khauf, mahabbah, dan ma'rifat. Karena hanya berupa tataran moral dan tujuan akhirnya adalah tiga kondisi tersebut maka pemikiran tasawufnya bukanlah tasawuf falsafi. B. Analisis Konsep Tasawuf K.H. Ahmad Rifa’i relevansinya dengan Kesehatan Mental Kiai Haji Ahmad Rifa’i dalam kitabnya Abyan al-Hawaij tidak menyebut istilah kesehatan mental secara eksplisit, apalagi menguraikan istilah itu. Meskipun demikian, konsepnya tentang pembersihan diri melalui zuhud, qona’ah, sabar dan sebagainya dapat diambil kesimpulan bahwa secara implisit ada konsep kesehatan mental. Alasan peneliti menyimpulkan seperti itu karena dalam literatur yang berkembang sebagaimana diungkapkan oleh Ramayulis bahwa setidak-tidaknya terdapat tiga pola untuk mengungkap metode perolehan dan pemeliharaan kesehatan mental dalam persfektif Islam yaitu Pertama, metode pengembangan potensi jasmani dan rohani; kedua, metode iman, Islam dan ihsan; dan ketiga, metode takhalli, tahalli dan tajalli6 Ahmad Rifa’i meletakkan iman, Islam dan ihsan sebagai tiga sendi pokok yang mutlak harus dikaji dan diamalkan oleh umat Islam. Sedangkan metode iman, Islam dan ihsan itu dalam literatur yang berkembang sebagaimana telah dikemukakan di atas merupakan metode perolehan dan pemeliharaan kesehatan mental/ jiwa. Jika dihubungkan pemikiran dan metode KH.Ahmad Rifa'i dengan konsep tasawuf masuk dalam kategori metode tahalli yaitu mengisi diri dari sifat-sifat yang terpuji. (mahmudah). Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Mustafa Zahri bahwa metode dan fase-fase yang harus dilalui untuk mencapai pengisian diri menuju jiwa yang sehat yaitu melalui takhalli ( membersihkan diri dari sifat-sifat tercela), tahalli (mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji), dan tajalli (memperoleh kenyataan Tuhan) Penegasan Mustafa Zahri didukung pula oleh Amin Syukur yang menyatakan dalam tasawuf lewat amalan dan latihan kerohanian yang beratlah, maka hawa nafsu manusia akan dapat dikuasai sepenuhnya. Adapun sistem pembinaan dan latihan tersebut adalah melalui jenjang takhalli, tahalli dan tajalli.8 Sejalan dengan itu Hanna Djumhanna Bastaman mengemukakan empat pola wawasan kesehatan mental dengan masing-masing orientasinya sebagai berikut: pertama, pola wawasan yang berorientasi simtomatis; kedua, pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri; ketiga, pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi; keempat, pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian Ahmad Rifa’i dalam kitab Abyan al-Hawaij menegaskan: يائكووولوع فركارايكي له فرتيل ا حب الدنياطمع اتباع الهوى كتولا عجب رياتكبرحسودسمعه ايكوله بسوءارتني Terjemahnya: Delapan perkara yang merupakan sifat-sifat tercela yaitu mencintai dunia, tamak, mengikuti hawa nafsu, riya, ujub, takabbur, hasud, dan sum’ah Pemikiran Ahmad Rifa’i di atas masuk dalam kategori takhalli. Dengan demikian tampaklah bahwa zuhud, qona’ah, shabar, tawakkal hatinya, mujahadah, ridho, syukur, masuk dalam kategori kriteria jiwa atau mental yang sehat. Sedangkan cinta dunia, tamak, mengikuti hawa nafsu, ujub, riya, takabbur, hasad, sum’ah, masuk dalam kriteria jiwa atau mental yang sakit 11 KH. Ahmad Rifa’i tidak menyatakan dengan tegas pengertian kesehatan mental, namun beliau membuat kriteria–kriteria yang mengarah pada pengertian tentang jiwa/mental yang sehat dan sakitnya jiwa. Kriteriakriteria tersebut adalah : a. Kriteria Jiwa Yang Sehat 1. Zuhud Secara harfiah zuhud adalah bertapa di dalam dunia. Sedangkan menurut istilah yaitu bersiap-siap di dalam hatinya untuk mengerjakan ibadah, melakukan kewajiban semampunya dan menyingkir dari dunia yang haram serta menuju kepada Allah baik lahir maupun batin Dalam menjelaskan kata ini Ahmad Rifa’i lebih menekankan pada aspek pengendalian hati daripada aspek perilaku yang harus ditampilkan Jika perkembangan zuhud pada fase yang paling awal ditandai dengan tindakan konkrit menjauhi kehidupan dunia sebagaimana yang diperlihatkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah dan lainnya, maka dalam pemikiran Ahmad Rifa’i titik beratnya adalah pada pengendalian hati supaya tidak tergantung pada harta. Oleh karenanya Ahmad Rifa’i menekankan bahwa zuhud bukan berarti tidak ada harta tetapi tidak ada ketertarikan dengan harta. 2. Qona’ah Secara harfiah qona’ah adalah hati yang tenang. Sedangkan menurut istilah adalah hati yang tenang memilih rihda Allah, mencari harta dunia sesuai dengan kebutuhan untuk melaksanakan kewajiban dan menjauhkan maksiat.13 Pengertian ini merupakan kelanjutan sikap zuhud yang tidak mau mengejar kehidupan dunia selain kebutuhan pokok Dalam menjalankan zuhud ia memberikan penekanan qona’ah itu sebagai suatu kondisi jiwa yang bernuansa pada aktivitas batin. Hal ini dapat dilihat lebih lanjut ketika ia mengemukakan pernyataan yang mendudukkan arti kaya pada proporsi yang lebih bersifat batini dengan ungkapannya. Dari syair KH.Ahmad Rifa'i sebagaima telah dikemukakan dalam bab tiga skripsi ini tersimpul pengertian bahwa kekayaan bukan hanya berisi harta tetapi rasa puas terhadap apa yang dimiliki. Atas dasar pengertian ini maka orang bisa merasa kaya meskipun secara lahiriah ia miskin 3. Sabar Sabar secara harfiah bermakna menanggung penderitaan. Sedangkan menurut istilah menanggung penderitaan yang mencakup tiga hal yaitu: a. Menanggung penderitaan karena menjalankan ibadah yang sesungguhnya b. Menanggung penderitaan karena taubat dan berusaha menjauhkan diri dari perbuatan maksiat baik lahir maupun batin c. Menanggung penderitaan ketika tertimpa sesuatu bencana di dunia dan tak mengeluh Dengan pembatasan ruang lingkup pengertian sabar yang demikian ini, ia terlihat berusaha memberikan makna yang mempunyai cakupan menurut pengalaman subyektif dari para sufi. Di satu pihak sabar dikaitkan dengan pelaksanaan hukum Allah sebagaimana pendapat al-Khawwas yang menyatakan bahwa sabar adalah sikap teguh terhadap hukum-hukum dari Al-Quran dan As-Sunah. Pengertian ini sejalan dengan apa yang diberikan oleh al-Qusyairi yang menyatakan bahwa di antara bermacam-macam sabar adalah kesabaran terhadap perintah dan larangan-Nya. Di pihak lain sabar dikaitkan dengan musibah seperti pendapat Abu Muhammad al-Jarir yang menyatakan bahwa sabar adalah suatu kondisi yang tidak berbeda antara mendapat nikmat dan mendapat cobaan. Kelanjutan dari pengertian sabar menurut Ahmad Rifa’i adalah menempatkan kesabaran secara proposional khususnnya pengertian ketiga. Di sini ia menekankan bahwa kesalahan terhadap penyimpangan agama (yang mengandung unsur keharaman) tidak diperlukan lagi. 4. Tawakal Ia mengartikan tawakal adalah pasrah kepada Allah terhadap seluruh pekerjaan, sedangkan secara istilah adalah pasrah kepada seluruh yang diwajibkan Allah dan menjauhi dari segala yang haram 5. Mujahadah Arti harfiah dari mujahadah ialah bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perbuatan sedangkan secara istilah adalah bersungguhsungguh sekuat tenaga dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, memerangi ajakan hawa nafsu dan berlindung kepada Allah dari orang-orang kafir yang dilaknati Dalam penjelasan selanjutnya, Ahmad Rifa’i lebih menekankan pada aspek kesungguhan dalam memerangi hawa nafsu dengan tujuan memperoleh jalan benar serta keberuntungan. 6. Ridha Akhmad Rifa’i mengartikan ridha dengan senang hati, sedangkan menurut istilah adalah sikap menerima atas pemberian Allah dibarengi dengan sikap menerima ketentuan hukum syari’at secara ikhlas dan penuh ketaatan serta menjauhi dari segala macam kemaksiatan baik lahir maupun batin. Dalam dunia tasawuf, kata ridha memiliki arti tersendiri yang terkait dengan sikap kepasrahan sikap seseorang dihadapan kekasihnya. Sikap ini merupakan wujud dari rasa cinta pada Allah yang diwjudkan dalam bentuk sikap menerima apa saja yang dikehendaki olehnya tanpa memberontak. Implikasi dari pemahaman terhadap konsep ridha ini adalah sikapnya yang menerima kenyataan sebagai kelompok kecil di tengah-tengah akumulasi kekuasaan pada waktu itu. Implikasi lain terlihat pada pelaksanaan syari’at Islam yang dilakukan dengan penuh ketaatan dan penuh berhati-hati seperti masalah perkawinan, shalat jum’at dan lain-lain. 7. Syukur Ahmad Rifa’i memjelaskan kata syukur yakni mengetahui akan segala nikmat Allah berupa nikmat keimanan dan ketaatan dengan jalan memuji Allah yang telah memberikan sandang dan pangan. Rasa terima kasih ini kemudian ditindaklanjuti dengan berbakti kepada-Nya. Sejalan dengan pengertian di atas, bersyukur dapat dilakukan dengan tiga cara: pertama, mengetahui nikmat Allah berupa sahnya iman dan ibadah. Kedua, memuji lisannya dengan ucapan Alhamdulillah. Ketiga, melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan Allah. Cara bersyukur semacam ini sejalan dengan penjelasan al-Qusyairi mengatakan bahwa bersyukur dapat dilakukan melalui lisan anggota badan dan hati. Makna lain dari pengertian syukur menurut Ahmad Rifa’i adalah adanya prioritas pada dua unsur pokok yaitu keimanan dan ketaatan serta tercukupinya sandang dan pangan. Pandangan ini memiliki relevansinya dengan sifat terpuji lainnya seperti Qona’ah yang berupa ketenangan hati memilih ridha Allah dengan cara mencari harta dunia sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan tersebut sebatas terpenuhinya hal-hal yang dapat membantu ketaatan melaksanakan kewajiban dan menjauhkan diri dari kemaksiatan. Sekalipun menganjurkan sikap sederhana, tetapi tidak menganjurkan sikap fakir sebagaimana yang ada dalam tradisi sufi tradisional, Ahmad Rifa’i tidak menganjurkan untuk menganjurkan untuk menolak akan tetapi menolak ketergantungan kepada harta. 8. Ikhlas Apa yang disebut ikhlas menurut Ahmad Rifa’i adalah membersihkan, sedangkan secara istilah ikhlas adalah membersihkan hati untuk Allah semata sehingga dalam beribadah tidak ada maksud lain kecuali kepada Allah. Segenap amal tidak akan diterima jika didasarkan oleh rasa ikhlas ini. Untuk mewujdkan keikhlasan dalam beribadah dituntut adanya dua rukun ikhlas; pertama, hati yang hanya bertujuan taat kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Kedua, amal ibadahnya disahkan oleh peraturan fikih. Dalam memberikan penjelasan mengenai kata ikhlas ini Ahmad Rifa’i hendak membawa persoalan kepada situasi amaliah keagamaan kalangan yang memiliki pamrih kepada selain Allah dalam setiap amal perbuatannya. Ia mengaitkan orang yang tidak ikhlas dalam beribadah dengan perbuatan syirik (menyekutukan Allah). Penjelasan ini memiliki kemiripan dengan17 tradisi tasawuf abad III Hijriah ketika para tokohnya semisal Hasan Basri yang menolak gaya hidup para penguasa yang dinilai dalam jalan yang salah. Pandangan di atas ini semakin memperjelas posisi Ahmad Rifa’i sebagai tokoh agama yang cukup keras terhadap penyimpangan yang memiliki keterkaitan dengan kekuasaan kolonial dan pembantu-pembantunya. Ia menyatakan bahwa orang-orang yang dalam ibadahnya memiliki pamrih terhadap urusan dunia maka tidak akan selamat bahkan dimasukkan dalam kategori kafir. b. Kriteria jiwa yang sakit 1. Hubb al Dunya (Mencintai Dunia) Menurutnya hubb al-dunya adalah cinta pada dunia, sedangkan secara istilah adalah cinta pada dunia yang dianggap mulia dan tidak melihat pada akhirat yang nantinya akan sia-sia 18 Perilaku ini dianggap Ahmad Rifa’i sebagai suatu perbuatan yang tercela karena memandang dunia lebih mulia dibanding akhirat. Ia menekankan celaan terhadap dunia yang dapat membawa orang lupa akan akhirat. Dengan batasan ini maka ia masih memberikan peluang untuk menyisihkan pada dunia selama tidak menjadikan orang lupa akan akhirat. 2. Tamak Pengertian tamak menurut Ahmad Rifa’i adalah hati yang rakus terhadap dunia sehingga tidak memperhitungkan halal dan haram yang mengakibatkan adanya dosa besar.19 Meskipun sifat ini dikemukakan dalam rangka takhalli, namun sebenarnya mengandung ajakan untuk menciptakan isolasi dengan kebudayaan kota sebagaimana ditampilkan oleh kekuasaan dan pejabat pribumi yang mengabdi untuk kepentingan pemerintah saat itu. Dalam kitabnya yang sarat dengan kritik yang ditujukan kepada masyarakat pribumi yang selalu mengabdikan pada pemerintah kolonial pada saat itu. Yang disebut itba al- hawa’ menurut Ahmad Rifa’i adalah menuruti hawa nafsu, sedangkan secara istilah adalah orang yang hatinya selalu mengikuti perbuatan buruk yang telah diharamkan oleh syariat. Pengertian tersebut dikemukakan dalam konteks mencela orang kafir di satu pihak dan orang munafik di satu pihak. 4. ‘Ujub Pengertian ujub menurutnya adalah: Ujub tegese anggawoaken dalem kebatinan Utawi makna istilah kapertelanan Iku majibaken sentosane badan Saking siksa akhirat keslametane Iku kawilang dosa gede ning batine.20 Terjemah: 'Ujub artinya mengherankan dalam batin Adapun makna istilah penjelasannya Yaitu memastikan kesentosaan badan Dari siksa akhirat keselamatannya. Sekalipun masuk dalam kategori haram dan dosa besar, namun Rifa'i masih memberi harapan untuk diampuni jika mau bertobat. Hanya saja ia membedakan antara tobatnya orang yang menjadi panutan dengan orang awam. Tobatnya orang yang menjadi panutan, harus melalui siksa terlebih dahulu karena telah banyak menyesatkan orang lain sebagaimana dinyatakan: "Orang alim yang tobat disiksa di neraka Sebab dosanya mengajak kepada durhaka besar Diikuti oleh orang banyak itu Itulah dosa zahir menjadi besar celaka." Secara bahasa ‘ujub adalah mengherankan dalam hati/batin. Sedangkan makna secara istilah adalah memastikan kesentosaan badan dari keselamatan siksa akhirat. Menurutnya ‘ujub yang sebenarnya adalah membanggakan diri atas hasil yang telah dicapai di dalam hatinya dan dengan angan-angan merasa telah sempurna baik dari segi ilmu maupun amalnya dan ketika ada seseorang tahu tentang ilmu dan amalnya maka ia tidak akan mengembalikan semua itu pada yang kuasa yakni telah memberikan nikmat tersebut, maka ia telah benar dikatakan’ujub. 5. Riya’ Yang dimaksud riya’ menurut Ahmad Rifa’i adalah memperlihatkan atas kebaikannya kepada manusia biasa. Sedangkan menurut istilah adalah melakukan ibadah dengan sengaja dalam hatinya yang bertujuan karena manusia (dunia) dan tidak beribadah semata-mata tertuju karena Allah. Dengan pengertian seperti ini beliau membatasi riya’ sebagai penyimpangan niat ibadah selain Allah. 6. Takabur Pengertian takabur menurut Ahmad Rifa’i adalah sombong merasa tinggi. Sedangkan menurut istilah adalah menetapkan kebaikan atas dirinya dalam sifat-sifat baik atau keluhuran yang disebabkan karena banyaknya harta dan kepandaian. Inti perbuatan takabur dalam pengertian tersebut adalah merasa sombong karena harta dan kapandaian yang dimiliki seseorang. 7. Hasud Jika penyakit hasud telah menyebar luas, dan setiap orang yang hasud mulai memperdaya setiap orang yang memiliki nikmat maka pada saat itu tipu daya telah menyebar luas pula dan tidak seorangpun yang selamat dari keburukannya karena setiap orang pembuat tipu daya dan diperdaya. Ahmad Rifa’i mengartikan hasud adalah berharap akan nikmatnya tuhan yang ada pada orang Islam baik itu ilmu, ibadah maupun harta benda. 8. Sum’ah Secara bahasa sum’ah adalah memperdengarkan kepada orang lain. Sedangkan secara istilah adalah melakukan ibadah dengan benar dan ikhlas karena Allah akan tetapi kemudian menuturkan kebaikannya kepada orang lain agar orang lain berbuat baik kepada dirinya. Dalam pembahasan ini beliau menekankan pada jalan yang harus ditempuh bagi seseorang muslim agar selalu mengerjakan sifatsifat terpuji dan menjauhi sifat-sifat tercela yang dapat membawanya pada kerusakan pada amaliah lahir maupun batin. Beliau mengajak kepada kita unuk berperilaku dengan benar, baik secara lahir maupun batin. Sedangkan untuk meninggalkan sifat tercela beliau menyatakan: Tan ngistoaken ing syarat sahe sembahyang Pada shalat teksir batalan syarat kurang Ikulah wong sasar anut syaitomn kawilang Dhahir becik ning donyane kesawang Iku wong pada kena rencanane syaiton Asih anut maring syaiton neroko pinaringan Terjemahannya: Tidak memperhatikan syarat sahnya sembahyang Sama melaksanakan shalat terksir rusak kurang syarat Itulah orang sesat mengikuti syaitan terbilang Lahirnya baik di dunia terlihat Itulah orang yang terrkena rencananya syaitan Cinta menggikuti kepada syaitan neraka didapat Dengan mengkaji atau menelaah pemikiran Kiai Haji Ahmad Rifa’i sebagaimana telah dikemukakan, bahwa Ahmad Rifa’i secara ekplisit tidak menyebutkan istilah kesehatan mental, namun secara implisit dengan membagi cara-cara pembersihan jiwa, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pembagiannya itu berhubungan dengan kesehatan mental. Sebagai buktinya ia mengemukakan konsep zuhud, qona’ah, shabar, tawakkal, mujahadah, ridho, syukur, ikhlas, cinta dunia, tamak, mengikuti hawa nafsu, ujub, riya, takabbur, hasad, dan sum’ah Konsep pemikiran K.H Ahmad Rifai, bila dihubungkan dengan metode perolehan dan pemeliharaan kesehatan mental, maka termasuk cara-cara penyucian diri. Dalam metode penyucian diri dikenal dengan istilah takhalli, tahalli dan tajalli.22 Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan juga dari kotoran-kotoran serta penyakit hati yang merusak, contohnya: hasud, al-hirsu, al-takabur, al-ghadhab, riya, sum’ah, ujub, syirik. Sedangkan Tahalli maksudnya adalah menghias diri dengan jalan membiasakan diri dengan sifat dan sikap perbuatan yang baik, contohnya: zuhud, warak, sabar, syukur, tawakal, dan sebagainya. Adapun tajalli berarti lenyap atau hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan atau terangnya Nur yang selama itu tersembunyi (gaib); atau fana segala sesuatu (selain Allah) ketika nampak wajah Allah. Dari sini tampak bahwa konsep K.H Ahmad Rifa’i sama dengan konsep tasawuf dalam menyucikan diri. Konsep takhalli, tahalli dan tajalli bila ditempuh oleh seseorang tentu saja akan memperoleh jiwa yang sehat. Ini berarti konsep K.H Ahmad Rifa’i, secara Implisit sangat berhubungan dengan kesehatan mental. Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran, dan penyakit hati yang merusak. Langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengetahui dan meyadari, betapa buruknya sifat-sifat tercela dan kotor tersebut, sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya. Bila hal ini bisa dilakukan dengan sukses, seseorang akan memperoleh kebahagiaan. Tahap selanjutnya ialah tahalli yakni menghias diri dengan jalan membiasakan dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak dan perilakunya selalu berjalan di atas ketentuan agama. Setelah seseorang melalui dua tahap tersebut maka tahap ketiga yakni tajalli, seseorang hatinya terbebaskan dari tabir (hijab) yaitu sifat-sifat kemanusian atau memperoleh nur yang selama ini tersembunyi (Ghaib) atau fana segala selain Allah ketika nampak (tajalli) wajah-Nya Apabila proses penyucian diri berupa takhalli, tahalli dan tajalli telah selesai dan berhasil dicapai selama dalam riyadhah, berarti seseorang telah memperoleh ketrampilan dan keahlian dalam memelihara kesehatan mental. Keahlian dan ketrampilan ini tidak hanya penting bagi orang yang mengalami masalah tapi juga bagi konselor terutama da’i yang tugasnya menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar. Seterusnya ia dapat melanjutkan ketrampilan dan keahliannya itu dengan lebih sempurna dengan mengkaji dan meneliti berbagai macam ilmu dan pengetahuan, khususnya yang relevan dengan keberadaan manusia dan segenap misterinya. Hal ini dapat dilakukan baik lewat kajian-kajian teori, aplikasi maupun empirik, baik alam lahir manusia maupun alam batinnya. Pemberdayaan terhadap potensi dan keahlian yang bertingkat-tingkat itu adalah dengan berupaya meningkatkan pemahaman penghayatan dan pengalaman-pengalaman ibadah seperti pada fase tahalli pada tingkat yang lebih tinggi. Semakin dalam dan kokohnya pemberdayaan itu maka akan kian meningkatkan keahlian dan ketrampilan dalam melaksanakan tugasnya sebagai konselor (jika ia menjadi konselor), psikodiagnostikus dan psikoterapis secara proporsional dan profesional. Karena proses pemahaman dan penerimaan informasi serta data melalui kajian teori, aplikasi dan empirik yang bersifat lahiriyah maupun batiniah adalah selalu dalam bimbingan illahiyah. Konselor, psikodiagnostikus dan psikoterapis dalam Islam, mereka bukan sekadar manusia biasa dan orang kebanyakan akan tetapi mereka adalah hamba Allah yang memikul amanat dan tanggung jawab yang besar yaitu tidak hanya sebagai hamba Allah tetapi juga sebagai wakil Allah dalam mendidik, mengembangkan, memberdayakan dan melindungi serta menyembuhkan alam dari kerusakan dan kehancuran; khususnya adalah manusia sebagai alam kecil dan umumnya alam lingkungan semesta sebagai alam kabir. Allah Zat Wajibul Wujud, yang Maha konselor, Maha psikodiagnostikus dan Maha Psikoterapis. Oleh karena itu seseorang tidak akan dapat memahami, mengetahui dan mempelajari seluk beluk manusia secara sempurna jika tidak belajar dan menimba ilmu pengetahuan itu dari- Nya Dari uraian di atas jelaslah kiranya bahwa konsep Ahmad Rifa’i dapat dijadikan sebagai sarana untuk menciptakan ketenangan jiwa, rasa dilindungi oleh yang kuasa dan termanifestasikannya seluruh potensi hidup manusia ke jalan yang benar menuju ridha illahi. Keutuhan kepribadian atau kemantapan kepribadian merupakan kerja fungsi-fungsi yang harmonis atau aspek-aspek kejiwaan yang meliputi kehidupan jasmaniah, psikologis dan kehidupan sosial budaya. Keutuhan kepribadian itulah yang menentukan kebahagiaan seseorang. Pengertian bahagia bersifat relatif, bergantung dari pengertian konsep manusia dan tujuan hidupnya. Bagi muslim yang mempunyai tujuan hidup beribadah, kebahagiaan akan tercapai apabila ia mampu memahami, menghayati dan mengamalkan kenikmatan-kenikmatan yang terdapat dalam beribadah, baik berupa melaksanakan perintah Tuhan maupun meninggalkan larangannya. Penghayatan bahwa ia berasal dari Allah, melaksanakan aktivitas atas bantuan Allah semua itu dilakukan untuk dan karena Allah dan kembali berserah diri kepada Allah merupakan inti kehidupan muslim yang bersifat dinamis. Derajat penghayatan tersebut merupakan ukuran bagi tingkatan kebahagiaan. Dewasa ini kesehatan mental berusaha membina kesehatan mental dengan memandang manusia sebagaimana adanya. Artinya, kesehatan mental memandang manusia sebagai satu kesatuan psikosomatis, kesatuan jiwa raga atau kesatuan jasmani rohani secara utuh. Jiwa yang sehat merupakan tujuan kesehatan mental. Psikoterafi menangani orang sakit untuk disembuhkan dan kesehatan mental menangani orang yang sehat untuk dibina agar tidak jatuh menjadi sakit jiwa. Kedua ilmu itu saling berkaitan. Psikologi dan agama merupakan dasar atau landasan dan sekaligus sebagai alat, baik untuk menyembuhkan gangguan jiwa maupun untuk pembinaan kesehatan mental. Baik agama maupun psikologi berupaya membentuk, mengolah, membina dan mengembangkan kepribadian yang utuh, kaya rohani dan mantap Pribadi yang utuh atau kepribadian yang terintegrasi menunjukkan adanya susunan hirarkis yang teratur dan kerjasama yang harmonis antara fungsi-fungsi kejiwaan atau aspek-aspek mental. Kalau fungsi kejiwaan bekerja terpisah satu sama lain, tidak ada keterarutan susunan secara hirakis, tidak ada penjalinan, tetapi tiap fungsi atau aspek seolah-olah merupakan kesatuan yang berdiri sendiri, maka kepribadian menunjukkan desintegrasi atau disharmoni. Demikian pula kalau fungsi kejiwaan itu bekerja secara berlawanan. Kalau pada seseorang terjadi kekacauan peranan fungsi kejiwaan maka keadaan mentalnya tegang. Derajat integrasi dan keharmonisan menunjukkan derajat keutuhan kepribadian dan derajat kesehatan mental. Dari uraian di atas tampak bahwa konsep tasawuf K.Ahmad Rifa'i mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan mental. Dikatakan demikian karena ajaran yang dikemukakannya berhubungan dengan jiwa manusia. Dengan mengklasifikasikan sifat-sifat tercela dan sifat-sifat terpuji manusia, menunjukkan bahwa ia menghendaki agar manusia mampu mengenal dirinya dan Tuhan-Nya. Pemikiran seperti ini termasuk metode pembersihan diri, dan metode pembersihan diri terkait dengan aspek kebutuhan manusia pada Tuhan serta pada dirinya sendiri dalam upaya mewujudkan rida ilahi di atas mental yang sehat. Metode pembersihan diri versi KH.Ahmad Rifa'i ada relevansinya dengan kesehatan mental. Dikatakan demikian karena apabila seseorang mengamalkan konsep KH.Ahmad Rifa'I maka secara otomatis akan membentuk jiwa atau mental yang sehat. Dengan demikian manakala teori KH.Ahmad Rifa'I diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari maka merupakan keniscayaan bahwa mental orang itu menjadi sehat. Dengan jiwa yang bersih dan dengan selalu membuang sifat-sifat yang tercela dan mengisi dengan sifatsifat yang terpuji maka manusia tersebut dapat menghindar dari kecemasan, kegelisahan dan kekosongan jiwa dari sentuhan agama. Hal ini sudah barang tentu berimbas pada mental yang terkait di dalamnya aspek rohani manusia itu.
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net