• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Tampilkan postingan dengan label Tokoh Sufi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh Sufi. Tampilkan semua postingan
Senin, 26 April 2010
no image

Syekh Usman al-Ishaqi Sawahpulo

KH. Utsman Al Ishaqi ra


Bagi murid-murid atau pengikut Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah, figur Kiyai Utsman tidak asing lagi. Karena di samping beliau sebagai mursyidnya, juga penyusun silsilah thariqah yang paling banyak pengikutnya ini.

Lahir di Surabaya pada bulan Jumadil Akhir 1334 H setelah bertapa selama 16 bulan dalam rahim ibu, beliau memiliki silsilah keturunan hingga Rasulullah SAW yang ke 37, Kiyai Utsman lebih banyak masa kecilnya dihabiskan untuk belajar dan mengaji ke beberapa guru di lingkungan beliau lahir. Tak heran jika pada usia 7 tahun Kiyai Utsman kecil telah 3 kali khatam Al Qur’an.

Nasab beliau

Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.

Pesantren yang pertama kali disinggahi untuk menuntut ilmu ialah pesantren yang diasuh oleh Kiyai Khozin Siwalan Panji. Tidak lama kemudian beliau pindah ke pesantren yang diasuh Kiyai Munir Jambu Madura. Selanjutnya oleh kedua orang tuanya, Kiyai Utsman dipondokkan di pesantren Tebuireng Jombang asuhan KH. Hasyim Asy’ari dan akhirnya Kiyai Utsman memantapkan hatinya untuk memperdalam ilmunya di pesantren Rejoso Peterongan Jombang yang diasuh oleh Kiyai Romly At Tamimi.
Mengenal thariqah


Perjalanan Kiyai Utsman dalam mencari ilmu diwarnai dengan berbagai lelaku. Tidak saja dalam hal makanan dan minuman saja yang harus dihindari. Akan tetapi juga dalam hal memperbanyak waktu untuk tidurpun juga harus dijalani. Dalam hal tirakat, Yai Utsman tidak pernah pulang ke rumah selama mondok, kecuali badannya sudah kurus benar. Sebab jika pulang dalam keadaan badan gemuk, dapat dipastikan kedua orang tuanya akan marah besar. Jika hal ini terjadi, berarti selama mondok dianggap aktifitasnya hanya makan dan minum saja, bukan mencari ilmu.


Setelah cukup waktu nyantri di Kiyai Romly, Kiyai Utsman dibai’at oleh Kiyai Romly sebagi murid thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah dan sekaligus mendapat tugas dari kiyainya untuk menyusun silsilah thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah yang terhimpun dalam kitab Tsamrotul Fikriyah.
Konon, KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.

Kiai Utsman mengembangkan tarekat di Kedinding Lor Surabaya. Penerusnya Kiai Ahmad Asrori. Dikembangkan kegiatan khushushiyah setiap Ahad pertama bulan Hijriyah di Jatipurwo dan Ahad kedua di Kedinding Lor. Pengikut kegiatan bisa mencapai rata-rata 4.000 orang (lebih banyak dari Rejoso dan Cukir yang pada saat itu berjumlah rata-rata 1.000 orang).Dalam perkembangannya penerus Tarekat Kedinding Lor, Kiai Hilmi Ahmad, mengemukakan sikap pendirinya, bahwa tarekatnya netral, tidak memihak salah satu organisasi sosial politik manapun. Alasannya, kegiatan tarekat untuk ibadah, dzikir kepada Allah, taqarrub kepada Allah.
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. QS. Al Mujaadalah {58] : 11


Babak kehidupan baru pun dimulai, setelah dirasa cukup dalam menimba ilmu dan telah menjadi salah satu murid thariqah, Kiyai Utsman pulang kampung untuk mengamalkan berbagai disiplin ilmu yang telah dimilikinya. Akan tetapi meski telah berada di lingkungan keluarga, Kiyai Utsman masih secara rutin hadir ke Kiyai Romly untuk mengikuti majelis khususi dengan cara berjalan kaki, kadang juga naik kendaraan dan itu dilakukan selama empat tahun. Selanjutnya atas saran KH. Hasyim Asy’ari, Kiyai Utsman beserta keluarga pindah sementara ke Peterongan agar lebih dekat dengan gurunya.

Diba’iat menjadi mursyid
Dalam pandangan Kiyai Romly, Kiyai Utsman selama mondok dan sebagai murid Thariqah, memiliki keistimewaan dan kekhususan yang tidak dimiliki oleh santri lainnya. Seperti ketika Kiai Utsman berusia 13 tahun memiliki kemampuan melihat Ka’bah di Makkah tanpa harus datang ke Masjidil Haram. Juga kemampuannya melihat kepribadian seseorang menyerupai serigala, dan hewan sejenis tergantung nafsunya masing-masing. Termasuk selama mondok di Rejoso ini Kiyai Utsman sering dijumpai oleh Nabi Khidir as.

Kiyai Romly berpendapat bahwa untuk untuk meneruskan ajaran thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah, diperlukan estafet kepemimpinan thariqah dalam hal ini diperlukan seorang mursyid (guru) baru. Ini dimaksudkan agar ajaran thariqah tetap langgeng sampai kiamat nanti. Diantara sekian murid (santri) yang menurut pandangan Kiyai Romly memiliki kemampuan sebagai mursyid thariqah ialah Kiyai Utsman.

Maka pada suatu hari tepatnya jam 2 dini hari Kiyai Utsman diminta menghadap Kiyai Romly untuk diangkat menjadi Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah. Ketika Kiyai Romly melaksanakan perintah Allah dengan cara mengusapkan tangannya di atas kepala Kiyai Utsman, maka seketika itu pula Kiyai Utsman pingsan tidak sadarkan diri selama satu minggu, selama itu pula beliau tidak makan tidak minum tidak tidur tidak mandi tidak buang air besar maupun kecil juga tidak solat.

Setelah resmi menjadi mursyid, Kiyai Utsman atas saran Kiyai Romly diminta tinggal di Desa Ngelunggih tidak jauh dari Rejoso. Tidak beberapa lama kemudian Kiyai Utsman pindah ke dekat gunung Lawu Ngawi untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Ketika ada peristiwa Madiun, banyak yang menyarankan agar Kiyai Utsman pulang kampung di Surabaya. Meski masyarakat dimana beliau tinggal banyak yang keberatan, bahkan jika Kiyai Utsman mau tetap tinggal di Ngawi, ada sebagian masyarakat berkenan menghibahkan tanah seluas 20 ha. Akan tetapi Kiyai Utsman tetap memilih kembali ke Surabaya.

Istiqomah dalam perilaku

Kiyai Utsman sejak kecil hingga akan pulang ke rahmatullah selalu istiqomah dalam perilaku. Perbuatan serta ucapan-ucapannya selalu meniru Rasulullah. Semua menyaksikan bahwa seluruh waktunya hanyalah untuk mengabdi kepada Allah. Maka pantaslah jika kemudian Kiyai Romly memilih Kiyai Utsman sebagai kholifahnya. Dalam hal ini Kiyai Romly pernah bermimpi bahwa di Surabaya terdapat sebuah pabrik besar yang terus menerus berproduksi di bawah pimpinan Kiyai Utsman, itulah thariqah Qadiriyah Wan Naqsabadiyah yang beliau asuh.

Karena saking cintanya kepada Syech Abdul Qadir Al Jailani ra. Kiyai Utsman kemudian merintis penyelenggaraan manaqiban dengan cara membaca sejarah singkat Syech Abdul Qadir Al Jailani ra seorang ulama besar asal Timur Tengah. Kegiatan yang merupakan rintisan ini ternyata mendapat sambutan yang cukup baik dari Kiyai Romly Rejoso dan akhirnya Kiyai Romly menyetujui dan meminta untuk diteruskan (dilanggengkan).

Salah satu kegemaran Kiyai Utsman ialah melakukan ziarah ke wali wali Allah baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Bahkan karena dekatnya hubungan beliau dengan para wali Allah, Kiyai Utsman menyemarakkan peringatan hari wafat mereka, terutama wafatnya Syech Abdul Qadir Al Jailani ra. sehingga tiada terlewatkan setiap harinya di kota maupun di desa di Jawa Timur untuk senantiasa menggelar manaqib.
Setelah Kiyai Utsman mendapat kepercayaan dari kiyai Romly sebagai kholifah (mursyid thariqah), beliau di rumah Jatipurwo menggelar acara manaqiban selama 4 tahun yang hanya diikuti oleh 7 orang. Di tengah tengah memimpin istighotsah, Kiyai Utsman .didatangi oleh seseorang yang tidak dikenal, kemudian menelentangkan Kiyai Utsman dengan sebilah pedang di leher kiyai. Peristiwa tragis ini kemudian disampaikan ke Kiyai Romly, dan beliau hanya menjawab “teruskan apa yang telah kamu amalkan, pasti orang itu tidak berani lagi mengulangi perbuatan yang sama”. Apa yang yang disampaikan oleh Kiyai Romly benar benar terjadi, bukannya orang tersebut mengulangi lagi perbuatan yang sama, akan tetapi malah menjadi pengikut Kiyai Utsman yang setia.

Beberapa karomah yang dimiliki Kiyai Utsman
KH. Ahmad Asrori Al ishaqi (salah satu putra Kiyai Utsman) menceritakan, ketika ayahnda berusia 13 tahun mempunyai kemampuan melihat ka’bah secara nyata dari rumahnya Jatipurwo Surabaya. Beliau menganggap, apa yang dilihatnya merupakan mimpi, tapi setelah berkali kali matanya diusap, bahwa apa yang dia lihat bukan sekedar mimpi, akan tetapi benar benar terjadi dan yang tampak hanyalah ka’bah di Makkah. Kemudian Kiyai Utsman minta dibelikan kaca mata, beliau mengira bahwa matanya sudah rusak. Setelah dibelikan dan dipakai, ternyata hasilnya sama saja. Menurut Kiyai Asrori, itulah awal kasyaf yang dialami ayahndanya dan sejak saat itu Kiyai Utsman bisa melihat orang dengan segala kepribadiannya. Ada yang menyerupai serigala, ada yang seperti ayam dan kucing tergantung pembawaan nafsu masing-masing. Akan tetapi Kiyai Utsman tidak berani mengatakan terus terang, karena hal itu menyangkut kerahasiaan seseorang.
Pada saat bermukim di lereng gunung dekat Ngawi, Kiyai Utsman pernah bermimpi ketemu Kiyai Hasyim Asy’ari Tebuireng dan berpamitan dengan Kiyai Utsman dengan mengatakan “saya duluan Utsman !” ternyata pada esok harinya beliau mendengar berita bahwa Kiyai Hasyim Asy’ari meninggal dunia (pulang kerahmatullah).
Kiyai Muhammad Faqih Langitan Tuban pernah mengatakan bahwa Kiyai Zubeir Sarang Rembang bermimpi ketemu Rasulullah SAW sedang menemui 2 orang laki laki dan Rasulullah menyatakan kepada Kiyai Zubeir “keluargaku banyak tersebar di tanah Jawa diantaranya ialah Romly dan Utsman”.
Salah seorang sopir Kiyai Utsman pernah mengatakan, dalam perjalanan dari Rejoso menuju Surabaya, tiba tiba mobil yang dikendaraai Kiyai Utsman bensinnya habis. Padahal seluruh uang sakunya telah diserahkan ke pondok. Kemudian Kiyai memerintahkan kepada sopirnya “begini saja, tangki mobil diisi dengan air teh tanpa gula secukupnya” karena sopir itu percaya dengan kiyai, maka perintah itu dilaksanakan dengan sepenuh hati. Kemudian yai menanyakan “sudah kau isi bensin ?” jawab sopir “mobil kami isi dengan teh sesuai dawuh yai” yai pun segera mengajak pulang ke Surabaya. Dan alhamdulillah mobil bisa berjalan ke Surabaya dengan bahan bakar teh.

Demikian sepenggal biografi ulama besar KH. Utsman Al Ishaqi asal Jatipurwo Surabaya, yang kemudian nama beliau terpatri dalam nama Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah. Sepeninggal Kiyai Usman, tongkat estafet mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah diberikan kepada salah satu putranya yakni KH. Ahmad Asrori Al Ishaqi. Pengalihan tugas itu berdasarkan wasiat Kiyai Utsman menjelang wafatnya. Kini dibawah kendali Kiyai Asori murid murid thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah telah tersebar ke seluruh pelosok tanah air, bahkan hingga manca negara dan timur tengah. Semoga biografi Kiyai Utsman dapat diambil ibrahnya untuk pegangan hidup kita dalam beribadah dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akherat. Amien Allahumma amin !!!
no image

Syekh Muhammad Kholil Bangkalan

PULAU Madura yang terletak di Jawa Timur ramai melahirkan ulama besar sejak zaman dulu hingga sekarang. Salah seorang di antara mereka yang diriwayatkan ini, nama lengkapnya ialah Kiyai Haji Muhammad Khalil bin Kiyai Haji Abdul Lathif bin Kiyai Hamim bin Kiyai Abdul Karim bin Kiyai Muharram bin Kiyai Asrar Karamah bin Kiyai Abdullah bin Sayid Sulaiman.

Yang terakhir ini (Sayid Sulaiman) dikatakan adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang terkenal itu. Salasilah selanjutnya, adalah Syarif Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin @ Umdatullah @ Abdullah yang memerintah di Cam (Campa). Ayahnya pula ialah Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid Jamaluddin al-Kubra (wafat di Tuwajok, Sulawesi), dan seterusnya hingga ke atas.

Memperhatikan salasilah di atas, maka bererti ulama yang berasal dari Pulau Madura yang diriwayatkan ini, adalah daripada asal salasilah dengan Syeikh Nawawi al-Bantani atau Imam Nawawi ats-Tsani ulama yang berasal dari Banten, Jawa Barat, yang riwayatnya telah dimuatkan dalam Ruangan Agama, Utusan Malaysia, 7 Februari 2005. Dalam salasilah Syeikh Nawawi al-Bantani, Sayid Ali Nurul Alam itu bernama Ali Nuruddin, disebutkan al-mutawaffa fil Anam bis Shin (maksudnya wafat di Anam, negeri China).

Dalam salasilah ulama Patani, Ali Nurul `Alam itu bernama Ali al-Masyhur al-Laqihi. Pada masa mudanya pernah ke Jawa, kemudian menyebarkan Islam ke Madura dan Sumbawa, kemudian pulang ke Cam/ Campa dan seterusnya ke Patani memperoleh beberapa orang anak. Di antaranya bernama Wan Muhammad Shalih al-Laqihi al-Fathani. Beliau ini memperoleh seorang anak, iaitu Zainal Abidin @ Faqih Wan Musa al-Fathani, kuburnya telah ditemui di Kampung Tok Diwa, Sena, Patani. Beliau adalah ulama yang membuka Kampung Sena, Patani. Memperhatikan catatan ini bererti bahawa Wan Muhammad Shalih al-Laqihi adalah saudara seayah dengan Sultan Umdatuddin di Cam/Campa itu kerana kedua-duanya putera Ali Nurul `Alam. Bererti pula bahawa Faqih Wan Musa al- Fathani adalah saudara sepupu dengan Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati, salah seorang Wali Sembilan (di Jawa) yang sangat terkenal itu, kerana kedua-duanya adalah cucu Ali Nurul `Alam. Wan Muhammad Shalih al-Laqihi keturunan lurusnya ke bawah, iaitu Syeikh Wan Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani. Ali Nurul `Alam yang tersebut itu wafat di Cam/Campa, yang oleh kebanyakan penulis, terutama penulis-penulis Indonesia, mengatakan di Anam itu. Dalam catatan ulama Patani disebut bahawa jenazah Ali Nurul `Alam itu telah dipindahkan di Binjal Lima Patani.

Daripada apa yang disebutkan di atas, salasilah Kiyai Khalil al-Maduri (Madura) selain satu salasilah dengan Syeikh Nawawi al-Bantani, bererti juga satu salasilah dengan Syeikh Ahmad al-Fathani. Catatan ini saya nyatakan di sini adalah hasil penyelidikan terkini, dan keterangan selengkapnya saya bicarakan dalam Tabaqat Ulama Asia Tenggara jilid 1.

Pendidikan
Kiyai Muhammad Khalil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrah/27 Januari 1820 Masihi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Kiyai Haji Muhammad Khalil berasal daripada keluarga ulama. Pendidikan dasar agama diperolehnya langsung daripada keluarga. Menjelang usia dewasa, beliau dikirim ke berbagai-bagai pondok pesantren. Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiyai Muhammad Khalil belajar kepada Kiyai Muhammad Nur di Pondok-pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok-pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok-pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kiyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya. Dalam masa masih menjadi santeri/pelajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa lagi Muhammad Khalil telah menghafal beberapa matan, yang pasti ialah Matan Alfiyah Ibnu Malik (1,000 bait) mengenai ilmu nahu yang terkenal itu. Selanjutnya beliau juga seorang hafiz al-Quran tiga puluh juzuk. Beliau berkemampuan dalam qiraah tujuh (tujuh cara membaca al-Quran). Tidak jelas apakah al-Quran tiga puluh juzuk telah dihafalnya sejak di Jawa atau pun setelah menetap di Mekah berpuluh-puluh tahun.

Pada 1276 Hijrah/1859 Masihi, Kiyai Muhammad Khalil melanjutkan pelajarannya ke Mekah. Di Mekah Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri bersahabat dengan Syeikh Nawawi al-Bantani. Ulama-ulama dunia Melayu di Mekah yang seangkatan dengan Syeikh Nawawi al-Bantani (lahir 1230 Hijrah/1814 Masihi), Kiyai Khalil al-Manduri (lahir 1235 Hijrah/1820 Masihi), Syeikh Muhammad Zain bin Mustafa al-Fathani (lahir 1233 Hijrah/1817 Masihi), Syeikh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani (lahir 1234 Hijrah/1818 Masihi), Kiyai Umar bin Muhammad Saleh Semarang dan ramai lagi. Di antara gurunya di Mekah ialah Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Saiyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani dan ramai lagi. Beberapa sanad hadis yang musalsal diterima daripada sahabatnya Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Walau pun Syeikh Ahmad al-Fathani jauh lebih muda daripadanya, iaitu peringkat anaknya, namun kerana tawaduknya, Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri pernah belajar kepada ulama yang berasal dari Patani itu. Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri termasuk generasi pertama mengajar karya Syeikh Ahmad al-Fathani berjudul Tashilu Nailil Amani, tentang nahu dalam bahasa Arab, di pondok-pesantrennya di Bangkalan. Karya Syeikh Ahmad al-Fathani yang tersebut kemudian berpengaruh dalam pengajian ilmu nahu di Madura dan Jawa sejak itu, bahkan hingga sekarang masih banyak pondok-pesantren tradisional di Jawa dan Madura diajarkan kitab itu.

Saya tidak sependapat dengan tulisan yang menyebut bahawa Kiyai Muhammad Khalil teman seangkatan dengan Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syeikh Muhammad Yasin Padang (majalah Amanah 42 dan Ensiklopedia Islam Indonesia), kerana sewaktu Kiyai Muhammad Khalil ke Mekah tahun 1276 Hijrah/1859 Masihi, Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau baru dilahirkan (1276 Hijrah/1859-1860 Masihi). Syeikh Muhammad Yasin Padang pula belum dilahirkan, beliau jauh kebelakang daripada Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau. Syeikh Yasin Padang meninggal dunia sekitar tahun 1990an. Kemungkinan ayah Syeikh Yasin Padang, iaitu Syeikh Isa bin Udik Padang itulah yang bersahabat dengan Syeikh Muhammad Khalil al-Maduri.

Mengenai ilmu thariqat, Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri belajar kepada beberapa orang ulama thariqat yang terkenal di Mekah pada zaman itu, di antaranya daripada Syeikh Ahmad Khatib Sambas diterimanya baiah dan tawajjuh Thariqat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Thariqat Naqsyabandiyah juga diterimanya daripada Sayid Muhammad Shalih az-Zawawi, dan selainnya ramai lagi, di antaranya termasuk kepada Syeikh Utsman Dimyathi juga.

Sewaktu berada di Mekah untuk perbelanjaannya sehari-hari, Kiyai Muhammad Khalil bekerja mengambil upah sebagai penyalin risalah-risalah yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahawa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, iaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang) menyusun kaedah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.

Murid-muridnya yang terkenal
Oleh sebab Kiyai Muhammad Khalil cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Mekah, maka sewaktu pulang dari Mekah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahu, fikah, thariqat ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiyai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. Pondok-pesantren tersebut kemudian diserahkan pimpinannya kepada anak saudaranya, sekali gus adalah menantunya, ialah Kiyai Muntaha. Kiyai Muntaha ini berkahwin dengan anak Kiyai Muhammad Khalil bernama Siti Khatimah. Adapun beliau sendiri (Kiyai Khalil) mendirikan pondok-pesantren yang lain di Kota Bangkalan, letaknya sebelah Barat kota tersebut dan tidak berapa jauh dari pondok-pesantrennya yang lama.

Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri adalah seorang ulama yang bertanggungjawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sedar benar bahawa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya. Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus peratus memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristian. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekah telah berumur lanjut, tentunya Kiyai Muhammad Khalil tidak melibatkan diri dalam medan fizik, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya. Kiyai Muhammad Khalil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda kerana dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. Sama ada tokoh ulama mahu pun tokoh-tokoh lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan daripada Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri itu.

Di antara sekian ramai murid Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri yang tidak asing lagi, yang cukup umum diketahui, dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah Kiyai Haji Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama atau singkatannya NU); Kiyai Haji Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang); Kiyai Haji Bisri Syansuri (pendiri Pondok-pesantren Denanyar); Kiyai Haji Ma’shum (pendiri Pondok-pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda Kiyai Haji Ali Ma’shum), Kiyai Haji Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang); dan Kiyai Haji As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo). Salah seorang muridnya yang menyebarkan Islam melalui Thariqat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Muzhariyah ialah Kiyai Haji Fathul Bari. Kiyai Haji Fathul Bari yang tersebut sangat ramai muridnya di Madura, Jawa dan Kalimantan Barat. Sebagaimana gurunya, Kiyai Haji Fathul Bari juga dikatakan banyak melahirkan kekeramatan. Kubur beliau terletak di Kampung Peniraman, Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Dan masih ramai murid Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri yang muncul sebagai tokoh-tokoh besar yang belum sempat dicatat dalam artikel ringkas ini.

Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri, wafat dalam usia yang lanjut, 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah/14 Mei 1923 Masihi.
no image

Syekh Shohibul Wafa Tajul Arifin

KH. A Shohibulwafa Tajul Arifin yang dikenal dengan nama Abah Anom, dilahirkan di Suryalaya tanggal 1 Januari 1915. Beliau adalah putra kelima Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad, pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, dari ibu yang bernama Hj Juhriyah. Pada usia delapan tahun Abah Anom masuk Sekolah Dasar (Verfolg School) di Ciamis antara tahun 1923-1928. Kemudian ia masuk Sekolah Menengah semacan Tsanawiyah di Ciawi Tasikmalaya. Pada tahun 1930 Abah Anom memulai perjalanan menuntut ilmu agama Islam secara lebih khusus. Beliau belajar ilmu fiqih dari seorang Kyai terkenal di Pesantren Cicariang Cianjur, kemudian belajar ilmu fiqih, nahwu, sorof dan balaghah kepada Kyai terkenal di Pesantren Jambudipa Cianjur. Setelah kurang lebih dua tahun di Pesantren Jambudipa, beliau melanjutkan ke Pesantren Gentur, Cianjur yang saat itu diasuh oleh Ajengan Syatibi.

Dua tahun kemudian (1935-1937) Abah Anom melanjutkan belajar di Pesantren Cireungas, Cimelati Sukabumi. Pesantren ini terkenal sekali terutama pada masa kepemimpinan Ajengan Aceng Mumu yang ahli hikmah dan silat. Dari Pesatren inilah Abah Anom banyak memperoleh pengalaman dalam banyak hal, termasuk bagaimana mengelola dan memimpin sebuah pesantren. Beliau telah meguasai ilmu-ilmu agama Islam. Oleh karena itu, pantas jika beliau telah dicoba dalam usia muda untuk menjadi Wakil Talqin Abah Sepuh. Percobaan ini nampaknya juga menjadi ancang-ancang bagi persiapan memperoleh pengetahuan dan pengalaman keagaman di masa mendatang. Kegemarannya bermain silat dan kedalaman rasa keagamaannya diperdalam lagi di Pesantren Citengah, Panjalu, yang dipimpin oleh H. Junaedi yang terkenal sebagai ahli alat, jago silat, dan ahli hikmah.Setelah menginjak usia dua puluh tiga tahun, Abah Anom menikah dengan Euis Siti Ru’yanah. Setelah menikah, kemudian ia berziarah ke Tanah Suci. Sepulang dari Mekah, setelah bermukim kurang lebih tujuh bulan (1939), dapat dipastikan Abah Anom telah mempunyai banyak pengetahuan dan pengalaman keagamaan yang mendalam. Pengetahuan beliau meliputi tafsir, hadits, fiqih, kalam, dan tasawuf yang merupakan inti ilmu agama. Oleh Karena itu, tidak heran jika beliau fasih berbahasa Arab dan lancar berpidato, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda, sehingga pendengar menerimanya di lubuk hati yang paling dalam. Beliau juga amat cendekia dalam budaya dan sastra Sunda setara kepandaian sarjana ahli bahasa Sunda dalam penerapan filsafat etnik Kesundaan, untuk memperkokoh Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Bahkan baliaupun terkadang berbicara dalam bahasa Jawa dengan baik.Ketika Abah Sepuh Wafat, pada tahun 1956, Abah Anom harus mandiri sepenuhnya dalam memimpin pesantren. Dengan rasa ikhlas dan penuh ketauladan, Abah Anom gigih menyebarkan ajaran Islam. Pondok Pesantren Suryalaya, dengan kepemimpinan Abah Anom, tampil sebagai pelopor pembangunan perekonomian rakyat melalui pembangunan irigasi untuk meningkatkan pertanian, membuat kincir air untuk pembangkit tenaga listrik, dan lain-lain. Dalam perjalanannya, Pondok Pesantren Suryalaya tetap konsisten kepada Tanbih, wasiat Abah Sepuh yang diantara isinya adalah taat kepada perintah agama dan negara. Maka Pondok Pesantren Suryalaya tetap mendukung pemerintahan yang sah dan selalu berada di belakangnya.
Abah Anom & Istri (Hj. Yoyoh / Ummy)
Abah Anom
Di samping melestarikan dan menyebarkan ajaran agama Islam melalui metode Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Abah Anom juga sangat konsisten terhadap perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Maka sejak tahun 1961 didirikan Yayasan Serba Bakti dengan berbagai lembaga di dalamnya termasuk pendidikan formal mulai TK, SMP Islam, SMU, SMK, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Aliyah kegamaan, Perguruan Tinggi (IAILM) dan Sekolah Tinggi Ekonomi Latifah Mubarokiyah serta Pondok Remaja Inabah. Didirikannya Pondok Remaja Inabah sebagai wujud perhatian Abah Anom terhadap kebutuhan umat yang sedang tertimpa musibah. Berdirinya Pondok Remaja Inabah membawa hikmah, di antaranya menjadi jembatan emas untuk menarik masyarakat luas, para pakar ilmu kesehatan, pendidikan, sosiologi, dan psikologi, bahkan pakar ilmu agama mulai yakin bahwa agama Islam dengan berbagai disiplin Ilmunya termasuk tasawuf dan tarekat mampu merehabilitasi kerusakan mental dan membentuk daya tangkal yang kuat melalui pemantapan keimanan dan ketakwaan dengan pengamalan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, Abah Anom menunjuk tiga orang pengelola, yaitu KH. Noor Anom Mubarok BA, KH. Zaenal Abidin Anwar, dan H. Dudun Nursaiduddin.
no image

Syekh Musta'in Romly

Hidup kira-kira 1920-1984. Setelah ayahnya wafat, Kiai Musta’in memangku Pesantren Darul Ulum Peterongan, Rejoso (Jombang) dan Syaikh tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yang memiliki puluhan ribu pengikut di Jawa Timur. Kiai Romly bin Tamim, meninggal dunia pada 1958, dia menggantikan kedudukan ayahnya baik sebagai kiai maupun syaikh tarekat. Baik Kiai Romly maupun Kiai Musta’in sama-sama tidak punya jabatan formal di NU, kecuali pada tingkat lokal.

KH Musta’in Romly lahir di Rejoso pada tanggal 31 Agustus 1931. Sejak kecil ia mendapat didikan langsung dari kedua orang tuanya. Dan baru tahun tahun 1949 M melanjutkan studi di Semarang dan Solo di Akademi Dakwah Al Mubalighoh, diperguruan ini bakat kepemimpinannya menonjol sehingga pada waktu singkat mengajak sahabat-sahabatnya yang berasal dari daerah Jombang mendirikan Persatuan Mahasiswa Jombang. Studi di Lembaga ini diakhiri pada tahun 1954 M.

Pada tahun 1954 M beliau aktif di Nahdhatul Ulama Jombang tempat asalnya dan kemudian menjadi pengurus IPNU Pusat tahun 1954 sampai 1956. Upaya menerpa diri untuk lebih matang sebagai pimpinan Pondok Pesantren, KH Musta’in Romly banyak beranjang sana ke berbagai pondok pesantren dan lemnaga pendidikan pada umumnya. Mulai tingkat nasional sampai internasional. Dalam kaitan inilah pada tahun 1963 M beliau Muhibbah ke Negara-negara Eropa dan Timur Tengah, yang huga berziarah ke makam Syeh Abdul Qodir Al Jailani tokoh pemprakarsa Thoriqoh Qodiriyah, di Irak.

Hal ini penting mengingat beliau adalah Al Mursyid Thariqah Qodiriyah Wannaqsabandiyah mewarisi keguruan KH Romly Tamim dam KH Cholil Rejoso. Oleh-oleh dari kunjungan muhibbah ini antara lain yaitu mendorong berdirinya Universitas Darul Ulum pada tanggal 18 September 1965. Universitas Darul Ulum sendiri diprakasai Dr KH Musta’in Romly, KH Bhisry Cholil, K. Ahmad Baidhowi Cholil, Mohammad Wiyono (mantan Gubernur Jatim), KH Muh. As’ad Umar dan Muhammad Syahrul, SH. Untuk melengkapi keabsahan KH Musta’in Romly sebagai Rektor, pada tahub 1977 beliau mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Macau University. Pada tahun 1981 lawatan ke Timur Tengah dilakukan kembali dengan hasil kerjasama antara Universitas Darul Ulum dan Iraq University dalam bentuk tukar-menukar tenaga edukatif, dan dengan Kuwait University dalam bentuk beasiswa studi ke Kuwait.

Pada tahun 1984 KH Musta’in berkunjung ke Casablanka, Maroko, tepatnya pada bulan Januari 1984, yaitu mengikuti Kunjungan Kenegaraan bersama Wakil Presiden RI Bapak Umar Wirahadi Kusuma dan Menteri Luar Negeri RI Bapak Prof. Dr. Muchtar Kusumaatmadja dalam acara Konverensi Tingkat Tinggi Organisasi Konferensi Islam (OKI). Kunjungan ini dilanjutkan ke Perancis dan Jerman Barat. Selanjutnya pada bulan Juli dengan tahun yang sama, KH Musta’in mengikuti Konferensi antar Rektor se- dunia di Bangkok.

Semua kunjungan dijalani KH Musta’in dengan tekun demi kelembagaan Pendidikan yang dialamatkan beliau, yaitu Lembaga Pondok Pesantren Darul Ulum, Lembaga Thariqah Qoddiriyyah Wannaqsabandiyah dan Universitas Darul Ulum. Sampai wafat pada tanggal 21 Januari 1985, beliau meninggalkan putra-putri M. Rokhmad (almarhun), H. Luqman Haqim dari Ibu Chafsoh Ma’som, Hj Choirun Nisa’ dari Ibu dzurriyatul Lum’ah, H. Abdul Mujib, Ahmada faidah, Chalimatussa’diyah dari Ibu Nyi Hj Djumiyatin Musta’in serta Siti sarah dan Dewi Sanawai dari Ibu Ny. Hj. Latifa.

Pada 1970, Kiai Musta'in Romly adalah arguably yang paling karismatik dan berpengaruh kiai tarekat Jawa Timur dan Madura, pusat jaringan badal delapan puluh dan berikut estimasi lima puluh ribu. Dia kehilangan banyak posisi itu lagi sebagai hasil dari pilihan politik impopular ia membuat, membuat persekutuan diri dengan Golkar pada saat hampir semua Kiai lain dianggap dukungan dari Nahdlatul Ulama (dalam pemilu tahun 1971) dan kemudian Partai Persatuan Pembangunan (PPP , pada tahun 1977 dan 1982) sebuah kewajiban agama. Sebuah aliansi dari ulama lainnya, tampaknya diatur oleh para ulama dari pesantren di Tebuireng, juga di Jombang, gelisah terhadap Kiai Musta'in dan berhasil menarik sebagian besar pengikutnya darinya dan masuk ke orbit lain guru tarekat. Ruang lingkup makalah ini tidak memungkinkan saya untuk membicarakan kontroversi ini secara rinci; Aku hanya akan menarik perhatian di sini untuk latar belakang data yang relevan.

Distrik Jombang ini, dalam banyak hal, pusat dari Jawa (dan Madura) Islam tradisional. Ini memiliki empat dari pesantren terkenal dan paling bergengsi, di Tebuireng, Tambakberas, Denanyar dan Rejoso, masing-masing. Tiga pertama Rois dari Nahdlatul Ulama, yang memimpin organisasi dari berdirinya di tahun 1926 sampai tahun 1980, yang berafiliasi dengan tiga pertama pesantren ini (dalam urutan itu). Rejoso tidak pernah diberikan posisi terdepan dalam NU Kiai Musta'in's pilihan untuk Golkar mungkin telah terinspirasi tidak hanya oleh dermawan penghargaan ia ditawari (pemberian tanah dan dukungan dalam mendirikan universitas sendiri di dalamnya) tetapi juga oleh perasaan didiskriminasi oleh rekan-rekannya.

Alasan mengapa kiai Rejoso pernah menjadi bagian dari lingkaran dalam NU tidak segera jelas. Mereka Madura sedangkan yang lain adalah Jawa, dan mereka kiai tarekat sementara yang lain tidak mengikuti, atau bahkan keberatan, tarekat. Kedua faktor saja, bagaimanapun, tidak bisa sangat menentukan. Etnisitas tidak memainkan peran penting dalam dunia pesantren Jawa Timur. Semua empat pesantren menarik mahasiswa Madura serta Jawa; Tebuireng, sebenarnya, jauh lebih populer di antara orang Madura daripada Rejoso. Melalui jaringan tarekat, bagaimanapun, Kiai Romly dan kemudian Kiai Musta'in mencapai yang lebih besar berikut jauh dari salah satu kiai lainnya, dan mereka pada waktu dituduh lebih suka kuantitas ketimbang kualitas dan mengabaikan pendidikan yang layak dari murid-murid mereka dalam kewajiban kanonik .

Namun yang mungkin, Kiai Musta'in's pembangkangan - pembelotannya dari NU untuk Golkar - telah dihukum Pesantren Cukir Tebuireng. Seorang kiai pesantren yang terkait dengan ini, Adlan Ali, yang sebelumnya berlatih tarekat tetapi tidak seorang khalifah, diajukan sebagai alternatif untuk Musta'in Romly. Dia mengambil pelatihan dari lain kiai tarekat di Jawa Tengah, Kiai Muslikh dari Mranggen, dan ditunjuk sebagai nantinya khalifah ke Jawa Timur. Dalam waktu beberapa tahun, puluhan badal, diteliti oleh politik aktivis NU itu, mengalihkan kesetiaan mereka dari Kiai Musta'in untuk Kiai Adlan Ali.

Konflik menyebabkan perpecahan di dalam organisasi payung 'ortodoks' tarekat, yang Jam `iyah Ahl al-Thariqah al-Mu` tabarah. asosiasi ini telah didirikan pada tahun 1957 dan memasukkan tarekat besar Timur dan Jawa Tengah. Sebuah dokumen yang kemudian daftar tidak kurang dari 44 tarekat yang dianggap ortodoks (mu `tabar, harfiah 'dihormati'), tetapi mayoritas anggota baik milik Naqsyabandiyah atau Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Organisasi ini tampaknya tetap aktif sampai tahun 1975, ketika mengadakan kongres di Madiun yang dihadiri oleh hampir semua kiai tarekat penting. Posisi Kiai Musta'in masih begitu kuat sehingga ia terpilih sebagai presiden Jam `iyah. Empat tahun kemudian, di pinggir kongres NU 26, yang-Musta'in aliansi anti tarekat sendiri diadakan kongres, yang dihadiri oleh banyak kiai sama dengan 1975. Papan baru, tidak termasuk Musta'in dan orang-orang setia kepadanya, terpilih dan untuk menekankan kesetiaan kepada Nahdlatul Ulama, ditambah 'al-Nahdliyah' ke nama asosiasi. Sejak saat itu ada dua organisasi payung tarekat, dengan nama hampir identik. Musta'in dan, setelah kematiannya, penerusnya pura-pura bahwa mereka masih dalam satu organisasi yang sah, tetapi Jam `iyah Ahl al-Thariqah al-Mu` al-Nahdliyah tabarah jelas lebih besar dan lebih signifikan satu. Organisasi terakhir tetap sangat didominasi oleh Tebuireng.

di Madura pengikut Kiai Musta'in menemukan diri mereka dalam dilema setelah desersi ke Golkar (di mata orang Madura bahkan mungkin suatu dosa lebih buruk daripada bagi orang Jawa). Beberapa badal-nya memilih untuk melampirkan diri untuk Kiai Usman di Surabaya, yang tidak terlibat dalam urusan sama sekali, beberapa orang lain bergabung dengan pengikut Kiai Adlan Ali. Banyak tampaknya kehilangan minat mereka dalam tarekat ini sama sekali. Pada tahun 1984 kedua Musta'in dan Usman meninggal, dan pengganti mereka (yang adik Musta'in adalah Kiai Rifa'i dan putra Kiai Usman adalah Gus Asrori) melihat penurunan mengikuti mereka lebih jauh.

Adapun jabatan yang pernah diamanahkan kepada Dr. KH Musta’in Romly adalah:

1. Aggota DPR – MPR RI tahun 1983 sampai wafat.
2. Wakil ketua DPP MDI tahun 1984 sampai wafat.
3. Rektor Universitas Darul Ulum tahun 1965 sampai wafat.
4. Al Mursyid Toriqoh Qodiriyah Wannaqwsabandiyah tahun 1958.
5. Ketua Umum Majelis Pimpinan Pondok Pesantren Darul Ulum tahun
1958 sampaiwafat.
6. Anggota BKS Perguruan Tinggi Swasta tahun 1983 sampai wafat.
7. Anggota IAUP ( International Association of University President ) 1981 di
Chicago.
8. Ketua Umum Jam’iyah Thoriqot Mu’tabaroh Indonesia pada tahun 1975 sampai wafat.
no image

Syekh Romly Tamim

Kh.Romly Tamim kelahiran Rejoso tahun 1888 M. Beliau adalah putra Kyai Haji Tamim yang ketiga. Pengalaman pendidikan diperoleh dari ayah dan kakak iparnya dalam usia muda, sedang masa menjelang dewasanya dididik di Pondok Pesantren Bangkalan Madura seperti ayah kakak yaitu dibawah asuhan Kyai Kholil.

Dari pendidikan ini kemudian diteruskan ke pendidikan tebu ireng yang diasuh oleh Kyai Hasyim asy’ari. Waktu Kyai Romly Tamim sudah ikut membantu sebagai tenaga pengajar, Kyai Hasyim Asy’ari mulai menaruh simpati dan sayangnya kepada tenaga baru tersebut. Dari sisnilah simpati itu berlanjut sehingga pada tahun 1923 Kyai Romly Tamim diambil menantu oleh Kyai Hasyim Asy’ari mmendapatkan Nyi Azzah Dalam perkawinan ini tidak membuahkan satu anakpun.

Seusai pengabdiannya di Tebu Ireng dan setelah merasa gagal pada perkawinan pertama beliau nikah lagi dengan putri desa besuk Jombang yang bernama Nyi Maisyaroh. Perkawinan ini menghasilkan putra Ishomuddin yang telah kembali ke Rahmatullah dan Musta’in Romly. Sepeninggal Nyi Maisaroh belaiau nikah dengan Nyi Khodijah hingga berputra : A. Rifa’I, Sonhaji, A. Dimyati, Moh Damam Hury dan Tamim.

Diakhir hayatnya beliau sebagai Al – mursyid Thoriqot Qodiriyah Wannaqsabandiyah menggantikan kedudukan KH Cholil selama perjalanan hidup ia sempat menulisdan menyususn buku – buku pegangan Thoriqot antara lain Risalatul Waqiah, Risalah Solawat Nariyah dan Tsamratul Fikriyah. Allah SWT memanggil kembali ke alam sana pada 16 Romadhon 1377 atau 16 April 1958.
no image

Syekh Ahmad Khatib Sambas

Syech Ahmad Khatib Sambas dilahirkan di Sambas, Kalimantan Barat, Beliau memutuskan untuk pergi menetap di Makkah pada permulaan abad ke-19, sampai beliau wafat pada tahun 1875. Diantara guru beliau adalah; Syaikh Daud ibn Abdullah al-Fatani, seorang syekh terkenal yang berdomisili di Makkah, Syaikh Muhammad Arshad al-Banjari, dan Syekh Abd al-Samad al-Palimbani. Menurut Naquib al-Attas, Khatib Sambas adalah Syaikh Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah. Hurgronje menyebutkan bahwa Beliau adalah salah satu guru dari Syaikh Nawawi al-Bantani, yang mahir dalam berbagai disiplin ilmu Islam.
Zamakhsari Dhafir menyatakan bahwa peranan penting Syaikh Sambas adalah melahirkan syaikh-syaikh Jawa ternama dan menyebarkan ajaran Islam di Indonesia dan Malaysia pada pertengahan abad ke-19.
Kunci kesuksesan Syaikh Sambas ini adalah bahwa beliau bekerja sebagai fath al-Arifin, dengan mempraktekkan ajaran sufi di Malaysia yaitu dengan bay'a, zikir, muraqabah, silsilah, yang dikemas dalam Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah.

Gambaran Disiplin Ilmu Syaikh Sambas

Masyarakat Jawa dan Madura, mengetahui disiplin ilmu Syaikh Sambas melalui ajaran-ajarannya setelah beliau kembali dari Makkah. Dikatakan bahwa Syaikh Sambas merupakan Ulama yang sangat berpengaruh, dan juga banyak melahirkan ulama-ulama terkemuka dalam bidang fiqh dan tafsir, diantaranya Syaikh Abd al-Karim Banten. Abd al-Karim terkenal sebagai Sulthan al-Syaikh, beliau menentang keras imperialisme Belanda pada tahun 1888 dan kemudian meninggalkan Banten menuju Makkah untuk menggantikan Syaikh Sambas.
Sebagian besar penulis Eropa membuat catatan salah, mereka menyatakan bahwa sebagian besar Ulama Indonesia bermusuhan dengan pengikut Sufi. Hal terpenting yang perlu ditekankan adalah bahwa Syaikh Sambas adalah sebagai seorang Ulama, dimana tuduhan penulis Eopa tersebut tidak tepat ditujukan kepada beliau. Syaikh Sambas dalam mengajarkan disiplin ilmu Islam bekerja sama dengan syaikh-syaikh besar lainnya yang bukan pengikut thariqat seperti Syaikh Tolhah dari Cirebon, dan Syaikh Ahmad Hasbullah ibn Muhammad dari Madura, dimana mereka berdua pernah menetap di Makkah.
Thariqat Qadiriyyah wa Naqsabhandiyyah menarik perhatian sebagian masyarakat muslim Indonesia, khususnya di wilayah Madura, Banten, dan Cirebon, dan pada akhir abad ke-19 Thariqat ini menjadi sangat terkenal. Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah tersebar luas melalui Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalaam.
Periode Setelah Syaikh Sambas
Pada tahun 1970, ada 4 tempat penting sebagai pusat Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah di pulau Jawa yaitu: Rejoso (Jombang) di bawah bimbingan Syaikh Romli Tamim, Mranggen (Semarang) di bawah bimbingan Syaikh Muslih, Suryalaya (Tasikmalaya) di bawah bimbingan Syaikh Ahmad Sahih al-Wafa Tajul Arifin (Mbah Anom), dan Pagentongan (Bogor) di bawah bimbingan Syaikh Thohir Falak. Rejoso mewakili garis aliran Ahmad Hasbullah, Suryalaya mewakili garis aliran Syaikh Tolhah dan yang lainnya mewakili garis aliran Syaikh Abd al-Karim Banten dan penggantinya.
Pada prakteknya, ajaran Thariqat disampaikan melalui ceramah umum di masjid atau majelis ta'lim di rumah salah satu anggota Thariqat. Sehingga tidak mengagetkan jika selama masa ceramah umum, tidak ada materi yang terekam dengan cermat. Bagaimanapun juga, di bawah bimbingan Mbah Anom, mempunyai kontribusi yang besar, dimana ajaran thariqat dibukukan dalam sebuah kitab berjudul Miftah ash-Shudur. Tujuan dari kitab ini adalah untuk mengajarkan teori dan praktek Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah sebagai usaha mencapai kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Hasil usahanya yang lain terkemas dalam kitab Uqud al-Juman, al-Akhlaq al-Karimah, dan buku Ibadah sebagai Metode Pembinaan Korban Penyalahgunaan Narkotika dan Kenakalan Remaja.
Peranan Thariqat dalam Reformasi Sosial
Maulana Syaikh Muhammad Nazim Adil telah menjelaskan bahwa setelah terorisme, permasalahan terbesar umat manusia kedua adalah penyalahgunaan narkotika oleh generasi muda (The Muslim Magezine, Spring 1999). Permasalahan sosial ini bukan hanya dialami oleh bangsa Barat, tetapi juga menimpa kalangan generasi muda seluruh dunia. Walaupun jumlah korban narkoba di negara-negara Asia tidak sebesar di Barat, tetapi permasalahan ini menarik perhatian yang sangat serius bagi Mbah Anom untuk mendirikan Pondok Inabah, pusat rehabilitasi korban narkoba dengan dzikir sebagai obatnya. Metodologi Mbah Anom didasarkan pada hasil pengalaman spiritual beliau sebagai seorang sufi dan kepercayaannya bahwa dzikrullah mengandung pencahayaan/penerangan, karakter khusus dan rahasia yang dapat mengobati muslim yang mempercayainya. Hal ini didasarkan pada firman Allah: "Ingatlah pada-Ku, maka Aku akan mengingatmu". Jasa dan keuntungan dari dzikir di Pondok Pesantren Suryalaya dapat dirasakan oleh sebagian masyarakat yang telah pergi berobat ke sana.
Penelitian terhadap metodologi Mbah Anom pernah dilakukan oleh DR. Emo Kastomo pada tahun 1989. Dia melakukan evaluasi secara random terhadap 5.929 orang pasien di 10 Pondok Inabah. Dan hasilnya, 5.426 orang sembuh, 212 orang dalam proses menuju sembuh, dan 7 orang pasien meninggal dunia.
Peranan Thariqat dalam Politik
Ada tiga keikutsertaan pengikut Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah dalam usaha mancapai Indonesia merdeka, yaitu:
Pertama, keikutsertaan para syaikh dan haji di Banten pada revolusi Juli 1888. Dilaporkan bahwa Syaikh Abd al-Karim Banten tidak tertarik dengan akivitas politik, namun penggantinya Haji Marzuki lebih berpikiran reformis dan sangat anti Belanda. Walaupun Thariqat tidak memimpin dalam revolusi, tetapi Belanda khawatir dengan pengaruhnya, dan sebagian besar diantara mereka meyakini bahwa secara umum pengikut sufi khususnya Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah merupakan organisasi yang mempunyai tujuan untuk mengalahkan kekuatan kolonial.
Kedua, perlawanan yang dilakukan oleh suku Sasak, pengikut Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah Syaikh Guru Bangkol. Belanda mempertimbangkan bahwa Thariqat merupakan faktor terpenting timbulnya pemberontakan-pemberontakan. Walaupun penasehat Pemerintah Belanda Snouck Hurgrounje memberikan masukan bahwa terlalu berlebihan untuk menilai Thariqat sebagai usaha politik untuk melawan Belanda, pendapatnya tersebut tidak dindahkan sampai muncul Syarikat Islam, sebuah organisasi politik yang berdiri pada tahun 1911.
Ketiga, sekarang di Jawa ada tiga cabang terbesar Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah yaitu Rejoso, Mranggen, dan Suryalaya, masing-masing memberikan dukungan terhadap partai-partai politik, dimana beberapa diantara mereka terlibat aktif dalam partai politik.
Gambaran Thariqat di Indonesia Sekarang
Pada tahun 1957, Jam'iyyah Ahl Thariqah Mu'tabarah didirikan oleh Nahdlatul Ulama, yang pada saat itu juga berbentuk partai. Tujuannya adalah untuk menyatukan semua kekuatan Thariqat dan memelihara silsila yang dimulai dari Nabi Muhammad Saw.. Jam'iyyah ini memelihara dan mengajarkan ajaran tasawuf dari 45 kekuatan Thariqat yang pernah ada pada tahun 1975. Syaikh Mustain Romly dari Rejoso diangkat sebagai pimpinan Jam'iyyah ini. Pada tahun 1979, ketika Syaikh Mustain Romli merubah afiliansinya dari Partai Persatuan Pembangunan ke GOLKAR, para Ulama mendirikan Jam'iyyah Ahl al-Thariqah al-Nahdliyyah, Pimpinan Jam'iyyah ini adalah Syaikh Haji DR. Idham Kholid, dimana pada saat itu pernah menyambut kedatangan Syaikh Muhammad Hisham Kabbani pada bulan Desember 1977

Tarekat Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah

Pendiri jelas tarekat ini baru - atau setidaknya orang pertama yang menyebarkannya di antara Indonesia - mistik Indonesia adalah Ahmad Khatib al-Sambasi, yang berasal dari Sambas di Kalimantan Barat tetapi tinggal dan mengajar di Mekah pada pertengahan abad ke-19. Dia memulai banyak sesama Asia Tenggara dalam tarekat, yang segera menggantikan Sammaniyah sebagai persaudaraan yang paling populer di Nusantara. Inti dari ajarannya - instruksi untuk berbagai ritual dan teknik meditasi - dibaringkan di sebuah buku kecil sederhana berjudul Fath Malay al-`arifin, yang disunting oleh seorang murid terpercaya. [5]

Ahmad Khatib menunjuk dan mengangkat beberapa khalifah, wakil, di antaranya yang paling dihormati dan paling terkenal adalah Abdul Karim dari Banten, yang berhasil pimpinan tertinggi persaudaraan setelah kematian master, sekitar 1878. Abdul Karim sering disebutkan dalam literatur kolonial, terutama di connnection dengan pemberontakan Banten 1888, di mana banyak pengikut tarekat yang terlibat. Ada dalam waktu beberapa khalifah dari tarekat yang sama di Mekah, dan beberapa di berbagai bagian Nusantara. Tidak ada catatan tertulis tampaknya telah tetap dari khalifah yang Ahmad Khatib dan Abdul Karim ditunjuk, dan hanya secara kebetulan yang kita tahu nama beberapa dari mereka. Hampir semua khalifah Indonesia saat ini - Saya menyadari hanya satu pengecualian - jejak nenek moyang rohani mereka baik melalui Syaikh Abdul Karim atau melalui salah satu dari dua sezaman, Syaikh Tolhah dari Cirebon atau Madura Kiai Ahmad Hasbullah bin Muhammad. The tarekat saat ini terdiri sekitar dari tiga cabang, berafiliasi dengan ketiga deputi Ahmad Khatib. [6] Abdul Karim, bagaimanapun, selama hidupnya diakui sebagai kepala pusat tarekat oleh semua khalifah lain dan pengikut - dengan satu perkecualian, Madura itu. Konsul Belanda di Jeddah tahun 1888 melaporkan bahwa Syaikh Abdul Karim pada umumnya diakui sebagai otoritas tertinggi, 'kecuali oleh orang Madura, yang telah Syaikh sendiri dalam pribadi dari Abdoelmoeti Madura (`Abd al-Mu` thi), yang juga tinggal di Mekah. " [7]

Pada akhir abad ke-19, oleh karena itu, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Madura pengikutnya sudah cukup untuk diperhatikan oleh pengamat resmi Belanda. kesetiaan primordial yang kuat, apalagi, menyebabkan pengikut tarekat Madura ini untuk mengorganisir diri secara terpisah, di bawah sesama Syaikh Madura. Ada ternyata bahkan dua khalifah Madura dari Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Mekah, yang lainnya adalah kata Ahmad Hasbullah. yang terakhir keturunan rohani ngotot-nya yang merupakan penduduk Mekah dan khalifah langsung Ahmad Khatib, tetapi inkonsistensi tertentu menunjukkan bahwa ia mungkin sebenarnya telah milik generasi muda. [8]

Satu-satunya Madura guru tarekat ini tentang dia kami memiliki lebih sedikit informasi adalah mereka yang berafiliasi dengan pesantren dari Rejoso di Jombang (Jawa Timur). pesantren ini telah dibangun sekitar abad oleh Kiai Madura Tamim, yang berasal dari Bangkalan. Ketika anaknya-di-hukum dan pengganti pertama sebagai kepala pesantren, Muhammad Kholil alias Juremi, [10] berziarah, di awal abad 20, ia bertemu dengan Ahmad Hasbullah bin Muhammad, yang memulai dia ke Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan membuatnya khalifah-Nya. Sejak itu Rejoso telah secara bertahap semakin penting sebagai pusat tarekat tersebut. Menjelang akhir hidupnya, Kholil lulus mantel untuk nya adik ipar Romly bin Tamim, seorang putra pendiri pesantren. Kiai Romly, yang sebelumnya cukup menunjukkan sikap skeptis terhadap tarekat itu, menjadi sangat efektif dan menarik propagator murid dari seluruh Jawa Timur dan Madura. Pada saat kematiannya pada tahun 1958 jumlah mereka puluhan ribu, kebanyakan dari mereka orang Jawa, lebih kecil tetapi masih jumlah besar adalah orang Madura.

Dalam rangka mengawasi ini berikut besar, Kiai Romly membentuk jaringan deputi lokal, yang dikenal sebagai badal. Para badal berwenang untuk memberikan instruksi dasar untuk para pengikut tarekat dan untuk memimpin pertemuan dzikir rutin, tapi tidak seperti khalifah, mereka tidak diperbolehkan untuk memulai murid baru. Tidak jelas apakah benar-benar berwenang Kiai Romly setiap khalifah untuk memulai pengikut baru atau apakah semua harus mengambil inisiasi pertama mereka dari Romly sendiri. Setelah kematiannya, Namun, dua murid favoritnya bertindak sebagai syaikhs di kanan mereka sendiri dan bersaing dengan putranya Musta'in Romly untuk suksesi: Kiai Usman bin Nadi al-Ishaqi di distrik Sawahpulo Surabaya dan Kiai Ma'shum dari Tanggulangin (Sidoarjo). Yang terakhir meninggal dua tahun kemudian, tetapi Kiai Usman secara bertahap memperkuat posisinya sebagai guru terkemuka tarekat tersebut. Kiai Musta'in, yang belum menerima pelatihan yang cukup dalam tarekat dari ayahnya, harus mengakui superioritas Usman's Kiai dengan menerima bimbingan nantinya untuk jangka waktu terbatas. Kemudian Kiai Musta'in, yang memiliki manfaat keturunan nya, membentuk posisi perusahaan untuk dirinya sendiri, tetapi ia tidak pernah sepenuhnya menaungi Kiai Usman. Kedua tampaknya telah mencapai pemahaman dimana mereka pengikut tarekat dibagi di antara mereka sendiri lebih atau kurang sepanjang garis geografis. Sejumlah tertentu persaingan tampaknya tetap, namun ini mungkin lebih disebabkan oleh pengikut daripada para guru sendiri. [11]

Kedua Musta'in Romly dan Usman Al-Ishaqi telah mencurahkan pengikut dan badal di antara orang Madura (keduanya keturunan Madura sendiri, meskipun berbahasa Jawa). Selama 1960 Kiai Usman yang juga memiliki khalifah atau badal di Pulau Bawean, yang budaya yang berhubungan dengan Madura. Empat desa di sana, sebagai Vredenbregt diamati (1968:44), mempraktikkan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di bawah kepemimpinan khalifah ini, sementara kiai lain di pulau itu sangat menentang tarekat tersebut. Jika memungkinkan, para pengikut tarekat pulau akan mengunjungi Kiai Usman di Surabaya pada kesempatan pembacaan bulanan dari manaqib dari Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. [12]
no image

Syekh Yusuf al-Makasary

Syech Yusuf al-Taj al-Khalwatiyyah dari Makasar dan baru diangkat sekitar tanggal 9 November 1995 sebagai salah satu Pahlawan Nasional, dikarenakan juga ikut berjuang melawan kekejaman kolonial Belanda pada abad ke-17 M. Beliau telah dibai'at lebih dari 17 macam tarekat yang berlainan, seperti Qodiriyyah, Naqsyabandiyyah, Syadziliyyah, Syatariyyah, Suhrawardiyyah, Dasukiyyah, Jistiyyah, Aidrusiyyah, Kabrutiyyah, Khalwatiyyah, Ba'alawiyyah, Rifa’iyyah, Maduriyyah, Mahmudiyyah,Madyaniyyah, Kawabiyyah dan lainnya. Beliau telah mengarang kurang lebih 23 kitab, adapun ringkasan dari kitab-kitab beliau yang dapat kami petik dan diulas disini adalah :
1.Al-Barakat al-Saylaniyyah
Kitab ini ditulis Syech Yusuf sekitar tahun 1221 H/1806 M di Sailan, pada saat pembuangan zaman Belanda. Adapun isi kitab mengulas 3 macam Dzikir :
•Dzikir lafadz “Laa Ilaaha Illa Allah” adalah dzikir lisan yang diamalkan oleh orang-orang awam
•Dzikir Lafadz “Allah..Allah” adalah dzikir hati (Qolb) yang diamalkan oleh orang-orang khusus
•Dzikir Lafadz “Hu..Hu..(Huwa)” adalah dzikir Rahasia atau Perasaan (Sirri) yang diamalkan oleh orang khususnya orang khusus (Syech, dzikir ini tidak semua orang dapat mengalaminya, disebabkan dzikirnya orang paling istimewa (akhas al-khawas)
Kitab ini juga menerangkan bahwa wujud yang benar itu hanya berdiri sendiri, sedangkan yang fana wujudnya hanya khayal dan tidak sebenarnya. Allah disebut alam dan juga disebut al-wujud, al-adam dan al-ma’dum. Al-Ma’dum karena tidak ada wujudnya, meskipun kita melihat wujud, akan tetapi ia tidak berdiri sendiri. Allah disifati “Tidak ada sesuatu yang menyerupaiNya dan Dia yang mempunyai segala sesuatu” (As-Syura:11). Allah memperlihatkan diriNya dengan bermacam-macam manifestasi sesuai dengan tempat maqam hambaNya. Sedangkan tempat maqam hambaNya yang tertinggi adalah orang istimewa (Akhas al-khawas) yang hatinya menjadi singgasana Allah (Arasy-Nya), jika sampai maqam ini maka hambaNya tidak terkena dosa sama sekali.
Imam Junaid Al-Baghdady mengatakan “ Jika orang menuju kepada Allah 1000 tahun, maka Allah hanya memperlihatkan diriNya hanya sekejab mata”.
Abul Hasan Al-suri mengatakan “bahwa kita semua harus bertaubat dari segala sesuatu selain Allah”,siapa yang tidak bertaubat, maka dia tidak mempunyai tempat dan tidak akan pernah bertemu denganNya. Tanda Taubat adalah hati terbebas dari segala hawa nafsu.

2.Bidayat al-Mubtadi
Kitab ini menerangkan bahwa ilmu yang diberikan kepada seseorang harus sesuai dengan maqam atau kemampuan mereka untuk menerimanya, sebagaimana Sabda Rosul “ Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan tingkat kemampuan/kesanggupan akal mereka”. Adapun Maqam para Wali Allah adalah bersifat mulia, tawakkal, sabar, syukur, menjalankan sunnah, suka menolong, rendah hati dan tidak sombong, rela pada Qodlo dan Qodar.
Dikatakan pula tentang pentingnya mengerjakan amalan dan ibadah bersifat Syar’i (Syari’at). Tiap-tiap syariat tanpa hakekat adalah Batil (fasiq), sedangkan hakekat tanpa Syariat adalah zindiq (sesat). Para Ahli Tasawuf bersepakat “Bahwa sesungguhnya syarat jadi Wali Allah adalah keterikatan pada Syariat, lebih-lebih memegang teguh Hakekat”. Kalau tidak demikian, maka selamanya ia tidak dapat menjadi seorang wali-wali Allah, meskipun ia telah menunjukkan hal-hal atau kehebatan yang sangat luar biasa, kehebatan tersebut dikatakan “istidraj” bukan “karomah”.
3.Kaifiyyat al-Dzikir
Kitab ini berisi ringkasan tentang penting dzikir lafadz Laa Ilaaha Illa Allah diucapkan lisan maupun di hati. Hal ini amat penting bagi seorang hamba agar selalu ingat/dekat pada Allah dan mengetahi bahwa tiada yang pantas di sembah/dituju selain Allah. Adapun selain Allah yang perlu ditiadakan seperti berhala, matahari, bulan, bintang, api, gunung, laut, dan lain sebagainya. Tiada yang dimaksud/dituju selain Allah.
Tentang Adab dan tata cara dzikir ada 20 hal, yaitu 5 hal sebelum dzikir, 12 hal pada saat dzikir dan 3 hal sesudah dzikir. Seperti contoh 5 hal sebelum dzikir yang perlu dilakukan, 1)Tobat dari segala dosa besar/kecil, 2) Wudlu/Mandi Besar, 3) Tidak berbicara kecuali untuk Dzikir, 4) Wasilah melalui Guru (syech) untuk membimbing cara dzikir, 5) Memahami bahwa guru (syech) adalah pewaris/pengganti Rosulullah. Para ulama Arif menyatakan “Barang siapa mencari jalan/ilmu tanpa petunjuk jalan/ilmu berarti ia mencari jalan yang mustahil. Oleh karena itu siapa yang tidak mempunyai Guru (Syech), maka Syetan yang menjadi gurunya.
Sebagai contoh kesungguhan al-Junaid ketika ditanya “bagaimana ia sampai kepada Allah (Ma’rifatullah), beliau menjawab sambil menunjuk pipinya “Dengan meletakkan ini dipintu rumah guruku selama 40 tahun lamanya”.
4.Hazimi Fawaid Lazimah Dzikir Laa Ilaaha Illa Allah
Kitab berisi tentang kewajiban seorang hamba mengucapkan Lafadz Dzikir Laa Ilaaha Illa Allah untuk memperhatikan maksud dan arti yang luhur. Maksudnya Allah yang memiliki wujud mutlak yang Maha sempurna serta disifati dengan semua sifat yang sempurna. Dia adalah pemersatu dua hal yang berlawanan , Ia Yang Awal tanpa awalan dan Yang Akhir tanpa akhiran. Ia Yang Lahir dan Yang Batin, Ia yang tiada sesuatu tanpa Dia, Allah itu tiada sesuatu bersamaNya.
Selain itu, disini juga diulas tentang dzikir Hu atau Huwa, wajiblah seorang hamba memperhatikan maksud isyarat kata tersebut, yaitu “Huwiyyah” atau Ke-Dia-Nya dirahasiakan dalam segala sesuatu dari Yang Kuasa diatas semua hambaNya. Dia Yang Menang tiada terkalahkan, Dia Yang Menggerakkan tanpa digerakkan. Segala sesuatu yang buruk tidak kembali kepadaNya, sedangkan segala sesuatu itu dari Dia dan kepadaNya segala sesuatu akan kembali.
Harus diingat bahwa mengerjakan segala sesuatu harus secara ikhlas dengan niat karena Allah semata. Bukan karena dunia atau Akhirat, dunia itu haram bagi orang-orang akhirat, begitu juga akhirat haram bagi orang dunia. Sedangkan kedua-duanya haram bagi orang yang mengenal Allah Ta’ala.
Ada pula yang berkata “bahwa dikehidupan akhirat nanti, orang-orang dunia akan dilayani oleh budak lelaki dan budak perempuan, orang-orang akhirat dilayani oleh orang-orang merdeka dan pembesar, sedangkan orang yang mengenal Allah di akhirat nanti akan dilayani oleh para raja dan sultan.
5.Kaifiyyat al-Nafy wal al-Istbat bi al-Hadits al-Qudsi
Kitab ini ditulis Syech Yusuf pada waktu masa pembuangan zaman Belanda di Pulau Sandib atau Sailan. Beliau mengemukakan Hadits Rosulullah SAW yang diriwayatkan oleh Siti ‘Aisyah, bahwa “Rosulullah selalu mengerjakan dzikir kepada Allah setiap waktu dan segala keadaan. Hal ini diperkuat oleh Firman Allah “Ingatlah kepadaku, nicaya aku ingat kepadamu” (Al-Baqarah: 152). Sejumlah besar Hadits Rosulullah maupun Hadits Qudsi menyebut tentang kemuliaan dan keutamaan akan pentingnya Dzikir kepada Allah, sebagaimana sabda Rosul yang artinya “Jika Allah menghendaki kebaikan pada hambaNya, maka ia diilhami dengan memperbanyak Dzikir”. Dalam Hadits Qudsi juga diperkuat yang artinya “Berdzikir (Ingat kepadaKU) secara bersama-sama adalah lebih baik”. Firman Allah dalam Hadits Qudsi, yang artinya “ Laa Ilaaha Illa Allah adalah bentengKu, barang siapa masuk bentengku, maka ia aman dari siksaKu”.
Wujud hakiki hanya wujud Al-Haq Ta’ala karena ia berdiri sendiri. Wujud selain Dia dikatakan wujud majazi, bukan wujud hakiki, dikarenakan ada ketergantungan dengan yang lain dan tidak dengan sendirinya. Hal ini disebut juga ‘ma siwallah, artinya apa yang ada selain Allah. Wujud Majazi ini kita umpamakan seperti sebuah bayangan yang pada hakikatnya tidak ada.Wujud selain Allah hanya fenomena dari wujud yang berdiri sendiri dan yang memberi wujud bagi lainnya, wujud yang berdiri sendiri dan yang memberi wujud itulah wujud al-Haq Ta’ala.
6.Matalib Al-Salikin
Kitab ini mengulus 3 hal pokok yang perlu diketahui oleh para ahli salik, yakni tauhid, Ma’rifat dan ibadah. Ketiga hal tersebut digambarkan syech Yusuf seperti pohon.
Tauhid diibaratkan akarnya pohon, Ma’rifat seperti dahan atau daun, sedangkan ibadah adalah buahnya. Jika engkau menemukan sebatang pohon, maka engkau akan menemukan akar dan juga dahan serta daunnya, tentu engkau juga berharap menemui buahnya. Jika engkau tidak mendapatkan akar dan dahannya, maka pasti tidak ada buahnya. Jika engkau memahami Tauhid, maka akan sampai kepada Ma’rifat, dan jika engkau telah sampai pada Ma’rifat, maka engkau akan sampai ke ibadat, oleh karena itu, perbanyaklah amal ibadahmu. Barang siapa tidak tahu Tauhid maka kafirlah ia, dan siapa yang tidak tahu akan ma’rifat, maka Jahillah ia, dan siapa tidak beribadat maka fasiqlah ia. Para ulama sufi berkata “ tidak ada yang maujud dalam lahir dan batin kecuali wujud Yang Esa, Dzat yang Esa dan Hakikat Yang satu.
Kata Allah terdiri atas 3 huruf, yaitu: Alif, Lam dan Ha’ , Huruf Alif yang berdiri tegak melambangkan ke-Esaan (Ahadiyah), Huruf Lam melambangkan isyarat kesempuraan (Kamaliyyah), huruf ha’ melambangkan ke-DiaanNya (Huwiyyah).
Allah itu Esa dalam DzatNya, Esa dalam sifat-sifatnya termasuk sifat kalamNya, mengetahui, melihat, hidup, kuasa, mendengar dan sifat-sifatNya yang lain. Ajaran tauhid menjadikannya (Syech Yusuf) sebagai seorang sufi yang melihat Tuhan dalam setiap benda yang ada disekelilingnya. Hal ini sesuai dengan ucapan Ali Ibn Abi Thalib yang mengatakan “Saya tidak melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan di dalamnya (dalam kekuasaanNya dan kebesaranNya). “
7.Qurrat al-Aini
Kitab ini berkisar pada wali-wali dan orang-orang yang terkenal dalam ma’rifat kepada Allah, dan tentang pentingnya mengamalkan syariat bagi orang arif serta tafakkur kepada Allah. Sebagaimana sabda Rasul “ Tafakkur sesaat lebih mulia dari ibadah seribu tahun”.
Selain itu kitab ini menguraikan tafsir surat Al ikhlas sebagai dasar tauhid, dan membicarakan kemuliaan Nabi Muhammad SAW atas semua para Nabi dan Rasul sebelumnya, termasuk Nabi Isa Ibnu Maryam. Dikatakan pula, tidak boleh berijtihat dengan kebodohan, melainkan harus berdasarkan dengan ilmu.
Ketahuilah “Hukum syariat menjadi lemah karena lemahnya pemerintah kerajaan, dan rusaknya aturan kekuasaan”. Kuatnya pemerintah kerajaan dapat menjamin dan menyebabkan tegaknya syariat dan aturan-aturan agama Islam, karena kedua hal tersebut adalah bersaudara. Penguasa yang menegakkan agama dapat menjamin terlaksananya ajaran syariat, hal ini sesuai dengan istilah “din wa daulah”.
8.Gayat al-ikhtisar wa nihayat al-intizar
Pada bagian awal kitab ini dikatakan oleh penulis bahwa “Dengan takdir dan Qodlo Allah yang berada di bumi Sailan, tempat turunnya Adam as. Yang terkenal dengan nama pulau Sarandib tempat pengasingan para pemberontak.
Kitab ini menjelaskan hukum-hukum al-a’yan al-sabitah dan tawajjuh atau bagaimana menghadapkan diri kepada Allah dengan menyebut nama-namaNya. Al-a’yan sabitah bagi orang arif itu ialah gambaran bentuk yang diketahui/ dikenal dari benda-benda dalam pengetahuan Allah yang qadim dan Azali. Ilmu ilahi itu qadim, karena dzatNya itu qadim. Adapun hubunganya dengan al-sabitah dan sifatnya al-a’yan itu karena ia tetap di dalam ilmu ilahi, tidak lepas dan keluar daripadanya. Arti al-a’yan di sini: Benda-benda yang terang ada di dalam ilmu. Ia mempunyai nama-nama lain dari jumlah al-ma’lumat al-ilmiah.
Hakikat dalam bahasa itu bukan benda itu sendiri: ia itu ia. Dalam istilah orang arif yang sempurna; hakikat itu berada dengan siapa benda itu berdiri, dari bab ini diketahui bahwa al-haq itu hakikatnya benda-benda, karena benda-benda itu berdirinya karena Allah ta’ala.Telah berkata beberapa orang alim, bahwa wujud alam ini wajib, maka dijawab betul, jika tahu apa yang dimaksud dengan kata-kata itu. Ini ibarat ciptaan Tuhan terhadap dia. Jika ia menemukan Allah, maka ia harus ada karena adanya Allah ta’ala, maka wujudnya itu ibarat wajib, bukan mungkin. Sebetulnya wujud alam itu mungkin sebelum ada hubungan dengan ciptaan Allah tetapi sesudahnya maka adanya alam itu wajib dan wujudnya karena Allah dengan arti bahwa alam itu harus ada karena dicipta oleh Allah al-Malik. Adapun kata ‘Adamiyah (tidak ada) itu ibaratnya tidak ada wujudnya di luar. Sedangkan yang dimaksud dengan perkatan wujudiyah itu ibarat ma’lumiyah-nya, sedang yang diketahui itu mesti maujud. Yang Qodim, wujudnya di luar itu hanya al-haq ta’ala, sedang yang hadist dan maujud di luar itu hanya alam. Maka a’yan sabitah itu bukan al-Haq ta’ala, sehingga qadim itu maujud di luar dengan sendirinya.
9.Safinat al-Najat
Kitab ini ditulis pada saat Syech Yusuf berada di pulau Sarandib atau Sailan, disanalah beliau bertemu dengan para ulama dari negeri Islam, seperti Syech Abu al-Ma’ani Ibn Mian. Disebutkan juga beliau telah menerima bai’at tarekat dari 17 macam tarekat, yaitu Qodiriyyah, Naqsyabandiyyah, Syadziliyyah, Syatariyyah, Suhrawardiyyah, Dasukiyyah, Jistiyyah, Aidrusiyyah, Kabrutiyyah, Khalwatiyyah, Ba'alawiyyah, Rifa’iyyah, Maduriyyah, Mahmudiyyah,Madyaniyyah, Kawabiyyah dan Ahmadyaniyyah.
Silsilah tarekat Khalwatiyyah disebut Syech-Syechnya mulai Muhy al-Din ibn ‘Arabi. Silsilah tarekat Syatariyyah diambil ijazahnya dari Syech Ibrahim al-Hasan Ibn Syihab al-Din al-Kurdi al-Kurani al-Madani (Ibrahim al-Kurani), melalui jalur Syech al-Qusyasyi Ahmad Ibn Muhammad Yunus al-Muqalli, melalui jalur Syech Ahmad Ibn Ali Ibn Muhammad al-Quraisyi al-Abbasi al-Massa’i di madinah dan akhirnya sampai ke Ali Ibn Abi Thalib yang mengambil langsung ke Rosulullah.
Silsilah Tarekat Naqsyabandiyyah diambil ijazahnya dari Syech Abu Abdullah Muhammad Abd al-Baqi al-Mazjaji al-Yamani al-Zaidi al-Naqsyabandidi Nuhita Yaman, Melalui Jalur Imam al-Qutub al-Farid Taj Muhammad Ibn Zakariyyah al-Naqsyabandy al-Usmani di Mekkah. Melalui Jalur Imam al-Mulla Khaajaki terus keatas Salman al-Farisi al-Sahabi dari Abu Bakar al-Shiddiq dan ke Rosulullah.
Silsilah Qodiriyyah beliau dapat ijazah dari Syech Nuruddinal-Raniri, melalui jalur Sayid Umar Ibn Abdullah Ibn Abd Rochman Saiban al-Hadrami al-Burhanpuri. Melalui Jalur Syech Abdullah al-Aidrusi dari Ahmadabad, beliau mendapatkan dari Abu Bakar Ibn Abdullahal-Aidrusi (tokoh Hadramaut Yaman) dan ke terus sambung ke Syech Abd Qodir al-Jailani terus sambung keatas sampai Rosulullah SAW
10.Sirr al-Asrar
Kitab menerangkan tentang beberapa pedoman pokok dan ajaran bagi para sufi, seorang harus mengetahui bahwa Allah selalu bersamanya kapanpun dan dimanapun ia berada, sebagaimana Firman Allah “ Dia bersamamu dimanapun kamu berada”.
Pada awal kitab telah disebutkan dalam permulaan sulukmu harus kamu sebut Laa Ilaaha Illa Allah terus menerus di setiap waktu dan keadaan. Wajib atas hamba mengetahui bahwa apa yang didengarnya dari bermacam-macam suara merupakan tasbih dan dzikir kepada Allah, karena tiap-tiap benda dan makhluk selalu bertasbih kepadaNya. Sabda Rasul yang artinya “Setiap suara ombak itu tasbihnya”, Sebagaimana juga Imam Muhy al-Din Ibn Arabi mengatakan “Tiap-tiap yang ada mempunya roh, dan Tasbih itu hanya untuk sesuatu yang mempunyai roh”. Roh itu hati dan maknanya.
Tarekat itu dhohirnya syariat dan batinnya adalah hakikat, sebab pada dasarnya Rosulullah diutus untuk membawa ajaran syariat dan hakikat. Secara Dhohir hamba hendaklah takut kepada Allah, sedangkan secara batin ia mengharap kepadaNya, kita takut kepadaNya di tempat harap, dan kita mengharap ditempat takut. Seorang hamba kalau hanya berharap saja, tanpa disertai rasa takut maka hal ini amat bertentangan dengan Firman Allah. Sebab Allah pemersatu 2 hal yang bertentangan, Allah itu disifati Jalal dan Jamal, sperti sifat pengampun dan penyiksa. Sebagaimana Hadits Qudsi menyebutkan “RahmatKu mendahului marahKu”. Hal ini senada sebagaimana Rosulullah ditanya “siapa yang paling dekat kepadanya dihari kiamat? Rosul menjawab “Yang terbaik akhlaqnya”. Syech Abd al-Qodir al-Jailani yang ahli ibadah sholat dan puasa pernah ditanya “Bagaimana ia sampai kepada tempat maqam ma’rifat? Namun beliau menjawab, “Rendah hati, berakhlaq yang baik, berjiwa besar, berbaik hati, sabar dan tawakkal kepada Allah.
11.Taj al-Asrar Fi Tahqiq Masyarib al-Arifin
Kitab menjelaskan tentang al-ihatah (liputan) dan al-ma’iyyah (kebersamaan). Dekatakannya kebersamaan Allah dengan hambaNya seperti kebersamaan Roh dengan Jasad, seperti pekerjaan dengan yang mengerjakan. Keliputan (ilmu Tuhan) terhadap sesuatu terbatas dengan sifatNya. Seperti diibaratkan kayu bakar, kayu berdiri sendiri, sedang api berdiri dengan kayu bakar. Akan tetapi pada hakikatnya api itu api dan kayu bakar itu kayu bakar. Oleh karena itu hamba tetap jadi hamba, meskipun ia naik bersatu dengan Tuhan, demikian juga Tuhan tetap Tuhan meskipun ia turun. Hamba tetap jadi hamba, meskipun ia fana dan baqa ke dalam diri Tuhan dan tetap padaNya dan disifati dengan beberapa sifat Tuhan. Tuhan tetap Tuhan meskipun ia Dzahir ke dalam diri hambaNya dan disifati dengan sifat hamba.
Ketika Abu Sa’id al-Kharraz ditanya, “Dengan apa saya dapat mengenal Tuhan”? beliau menjawab “ Dengan mempersatukan dua hal yang berlawanan”. Allah disifati dengan Tiapa sesuatu yang serupa denganNya dan segala sesuatu itu adalah milikNya” (As-Syu’ara:11)
Syech Fadl Allah al-Burhanpuri berkata “Semua yang ada itu dari sudut wujudnya adalah ain al-Haq, dan dari segi ketentuannya bukan Dia. Dari segi hakikat semua yang ada adalah al-Haq Ta’ala. Bagaimana tidak demikian sedangkan Dia adalah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin, dan Dialah Yang Tiada sesuatu menyerupaiNya. Ini suatu keanehan, karena dua hal yang bertentangan tidak dapat bertemu, sedangkan Dialah yang menyatukan dua hal yang bertentangan. Maka kata Syech Yusuf, fahamilah baik-baik, sebab kesalah pahaman dalam hal ini dapat menyebabkan orang tergelincir.
12.Tuhfat al-AbrarLi Ahl al-Asrar
Bagi ahli rahasia-rahasia ilahi, Syech Yusuf menguraikan dzikir dan akhlaq yang baik dan terpuji. “Tasawuf adalah Akhlaq yang mulia”, berakhlqa baik terhadap Allah maupun sesama, demikian perkataan beberapa orang sufi. Tasawuf bermula dengan menuju kepada Allah Ta’ala dan akhirnya berakhlaq dengan Akhlaq Allah. Hamba harus mempunyai sangkaan baik terhadap Allah dan semua manusia. Sebagaimana Firman dalam Hadits Qudsi “ Aku adalah menurut sangkaan hambaKu, maka sangkalah terhadapKu yang baik-baik”.
Selain itu disebut pula tentang macam-macam kiblat, terdapat 3 macam kiblat :
1.Kiblat Amal disebut kiblat orang-orang awam, bagi orang awam tidak sah sholat apabila tidak menghadap arah ke kiblat masjil haram
2.Kiblat ilmu disebut kiblat orang-orang khusus (al-khawas), sebagaimana Firman Allah “ Kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah” (Al-Baqarah : 115)
3.Kiblat al-sirr disebut kiblat khususnya orang khusus atau ahli ma’rifat ( akhas al-khawas), kiblat ini adalah kiblat rahasia yang meliputi segala sesuatu yang tampak, dalam segala sesuatu, atas segala sesuatu, menurut segala sesuatu, bersama segala sesuatu, kepada segala sesuatu dan Dialah Segala sesuatu itu.

13.Zubdal Al-asrar
Kitab ini ditulis Syech Yusuf dalam bulan safar tahun 1087 H (tepat bulan april-mei 1676 M). Kitab mengulas macam-macam dzikir
•Dzikir lafadz “Laa Ilaaha Illa Allah” adalah dzikir lisan yang diamalkan orang-orang awam, Firman Allah dalam Hadits Qudsi, yang artinya “ Laa Ilaaha Illa Allah adalah bentengKu, barang siapa masuk bentengku, maka ia aman dari siksaKu”.
•Dzikir Lafadz “Allah..Allah” adalah dzikir hati (Qolb) yang diamalkan orang-orang khusus
•Dzikir Lafadz “Hu..Hu..(Huwa)” adalah dzikir Rahasia atau Perasaan (Sirri) yang diamalkan oleh orang khususnya orang khusus (Syech, dzikir ini tidak semua orang dapat mengalaminya, disebabkan dzikirnya orang paling istimewa (akhas al-khawas), Lafadz Allah, apabila dihilangkan huruf Alif nya maka terbaca “Lillahi”, berarti untukNya dan karenaNya segala sesuatu .Apabila huruf kedua Lam dihilangkan, maka terbaca “Lahu” berarti milikNya dan KepunyaanNya segala sesuatu. Apabila huruf ketiga Lam di hilangkan, maka terbaca “Hu” berarti Dia, Dialah segala sesuatu tersebut. Dalam bacaan “Hu atau Huwa” dalam lafadz Allohu terdapat huruf wawu sukun, akan tetapi secara lafadz tidak tertulis. Hal ini menandakan Dia itu Maha Ghaib, seperti ghaibnya huruf wawu dalam Lafadz Allohu.
Sang salik dalam awal perjalanan memasuki dunia tasawuf adalah melakukan Tobat Nasuha, yakni bertaubat dengan penuh penyesalan atas segala dosa besar dan kecil yang dilakukan oleh dhohir maupun batin, baik disengaja maupun tidak disengaja. Sebagaimana Firman Allah, yang artinya “ Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri”. Selain itu pada hari kiamat yang mendapat syafaatnya dari Rosulullah adalah umat Islam yang berdosa, hal ini seperti disabdakan Rosulullah, yang artinya “Aku siapkan syafaatku untuk umatku yang berdosa besar”(Kitab Tauhid shohih Bukhori), “seluruh umatku akan diampuni kecuali yang terang-terangan berbuat dosa” (al-Mujaharoh,Shohih Bukhori-Muslim).
Tasawuf adalah Akhlaq yang mulia, permualan tasawuf adalah ilmu, pertengahannya adalah amal dan akhirnya adalah karunia. Manusia yang sempurna adalah manusia yang telah mengenal Allah dan sampai kedalam maqam Ma’rifatullah. Manusia sempurna yang selalu ingat kepada Allah dalam segala urusannya, atas kehendakNya, untuk Allah dan selalu disisinya. Manusia sempurna adalah manusia yang dipilih Tuhan untuk menampakkan diriNya, lalu diberikan segala macam sifatNya pada manusia tersebut, seolah-olah hamba tersebut berakhlaq dengan Akhlaqullah.
Dalam perjalanan mencapai tahapan ma’rifat ini sang salik harus membutuhkan seorang guru (mursyid) yang bisa mengantarkan perjalanan spiritualnya. Guru atau syech tersebut membimbingnya setelah calan sufi tersebut dinyatakan dan dibai’at masuk ke dalam salah satu tarekat.
Syech tarekat bagaikan Khalifah Allah di muka bumi ini, yang mempunyai sejumlah sifat Tuhan. Oleh sebab itu, sang murid harus mengetahui dan meyakinan bahwa ketika dia dibai’at gurunya, seakan-akan dibai’at Tuhan. Adapun faedah ikut sertanya sang murid dalam bai’at tersebut, tidak akan diketahui hakekatnya kecuali setelah ia meninggal. Sebagai contoh kesungguhan al-Junaid ketika ditanya “bagaimana ia sampai kepada Allah (Ma’rifatullah), beliau menjawab sambil menunjuk pipinya “Dengan meletakkan ini dipintu rumah guruku selama 40 tahun lamanya
Selain itu disebut pula tentang macam-macam kiblat, terdapat 4 macam kiblat :
1.Kiblat Amal disebut kiblat orang-orang awam, bagi orang awam tidak sah sholat apabila tidak menghadap arah ke kiblat masjil haram
2.Kiblat ilmu disebut kiblat orang-orang khusus (al-khawas), sebagaimana Firman Allah “ Kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah” (Al-Baqarah : 115)
3.Kiblat al-sirr disebut kiblat khususnya orang khusus atau ahli ma’rifat ( akhas al-khawas), kiblat ini adalah kiblat rahasia yang meliputi segala sesuatu yang tampak, dalam segala sesuatu, atas segala sesuatu, menurut segala sesuatu, bersama segala sesuatu, kepada segala sesuatu dan Dialah Segala sesuatu itu.
4.Kiblat Tawajjuh, adalah kiblat yang ada di hatisanubari dan sejajar dengan hakekat hati, yang telah diisyaratkan dalam sebuah Hadits “ Hati seorang Mukmin adalah Arsyullah”.Sebagian ulama sufi menyatakan “ Hati itu ghaib, al-Haq juga ghaib, sehingga yang ghaib lebih layak dengan pendekatan yang ghaib pula.
Kitab ini juga menjelaskan tentang ajaran Widat al-Wujud yang mutlak dan menghapuskan dualisme serta menghapuskan keberadaan apapun selain Allah dan menjauhkan diri dari segala yang berbau syirik yang nyata, maka ia akan melihat segala sesuatu adalah al-Haq. Ketahuilah itu dan renungkanlah, karena itu adalah ilmu yang sangat dalam. Dalam hal ini Abu Bakar Shiddiq juga berkata “Kelemahan dalam mengetahui adalah suatu pengetahuan”, lalu Ali menambahkan “Mencari Hakikat itu termasuk Syirik”. Sebagian ahli hakekat mengatakan :”Syarat kesempuan ibadat seorang hamba adalah mengetahui bahwa yang disembah itu tampak pada dirinya, kalau tidak demikian, ia tidak dapat menjadi penyembah yang sebenarnya, sebab ia dapat memasuki lautan syirik yang tersembunyi. Bagaimana tidak, sedangkan ia menjadi seorang penyembah karena ia menerima perintah dariNya Ta’ala dan Dia adalah yang disembah, karena segala sesuatu kembali kepadaNya. Ia juga harus mengetahui dan mengerti bahwa setiap kali ia menghadapi sesuatu apakah itu gambaran atau pengertian , ia mendapati al-Haq tampak padanya dan nyata olehnyadengan pengadaan dan penciptaaNya secara umum. Hal ini dapat dicapai setiap orangsesuai dengan kemampuannya dalam penerimaan penampakan itu secara khusus.
Sebagaimana Abu Yazid al-Bhistami menyatakan “ Aku adalah yang mencintai dan yang dicintai adalah Aku”. Abu Bakar al-Shiddiq berkata berkata “ Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan sebelumnya”, Umar Ibn al-Khattab berkata “Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan sesudahnya”, Usman ibn Affan berkata “Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan bersamanya, Sedangkan Ali Ibn Abi Thalib berkata “Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan di dalamnya. Perkatan para sufi dalam hal ini tujuannya sama. Adapun perbedaanya adalah terletak pada penyaksian perkataan mereka tersebut terhadap masing-masing dari mereka sesuai dengan tingkatan ma’rifatnya dalam kesufian.
Demikianlah Petikan dari beberapa kitab hasil karya Syech Yusuf Taj al-Makasari, semoga petikan ini dapat bermanfaat bagi para ahli suluk yang lagi berjalan menuju kehadllirat Allah SWT.
Wallohu A'lam
no image

Syekh Abdus Salam al-Masyasyi

Syeikh Ibnu Masyisy Abdussalam bin Masyisy bin Malik bin Ali bin Harmalah bin Salam bin Mizwar bin Haidarah bin Muhammad bin Idris al-Akbar bin Abdullah al-Kamil bin al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan as-Sabth bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah az-Zahra putri Rasulullah saw. Syeikh Ibnu Masyisy lahir pada tahun 559 H bertepatan dengan 1198 M.

Kehidupan Intelektual Ibnu Masyisy.

Ibnu Masyisy belajar membaca, menulis dan menghafal al-Qur’an di Kuttab (tempat yang digunakan untuk mengajarkan anak-anak kecil membaca, menulis dan menghafal al-Qur’an) dan dia telah hafal al-Qur’an sejak berumur kurang dari 12 tahun kemudian pergi menuntut ilmu. Ibnu Masyisy bekerja di lahan pertanian seperti penduduk kampung lainnya dan tidak bergantung kepada orang lain dalam mengatur urusan kehidupannya. Dia menikahi anak perempuan pamannya (pamannya bernama Yunus), dari pernikahannya ini dikarunia empat orang anak laki-laki: Muhammad, Ahmad, Ali, Abdus Shamad dan satu orang anak perempuan: Fatimah.

Syeikh Ibnu Masyisy mumpuni dalam bidang ilmu juga memiliki kezuhudan yang tinggi, Allah swt menyatukan dalam dirinya dua kemulian, dunia dan Agama, serta menjaga keutamaan keyakinan yang haqiqi. Dan Ibnu Masyisy mendapatkan keberhasilan atas kesungguhan kemauan dan cita-citanya, seorang yang tidak pernah menyimpang dari jalan syari’at sehelai rambut pun, berpegang teguh pada Agama dan menyampaikan keutamaan-keutamaannya

Guru-gurunya

Syeikh Ibnu Masyisy memiliki kesungguhan dan kemauan yang keras dalam menuntut ilmu serta menjaga awrad (baca’an-bacaan zikir dan do’a) sehingga dia sampai kepada jalan menuju makrifah kepada Allah swt, maka Ibnu Masyisy mumpuni dalam bidang ilmu juga mendapatkan puncak kezuhudan. Di antara guru-gurunya dalam bidang ilmu pengetahuan adalah Syeikh Ahmad yang di juluki (aqtharaan), dimakamkan di daerah Abraj dekat pintu Tazah. Di antara para gurunya dalam bidang tasawwuf (at-tarbiyah wa as-suluuk) Syeikh Abdurrahman bin Hasan al-’Aththar yang terkenal dengan az-Ziyyaat, dari beliau Ibnu Masyisy belajar tentang ilmu mua’amalah dengan masyarakat yang sumbernya berakhlak sesuai dengan akhlak Rasulullah saw, sehingga dari ilmu tersebut Ibnu Masyisy mendapatkan yang lebih banyak.

Peninggalan-peninggalan Syeikh Abdussalam bin Masyisy.

Barangkali, penyebab tidak terlalu banyak warisan peningalan Abdussalam bin Masyisy, meskipun kedududakannya tinggi yang nampak pada muridnya Abu al-Hasan as-Syaziliy, adalah sangat ketertutupan beliau dan tidak ingin di kenal oleh manusia, di antara do’anya “Ya Allah aku mohon kepada-Mu agar makhluk berpaling dariku sehingga tidak ada tempat kembali bagiku selain kepada-Mu“. Allah swt mengabulkan permohonan Syeikh Ibnu Masyisy tersebut dan karena sangat ketertutupannya itu sampai tidak ada yang mengenal beliau kecuali Syeikh Abu al-Hasan as-Syaziliy yang sebuah thariqah dinisbahkan kepadanya. Adapun beberapa peninggalan ilmiyah Syeikh Ibnu Masyisy yang sampai kepada kita melalui muridnya Syeikh Abu al-Hasan as-Syaziliy adalah sekumpulan nasehat yang mengagumkan dengan ungkapan yang bersih, jernih selaras dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, di antaranya adalah:

“Syeikh Abu al-Hasan as-Syaziliy berkata: “Guruku mewasiatkan kepadaku dan dia berkata: ” Jangan kamu langkahkan kedua kakimu kecuali kamu hanya mengharap balasan dari Allah swt, janganlah kamu duduk kecuali kamu merasa aman dari maksiat kepada Allah swt dan jangan kamu berteman kecuali dia dapat menolongmu untuk ta’at kepada Allah swt“.

Dan Ibnu Masyisy berkata secara langsung kepada Abu al-Hasan as-Syaziliy: Senantiasalah kamu suci dari rasa ragu dan dari kotoran dunia, ketika kamu dalam keadaan kotor maka bersucilah, ketika kamu mulai cenderung kepada syahwat dunia maka perbaikilah dengan bertaubat, jangan sampai kamu dirusak dan ditipu hawa nafsu, maka dari itu senantiasalah kamu merasa dekat kepada Allah dengan penuh ketundukan dan ketulusan hati.

Salah satu teks penting yang sampai kepada kita dari Syeikh Abdussalam bin Masyisy adalah teks “shalawat Masyisyiah”, yaitu sebuah teks shalawat yang unik jika kata-katanya itu berbaur atau di ucapkan oleh ruh maka akan membuat pemilik ruh tersebut terasa melayang di udara dari keluhuran dan keindahan alam malakut. Dan teks tersebut merupakan titik perhatian para penyarah.

Adapun teks do’a shalawat Masyisyiyah dari Syech Abdus Salam ibnu Masyisy tersebut adalah :

Allahumma shalli ‘alaa man minhun syaqqatil asraar
Wan falaqatil anwaar
wa fiihir taqatil haqaaiq

Wa tanazallat ‘uluumu sayyidinaa aadama ‘alayhis salaamu fa a’jazal khalaaiq
Wa lahu tadhaa alatil fuhuumu falam yudrik-hu minnaa saabiqu wa laa laahiq

Fari yaa dhul malakuuti bizahri jamaalihi muuniqah
wa hiyaadhul jabaruuti bifaydhi anwaarihi mutadafiqah

Wa laa syay-a illa wa huwa bihi manuuth
Idz lawla waa sithatu ladza haba kamaa qiilal mawsuuth

Shalaatan taliiqu bika minka ilayhi kamaa huwa ahluh
Allahumma inaahu sirrukal jaami’ud dallu ‘alayk
Wa hijaabuka a’zhamu’l qaa-imulaka bayna yadayk

Allahumma alhiqnii binasabih
wa haqqiqnii bi hasabih
Wa ‘arrifnii iyyahu ma’rifatan aslamu bihaa min mawaaridil jahl

Wa akra’u bihaa min mawaaridil fadhl
Wahmilnii ‘alaa sabiilihi ilaa hadhratik
Hamlan mahfuufan binushratika
waqdzif bii ‘alal baathili fa-admighah
wa zujjabii fii bihaari’ ahadiyyah

wansyulnii min awhaalit-tawhiid
wa aghriqnii fii ‘ayni bahril wahdah
hatta laa araa wa laa asma’a wa laa ajida wa laa uhissa ilaa bihaa

waj’allahummal hijaaba a’zhama hayaata ruuhii
wa ruuhahu sirra haqiiqatii
wa haqiiqatahu jaami’a ‘awaalimi bitahqiiqil haqqi awwal
yaa awwalu yaa aakhiru yaa zhaahiru yaa baathin

isma’ nida-ii bimaa sami’ta bihi nidaa-a ‘abdika sayyidinaa Zakariyya ‘alayhis salaam

wan shurnii bika laka
wa ayyidnii bika laka
wajma’ baynii wa baynaka
wa hul bayni wabayna ghayrika
Allah Allah Allah

Innal-ladzii faradha ‘alaykal qur’aan laradduka ilaa ma’aad
Rabbanaa aatinaa min ladunka rahmah
Wa hayyi’lanaa min amrinaa rasyadaa (3 kali)

Innallaaha wa malaaikatahu yushalluna ‘alan-nabiyy
Yaa ayyuhal ladziina amanuu shallu ‘alayhi wa sallimuu tasliima

Wa shallallaahu ‘alaa sayyidinaa muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam

Subhaana rabbika rabbil ‘izzati ‘ammaa yashifuun wa salaamu ‘alal mursaliin wal hamdulillaahi rabbil ‘aalamiin


Wafatnya

Barangkali sebab Ibnu Masyisy keluar dari khalwahnya menentang Ibnu Abi ath-Thawaajin al-Kattamiy yang mengaku nabi, beliau telah mempengaruhi sebagian orang pada masa nya, dan melakukan perlawanan atas dia dan para pengikutnya dengan logika dan dalil-dalil syar’i baik ucapan dan perbuatan dengan serangan atau perlawanan yang keras, mereka memotivasi untuk melakukan tipu daya dan persekutuan untuk membunuhnya, maka ia mengutus sebuah kelompok kepada Syeikh itu untuk menjebak beliau sehingga beliau turun dari kholwahnya untuk berwudhu dan shalat subuh dan disanalah mereka membunuhnya pada tahun 622 H, semoga Allah merahmati dengan rahmat yang luas, dan mengumpulkan kami bersama dengan beliau ditempat yang di senangi disisi tuhan yang berkuasa. Washallallahu ala Sayyidina Muhammad wa ala alihi wasahbihi wa sallam taslimaa.
Sabtu, 24 April 2010
Rabi'ah al-Adawiyah

Rabi'ah al-Adawiyah



Rabi'ah al-Adawiyah
Rabi'ah binti Ismail al-Adawiyah tergolong wanita sufi yang terkenal dalam sejarah Islam. Dia dilahirkan sekitar awal kurun kedua Hijrah dekat kota Basrah di Irak. Dia lahir di sebuah keluarga yang miskin dari segi materi namun kaya dengan peribadatan kepada Allah. Ayahnya pula hanya bekerja mengangkut penumpang menyeberangi Sungai Dijlah dengan menggunakan sampan.

Pada akhir abad pertama Hijrah, keadaan hidup masyarakat Islam dalam pemerintahan Bani Umaiyah yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan telah mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai berlomba-lomba mencari kekayaan. Justru itu kejahatan dan maksiat tersebar luas. Pekerjaan menyanyi, menari dan berhibur semakin diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai tumpul dan zaman hidup wara 'serta zuhud hampir lenyap sama sekali.

Namun begitu, Allah telah memelihara sejumlah kaum Muslimin agar tidak terjerumus ke dalam fitnah tersebut. Pada saat itulah muncul satu gerakan baru yang dinamakan Tasawuf Islami yang dipimpin oleh Hasan al-Bashri. Pengikutnya terdiri dari pria dan wanita. Mereka menghabiskan waktu dan tenaga untuk mendidik jiwa dan rohani mengatasi segala tuntutan udara nafu demi mendekatkan diri kepada Allah sebagai hamba yang benar-benar taat.

Bapa Rabi'ah merupakan hamba yang sangat bertaqwa, tersingkir dari kemewahan dunia dan tidak pernah letih bersyukur kepada Allah. Dia mendidik anak perempuannya menjadi muslimah yang berjiwa bersih. Pendidikan yang diberikannya bersumberkan al-Quran semata-mata. Natijahnya Rabi'ah sendiri begitu gemar membaca dan menghayati isi al-Quran sehigga berhasil menghafal konten al-Quran. Sejak kecil lagi Rabi'ah sememangnya berjiwa halus, mempunyai keyakinan yang tinggi serta keimanan yang mendalam.

Menjelang kedewasaannya, kehidupannya menjadi serba sempit. Keadaan itu semakin buruk setelah beliau ditinggalkan ayah dan ibunya. Rabi'ah juga tidak bebas dari ujian yang bertujuan membuktikan keteguhan iman. Ada riwayat yang mengatakan beliau telah terjebak dalam kancah maksiat. Namun dengan limpah hidayah Allah, dengan dasar keimanan yang belum padam di hatinya, dia dipermudahkan oleh Allah untuk kembali bertaubat. Babak-babak taubat inilah yang mungkin dapat menyedar serta mendorong hati kita merasai cara yang sepatutnya seorang hamba brgantung harap ke belas ihsan Tuhannya.

Marilah kita teliti ucapan Rabi'ah sewaktu kesunyian di ketenangan malam ketika bermunajat kepada Allah:

"Ya Allah, ya Tuhanku. Aku berlindung diri kepada Engkau dari segala yang ada yang dapat memalingkan diri dari-Mu, dari segala Pendinding yang dapat mendinding antara aku dengan Engkau!

"Tuhanku! bintang-bintang telah menjelma indah, mata telah tidur nyenyak, semua pemilik telah menutup pintunya dan inilah dudukku di hadapan-Mu.

"Tuhanku! Tidak ada kudengar suara binatang yang mengaum, tiada desiran pohon yang bergeser, tiada desiran air yang mengalir, tiada siulan burung yang menyanyi, tiada nikmatnya teduhan yang melindungi, tiada tiupan angin yang nyaman, tiada dentuman guruh yang menakutkan melainkan aku dapati semua itu menjadi bukti keesaan -Mu dan menunjukkan tiada sesuatu yang menyamai-Mu.

"Sekelian manusia telah tidur dan semua orang telah lalai dengan asyik maksyuknya. Yang tinggal hanya Rabi'ah yang banyak kesalahan di hadapan-Mu. Maka moga-moga Engkau berikan suatu pandangan kepadanya yang akan menahannya dari tidur supaya dia dapat melayani-Mu. "

Rabi'ah juga pernah meraung memohon belas ihsan Allah SWT:

"Tuhanku! Engkau akan mendekatkan orang yang dekat di dalam kesunyian kepada keagungan-Mu. Semua ikan di laut bertasbih di dalam lautan yang mendalam dan karena kebesaran kesucian-Mu, ombak di laut bertepukan. Engkaulah Tuhan yang sujud kepada-Nya malam yang gelap, siang yang terang, falak yang bulat, bulan yang bercahaya, bintang yang berkerdipan dan setiap sesuatu di sisi-Mu dengan takdir sebab Engkaulah Tuhan Yang Maha Tinggi lagi Maha Perkasa. "

Setiap malam begitulah keadaan Rabi'ah. Apabila fajar menyinsing, Rabi'ah terus juga bermunajat dengan ungkapan seperti:

"Wahai Tuhanku! Malam yang akan pergi dan siang pula akan mengganti. Wahai malangnya diri! Apakah Engkau akan menerima malamku ini supaya aku merasa bahagia ataupun Engkau akan menolaknya maka aku diberikan takziah? Demi kemuliaan-Mu, jadikanlah caraku ini kekal selama Engkau menghidupkan aku dan bantulah aku di atasnya. Demi kemuliaan-Mu, jika Engkau menghalauku dari pintu-Mu itu, niscaya aku akan tetap tidak bergerak juga dari situ disebabkan hatiku sangat cinta kepada-Mu. "

Seperkara menarik tentang diri Rabi'ah ialah dia menolak lamaran untuk menikah dengan alasan:

"Pernikahan itu memang perlu bagi siapa yang memiliki pilihan. Adapun aku tiada mempunyai pilihan untuk diriku. Aku adalah milik Tuhanku dan di bawah perintah-Nya. Aku tidak memiliki apa-apa pun. "

Rabi'ah seolah-olah tidak mengenali yang lain dari Allah. Oleh itu dia terus-menerus mencintai Allah semata-mata. Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keridhaan Allah. Rabi'ah telah mempertalikan akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya kepada akhirat semata-mata. Dia selalu meletakkan kain kapannya di hadapannya dan sentiasa membelek-beleknya setiap hari.

Selama 30 tahun dia terus-menerus mengulangi kata-kata ini dalam salatnya:

"Ya Tuhanku! Tenggelamkanlah aku di dalam kecintaan-Mu supaya tiada suatupun yang dapat memalingkan aku dari-Mu. "

Antara syairnya yang masyhur berbunyi:

"Kekasihku tiada menyamai kekasih lain biar bagaimanapun,
Tidak ada selain Dia di dalam hatiku mempunyai tempat manapun,
Kekasihku ghaib dari penglihatanku dan peribadiku sekalipun,
Akan tetapi Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetik pun. "

Rabi'ah telah membentuk satu cara yang luar biasa di dalam mencintai Allah. Dia menjadikan kecintaan pada Ilahi itu sebagai satu cara untuk membersihkan hati dan jiwa. Dia memulai paham sufinya dengan menanamkan rasa takut kepada kemurkaan Allah seperti yang pernah diluahkannya:

"Wahai Tuhanku! Apakah Engkau akan membakar dengan api hati yang mencintai-Mu dan lisan yang menyebut-Mu dan hamba yang takut kepada-Mu? "

Kecintaan Rabi'ah kepada Allah berjaya melewati pengharapan untuk beroleh syurga Allah semata-mata.

"Jika aku menyembah-Mu karena takut dari api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu. "

Begitulah keadaan kehidupan Rabi'ah yang ditakdirkan Allah untuk diuji dengan keimanan serta kecintaan kepada-Nya.

Sekarang mari kita tinjau diri sendiri pula. Apakah kita menyadari satu hakikat yang disebut oleh Allah di dalam Surah Ali Imran, ayat 142 yang artinya:

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga padahal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang yang sabar."

Bagaimana perasaan kita apabila insan yang kita kasihi menyinggung perasaan kita? Apakah kita terus berkecil hati dan meletakkan kesalahan kepada insan berkenaan? Tidak terlintaskah untuk merasakan di dalam hati seumpama ini:

"Ya Allah! Ampunilah aku. Sesungguhnya hanya Engkau yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hanya kasih-Mu yang abadi dan hanya hidup di sisi-Mu saja yang abadi. Selamatkanlah aku dari tipu daya yang mengasyikkan. "

Sesungguhnya apa juga lintasan hati dan luahan rasa yang tercetus daripada kita bergantung kepada cara hati kita berhubung dengan Allah. Semakin kita kenali keluhuran cinta kepada Allah, maka bertambah erat ketergantungan hati kita kepada Allah dan melahirkan keyakinan cinta dan kasih yang selalu subur.

Lanjutan itu jiwa kita tidak mudah merasa kecewa dengan gelagat sesama insan yang beragam ragam. Keadaan begini sebenarnya terlebih dahulu perlu dipupuk dengan melihat serta merenungi alam yang terbentang luas ini sebagai anugerah besar dari Allah untuk maslahat kehidupan manusia. Kemudian cobalah hitung betapa banyaknya nikmat Allah kepada kita.

Dengan itu kita akan sadar bahwa kita sebenarnya hanya bergantung kepada Allah. Mulai dari sini kita akan mampu membangun perasaan cinta terhadap Allah yang kemudian harus diperkukuhkan dengan mencintai titah perintah Allah. Mudah-mudahan nanti kita juga akan menjadi perindu cinta Allah yang kekal abadi.

Kisah-Kisah Rabi’ah al-Adawiyyah

Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Rabiah dan bertanya, “Saya ini telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya bertimbun melebihi gunung-gunung. Andaikata saya bertobat, apakah Allah akan menerima tobat saya?” “Tidak,” jawab Rabiah dengan suara tegas. Pada kali yang lain seorang lelaki datang pula kepadanya. Lelaki itu berkata, “Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosa saya. Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik yang kecil maupun yang besar. Tetapi sekarang saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan menerima tobat saya?” “Pasti,” jawab Rabiah tak kalah tegas. Lalu ia menjelaskan, “Kalau Tuhan tidak berkenan menerima tobat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani tobat? Untuk berhenti dari dosa, jangan simpan kata “akan” atau “andaikata” sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu.”

Memang ucapan sufi perempuan itu seringkali menyakitkan telinga bagi mereka yang tidak memahami jalan pikirannya. Ia seorang mistisi yang sangat tinggi derajatnya dan tergolong kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi.

Sesungguhnya ia lebih dikenal sebagai seorang pendiri ‘agama cinta’ (mahabbah) dan ia pun dikenang sebagai ‘ibu para Sufi besar’ (The Mother of the Grand Master). Siapa sebenarnya ia yang kepergiannya dielu-elukan kaum ‘suci’ itu? Tiada lain ia adalah tokoh wanita bernama Rabiah Basri atau lebih dikenal sebagai Rabiah Al Adawiyah Al Bashriyah, lahir pada tahun 713 M di Basrah (Irak), dari keluarga yang hina dina.

Sebagai anak keempat. Itu sebabnya ia diberi nama Rabiah. Bayi itu dilahirkan ketika orang tuanya hidup sangat sengsara meskipun waktu itu kota Bashrah bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan. Tidak seorang pun yang berada di samping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya, Ismail, tengah berusaha meminta bantuan kepada para tetangganya.

Namun, karena saat itu sudah jauh malam, tidak seorang pun dari mereka yang terjaga. Dengan lunglai Ismail pulang tanpa hasil, padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah untuk menerangi istrinya yang akan melahirkan. Dengan perasaan putus asa Ismail masuk ke dalam biliknya. Tiba-tiba matanya terbelak gembira menyaksikan apa yang terjadi di bilik itu.

Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa. “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan. Ismail tetap tidak punya apa-apa kecuali tiga kerat roti untuk istrinya yang masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam salat tahajud yang panjang, menyerahkan nasib dirinya dan seluruh keluarganya kepada Yang Menciptakan Kehidupan.

Sekonyong-konyong ia seolah berada dalam lautan mimpi manakala gumpalan cahaya yang lebih benderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan masih segar-bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda, “Jangan bersedih, orang salih. Anakmu kelak akan dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia. Pergilah kamu kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa pada malam Jumat yang lalu ia tidak melakukan salat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaat yang ditinggalkannya.

Ketika Ismail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa Zadan, penguasa kota Bashrah itu, terperanjat. Ia memang biasa mengerjakan salat sunnah 100 rakaat tiap malam, sedangkan saban malam Jumat ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh karena itu, kepada Ismail diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah rakaat yang ditinggalkannya pada malam Jumat yang silam. Itulah sebagian dari tanda-tanda karamah Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan dari kota Bashrah, yang di hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan. Begitu agungnya cinta itu bertaut antara hamba dan penciptanya sampai ia tidak punya waktu untuk membenci atau mencintai, untuk berduka atau bersuka cita selain dengan Allah.

Ismail dan istrinya meninggal ketika Rabiah masih kecil. Begitu pula ketiga kakak Rabiah, meninggal ketika wabah kelaparan melanda kota Basrah. Dalam kesendirian itu, akhirnya Rabiah jatuh ke tangan orang yang kejam, yang lalu menjualnya sebagai budak belian dengan harga sangat murah. Majikan barunya pun tak kalah bengisnya dibandingkan dengan majikan sebelumnya.

Setelah bebas, Rabiah pergi ke tempat tempat sunyi untuk menjalani hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya sampailah ia di sebuah gubuk dekat Basra. Di sini ia hidup bertapa. Sebuah tikar butut, sebuah kendil dari tanah, dan sebuah batu bata, adalah harta yang ia punyai dan teman dalam menjalani hidup kepertapaan.

Praktis sejak saat itu, seluruh hidupnya hanya ia abdikan pada Allah swt. Berdoa dan berzikir adalah hiasan hidupnya. Saking sibuknya mengurus ‘akhirat’, ia lalai dengan urusan duniawi, termasuk membangun rumah tangga. Meski banyak pinangan datang, termasuk dari gubernur Basra dan seorang suci mistis terkenal, Hasan Basri, Rabiah tetap tak tertarik untuk mengakhiri masa lajangnya. Hal ini ia jalani hingga akhir hayatnya, pada tahun 801 M.

Dalam perjalanan kesufian Rabiah, kesendirian, kesunyian, kesakitan, hingga penderitaan tampak lumer jadi satu; ritme heroik menuju cinta kepada Sang Ada (The Ultimate Being). Tak heran jika ia ‘merendahkan manusia’ dan mengabdi pada dorongan untuk meraih kesempurnaan tertinggi. Ia jelajahi ranah mistik, yang jadi wilayah dalam dari agama, hingga mendapatkan eloknya cinta yang tidak dialami oleh kaum Muslim formal.

Menjadi Sufi dalam perjalanan Rabiah adalah “berlalu dari sekadar Ada menjadi benar benar Ada”. Sufisme Rabiah merupakan pilihan dari jebakan-jebakan ciptaan yang tak berguna. Karena demikian mendalam cintanya kepada Allah, Rabiah sampai tidak menyisakan sejengkal pun rasa cintanya untuk manusia. Sufyan Tsauri, seorang Sufi yang hidup semasa dengannya, sempat terheran-heran dengan sikap Rabiah. Pasalnya, Sufyan pernah melihat bagaimana Rabiah menolak cinta seorang pangeran yang kaya raya demi cintanya kepada Allah. Dia tidak tergoda dengan kenikmatan duniawi, apalagi harta.

Cinta Rabiah tak dapat disebut sebagai cinta yang mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalanan mencapai ketulusan. Sesuatu yang dianggap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar, “Jika aku menyembah-Mu karena takut pada api neraka maka masukkan aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu, maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu, maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku kesempatan untuk melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.”

Perjalanan hidup Rabiah diwarnai dengan kekaribannya dengan situasi yang penuh keterbatasan; tinggal bersama kedua orang tua dan saudara saudaranya, dijual sebagai budak, menghamba pada tuannya hingga dibebaskan dari perbudakan, lalu hidup mengembara. Periode pertama ini dikenal sebagai periode asketik Rabiah.

Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah pandai sekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan bermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang sedang berzikir dalam upayanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai larut malam. Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya, maka ditinggalkannya semua itu.

Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Ia menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir. Periode yang kedua ini disebut sebagai periode Sufi, suatu periode tatkala Rabiah telah mencapai mahabbattullah (cinta pada Allah) sampai meninggal dan dipuji sebagai Testimony of Belief (Bukti Keimanan).

Doris Lessing, seorang pengamat perjalanan hidup Rabiah, memberi kesimpulan bahwa sufisme tokoh wanita ini adalah bentuk sufisme cinta. Sejenis sufisme yang menempatkan cinta (mahabbah) sebagai panggilan jiwanya. Sufisme yang tak bermaksud larut dalam ekstatik (gairah yang meluap) serta tak berdimensi pemujaan atau pemuliaan dan metode-metode tambahan yang penuh dengan sakramen.

Kendati demikian, pengalaman Rabiah adalah pengalaman orang suci yang sulit ditiru oleh awam. Memahami Rabiah sangat sulit. Seperti masa hidupnya, Rabiah tampaknya jauh dari kita. Selain itu, kesempurnaan yang menyertainya tak mungkin dapat ditandingi oleh orang-orang biasa.

Apa yang dilakukan Rabiah dalam hidupnya sebetulnya adalah ikhtiar untuk membiasakan diri ‘bertemu’ dengan pencipta-Nya. Di situlah ia memperoleh kehangatan, kesyahduan, kepastian, dan kesejatian hidup. Sesuatu yang kini sangat dirindukan oleh manusia modern. Karena itu, menjadi pemuja Tuhan adalah obsesi Rabiah yang tidak pernah mengenal tepi dan batas. Tak heran jika dunia yang digaulinya bebas dari perasaan benci. Seluruhnya telah diberikan untuk sebuah cinta.

Menarik kita simak beberapa doa Rabiah yang dipanjatkan pada waktu larut malam, di atas atap rumahnya: “O Tuhanku, bintang-bintang bersinar gemerlapan, manusia telah tidur nyenyak, dan raja-raja telah menutup pintunya, tiap orang yang bercinta sedang asyik masyuk dengan kesayangannya, dan di sinilah aku sendirian bersama Engkau.”

Jika fajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari cakrawala, Rabiah pun berdoa dengan khusyuk, “Ya, illahi. Malam telah berlalu, dan siang menjelang datang. Aduhai, seandainya malam tidak pernah berakhir, alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat selalu bermesra-mesra dengan-Mu. illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kautolak aku mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa menanti di depan pintu karena cintaku telah terikat dengan-Mu.”

Lantas, jika Rabiah membuka jendela kamarnya, dan alam lepas terbentang di depan matanya, ia pun segera berbisik, “Tuhanku. Ketika kudengar margasatwa berkicau dan burung-burung mengepakkan sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang memuji-Mu. Pada waktu kudengar desauan angin dan gemericik air di pegunungan, bahkan manakala guntur menggelegar, semuanya kulihat sedang menjadi saksi atas keesaan-Mu.

Tentang masa depannya ia pernah ditanya oleh Sufyan Tsauri: “Apakah engkau akan menikah kelak?” Rabiah mengelak, “Pernikahan merupakan kewajiban bagi mereka yang mempunyai pilihan. Padahal aku tidak mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada Allah.” “Bagaimanakah jalannya sampai engkau mencapai martabat itu?” “Karena telah kuberikan seluruh hidupku,” ujar Rabiah. “Mengapa bisa kaulakukan itu, sedangkan kami tidak?” Dengan tulus Rabiah menjawab, “Sebab aku tidak mampu menciptakan keserasian antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan.”


Ada suatu cerita ketika Rabiah al-Adawiyah makan bersama dengan keluarganya. Sebelum menyantap hidangan makanan yang tersedia, Rabi’ah memandang ayahnya seraya berkata, “Ayah, yang haram selamanya tak akan menjadi halal. Apalagi karena ayah merasa berkewajiban memberi nafkah kepada kami.” Ayah dan ibunya terperanjat mendengar kata-kata Rabi’ah. Makanan yang sudah di mulut akhirnya tak jadi dimakan. Ia pandang Rabi’ah dengan pancaran sinar mata yang lembut, penuh kasih. Sambil tersenyum, si ayah lalu berkata, “Rabi’ah, bagaimana pendapatmu, jika tidak ada lagi yang bisa kita peroleh kecuali barang yang haram?” Rabi’ah menjawab: “Biar saja kita menahan lapar di dunia, ini lebih baik daripada kita menahannya kelak di akhirat dalam api neraka.” Ayahnya tentu saja sangat heran mendengar jawaban Rabi’ah, karena jawaban seperti itu hanya didengarnya di majelis-majelis yang dihadiri oleh para sufi atau orang-orang saleh. Tidak terpikir oleh ayahnya, bahwa Rabi’ah yang masih muda itu telah memperlihatkan kematangan pikiran dan memiliki akhlak yang tinggi (Abdul Mu’in Qandil).

Penggalan kisah di atas sebenarnya hanya sebagian saja dari kemuliaan akhlak Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi wanita yang nama dan ajaran-ajarannya telah memberi inspirasi bagi para pecinta Ilahi. Rabi’ah adalah seorang sufi legendaries. Sejarah hidupnya banyak diungkap oleh berbagai kalangan, baik di dunia sufi maupun akademisi. Rabi’ah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.


Sepanjang sejarahnya, konsep Cinta Ilahi (Mahabbatullah) yang diperkenalkan Rabi’ah ini telah banyak dibahas oleh berbagai kalangan. Sebab, konsep dan ajaran Cinta Rabi’ah memiliki makna dan hakikat yang terdalam dari sekadar Cinta itu sendiri. Bahkan, menurut kaum sufi, Mahabbatullah tak lain adalah sebuah maqam (stasiun, atau jenjang yang harus dilalui oleh para penempuh jalan Ilahi untuk mencapai ridla Allah dalam beribadah) bahkan puncak dari semua maqam. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali misalnya mengatakan, “Setelah Mahabbatullah, tidak ada lagi maqam, kecuali hanya merupakan buah dari padanya serta mengikuti darinya, seperti rindu (syauq), intim (uns), dan kepuasan hati (ridla)”.

Rabi’ah telah mencapai puncak dari maqam itu, yakni Mahabbahtullah. Untuk menjelaskan bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Allah, tampaknya agak sulit untuk didefinisikan dengan kata-kata. Dengan kata lain, Cinta Ilahi bukanlah hal yang dapat dielaborasi secara pasti, baik melalui kata-kata maupun simbol-simbol. Para sufi sendiri berbeda-beda pendapat untuk mendefinisikan Cinta Ilahi ini. Sebab, pendefinisian Cinta Ilahi lebih didasarkan kepada perbedaan pengalaman spiritual yang dialami oleh para sufi dalam menempuh perjalanan ruhaninya kepada Sang Khalik. Cinta Rabi’ah adalah Cinta spiritual (Cinta qudus), bukan Cinta al-hubb al-hawa (cinta nafsu) atau Cinta yang lain. Ibnu Qayyim al-Jauziyah (691-751 H) membagi Cinta menjadi empat bagian.

Pertama, mencintai Allah. Dengan mencintai Allah seseorang belum tentu selamat dari azab Allah, atau mendapatkan pahala-Nya, karena orang-orang musyrik, penyembah salib, Yahudi, dan lain-lain juga mencintai Allah.
Kedua, mencintai apa-apa yang dicintai Allah. Cinta inilah yang dapat menggolongkan orang yang telah masuk Islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. Manusia yang paling Cintai adalah yang paling kuat dengan cinta ini.
Ketiga, Cinta untuk Allah dan kepada Allah. Cinta ini termasuk perkembangan dari mencintai apa-apa yang dicintai Allah.
Keempat, Cinta bersama Allah. Cinta jenis ini syirik. Setiap orang mencintai sesuatu bersama Allah dan bukan untuk Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan sesuatu selain Allah. Inilah cinta orang-orang musyrik.

Pokok ibadah, menurut Ibnu Qayyim, adalah Cinta kepada Allah, bahkan mengkhususkan hanya Cinta kepada Allah semata. Jadi, hendaklah semua Cinta itu hanya kepada Allah, tidak mencintai yang lain bersamaan mencintai-Nya. Ia mencintai sesuatu itu hanyalah karena Allah dan berada di jalan Allah.

Cinta sejati adalah bilamana seluruh dirimu akan kau serahkan untukmu Kekasih (Allah), hingga tidak tersisa sama sekali untukmu (lantaran seluruhnya sudah engkau berikan kepada Allah) dan hendaklah engkau cemburu (ghirah), bila ada orang yang mencintai Kekasihmu melebihi Cintamu kepada-Nya. Sebuah sya’ir mengatakan:

Aku cemburu kepada-Nya,
Karena aku Cinta kepada-Nya,
Setelah itu aku teringat akan kadar Cintaku,
Akhirnya aku dapat mengendalikan cemburuku

Oleh karena itu, setiap Cinta yang bukan karena Allah adalah bathil. Dan setiap amalan yang tidak dimaksudkan karena Allah adalah bathil pula. Maka dunia itu terkutuk dan apa yang ada di dalamnya juga terkutuk, kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya

Rabi’ah berarti empat, karena dia adalah anak keempat dari empat saudara. Semuanya perempuan. Pernah suatu ketika ayahnya berdoa agar ia dikaruniai anak laki-laki. hal ini disebabkan karena keluarga Rabi’ah bukanlah termasuk keluarga yang serba kekurangan dan penuh penderitaan. Apalagi dengan kelahiran seorang perempuan Rabi’ah, beban penderitaan ayahnya pun dirasakan semakin bertambah berat, sehingga bila kelak dikaruniai anak laki-laki, diharapkan beban penderitaan itu akan berkurang karena anak laki-laki bisa melindungi seluruh keluarganya. Atau paling tidak bisa membantu ayahnya untuk mencari penghidupan.

Semasa hidupnya ayah Rabi’ah selalu hidup zuhud dan penuh kesalehan. Begitu pun Rabi’ah, yang meskipun sejak kecil hingga dewasanya hidup serba kekurangan, namun ia sama sekali tidak menciutkan hatinya untuk terus beribadah kepada Allah. Sebaliknya, kepapaan keluarganya ia jadikan sebagai kunci untuk memasuki dunia sufi, yang kemudian melegendakan namanya sebagai salah seorang martir sufi wanita di antara deretan sejarah para sufi.

Rabi’ah memang tidak mewarisi karya-karya sufistik, termasuk sya’ir-sya’ir Cinta Ilahinya yang kerap ia senandungkan. Namun begitu, Sya’ir-sya’ir sufistiknya justru banyak dikutip oleh para penulis biografi Rabi’ah, antara lain J. Shibt Ibnul Jauzi (w. 1257 M) dengan karyanya Mir’at az-Zaman (Cermin Abad Ini), Ibnu Khallikan (w. 1282 M) dengan karyanya Wafayatul A’yan (Obituari Para Orang Besar), Yafi’I asy-Syafi’i (w. 1367 M) dengan karyanya Raudl ar-Riyahin fi Hikayat ash-Shalihin (Kebun Semerbak dalam Kehidupan Para Orang Saleh), dan Fariduddin Aththar (w. 1230 M) dengan karyanya Tadzkirat al-Auliya’ (Memoar Para Wali).

Dari sekian banyak penulis biografi Rabi’ah, Tadzkirat al-Awliya’ karya Fariduddin Aththar tampaknya dianggap sebagai buku biografi yang paling mendekati kehidupan Rabi’ah, terutama ketika awal-awal Rabi’ah akan lahir di tengah keluarga yang sangat miskin itu (tapi ada yang menyebutkan bahwa keluarga Rabi’ah sebenarnya termasuk keturunan bangsawan). Riwayat Aththar, yang dikutip Margaret Smith dalam bukunya Rabi’a the Mystic & Her Fellow-Saints in Islam (sebuah disertasi, terbitan Cambridge University Press, London, 1928), antara lain banyak mengungkap sisi-sisi kehidupan Rabi’ah sejak kecil hingga dewasanya.

Aththar menceritakan mengenai nasib malang yang menimpa keluarga Rabi’ah. Saat Rabi’ah menginjak dewasa, ayah dan ibunya kemudian meninggal dunia. Jadilah kini ia sebagai anak yatim piatu. Penderitaan Rabi’ah terus bertambah, terutama setelah kota Basrah dilanda kelaparan hebat. Rabi’ah dan suadara-saudaranya terpaksa harus berpencar, sehingga ia harus menanggung beban penderitaan itu sendirian.

Suatu hari, ketika sedang berjalan-jalan di kota Basrah, ia berjumpa dengan seorang laki-laki yang memiliki niat buruk. Laki-laki itu lalu menarik Rabi’ah dan menjualnya sebagai seorang budak seharga enam dirham kepada seorang laki-laki. Dalam statusnya sebagai budak, Rabi’ah benar-benar diperlakukan kurang manusiawi. Siang malam tenaga Rabi’ah diperas tanpa mengenal istirahat. Suatu ketika, ada seorang laki-laki asing yang datang dan melihat Rabi’ah tanpa mengenakan cadar. Ketika laki-laki itu mendekatinya, Rabi’ah lalu meronta dan kemudian jatuh terpeleset. Mukanya tersungkur di pasir panas dan berkata: “Ya Allah, aku adalah seorang musafir tanpa ayah dan ibu, seorang yatim piatu dan seorang budak. Aku telah terjatuh dan terluka, meskipun demikian aku tidak bersedih hati oleh kejadian ini, hanya aku ingin sekali ridla-Mu. Aku ingin sekali mengetahui apakah Engkau Ridla terhadapku atau tidak.” Setelah itu, ia mendengar suara yang mengatakan, “Janganlah bersedih, sebab pada saat Hari Perhitungan nanti derajatmu akan sama dengan orang-orang yang terdekat dengan Allah di dalam surga.”

Setelah itu, Rabi’ah kembali pulang pada tuannya dan tetap menjalankan ibadah puasa sambil melakukan pekerjaannya sehari-hari. Konon, dalam menjalankan ibadah itu, ia sanggup berdiri di atas kakinya hingga siang hari.

Pada suatu malam, tuannya sempat terbangun dari tidurnya dan dari jendela kamarnya ia melihat Rabi’ah sedang sujud beribadah. Dalam shalatnya Rabi’ah berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku, Engkau-lah Yang Maha Mengetahui keinginan dalam hatiku untuk selalu menuruti perintah-perintah-Mu. Jika persoalannya hanyalah terletak padaku, maka aku tidak akan henti-hentinya barang satu jam pun untuk beribadah kepada-Mu, ya Allah. Karena Engkau-lah yang telah menciptakanku.” Tatkala Rabi’ah masih khusyuk beribadah, tuannya tampak melihat ada sebuah lentera yang tergantung di atas kepala Rabi’ah tanpa ada sehelai tali pun yang mengikatnya. Lentera yang menyinari seluruh rumah itu merupakan cahaya “sakinah” (diambil dari bahasa Hebrew “Shekina”, artinya cahaya Rahmat Tuhan) dari seorang Muslimah suci.

Melihat peristiwa aneh yang terjadi pada budaknya itu, majikan Rabi’ah tentu saja merasa ketakutan. Ia kemudian bangkit dan kembali ke tempat tidurnya semula. Sejenak ia tercenung hingga fajar menyingsing. Tak lama setelah itu ia memanggil Rabi’ah dan bicara kepadanya dengan baik-baik seraya membebaskan Rabi’ah sebagai budak. Rabi’ah pun pamitan pergi dan meneruskan pengembaraannya di padang pasir yang tandus.

Dalam pengembaraannya Rabi’ah berkeinginan sekali untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Akhirnya, ia berangkat juga dengan ditemani seekor keledai sebagai pengangkut barang-barangnya. Sayangnya, belum lagi perjalanan ke Mekkah sampai, keledai itu tiba-tiba mati di tengah jalan. Ia kemudian berjumpa dengan serombongan kafilah dan mereka menawarkan kepada Rabi’ah untuk membawakan barang-barang miliknya. Namun, tawaran itu ditolaknya baik-baik dengan alasan tak ingin meminta bantuan kepada bukan selain Tuhannya. Ia hanya percaya pada bantuan Allah dan tidak percaya pada makhluk ciptaan-Nya.

Orang-orang itu pun memahami keinginan Rabi’ah, sehingga mereka meneruskan perjalanannya. Rabi’ah terdiam dan kemudian menundukkan kepalanya sambil berdoa, “Ya Allah, apalagi yang akan Engkau lakukan dengan seorang perempuan asing dan lemah ini? Engkau-lah yang memanggilku ke rumah-Mu (Ka’bah), tetapi di tengah jalan Engkau mengambil keledaiku dan membiarkan aku seorang diri di tengah padang pasir ini.”

Setelah asyik bermunajat, di depan Rabi’ah tampak keledai yang semula mati itu pun hidup kembali. Rabi’ah tentu saja gembira karena bisa meneruskan perjalannya ke Mekkah.

Dalam cerita yang berbeda disebutkan, saat Rabi’ah berada di tengah padang pasir, ia berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku. Hatiku ini merasa bingung sekali, ke mana aku harus pergi? Aku hanyalah debu di atas bumi ini dan rumah itu (Ka’bah) hanyalah sebuah batu bagiku. Tampakkanlah wajah-Mu di tempat yang mulia ini.” Bgeitu ia berdoa sehingga muncul suara Allah dan langsung masuk ke dalam hatinya tanpa ada jarak, “Wahai Rabi’ah, ketika Musa ingin sekali melihat wajah-Ku, Aku hancurkan Gunung Sinai dan terpecah menjadi empat puluh potong. Tetaplah berada di situ dengan Nama-Ku.”

Diceritakan pula, saat Rabi’ah dalam perjalanannya ke Mekkah, tiba-tiba di tengah ia melihat Ka’bah datang menghampiri dirinya. Rabi’ah lalu berkata, “Tuhanlah yang aku rindukan, apakah artinya rumah ini bagiku? Aku ingin sekali bertemu dengan-Nya yang mengatakan, ‘Barangsiapa yang mendekati Aku dengan jarak sehasta, maka Aku akan berada sedekat urat nadinya.’ Ka’bah yang aku lihat ini tidak memiliki kekuatan apa pun terhadap diriku, kegembiraan apa yang aku dapatkan apabila Ka’bah yang indah ini dihadapkan pada diriku?” Singkat cerita, sekembalinya Rabi’ah dari menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia kemudian menetap di Basrah dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah seraya melakukan perbuatan-perbuatan mulia.

Sebagaimana yang banyak ditulis dalam biografi Rabi’ah al-Adawiyah, wanita suci ini sama sekali tidak memikirkan dirinya untuk menikah. Sebab, menurut Rabi’ah, jalan tidak menikah merupakan tindakan yang tepat untuk melakukan pencarian Tuhan tanpa harus dibebani oleh urusan-urusan keduniawian. Padahal, tidak sedikit laki-laki yang berupaya untuk mendekati Rabi’ah dan bahkan meminangnya. Di antaranya adalah Abdul Wahid bin Zayd, seorang sufi yang zuhud dan wara. Ia juga seorang teolog dan termasuk salah seorang ulama terkemuka di kota Basrah.

Suatu ketika, Abdul Wahid bin Zayd sempat mencoba meminang Rabi’ah. Tapi lamaran itu ditolaknya dengan mengatakan, “Wahai laki-laki sensual, carilah perempuan sensual lain yang sama dengan mereka. Apakah engkau melihat adanya satu tanda sensual dalam diriku?”

Laki-laki lain yang pernah mengajukan lamaran kepada Rabi’ah adalah Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang Amir Abbasiyah dari Basrah (w. 172 H). Untuk berusaha mendapatkan Rabi’ah sebagai istrinya, laki-laki itu sanggup memberikan mahar perkawinan sebesar 100 ribu dinar dan juga memberitahukan kepada Rabi’ah bahwa ia masih memiliki pendapatan sebanyak 10 ribu dinar tiap bulan. Tetapi dijawab oleh Rabi’ah, ”Aku sungguh tidak merasa senang bahwa engkau akan menjadi budakku dan semua milikmu akan engkau berikan kepadaku, atau engkau akan menarikku dari Allah meskipun hanya untuk beberapa saat.”

Dalam kisah lain disebutkan, ada laki-laki sahabat Rabi’ah bernama Hasan al-Bashri yang juga berniat sama untuk menikahi Rabi’ah. Bahkan para sahabat sufi lain di kota itu mendesak Rabi’ah untuk menikah dengan sesama sufi pula. Karena desakan itu, Rabi’ah lalu mengatakan, “Baiklah, aku akan menikah dengan seseorang yang paling pintar di antara kalian.” Mereka mengatakan Hasan al-Bashri lah orangnya.” Rabi’ah kemudian mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Jika engkau dapat menjawab empat pertanyaanku, aku pun akan bersedia menjadi istrimu.” Hasan al-Bashri berkata, “Bertanyalah, dan jika Allah mengizinkanku, aku akan menjawab pertanyaanmu.”

“Pertanyaan pertama,” kata Rabi’ah, “Apakah yang akan dikatakan oleh Hakim dunia ini saat kematianku nanti, akankah aku mati dalam Islam atau murtad?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawab.”

“Pertanyaan kedua, pada waktu aku dalam kubur nanti, di saat Malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.”

“Pertanyaan ketiga, pada saat manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar di Hari Perhitungan (Yaumul Hisab) semua nanti akan menerima buku catatan amal di tangan kanan dan di tangan kiri. Bagaimana denganku, akankah aku menerima di tangan kanan atau di tangan kiri?” Hasan kembali menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Tahu.”

“Pertanyaan terakhir, pada saat Hari Perhitungan nanti, sebagian manusia akan masuk surga dan sebagian lain masuk neraka. Di kelompok manakah aku akan berada?” Hasan lagi-lagi menjawab seperti jawaban semula bahwa hanya Allah saja Yang Maha Mengetahui semua rahasia yang tersembunyi itu.

Selanjutnya, Rabi’ah mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Aku telah mengajukan empat pertanyaan tentang diriku, bagaiman aku harus bersuami yang kepadanya aku menghabiskan waktuku dengannya?” Dalam penolakannya itu pula, Rabi’ah lalu menyenandungkan sebuah sya’ir yang cukup indah.

Damaiku, wahai saudara-saudaraku,
Dalam kesendirianku,
Dan kekasihku bila selamanya bersamaku,
Karena cintanya itu,
Tak ada duanya,
Dan cintanya itu mengujiku,
Di antara keindahan yang fana ini,
Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,
Dia-lah “mirabku”, Dia-lah “kiblatku”,
Jika aku mati karena cintaku,
Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,
Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,
Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,
Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,
Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,
Engkau-lah sumber hidupku,
Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,
Telah kutanggalkan semua keindahan fana ini dariku,
Harapku dapat menyatu dengan-Mu,
Karena itulah hidup kutuju.

Begitulah, meskipun sebagai manusia, Rabi’ah tak pernah tergoda sedikit pun oleh berbagai keindahan dunia fana. Sampai wafatnya, ia hanya lebih memilih Allah sebagai Kekasih sejatinya semata ketimbang harus bercinta dengan sesama manusia. Meskipun demikian, disebutkan bahwa Rabi’ah memiliki sejumlah sahabat pria, dan sangat sedikit sekali ia bersahabat dengan kaum perempuan. Di antara sahabat-sahabat Rabi’ah yang cukup dekat misalnya Dzun Nun al-Mishri, seorang sufi Mesir yang memperkenalkan ajaran doktrin ma’rifat. Sufi ini meninggal pada tahun 856 M dan sempat bersahabat dengan Rabi’ah selama kurang lebih setengah abad. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa pertemuan antara Dzun Nun al-Mishri dengan Rabi’ah ini terjadi sejak awal-awal usianya.

Di kalangan para sahabat sufi-nya itu, Rabi’ah banyak sekali berdiskusi dan berbincang tentang Kebenaran, baik siang maupun malam. Salah seorang sahabat Rabi’ah, Hasan al-Bashri, misalnya menceritakan: “Aku lewati malam dan siang hari bersama-sama dengan Rabi’ah, berdiskusi tentang Jalan dan Kebenaran, dan tak pernah terlintas dalam benakku bahwa aku adalah seorang laki-laki dan begitu juga Rabi’ah, tak pernah ada dalam pikirannya bahwa ia seorang perempuan, dan akhirnya aku menengok dalam diriku sendiri, baru kusadari bahwa diriku tak memiliki apa-apa, yaitu secara spiritual aku tidak berharga, Rabi’ah-lah yang sesungguhnya sejati.

Dalam kisah lain, diceritakan bahwa pada suatu hari Rabi’ah melewati lorong rumah Hasan al-Bashri. Hasan melihatnya melalui jendela dan menangis, hingga air matanya jatuh menetes mengenai jubah Rabi’ah. Ia menengadah ke atas, dan berpikir bahwa hari tidaklah hujan, dan ketika ia menyadari bahwa itu air mata sahabatnya, lalu dihampirinya sahabat yang sedang menangis tersebut seraya berkata, “Wahai guruku, air itu hanyalah air mata kesombongan diri saja dan bukan akibat dari melihat ke dalam hatimu, di mana dalam hatimu air itu akan membentuk sungai yang di dalamnya tidak akan engkau dapati lagi hatimu, kecuali ia telah bersama dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.” Setelah mendengar kata-kata Rabi’ah itu, Hasan tampak hanya bisa berdiam diri.

Di kalangan para sahabatnya, kehidupan Rabi’ah dirasakan banyak memberi manfaat. Hal ini dikarenakan Rabi’ah banyak sekali memperhatikan kehidupan mereka. Perhatian Rabi’ah yang cukup besar kepada para sahabatnya itu, misalnya saja dibuktikan dengan kisah sebagai berikut: Suatu ketika, ada seorang laki-laki yang meminta agar Rabi’ah mendoakan untuk dirinya. Tapi permohonan itu dibalas oleh Rabi’ah dengan rasa rendah hati, “Wahai, siapakah diriku ini? Turutlah perintah Allah dan berdoalah kepada-Nya, sebab Dia akan menjawab semua doa bila engkau memohonnya.”

Ke-zuhud-an Rabi’ah al-Adawiyah

Sebagaimana diungkapkan terdahulu, Rabi’ah sejak kecil sudah memiliki karakter yang tidak begitu banyak memperhatikan kehidupan duniawi. Hidupnya sederhana dan sangat besar hati-hatinya terhadap makanan apapun yang masuk ke dalam perutnya. Bahkan saking zuhudnya, Rabi’ah sering menolak setiap bantuan yang datang dari para sahabatnya, tetapi sebaliknya Rabi’ah malah menyibukkan diri untuk melayani Tuhannya. Selepas dirinya dari perbudakan, Rabi’ah memilih hidup menyendiri di sebuah gubuk sederhana di kota Basrah tempat kelahirannya. Ia meninggalkan kehidupan duniawi dan hidup hanya untuk beribadah kepada Allah.

Tampaknya, keinginan untuk hidup zuhud dari kehidupan duniawi ini benar-benar ia jalankan secara konsisten. Pernah misalnya Al-Jahiz, seorang sufi generasi tua, menceritakan bahwa beberapa dari sahabatnya mengatakan kepada Rabi’ah, “Andaikan kita mengatakan kepada salah seorang keluargamu, pasti mereka akan memberimu seorang budak, yang akan melayani kebutuhanmu di rumah ini.” Tetapi ia menjawab, “Sungguh, aku sangat malu meminta kebutuhan duniawi kepada Pemilik dunia ini, bagaimana aku harus meminta kepada yang bukan memiliki dunia ini?” Tiba-tiba terdengar suara mengatakan:

“Jika engkau menginginkan dunia ini, maka akan Aku berikan semua dan Aku berkahi, tetapi Aku akan menyingkir dari dalam kalbumu, sebab Aku tak mungkin berada di dalam kalbu yang memiliki dunia ini. Wahai Rabi’ah, Aku mempunyai Kehendak dan begitu juga denganmu. Aku tidak mungkin menggabungkan dua kehendak itu di dalam satu kalbu.”

Rabi’ah kemudian mengatakan, “Ketika mendengar peringatan itu, kutanggalkan hati ini dari dunia dan kuputuskan harapan duniawiku selama tiga puluh tahun. Aku salat seakan-akan ini terkahir kalinya, dan pada siang hari aku mengurung diri menjauhi makhluk lainnya, aku takut mereka akan menarikku dari diri-Nya, maka akau katakana, “Ya Tuhan, sibukkanlah hati ini dengan hanya menyebut-Mu, jangan Engkau biarkan mereka menarikku dari-Mu.”

Sebagai seorang zahid, Rabi’ah senantiasa bermunajat kepada Allah agar dihindarkan dari ketergantungannya kepada manusia. Namun, perjalanan zuhud yang dialami Rabi’ah tampaknya tidak mudah begitu saja dilalui. Di depan, banyak tantangan dan cobaan yang harus ia hadapi. Kenyataan-kenyataan itu memang wajar, karena sebagai manusia, tak mungkin dirinya hanya bergantung kepada Allah semata. Meskipun demikian, Rabi’ah tetap berusaha untuk menghindari apapun bantuan yang datang selain dari Allah, sehingga sekalipun ia hidup dalam kemiskinan (faqr), namun kemiskinannya dianggap sebagai bagian dari kasih sayang Allah kepada Rabi’ah.

Dalam satu kisah misalnya disebutkan, sahabatnya Malik bin Dinar pada suatu waktu mendapati Rabi’ah sedang terbaring sakit di atas tikar tua dan lusuh, serta batu bata sebagai bantal di kepalanya. Melihat pemandangan seperti itu, Malik lalu berkata pada Rabi’ah, “Aku memiliki teman-teman yang kaya dan jika engkau membutuhkan bantuan aku akan meminta kepada mereka.” Rabi’ah mengatakan, “Wahai Malik, engkau salah besar. Bukankah Yang memberi mereka dan aku makan sama?” Malik menjawab, “Ya, memang sama.” Rabi’ah mengatakan, “Apakah Allah akan lupa kepada hamba-Nya yang miskin dikarenakan kemiskinannya dan akankah Dia ingat kepada hamba-Nya yang kaya dikarenakan kekayaannya?” Malik menyahut, “Tidak.” Rabi’ah lalu kembali mengatakan, “Karena Dia mengetahui keadaanku, mengapa aku harus mengingatkan-Nya? Apa yang diinginkan-Nya, kita harus menerimanya.”

Sikap zuhud yang ditampilkan Rabi’ah sesungguhnya tiada lain agar ia hanya lebih mencintai Allah ketimbang makhluk-makhluknya. Karena itu, hidup dalam kefakiran baginya bukanlah halangan untuk beribadah dan lebih dekat dengan Tuhannya. Dan, toh, Rabi’ah menganggap bahwa kefakiran adalah suatu takdir, yang karenanya ia harus terima dengan penuh keikhlasan. Kebahagiaan dan penderitaan, demikian menurut Rabi’ah, adalah datang dari Allah. Dan dalam perjalanannya sufistiknya itu, Rabi’ah sendiri telah melaksanakan pesan Rasulullah: “Zuhudlah engkau pada dunia, pasti Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada pada manusia, pasti manusia akan mencintaimu.”

Cinta Ilahi Rabi’ah al-Adawiyah

Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.

Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta kepada dan karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir Rabi’ah sebagai berikut:

Ya Allah, jika aku menyembah-Mu,
karena takut pada neraka,
maka bakarlah aku di dalam neraka.
Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
campakkanlah aku dari dalam surga.
Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau,
janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,
yang Abadi kepadaku.

Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya, sehingga hatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah. Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintai Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku kepada Pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.”
Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan.”

Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalam salah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rbi’ah kepada Teman dan Kekasihnya itu:

Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku,
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.
Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,
Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.

Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke tahapan maqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampaui tahapan-tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan syukur. Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan. Tapi pada tahap tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum terpuaskan, meski hijab penyaksian telah disibakkan. Oleh karena itu, Rabi’ah tak henti-hentinya memohon kepada Kekasihnya itu agar ia bisa terus mencintai-Nya dan Dia pun Cinta kepadanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya” (QS. 5: 59).

Dalam kegamangannya itu, Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu ia berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya. Doanya:

Tuhanku, malam telah berlalu dan
siang segera menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,
hingga aku merasa bahagia,
Ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih,
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.
Selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,
aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,
telah memenuhi hatiku.

Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah mengatakan:

Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.

Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas mengatakan, dalam Cinta rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan mencintai-Nya dengan merenungi esensi kepastian, dan tidak melalui cerita orang lain. Ia telah mendapat kepastian (jaminan) berupa rahmat dan kebaikan Allah kepadanya. Cintanya telah menyatu melalui hubungan pribadi, dan ia telah berada dekat sekali dengan-Nya dan terbang meninggalkan dunia ini serta menyibukkan dirinya hanya dengan-Nya, menanggalkan duniawi kecuali hanya kepada-Nya. Sebelumnya ia masih memiliki nafsu keduniawian, tetapi setelah menatap Allah, ia tanggalkan nafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi keseluruhan di dalam hatinya dan Dia satu-satunya yang ia cintai. Allah telah memebaskan hatinya dari keinginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan dengan ini meskipun ia masih belum pantas memiliki Cinta itu dan masih belum sesuai untuk dianggap menatap Allah pada akhirnya, hijab tersingkap sudah dan ia berada di tempat yang mulia. Cintanya kepada Allah tidak memerlukan balasan dari-Nya, meskipun ia merasa harus mencintai-Nya.

Al-Makki melanjutkan, bagi Allah, sudah selayaknya Dia menampakkan rahmat-Nya di muka bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitu pada saat ia melintasi Jalan itu) dan rahmat Allah itu akan tampak juga di akhirat nanti (yaitu pada saat Tujuan akhir itu telah dicapainya dan ia akan melihat wajah Allah tanpa ada hijab, berhadap-hadapan). Tak ada lagi pujian yang layak bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allah sendiri yang telah membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia dan akhirat) (Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub, 1310 H, dalam Margaret Smith, 1928).

Rabi’ah dan menjelang hari kematiannya

Dikisahkan, Rabi’ah telah menjalani masa hidup selama kurang lebih 90 tahun. Dan selama itu, ia hanya mengabdi kepada Allah sebagai Pencipta dirinya, hingga Malaikat Izrail menjemputnya. Tentu saja, Rabi’ah telah menjalani pula masa-masa di mana Allah selalu berada dekat dengannya. Para ulama yang mengenal dekat dengan Rabi’ah mengatakan, kehadiran Rabi’ah di dunia hingga kembalinya ke alam akhirat, tak pernah terbersit sedikit pun adanya keinginan lain kecuali hanya ta’zhim (mengagungkan) kepada Allah. Ia juga bahkan sedikit sekali meminta kepada makhluk ciptaan-Nya.

Berbagai kisah menjelang kematian Rabi’ah menyebutkan, di antaranya pada masa menjelang kematian Rabi’ah, banyak sekali orang alim duduk mengelilinginya. Rabi’ah lalu meminta kepada mereka: ‘Bangkit dan keluarlah! Berikan jalan kepada pesuruh-pesuruh Allah Yang Maha Agung!’ Maka semua orang pun bangkit dan keluar, dan pada saat mereka menutup pintu, mereka mendengar suara Rabi’ah mengucapkan kalimat syahadat, setelah itu terdengar sebuah suara: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu, berpuas-puaslah dengan-Nya. Maka masuklah bersama golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. 89: 27-30).

Setelah itu tidak terdengar lagi suara apa pun. Pada saat mereka kembali masuk ke kamar Rabi’ah, tampak perempuan tua renta itu telah meninggalkan alam fana. Para dokter yang berdiri di hadapannya lalu menyuruh agar jasad Rabi’ah segera dimandikan, dikafani, disalatkan, dan kemudian dibaringkan di tempat yang abadi.

Kematian Rabi’ah telah membuat semua orang yang mengenalnya hampir tak percaya, bahwa perempuan suci itu akan segera meninggalkan alam fana dan menjumpai Tuhan yang sangat dicintainya. Orang-orang kehilangan Rabi’ah, karena dialah perempuan yang selama hidupnya penuh penderitaan, namun tak pernah bergantung kepada manusia. Setiap orang sudah pasti akan mengenang Rabi’ah, sebagai sufi yang telah berjumpa dengan Tuhannya.

Karenanya, setelah kematian Rabi’ah, seseorang lalu pernah memimpikanya. Dia mengatakan kepada Rabi’ah, “Ceritakanlah bagaimana keadaanmu di sana dan bagaimana engkau dapat lolos dari Munkar dan Nakir?” Rabi’ah menjawab, “Mereka datang menghampiriku dan bertanya, “Siapakah Tuhanmu?’ Aku katakana, “Kembalilah dan katakan kepada Tuhanmu, ribuan dan ribuan sudah ciptaan-Mu, Engkau tentunya tidak akan lupa pada perempuan tua lemah ini. Aku, yang hanya memiliki-Mu di dunia, tidak pernah melupakan-Mu. Sekarang, mengapa Engkau harus bertanya, ‘Siapa Tuhanmu?’”


Meskipun hidup Rabiah seperti berlangsung linear dan konstan, seluruh energi hidupnya dia abdikan untuk cinta, Rabiah memberi tahu kepada kita bahwa hidup memang tidak sederhana, seperti yang dijalaninya. Hidup itu begitu rumit, kadang kadang ada kemesraan dan kadang-kadang ada kehidmatan bertahta.

Rabiah wafat dengan meninggalkan pengalaman sufistik yang tak terhingga. Hikmah yang ditinggalkan sangat berharga dan patut kita gali sebagai ‘makrifat’ hidup. Kini Rabi’ah telah tiada. Perempuan kekasih Ilahi itu meninggal untuk selamanya, dan akan kembali hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya. Jasad kasarnya hilang ditelan bumi, tetapi ruh sucinya terbang bersama para sufi, para wali, dan para pecinta Ilahi. Rabi'ah meninggal dunia pada 135 Hijrah yaitu ketika usianya menjangkau 80 tahun. Moga-moga Allah meridai, amin…
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net