• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Tampilkan postingan dengan label Tokoh Sufi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh Sufi. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 24 April 2010
no image

Syekh Husain bin Mansur al-Hallaj

Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866M. Ia merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan yang membuatnya dieksekusi secara brutal.

Bagi sebagian ulama islam, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah, sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut

Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman."

Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam. Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj.
Pada masa remaja, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur'an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur'annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunnat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.

Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat itu. Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga.

Pada tahun 892M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan juga Junaid

Menjadi guru

Usai membahas pemikirannya dengan sufi-sufi lain, banyak reaksi baik positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hajjaj yang kemudian memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.

Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.

Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.

Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.

Beliau berucap “Akulah Kebenaran” pada hari-hari terakhir

Tahun 913M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah Kebenaran" (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi "hewan kurban". Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia.

Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: "Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh." Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, "Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka."

Tetapi, kata-kata ini justru mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembannya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.

Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial.

Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.

Al-Hallaj dipenjara selama hampir sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.

Akhirnya, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu

api mereka berbeda. Kata Maulana Jalaluddin Rumi, ucapan “Akulah Tuhan” oleh Fira’un adalah kegelapan yang pekat, tapi pernyataan “Akulah Sang Kebenaran” oleh Al Hallaj, justru cahaya yang benderang.

Yang kupahami dari ucapan Maulana, Fir’aun melontarkan pernyataan itu berdasar pada keangkuhan. Dia maharaja dengan kekuasaan absolut. Keadaan itu kemudian yang membuatnya merasa, dan menyatakan diri telah menjadi tuhan.

Sebaliknya, Al Hallaj, ketika menyatakan dirinya Al Haq, Sang Kebenaran, salah satu dari 99 nama Tuhan (asmaul husna) dalam ajaran Islam, justru didasari oleh kerendahhatian. Betapa di hadapan Yang Mahabesar Mahaperkasa, dirinya (seolah) tiada, dan yang sungguh ada hanya Dia semata.

Jangankan di hadapan Tuhan, di hadapan tata surya pun kita memang sudah menjadi tiada saking kecilnya. Padahal tata surya kita pun seperti tiada di hadapan Galaksi Bima Sakti, dan galaksi itu pun cuma sebutir debu di keluasan jagat raya yang belum dan tak akan pernah kita tahu batasnya. Jadi bagaimana pula diri ini bila dibandingkan dengan Dia yang menciptakan dan memelihara itu semua? Al Hallaj pun merasa dirinya hilang di hadapan kebesaran Pencipta itu, dan saat itulah dari kemurnian dan kerendahan hatinya, terlontar kata-kata itu.

Seorang sufi pernah berkomentar, satu-satunya kesalahan Al Hallaj adalah mengungkapkan pengalaman dan rahasia rasa itu. Padahal tak semua pengalaman dan perasaan mesti diungkapkan.

Keduanya memang dihukum mati untuk pengakuan itu. Firaun, bersama pengikutnya yang “setia” – sesuai narasi di kitab-kitab suci agama langit, ditenggelamkan Tuhan di Laut Merah. Mereka menjerit pedih dalam penyesalan. Namun Al Hallaj, sekali lagi berbeda. Dia cuma dieksekusi secara kejam oleh otoritas kekuasan manusia. Terikat di tiang gantungan, dia dimutilasi hidup-hidup, namun sampai dia mengembuskan napas terakhir, di bibirnya selalu tersungging senyum kepuasan.

Senyum Husain Ibnu Manshur Al Hallaj itu seolah menegaskan, di hadapan kebesaran Yang Mahaperkasa, apalah perasaan dan derita seorang manusia.
Syekh Ibrahim al-Dasuqi

Syekh Ibrahim al-Dasuqi


Syekh Ibrahim al-Dasuqi


Syekh Ibrahim bin Syekh Abdul-Aziz yang dikenal dengan Abul-Majdi bin Quraisy Addasuqi RA lahir di kota Dasuq-Mesir pada malam terahir bulan Sya’ban 653H yang bertepatan dengan tahun 1255M.

Beliau dilahirkan pada malam Syak, para ulama ragu akan munculnya bulan tsabit yang menunjukkan masuknya bulan Ramadan. Syekh Ibnu Harun Asshufi ketika itu berkata: lihatlah anak yang baru lahir ini apakah dia meminum air susu ibunya? Maka ibunya menjawab, “dari sejak azan subuh, ia berhenti meminum air susu ibunya.”

Dengan demikian Syekh Ibnu Harun mengumumkan bahwa hari itu adalah hari pertama bulan ramadhan dan tanda-tanda kewalian Syekh Ibrahim Addasuqi RA sudah nampak dari sejak kelahiran beliau.

Beliau adalah “Wali Quthub” yang keempat dan yang terahir setelah Syekh Ahmad Arrifa’i RA, Syekh Abdul-Qadir al-Jaelani RA dan Syekh Ahmad al-Badawi RA sebagaimana diyakini ulama tashawuf seperti Syekh Mahmud al-Garbawi dalam kitabnya al-Ayatuzzahirah fi Manaqib al-Awliya’ wal-Aqthab al-Arba’ah, dan Assayyid Abul-Huda M.bin Hasan al-Khalidi Asshayyadi dalam kitabnya Farhatul-Ahbab fi Akhbar al-Arba’ah al-Ahbab dan kitab Qiladatul-Jawahir fi Zikril Gautsirrifa’I wa Atba’ihil-Akabir.

Beliau adalah pendiri Thariqat yang dikenal dengan nama Burhamiyyah atau Dusuqiyyah. Pewaris beliau sebagai syekh Thariqat Dusuqiyyah Muhammadiyyah zaman ini adalah Maulanassyekh Mukhtar Ali Muhammad Addasuqi RA (semoga panjang umur, amin).

Dalam kitab Thabaqat al-Kubara, anda akan menemukan Syekh Abdul-Wahhab Assya’rani RA berbicara tentang riwayat Sayyidi Abul-Hasan Assyazili dalam 12 halaman, Sayyidi Ahmad Arrifa’i dalam 7 halaman, Sayyidi Abdul-Qadir Al-Jailani RA dalam 9 halaman dan Sayyidi Ahmad al-Badawi RA dalam 7 halaman saja. Sedangkan Sayyidi Ibrahim Addusuqi RA 25 halaman…!

Syekh Abdul Wahhab Assya’rani RA berkata: Tuanku/Sayyidi Ibrahim Addusuqi RA memiliki keramat yang banyak, hal-hal yang luar biasa, menguasai rahasia-rahasia malakut, sejak lahir sudah puasa, menguasai bahasa Ajami; Siryani; Ibrani; zinji; seluruh bahasa burung, binatang dan makhluk-makhluk buas…

Ada banyak kitab yang berbicara tentang kekeramatan dan riwayat hidup beliau, di antaranya adalah:

1) Farhatul Ahbab Fi Akhbar al-Arba’ah al-Ahbab, oleh al-Khalidi Asshayyadi.
2) Syaikhul-Islam Addasuqi Quthbussyari’ah wal-Haqiqah, oleh Rajab Atthayyib al-Ja’fari.
3) Alamul-Aqthab al-Haqiqi Sayyidi Ibrahim Addasuqi, oleh Abdurrazzaq al-King.
4) Lisanutta’rif bihalil-Wali Assyarif Sayyidi Ibrahim Addusuqi RA, oleh Syekh Ahmad bin Jalaluddin al-Karki RA.
5) Al-Ayatuzzahirah fi Manaqib al-Awliya’ wal-Aqthab al-Arba’ah, oleh Syekh Mahmud al-Garbawi.
6) Abul-Ainain Addasuqi, oleh Abdul-Al Kuhail.
7) Qiladatul-Jawahir fi Zikril-Gautsi wa Atba’ihil-Akabir, oleh Syekh Abul-Huda al-Khalidi Asshayyadi.
8) Jami’ karamat al-Awliya’, oleh Syekh Yusuf Annabhani.
9) Al-Arif Billahi Sayyidi Ibrahim Addasuqi, oleh Sa’ad al-Qadhi.
10) Biharul-Wilayah al-Muhammadiyyah Fi Manaqib A’lam Asshufiyyah, oleh DR.Jaudah M.Abul-Yazid.
11) Nailul-Khairat al-Malmusah Biziyarati Ahlilbaiti Wasshalihin bi Mishr al-Mahrusah, oleh DR Sa’id abul-As’ad.
12) Atthabaqat al-Kubra, oleh Syekh Abdul-Wahhab Assya’rani.
13) dan lain-lain

Syekh Ibrahim Addasuqi RA bermazhab Syafi’I dan terkenal dengan beberapa julukan seperti Abul-Ainaini dan Burhanul-Millati Waddin. Beliau wafat pada tahun 606H/1296M yang ketika itu beliau berumur 63 tahun dan dimakamkan di kota Dusuq-Mesir.

Beliau pernah berkata:

ولا تنتهي الدنيا ولا أيامها # حتى تعم المشرقين طريقتي


Yang artinya kira-kira: “dunia ini tidak akan berahir sebelum Tarekatku tersebar di penjuru dunia”

Demikian riwayat singkat Syech Ibrahim Addasuqi yang merupakan salah satu wali qutub, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat dari beberapa kitab karangan beliau yang tersebut diatas.
no image

Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Umar bin Abdul-Aziz , bergelar Umar II, lahir pada tahun 63 H / 682 – Februari 720; umur 37–38 tahun)[1] adalah khalifah Bani Umayyah yang berkuasa dari tahun 717 (umur 34–35 tahun) sampai 720 (selama 2–3 tahun). Umar dilahirkan sekitar tahun 682. Beberapa tradisi menyatakan ia dilahirkan di Madinah, sedangkan lainnya mengklaim ia lahir di Mesir. Umar dibesarkan di Madinah, di bawah bimbingan Ibnu Umar, salah seorang periwayat hadis terbanyak. Ia tinggal di sana sampai kematiannya ayahnya, dimana kemudian ia dipanggil ke Damaskus oleh Abdul-Malik dan menikah dengan anak perempuannya Fatimah. Ayah mertuanya kemudian segera meninggal dan ia diangkat pada tahun 706 sebagai gubernur Madinah oleh khalifah Al-Walid I.
Tidak seperti khalifah Bani Umayyah sebelumnya, ia bukan merupakan keturunan dari khalifah sebelumnya, tetapi ditunjuk langsung, dimana ia merupakan sepupu dari khalifah sebelumnya, Sulaiman.
Ayahnya adalah Abdul-Aziz bin Marwan, gubernur Mesir dan adik dari Khalifah Abdul-Malik. Ibunya adalah Ummu Asim binti Asim. Umar adalah cicit dari Khulafaur Rasyidin kedua Umar bin Khattab, dimana umat Muslim menghormatinya sebagai salah seorang Sahabat Nabi yang paling dekat.
Pada mulanya disaat tengah malam di kota Madinah. Kebanyakan warga kota sudah tidur. Umar bin Khatab r.a. berjalan menyelusuri jalan-jalan di kota. Dia coba untuk tidak melewatkan satupun dari pengamatannya. Menjelang dini hari, pria ini lelah dan memutuskan untuk beristirahat. Tanpa sengaja, terdengarlah olehnya percakapan antara ibu dan anak perempuannya dari dalam rumah dekat dia beristirahat.

“Nak, campurkanlah susu yang engkau perah tadi dengan air,” kata sang ibu.
“Jangan ibu. Amirul mukminin sudah membuat peraturan untuk tidak menjual susu yang dicampur air,” jawab sang anak.
“Tapi banyak orang melakukannya Nak, campurlah sedikit saja. Tho insyaallah Amirul Mukminin tidak mengetahuinya,” kata sang ibu mencoba meyakinkan anaknya.
“Ibu, Amirul Mukminin mungkin tidak mengetahuinya. Tapi, Rab dari Amirul Mukminin pasti melihatnya,” tegas si anak menolak.


Mendengar percakapan ini, berurailah air mata pria ini. Karena subuh menjelang, bersegeralah dia ke masjid untuk memimpin shalat Subuh. Sesampai di rumah, dipanggilah anaknya untuk menghadap dan berkata, “Wahai Ashim putra Umar bin Khattab. Sesungguhnya tadi malam saya mendengar percakapan istimewa. Pergilah kamu ke rumah si anu dan selidikilah keluarganya.”

Ashim bin Umar bin Khattab melaksanakan perintah ayahndanya yang tak lain memang Umar bin Khattab, Khalifah kedua yang bergelar Amirul Mukminin. Sekembalinya dari penyelidikan, dia menghadap ayahnya dan mendengar ayahnya berkata,
“Pergi dan temuilah mereka. Lamarlah anak gadisnya itu untuk menjadi isterimu. Aku lihat insyaallah ia akan memberi berkah kepadamu dan anak keturunanmu. Mudah-mudahan pula ia dapat memberi keturunan yang akan menjadi pemimpin bangsa.”

Begitulah, menikahlah Ashim bin Umar bin Khattab dengan anak gadis tersebut. Dari pernikahan ini, Umar bin Khattab dikaruniai cucu perempuan bernama Laila, yang nantinya dikenal dengan Ummi Ashim. Suatu malam setelah itu, Umar bermimpi. Dalam mimpinya dia melihat seorang pemuda dari keturunannya, bernama Umar, dengan kening yang cacat karena luka. Pemuda ini memimpin umat Islam seperti dia memimpin umat Islam. Mimpi ini diceritakan hanya kepada keluarganya saja. Saat Umar meninggal, cerita ini tetap terpendam di antara keluarganya.

Pada saat kakeknya Amirul Mukminin Umar bin Khattab terbunuh pada tahun 644 Masehi, Ummi Ashim turut menghadiri pemakamannya. Kemudian Ummi Ashim menjalani 12 tahun kekhalifahan Ustman bin Affan sampai terbunuh pada tahun 656 Maserhi. Setelah itu, Ummi Ashim juga ikut menyaksikan 5 tahun kekhalifahan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Hingga akhirnya Muawiyah berkuasa dan mendirikan Dinasti Umayyah.

Pergantian sistem kekhalifahan ke sistem dinasti ini sangat berdampak pada Negara Islam saat itu. Penguasa mulai memerintah dalam kemewahan. Setelah penguasa yang mewah, penyakit-penyakit yang lain mulai tumbuh dan bersemi. Ambisi kekuasaan dan kekuatan, penumpukan kekayaan, dan korupsi mewarnai sejarah Islam dalam Dinasti Umayyah. Negara bertambah luas, penduduk bertambah banyak, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang, tapi orang-orang semakin merindukan ukhuwah persaudaraan, keadilan dan kesahajaan Ali, Utsman, Umar, dan Abu Bakar. Status kaya-miskin mulai terlihat jelas, posisi pejabat-rakyat mulai terasa. Kafir dhimni pun mengeluhkan resahnya, “Sesungguhnya kami merindukan Umar, dia datang ke sini menanyakan kabar dan bisnis kami. Dia tanyakan juga apakah ada hukum-hukumnya yang merugikan kami. Kami ikhlas membayar pajak berapapun yang dia minta. Sekarang, kami membayar pajak karena takut.”

Kemudian Muawiyah membaiat anaknya Yazid bin Muawiyah menjadi penggantinya. Tindakan Muawiyah ini adalah awal malapetaka dinasti Umayyah yang dia buat sendiri. Yazid bukanlah seorang amir yang semestinya. Kezaliman dilegalkan dan tindakannya yang paling disesali adalah membunuh sahabat-sahabat Rasul serta cucunya Husein bin Ali bin Abi Thalib. Yazid mati menggenaskan tiga hari setelah dia membunuh Husein.

Akan tetapi, putra Yazid, Muawiyah bin Yazid, adalah seorang ahli ibadah. Dia menyadari kesalahan kakeknya dan ayahnya dan menolak menggantikan ayahnya. Dia memilih pergi dan singgasana dinasti Umayah kosong. Terjadilah rebutan kekuasaan dikalangan bani Umayah. Abdullah bin Zubeir, seorang sahabat utama Rasulullah dicalonkan untuk menjadi amirul mukminin. Namun, kelicikan mengantarkan Marwan bin Hakam, bani Umayah dari keluarga Hakam, untuk mengisi posisi kosong itu dan meneruskan sistem dinasti. Marwan bin Hakam memimpin selama sepuluh tahun lebih dan lebih zalim daripada Yazid.

Saat itu, Ummi Ashim menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan. Abdul Aziz adalah Gubernur Mesir di era khalifah Abdul Malik bin Marwan (685 – 705 M) yang merupakan kakaknya. Abdul Mallik bin Marwan adalah seorang shaleh, ahli fiqh dan tafsir, serta raja yang baik terlepas dari permasalahan ummat yang diwarisi oleh ayahnya (Marwan bin Hakam) saat itu.

Dari perkawinan itu, lahirlah Umar bin Abdul Aziz. Beliau dilahirkan di Halawan, kampung yang terletak di Mesir, pada tahun 61 Hijrah. Umar kecil hidup dalam lingkungan istana dan mewah. Saat masih kecil Umar mendapat kecelakaan. Tanpa sengaja seekor kuda jantan menendangnya sehingga keningnya robek hingga tulang keningnya terlihat. Semua orang panik dan menangis, kecuali Abdul Aziz seketika tersentak dan tersenyum. Seraya mengobati luka Umar kecil, dia berujar,

“Bergembiralah engkau wahai Ummi Ashim. Mimpi Umar bin Khattab insyaallah terwujud, dialah anak dari keturunan Umayyah yang akan memperbaiki bangsa ini.“

Umar bin Abdul Aziz menuntut ilmu sejak beliau masih kecil. Beliau sentiasa berada di dalam majlis ilmu bersama-sama dengan orang-orang yang pakar di dalam bidang fikih dan juga ulama-ulama. Beliau telah menghafaz al-Quran sejak masih kecil. Merantau ke Madinah untuk menimba ilmu pengetahuan. Beliau telah berguru dengan beberapa tokoh terkemuka spt Imam Malik b. Anas, Urwah b. Zubair, Abdullah b. Jaafar, Yusuf b. Abdullah dan sebagainya. Kemudian beliau melanjutkan pelajaran dengan beberapa tokoh terkenal di Mesir.

Semasa Khalifah Walid bin Abdul Malik memerintah, beliau memegang jawatan gabernur Madinah/Hijaz dan berjaya mentadbir wilayah itu dengan baik. Ketika itu usianya lebih kurang 28 tahun. Pada zaman Sulaiman bin Abdul Malik memerintah, beliau dilantik menjadi menteri kanan dan penasihat utama khalifah. Pada masa itu usianya 33 tahun.

Umar bin Abdul Aziz mempersunting Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan sebagai istrinya. Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan adalah putri dari khalifah Abdul Malik bin Marwan. Demikian juga, keempat saudaranya pun semua khalifah, yaitu Al Walid Sulaiman, Al Yazid, dan Hisyam. Ketika Fatimah dipinang untuk Umar bin Abdul Aziz, pada waktu itu Umar masih layaknya orang kebanyakan bukan sebagai calon pemangku jabatan khalifah.

Tidak seperti sebagaian besar penguasa pada saat itu, Umar membentuk sebuah dewan yang kemudian bersama-sama dengannya menjalankan pemerintahan provinsi. Masa di Madinah itu menjadi masa yang jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, dimana keluhan-keluhan resmi ke Damaskus berkurang dan dapat diselesaikan di Madinah, sebagai tambahan banyak orang yang berimigrasi ke Madinah dari Iraq, mencari perlindungan dari gubernur mereka yang kejam, Al-Hajjaj bin Yusuf. Hal tersebut menyebabkan kemarahan Al-Hajjaj, dan ia menekan al-Walid I untuk memberhentikan Umar. al-Walid I tunduk kepada tekanan Al-Hajjaj dan memberhentikan Umar dari jabatannya. Tetapi sejak itu, Umar sudah memiliki reputasi yang tinggi di Kekhalifahan Islam pada masa itu.

Pada era Al-Walid I ini juga tercatat tentang keputusan khalifah yang kontroversial untuk memperluas area di sekitar masjid Nabawi sehingga rumah Rasulullah ikut direnovasi. Umar membacakan keputusan ini di depan penduduk Madinah termasuk ulama mereka, Said Al Musayyib sehingga banyak dari mereka yang mencucurkan air mata. Berkata Said Al Musayyib: "Sungguh aku berharap agar rumah Rasulullah tetap dibiarkan seperti apa adanya sehingga generasi Islam yang akan datang dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya tata cara hidup beliau yang sederhana"
Umar tetap tinggal di Madinah selama masa sisa pemerintahan al-Walid I dan kemudian dilanjutkan oleh saudara al-Walid, Sulaiman. Sulaiman, yang juga merupakan sepupu Umar selalu mengagumi Umar, dan menolak untuk menunjuk saudara kandung dan anaknya sendiri pada saat pemilihan khalifah dan menunjuk Umar.
Sulaiman bin Abdul-Malik merupakan sepupu langsung dengan Umar. Mereka berdua sangat erat dan selalu bersama. Pada masa pemerintahan Sulaiman bin Abdul-Malik, dunia dinaungi pemerintahan Islam. Kekuasaan Bani Umayyah sangat kukuh dan stabil.

Suatu hari, Sulaiman mengajak Umar ke markas pasukan Bani Umayyah.
Sulaiman bertanya kepada Umar "Apakah yang kau lihat wahai Umar bin Abdul-Aziz?" dengan niat agar dapat membakar semangat Umar ketika melihat kekuatan pasukan yang telah dilatih.
Namun jawab Umar, "Aku sedang lihat dunia itu sedang makan antara satu dengan yang lain, dan engkau adalah orang yang paling bertanggung jawab dan akan ditanyakan oleh Allah mengenainya".
Khalifah Sulaiman berkata lagi "Engkau tidak kagumkah dengan kehebatan pemerintahan kita ini?"
Balas Umar lagi, "Bahkan yang paling hebat dan mengagumkan adalah orang yang mengenali Allah kemudian mendurhakai-Nya, mengenali setan kemudian mengikutinya, mengenali dunia kemudian condong kepada dunia".

Jika Khalifah Sulaiman adalah pemimpin biasa, sudah barang tentu akan marah dengan kata-kata Umar bin Abdul-Aziz, namun beliau menerima dengan hati terbuka bahkan kagum dengan kata-kata itu.
Umar menjadi khalifah menggantikan Sulaiman yang wafat pada tahun 716. Ia di bai'at sebagai khalifah pada hari Jumat setelah shalat Jumat. Hari itu juga setelah ashar, rakyat dapat langsung merasakan perubahan kebijakan khalifah baru ini. Khalifah Umar, masih satu nasab dengan Khalifah kedua, Umar bin Khattab dari garis ibu.

Zaman pemerintahannya berhasil memulihkan keadaan negaranya dan mengkondisikan negaranya seperti saat 4 khalifah pertama (Khulafaur Rasyidin) memerintah. Kebijakannya dan kesederhanaan hidupnya pun tak kalah dengan 4 khalifah pertama itu. Gajinya selama menjadi khalifah hanya 2 dirham perhari[3] atau 60 dirham perbulan. Karena itu banyak ahli sejarah menjuluki beliau dengan Khulafaur Rasyidin ke-5. Khalifah Umar ini hanya memerintah selama tiga tahun kurang sedikit. Menurut riwayat, beliau meninggal karena dibunuh (diracun) oleh pembantunya.
Menjelang wafatnya Sulaiman, penasihat kerajaan bernama Raja’ bin Haiwah menasihati beliau, "Wahai Amirul Mukminin, antara perkara yang menyebabkan engkau dijaga di dalam kubur dan menerima syafaat dari Allah di akhirat kelak adalah apabila engkau tinggalkan untuk orang Islam khalifah yang adil, maka siapakah pilihanmu?". Jawab Khalifah Sulaiman, "Aku melihat Umar Ibn Abdul Aziz".

Surat wasiat diarahkan supaya ditulis nama Umar bin Abdul-Aziz sebagai penerus kekhalifahan, tetapi dirahasiakan darai kalangan menteri dan keluarga. Sebelum wafatnya Sulaiman, beliau memerintahkan agar para menteri dan para gubernur berbai’ah dengan nama bakal khalifah yang tercantum dalam surat wasiat tersebut.
Naiknya Umar sebagai Amirul Mukminin

Seluruh umat Islam berkumpul di dalam masjid dalam keadaan bertanya-tanya, siapa khalifah mereka yang baru. Raja’ Ibn Haiwah mengumumkan, "Bangunlah wahai Umar bin Abdul-Aziz, sesungguhnya nama engkaulah yang tertulis dalam surat ini".
Umar bin Abdul-Aziz bangkit seraya berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa bermusyawarah dahulu denganku dan tanpa pernah aku memintanya, sesungguhnya aku mencabut bai’ah yang ada dileher kamu dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki".
Umat tetap menghendaki Umar sebagai khalifah dan Umar menerima dengan hati yang berat, hati yang takut kepada Allah dan tangisan. Segala keistimewaan sebagai khalifah ditolak dan Umar pulang ke rumah.
Ketika pulang ke rumah, Umar berfikir tentang tugas baru untuk memerintah seluruh daerah Islam yang luas dalam kelelahan setelah mengurus jenazah Khalifah Sulaiman bin Abdul-Malik. Ia berniat untuk tidur.
Pada saat itulah anaknya yang berusia 15 tahun, Abdul-Malik masuk melihat ayahnya dan berkata, "Apakah yang sedang engkau lakukan wahai Amirul Mukminin?".
Oh putraku, aku hendak istirahat sebentar, dalam tubuhku tidak ada kekuatan lagi.” jawab Umar. Abdul Malik berkata lagi, “Apakah engkau istirahat sebelum mengembalikan hak yang dirampas dengan jalan curang kepada yang punya?” Umar menjawab, “Putraku, tadi malam saya bergadang untuk mengurus jenazah pamanmu, Sulaiman dan nanti waktu Zuhur saya akan salat bersama orang-orang dan insya Allah akan mengembalikan hak-hak yang diambil secara curang itu kepada yang punya.” Abdul Malik berkata lagi, “Siapa yang bisa menjamin dirimu akan hidup sampai Zuhur wahai Amirul Mukminin?” Serta merta Umar berdiri, lalu mencium dan merangkul anaknya, serta mengatakan, “Segala puji bagi Allah yang telah mengeluarkan dari tulang rusukku seseorang yang menolongku dalam beragama.” Seketika itu juga dia memerintahkan untuk menyeru semua orang, bahwa barang siapa pernah dicurangi oranglain, agar melapor. Umar pun mengembalikan hak-hak yang dirampas dengan curang itu kepada yang punya.


Berdasarkan atas wasiat yang dikeluarkan oleh khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz akhirnya diangkat menjadi khalifah pada usianya 37 tahun. Beliau dilantik menjadi Khalifah selepas kematian Sulaiman bin Abdul Malik tetapi beliau tidak suka kepada pelantikan tersebut. Lalu beliau memerintahkan supaya memanggil orang ramai untuk mendirikan sembahyang. Selepas itu orang ramai mula berpusu-pusu pergi ke masjid. Apabila mereka semua telah berkumpul, beliau bangun menyampaikan ucapan. Lantas beliau mengucapkan puji-pujian kepada Allah dan berselawat kepada Nabi s.a.w kemudian beliau berkata:

“Wahai sekalian umat manusia! Aku telah diuji untuk memegang tugas ini tanpa meminta pandangan daripada aku terlebih dahulu dan bukan juga permintaan daripada aku serta tidak dibincangkan bersama dengan umat Islam. Sekarang aku membatalkan baiah yang kamu berikan kepada aku dan pilihlah seorang Khalifah yang kamu reda”.

Tiba-tiba orang ramai serentak berkata:

“Kami telah memilih kamu wahai Amirul Mukminin dan kami juga reda kepada kamu. Oleh yang demikian perintahlah kami dengan kebaikan dan keberkatan”.

Lalu beliau berpesan kepada orang ramai supaya bertakwa, zuhud kepada kekayaan dunia dan mendorong mereka supaya cintakan akhirat kemudian beliau berkata pula kepada mereka: “Wahai sekalian umat manusia! Sesiapa yang taat kepada Allah, dia wajib ditaati dan sesiapa yang tidak taat kepada Allah, dia tidak wajib ditaati oleh sesiapapun. Wahai sekalian umat manusia! Taatlah kamu kepada aku selagi aku taat kepada Allah di dalam memimpin kamu dan sekiranya aku tidak taat kepada Allah, janganlah sesiapa mentaati aku”. Setelah itu beliau turun dari mimbar.

Umar rahimahullah pernah menghimpunkan sekumpulan ahli fiqih dan ulama kemudian beliau berkata kepada mereka: “Aku menghimpunkan kamu semua untuk bertanya pendapat tentang perkara yang berkaitan dengan barangan yang diambil secara zalim yang masih berada bersama-sama dengan keluarga aku?” Lalu mereka menjawab: “Wahai Amirul Mukminin! perkara tersebut berlaku bukan pada masa pemerintahan kamu dan dosa kezaliman tersebut ditanggung oleh orang yang mencerobohnya.” Walau bagaimanapun Umar tidak puas hati dengan jawapan tersebut sebaliknya beliau menerima pendapat daripada kumpulan yang lain termasuk anak beliau sendiri Abdul Malik yang berkata kepada beliau: “Aku berpendapat bahawa ia hendaklah dikembalikan kepada pemilik asalnya selagi kamu mengetahuinya. Sekiranya kamu tidak mengembalikannya, kamu akan menanggung dosa bersama-sama dengan orang yang mengambilnya secara zalim.” Umar berpuas hati mendengar pendapat tersebut lalu beliau mengembalikan semula barangan yang diambil secara zalim kepada pemilik asalnya.

Sesudah Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah dan Amirul Mukminin, Umar langsung mengajukan pilihan kepada Fatimah, isteri tercinta.

Umar berkata kepadanya, “Isteriku sayang, aku harap engkau memilih satu di antar dua.”
Fatimah bertanya kepada suaminya, “Memilih apa, kakanda?”
Umar bin Abdul Azz menerangkan, “Memilih antara perhiasan emas berlian yang kau pakai dengan Umar bin Abdul Aziz yang mendampingimu.”
Kata Fatimah, “Demi Allah, Aku tidak memilih pendamping lebih mulia daripadamu, ya Amirul Mukminin. Inilah emas permata dan seluruh perhiasanku.”

Kemudian Khalifah Umar bin Abdul Aziz menerima semua perhiasan itu dan menyerahkannya ke Baitulmal, kas Negara kaum muslimin. Sementara Umar bin Abdul Aziz dan keluarganya makan makanan rakyat biasa, yaitu roti dan garam sedikit.

Setelah menjadi khalifah, beliau mengubah beberapa perkara yang lebih mirip kepada sistem feodal. Di antara perubahan awal yang dilakukannya ialah :
1) menghapuskan cacian terhadap Saidina Ali b Abu Thalib dan keluarganya yang disebut dalam khutbah-khutbah Jumaat dan digantikan dengan beberapa potongan ayat suci al-Quran
2) merampas kembali harta-harta yang disalahgunakan oleh keluarga Khalifah dan mengembalikannya ke Baitulmal
3) memecat pegawai-pegawai yang tidak cekap, menyalahgunakan kuasa dan pegawai yang tidak layak yang dilantik atas pengaruh keluarga Khalifah
4) menghapuskan pegawai pribadi bagi Khalifah sebagaimana yang diamalkan oleh Khalifah terdahulu. Ini membolehkan beliau bebas bergaul dengan rakyat jelata tanpa sekatan tidak seperti khalifah dahulu yang mempunyai pengawal peribadi dan askar-askar yang mengawal istana yang menyebabkan rakyat sukar berjumpa.

Umar bin Abdul Aziz adalah salah satu idola yang perlu kita teladani setelah Rasulullah dan para sahabat. Sungguh setiap perbuatannya, terutama setelah menjadi khalifah sangat berarti bagi kaum muslimin saat itu. Terutama yang berada di bawah kepemimpinannya. Mungkin, keterpurukan Indonesia saat ini karena belum memiliki pemimpin seperti beliau. Mudah-mudahan Allah menuntun kita untuk memilih pemimpin yang seperti beliau, setidaknya pemimpin yang paling mirip kebaikannya dengan beliau.
1. Tak lama setelah berkuasa beliau langsung menurunkan serta memenjarakan Usamah bin Zaid at-Tanurkhi seorang pejabat yang semena-mena.
2. Umar juga menurunkan Yazid bin Abi Muslim seorang pejabat yang bengis dan jalim.
3. Umar membolehkan siapa saja yang terzalimi menemuinya tanpa izin. Sehinggarakyat tidak segan-segan mendatangi Umar saat dizalimi.
4. Umar memperkecil gajinya sementara memperbesar gaji untuk pegawainya.
5. Umar mengeluarkan seluruh hartanya dan mengembalikannya ke dalam harta kaumMuslimin.
6. Perhatian Umar sangat besar kepada orang yang cacat.
7. Umar langsung mengembalikan barang-barang atau harta yang diambil secara zalimpada pemerintahan sebelumnya.Umar membebaskan toko-toko di suatu kota yang telah dirampas oleh seseorang yang berpengaruh.
8. Umar pun menaruh perhiasan istrinya di baitul mal.
9. Kemakmuran rakyat Umar, sampai-sampai pegawainya di Afrika tidak menemukanorang yang mengambil zakat.

Itulah sekelumit kontribusi seorang Umar Ibnul Aziz. Mungkin kita berfikir bahwa kontribusi seperti itu hanya bisa dilakukan oleh seorang penguasa. Betul, inilah salah satu pelajaran yang bisa kita ambil. Kontribusi kita akan lebih besar kepada orang lain jika kedudukan kita lebih tinggi. Baik kedudukan hartanya, jabatannya, mau pun ilmunya.

Meski pun kita tidak menjadi pejabat, tetapi kita masih bisa berkontribusi dengan cara memilih dan mengajurkan orang lain memilih calon pejabat yang bersih. Bangsa kita memang dikenal dengan bangsa yang korup, tetapi percayalah bahwa masih ada pejabat-pejabat atau calon pejabat yang bersih dan ikhlas. Mungkin kita tidak tahu, maka carilah atau selidiki siapa diantara calon pejabat yang paling bersih dan jangan lupa kita berdoa kepada Allah agar menunjukannya
Selain daripada itu, beliau amat menitilberatkan tentang kebajikan rakyat miskin di mana beliau juga telah menaikkan gaji buruh sehingga ada yang menyamai gaji pegawai kerajaan.

Beliau juga amat menitikberatkan penghayatan agama di kalangan rakyatnya yang telah lalai dengan kemewahan dunia. Khalifah umar telah memerintahkan umatnya mendirikan solat secara berjammah dan masjid-masjid dijadikan tempat untuk mempelajari hukum Allah sebegaimana yang berlaku di zaman Rasulullah SAW dan para Khulafa’ Ar-Rasyidin. Baginda turut mengarahkan Muhammad b Abu Bakar Al-Hazni di Mekah agar mengumpul dan menyusun hadith-hadith Raulullah SAW. Beliau juga meriwayatkan hadis dari sejumlah tabiin lain dan banyak pula ulama hadis yang meriwayatkan hadis daripada beliau.

Dalam bidang ilmu pula, beliau telah mengarahkan cendikawan Islam supaya menterjemahkan buku-buku kedoktoran dan pelbagai bidang ilmu dari bahasa Greek, Latin dan Siryani ke dalam bahasa Arab supaya senang dipelajari oleh umat Islam.

Dalam mengukuhkan lagi dakwah Islamiyah, beliau telah menghantar 10 orang pakar hukum Islam ke Afrika Utara serta menghantar beberapa orang pendakwah kepada raja-raja India, Turki dan Barbar di Afrika Utara untuk mengajak mereka kepada Islam. Di samping itu juga beliau telah menghapuskan bayaran Jizyah yang dikenakan ke atas orang yang bukan Islam dengan harapan ramai yang akan memeluk Islam.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang terkenal dengan keadilannya telah menjadikan keadilan sebagai keutamaan pemerintahannya. Beliau ingin semua rakyat dilayani dengan adil tidak memandang keturunan dan pangkat supaya keadilan dapat berjalan dengan sempurna. Keadilan yang beliau perjuangan adalah menyamai keadilan di zaman kakeknya, Khalifah Umar Al-Khatab.

Pada masa pemerintahan beliau, kerajaan Umaiyyah semakin kuat tiada pemberontakan dalaman, kurang berlaku penyelewengan, rakyat mendapat layanan yang sewajarnya dan menjadi kaya-raya hinggakan Baitulmal penuh dengan harta zakat kerana tiada lagi orang yang mahu menerima zakat. Rakyat umumnya sudah kaya ataupun sekurang-kurangnya mau berdikari sendiri. Pada zaman pemerintahan Umar bin Abdul Aziz ra, pasukan kaum muslimin sudah mencapai pintu kota Paris di sebelah barat dan negeri Cina di sebelah timur. Pada waktu itu kekausaan pemerintahan di Portugal dan Spanyol berada di bawah kekuasaannya.

Hari kedua dilantik menjadi khalifah, beliau menyampaikan khutbah umum. Dihujung khutbahnya, beliau berkata “Wahai manusia, tiada nabi selepas Muhammad saw dan tiada kitab selepas alQuran, aku bukan penentu hukum malah aku pelaksana hukum Allah, aku bukan ahli bid’ah malah aku seorang yang mengikut sunnah, aku bukan orang yang paling baik dikalangan kamu sedangkan aku cuma orang yang paling berat tanggungannya dikalangan kamu, aku mengucapkan ucapan ini sedangkan aku tahu aku adalah orang yang paling banyak dosa di sisi Allah” Beliau kemudian duduk dan menangis "Alangkah besarnya ujian Allah kepadaku" sambung Umar Ibn Abdul Aziz.

Beliau pulang ke rumah dan menangis sehingga ditegur isteri “Apa yang Amirul Mukminin tangiskan?” Beliau mejawab “Wahai isteriku, aku telah diuji oleh Allah dengan jawatan ini dan aku sedang teringat kepada orang-orang yang miskin, ibu-ibu yang janda, anaknya ramai, rezekinya sedikit, aku teringat orang-orang dalam tawanan, para fuqara’ kaum muslimin. Aku tahu mereka semua ini akan mendakwaku di akhirat kelak dan aku bimbang aku tidak dapat jawab hujah-hujah mereka sebagai khalifah kerana aku tahu, yang menjadi pembela di pihak mereka adalah Rasulullah saw’’ Isterinya juga turut mengalir air mata.

Umar Ibn Abdul Aziz mula memeritah pada usia 36 tahun sepanjang tempoh 2 tahun 5 bulan 5 hari. Pemerintahan beliau sangat menakjubkan. Pada waktu inilah dikatakan tiada siapa pun umat Islam yang layak menerima zakat sehingga harta zakat yang menggunung itu terpaksa diiklankan kepada sesiapa yang tiada pembiayaan untuk bernikah dan juga hal-hal lain.

SURAT DARI RAJA SRIWIJAYA

Tercatat Raja Sriwijaya pernah dua kali mengirimkan surat kepada khalifah Bani Umayyah. Yang pertama dikirim kepada Muawiyah I, dan yang ke-2 kepada Umar bin Abdul-Aziz. Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (860-940) dalam karyanya Al-Iqdul Farid. Potongan surat tersebut berbunyi:

“Dari Rajadiraja...; yang adalah keturunan seribu raja ... kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan yang lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya”.

HARI TERAKHIR UMAR BIN ABDUL AZIZ
Beliau wafat pada tahun 101 Hijrah ketika berusia 39 tahun. Beliau memerintah hanya selama 2 tahun 5 bulan saja. Setelah beliau wafat, kekhalifahan digantikan oleh iparnya, Yazid bin Abdul Malik.

Muhammad bin Ali bin Al-Husin rahimahullah berkata tentang beliau: “Kamu telah sedia maklum bahwa setiap kaum mempunyai seorang tokoh yang menonjol dan tokoh yang menonjol dari kalangan Bani Umaiyyah ialah Umar bin Abdul Aziz, beliau akan dibangkitkan di hari kiamat kelak seolah-olah beliau satu umat yang berasingan.”

Terdapat banyak riwayat dan athar para sahabat yang menceritakan tentang keluruhan budinya. Di antaranya ialah :
1) At-Tirmizi meriwayatkan bahwa Umar Al-Khatab telah berkata : “Dari anakku (zuriatku) akan lahir seorang lelaki yang menyerupainya dari segi keberaniannya dan akan memenuhkan dunia dengan keadilan”
2) Dari Zaid bin Aslam bahawa Anas bin Malik telah berkata : “Aku tidak pernah menjadi makmum di belakang imam selepas wafatnya Rasulullah SAW yang mana solat imam tersebut menyamai solat Rasulullah SAW melainkan daripada Umar bin Abdul Aziz dan beliau pada masa itu adalah Gabenor Madinah”
3) Al-Walid bin Muslim menceritakan bahawa seorang lelaki dari Khurasan telah berkata : “Aku telah beberapa kali mendengar suara datang dalam mimpiku yang berbunyi : “Jika seorang yang berani dari Bani Marwan dilantik menjadi Khalifah, maka berilah baiah kepadanya kerana dia adalah pemimpin yang adil”.” Lalu aku menanti-nanti sehinggalah Umar b. Abdul Aziz menjadi Khalifah, akupun mendapatkannya dan memberi baiah kepadanya”.
4) Qais bin Jabir berkata : “Perbandingan Umar b Abdul Aziz di sisi Bani Ummaiyyah seperti orang yang beriman di kalangan keluarga Firaun”
5) Hassan al-Qishab telah berkata :”Aku melihat serigala diternak bersama dengan sekumpulan kambing di zaman Khalifah Umar Ibnu Aziz”
6) Umar b Asid telah berkata :”Demi Allah, Umar Ibnu Aziz tidak meninggal dunia sehingga datang seorang lelaki dengan harta yang bertimbun dan lelaki tersebut berkata kepada orang ramai :”Ambillah hartaku ini sebanyak mana yang kamu mahu”. Tetapi tiada yang mahu menerimanya (kerana semua sudah kaya) dan sesungguhnya Umar telah menjadikan rakyatnya kaya-raya”
7) ‘Atha’ telah berkata : “Umar Abdul Aziz mengumpulkan para fuqaha’ setiap malam. Mereka saling ingat memperingati di antara satu sama lain tentang mati dan hari qiamat, kemudian mereka sama-sama menangis kerana takut kepada azab Allah seolah-olah ada jenayah di antara mereka.”

Umar bin Abdul-Aziz wafat disebabkan oleh sakit akibat diracun oleh pembantunya. Umat Islam datang berziarah melihat kedhaifan hidup khalifah sehingga ditegur oleh menteri kepada isterinya, "Gantilah baju khalifah itu", dibalas isterinya, "Itu saja pakaian yang khalifah miliki".

Apabila beliau ditanya “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau mau mewasiatkan sesuatu kepada anak-anakmu?”

Umar Abdul Aziz menjawab: "Apa yang ingin kuwasiatkan? Aku tidak memiliki apa-apa"

"Mengapa engkau tinggalkan anak-anakmu dalam keadaan tidak memiliki?"

"Jika anak-anakku orang soleh, Allah lah yang menguruskan orang-orang soleh. Jika mereka orang-orang yang tidak soleh, aku tidak mau meninggalkan hartaku di tangan orang yang mendurhakai Allah lalu menggunakan hartaku untuk mendurhakai Allah"

Pada waktu lain, Umar bin Abdul-Aziz memanggil semua anaknya dan berkata: "Wahai anak-anakku, sesungguhnya ayahmu telah diberi dua pilihan, pertama : menjadikan kamu semua kaya dan ayah masuk ke dalam neraka, kedua: kamu miskin seperti sekarang dan ayah masuk ke dalam surga (kerana tidak menggunakan uang rakyat). Sesungguhnya wahai anak-anakku, aku telah memilih surga." (beliau tidak berkata : aku telah memilih kamu susah)

Anak-anaknya ditinggalkan tidak berharta dibandingkan anak-anak gubernur lain yang kaya. Setelah kejatuhan Bani Umayyah dan masa-masa setelahnya, keturunan Umar bin Abdul-Aziz adalah golongan yang kaya berkat doa dan tawakkal Umar bin Abdul-Aziz.

Demikian sejarah ringkas Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dapat kami susun, beliau selain seorang khalifah juga seorang sufi di jamannya, semoga perjalanan beliau dapat dijadikan contoh yang baik bagi para penguasa di negeri kita.
no image

Syekh Malik bin Dinar

Malik bin Deenar atau Malik Ibn Dinar (meninggal 748 CE atau 131 H adalah seorang Tabi'in . Dia disebutkan sebagai tokoh tradisionis handal, transmisi dari pemerintah seperti Anas bin Malik dan Ibnu Sirin . Ia adalah putra dari seorang budak Persia dari Kabul yang menjadi murid Hasan al-Basri . Ia meninggal pada usia sembilan puluh tahun (90 th) di Basra .

Kehidupannya dimulai dengan kesia-siaan, mabuk-mabukan, maksiat, berbuat zhalim kepada manusia, memakan hak manusia, memakan riba, dan memukuli manusia. Kulakukan segala kezhaliman, tidak ada satu maksiat melainkan aku telah melakukannya. Sungguh sangat jahat hingga manusia tidak menghargaiku karena kebejatanku.

Malik bin Dinar Rohimahullah menuturkan: Pada suatu hari, aku merindukan pernikahan dan memiliki anak. Maka kemudian aku menikah dan dikaruniai seorang puteri yang kuberi nama Fathimah. Aku sangat mencintainya. Setiap kali dia bertambah besar, bertambah pula keimanan di dalam hatiku dan semakin sedikit maksiat di dalam hatiku. Pernah suatu ketika Fathimah melihatku memegang segelas khamr, maka diapun mendekat kepadaku dan menyingkirkan gelas tersebut hingga tumpah mengenai bajuku. Saat itu umurnya belum genap dua tahun. Seakan-akan Allah Subhanahu wa Ta’ala -lah yang membuatnya melakukan hal tersebut.

Setiap kali dia bertambah besar, semakin bertambah pula keimanan di dalam hatiku. Setiap kali aku mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala selangkah, maka setiap kali itu pula aku menjauhi maksiat sedikit demi sedikit. Hingga usia Fathimah genap tiga tahun, saat itulah Fathimah meninggal.

Maka akupun berubah menjadi orang yang lebih buruk dari sebelumnya. Aku belum memiliki sikap sabar yang ada pada diri seorang mukmin yang dapat menguatkanku di atas cobaan musibah. Kembalilah aku menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Setanpun mempermainkanku, hingga datang suatu hari, setan berkata kepadaku: “Sungguh hari ini engkau akan mabuk-mabukan dengan mabuk yang belum pernah engkau lakukan sebelumnya.” Maka aku bertekad untuk mabuk dan meminum khamr sepanjang malam. Aku minum, minum dan minum. Maka aku lihat diriku telah terlempar di alam mimpi.

Di alam mimpi tersebut aku melihat hari kiamat. Matahari telah gelap, lautan telah berubah menjadi api, dan bumipun telah bergoncang. Manusia berkumpul pada hari kiamat. Manusia dalam keadaan berkelompok-kelompok. Sementara aku berada di antara manusia, mendengar seorang penyeru memanggil: Fulan ibn Fulan, kemari! Mari menghadap al-Jabbar. Aku melihat si Fulan tersebut berubah wajahnya menjadi sangat hitam karena sangat ketakutan. Sampai aku mendengar seorang penyeru menyeru namaku: “Mari menghadap al-Jabbar!”

Kemudian hilanglah seluruh manusia dari sekitarku seakan-akan tidak ada seorangpun di padang Mahsyar. Kemudian aku melihat seekor ulat besar yang ganas lagi kuat merayap mengejar kearahku dengan membuka mulutnya. Akupun lari karena sangat ketakutan. Lalu aku mendapati seorang laki-laki tua yang lemah. Akupun berkata: “Hai, selamatkanlah aku dari ular ini!” Dia menjawab: “Wahai anakku aku lemah, aku tak mampu, akan tetapi larilah kearah ini mudah-mudahan engkau selamat!”

Akupun berlari kearah yang ditunjukkannya, sementara ular tersebut berada di belakangku. Tiba-tiba aku mendapati api ada dihadapanku. Akupun berkata: “Apakah aku melarikan diri dari seekor ular untuk menjatuhkan diri ke dalam api?” Akupun kembali berlari dengan cepat sementara ular tersebut semakin dekat. Aku kembali kepada lelaki tua yang lemah tersebut dan berkata: “Demi Allah, wajib atasmu menolong dan menyelamatkanku.” Maka dia menangis karena iba dengan keadaanku seraya berkata: “Aku lemah sebagaimana engkau lihat, aku tidak mampu melakukan sesuatupun, akan tetapi larilah kearah gunung tersebut mudah-mudahan engkau selamat!”

Akupun berlari menuju gunung tersebut sementara ular akan mematukku. Kemudian aku melihat di atas gunung tersebut terdapat anak-anak kecil, dan aku mendengar semua anak tersebut berteriak: “Wahai Fathimah tolonglah ayahmu, tolonglah ayahmu!”

Selanjutnya aku mengetahui bahwa dia adalah putriku. Akupun berbahagia bahwa aku mempunyai seorang putri yang meninggal pada usia tiga tahun yang akan menyelamatkanku dari situasi tersebut. Maka diapun memegangku dengan tangan kanannya, dan mengusir ular dengan tangan kirinya sementara aku seperti mayit karena sangat ketakutan. Lalu dia duduk di pangkuanku sebagaimana dulu di dunia.

Dia berkata kepadaku: “Wahai ayah, “belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” (Qs. Al-Hadid:16)

Maka kukatakan: “Wahai putriku, beritahukanlah kepadaku tentang ular itu.”

Dia berkata: “Itu adalah amal keburukanmu, engkau telah membesarkan dan menumbuhkannya hingga hampir memakanmu, maka hal itu akan memasukanmu ke dalam api neraka. Tidakkah engkau tahu wahai ayah, bahwa amal-amal di dunia akan dirupakan menjadi sesosok bentuk pada hari kiamat? Dan lelaki yang lemah tersebut adalah amal shalihmu, engkau telah melemahkannya hingga dia menangis karena kondisimu dan tidak mampu melakukan sesuatu untuk membantu kondisimu. Seandainya saja engkau tidak melahirkanku, dan seandainya saja tidak mati saat masih kecil, tidak akan ada yang bisa memberikan manfaat kepadamu.”

Dia Rohimahullah berkata: Akupun terbangun dari tidurku dan berteriak: “Wahai Rabbku, sudah saatnya wahai Rabbku, ya, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” Lantas aku mandi dan keluar untuk shalat subuh dan ingin segera bertaubat dan kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dia Rohimahullah berkata:

Akupun masuk ke dalam masjid dan ternyata imampun membaca ayat yang sama:

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” (Qs. Al-Hadid: 16)

Berkata Malik : "Maka akupun takut dan aku tuangkan seluruh minuman keras itu dan kupecahkan seluruh botol-botol minuman kemudian aku bertaubat pada Allah, dan inilah cerita tentang taubatku pada Allah".

Itulah kisah taubatnya Malik bin Dinar Rohimahullah yang beliau kemudian menjadi salah seorang imam generasi tabi’in, dan termasuk ulama Basrah. Dia dikenal selalu menangis sepanjang malam dan berkata: “Ya Ilahi, hanya Engkaulah satu-satunya Dzat Yang Mengetahui penghuni sorga dan penghuni neraka, maka yang manakah aku di antara keduanya? Ya Allah, jadikanlah aku termasuk penghuni sorga dan jangan jadikan aku termasuk penghuni neraka.”

Malik bin Dinar Rohimahullah bertaubat dan dia dikenal pada setiap harinya selalu berdiri di pintu masjid berseru: “Wahai para hamba yang bermaksiat, kembalilah kepada Penolong-mu! Wahai orang-orang yang lalai, kembalilah kepada Penolong-mu! Wahai orang yang melarikan diri (dari ketaatan), kembalilah kepada Penolong-mu! Penolong-mu senantiasa menyeru memanggilmu di malam dan siang hari. Dia berfirman kepadamu: “Barangsiapa mendekatkan dirinya kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya satu hasta. Jika dia mendekatkan dirinya kepada-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya satu depa. Siapa yang mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari kecil.”

Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberikan rizki taubat kepada kita. Tidak ada sesembahan yang hak selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim.

Malik bin Dinar Rahimahullah wafat pada tahun 130 H. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya dengan rahmat-Nya yang luas. (Mizanul I’tidal, III/426)
no image

Syekh Imam al-Ghazali

Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Dia adalah seorang teolog Islam , ahli hukum , filsuf , kosmologi , psikolog dan mistik dari Persia dan tetap salah satu yang paling diakui dalam sejarah Sunni dan khazanah pemikiran Islam. Dia juga yang memperpadukan dan menjadikan tasawuf dapat sejalan dengan syariat Islam. Dia dianggap sebagai pelopor methodic keraguan dan skeptisisme. Dalam salah satu buah karya utamanya, The inkoherensi dari para filsuf , dia mengubah arah filsafat Islam awal , pergeseran itu jauh dari metafisika Islam dipengaruhi oleh Yunani kuno dan Helenistik filsafat , dan menuju filsafat Islam berdasarkan sebab-akibat yang ditentukan oleh Allah atau antara malaikat , suatu teori yang kini dikenal sebagai occasionalism .

Ghazali memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan pandangan sistematis Sufisme dan integrasi dan penerimaan dalam Islam mainstream. Dia adalah seorang sarjana Islam Sunni, milik Syafi'i sekolah Islam yurisprudensi dan ke Asharite sekolah teologi . Ghazali menerima gelar banyak seperti Sharaful A'imma, Zainuddin, Hujjatul Islam, yang berarti (Proof of Islam). Dia dipandang sebagai anggota kunci dari sekolah Asharite berpengaruh filsafat Islam awal dan paling penting refuter Mu”tazilites . Namun, ia memilih posisi sedikit berbeda dibandingkan dengan Asharites; keyakinan dan pikirannya berbeda, dalam beberapa aspek, dari sekolah Asharite.

Selain karyanya yang berhasil mengubah program filsafat Islam-awal Islam Neoplatonisme yang dikembangkan atas dasar filsafat Helenistik, misalnya, begitu berhasil membantah dengan Ghazali yang tidak pernah sembuh-ia juga membawa ortodoks Islam waktu di kontak dekat dengan Sufisme . Para teolog ortodoks masih pergi cara mereka sendiri, dan begitu juga dengan mistik, tapi keduanya mengembangkan rasa saling menghargai yang memastikan bahwa tidak ada penghukuman menyapu bisa dilakukan oleh satu untuk praktek-praktek yang lain. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.


Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau

Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).

Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.

Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).

Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu

Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”

Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”

Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).

Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.

Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).

Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).

Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).

Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.

Pengaruh Al-Ghazali
Ghazali memainkan peran yang sangat besar dalam mengintegrasikan tasawuf dengan hukum Islam ( Syariah ). Ia menggabungkan konsep tasawuf yang sangat baik dengan hukum Syariah. Dia juga yang pertama untuk memberikan deskripsi formal Sufisme dalam karya-karyanya. Karya-karyanya juga memperkuat status Islam Sunni melawan sekolah lain. The Batinite ( Ismailism ) telah muncul di wilayah Persia dan memperoleh kekuasaan lebih dan lebih selama periode Ghazali's, sebagai Nizam al-Mulk dibunuh oleh anggota Ismailiyah. Ghazali membantah tegas ideologi mereka dan menulis beberapa buku tentang sanggahan terhadap Baatinyas yang melemah secara signifikan status mereka.

Ijtihad adalah proses di mana ulama Islam dapat menghasilkan peraturan baru bagi umat Islam. Ijtihad adalah salah satu sumber pengetahuan Islam yang diakui oleh para sarjana Islam awal - yaitu, di samping Quran, Sunnah dan qiyas . Meskipun tidak secara luas disepakati bahwa Ghazali sendiri dimaksudkan untuk "menutup pintu ijtihad" lengkap dan permanen, seperti interpretasi karya Ghazali diyakini telah menyebabkan masyarakat Islam sebagai "membeku dalam waktu". Karya-karya kritik Ghazali (seperti Ibn Rusyd, rasionalis a), serta karya-karya setiap filsuf kuno, diyakini telah dilarang dalam "masyarakat beku" selama berabad-abad. Akibatnya, semua peluang hilang secara bertahap merevitalisasi agama - yang mungkin telah kurang menyedihkan itu telah menyebar selama berabad-abad.

Apakah hasil sebenarnya "pembekuan pemikiran Islam pada waktunya" adalah tujuan Ghazali adalah sangat bisa diperdebatkan. Sementara ia sendiri adalah seorang kritikus para filsuf, Ghazali adalah seorang master dalam seni filsafat dan telah sangat mempelajari lapangan. Setelah sekian lama dalam filsafat pendidikan, serta proses refleksi panjang, ia mengkritik metode filosofis . Tapi hanya mengambil kesimpulan akhir Ghazali, sementara kurang pendidikan sebanding (dan proses refleksi) di daerah itu, dan sebagai akibatnya tidak bisa melacak Ghazali dalam proses pemikirannya, hanya memperburuk kemungkinan penyalahgunaan kesimpulan Ghazali.

Pandangan tradisional, bagaimanapun, telah dibantah oleh beasiswa baru-baru ini, yang telah menunjukkan bahwa kegiatan ilmiah dan filosofis terus berkembang di dunia Islam lama setelah dia. Sebagai contoh, Dimitri Gutas dan Ensiklopedia Stanford Filsafat mempertimbangkan periode antara dan 14 abad ke-11 untuk menjadi " Golden Age "dari bahasa Arab dan filsafat Islam, yang diprakarsai oleh sukses integrasi's Ghazali dari logika ke dalam Islam seminari Madrasah kurikulum. Emilie Savage-Smith juga telah menunjukkan bahwa Ghazali adalah sumber dorongan untuk studi kedokteran di abad pertengahan Islam , dan bahwa dukungannya untuk studi anatomi berpengaruh dalam kebangkitan pembedahan dilakukan antara dokter Muslim di abad ke-12 dan 13 .

Margaret Smith menulis dalam bukunya Al-Ghazali: The Mystic (London 1944): "Tidak ada keraguan bahwa karya-karya Ghazali akan menjadi orang yang pertama yang menarik perhatian para sarjana Eropa" (halaman 220). Lalu ia menekankan,

"Yang paling besar di antaranya penulis Kristen yang dipengaruhi oleh Al-Ghazali adalah St Thomas Aquinas (1225-1274), yang membuat studi dari para penulis Islam dan mengakui hutang kepada mereka. Ia belajar di Universitas Naples di mana mempengaruhi sastra Islam dan kebudayaan yang dominan pada waktu itu. "

pengaruh Ghazali telah dibandingkan dengan karya Thomas Aquinas dalam teologi Kristen, tetapi dua sangat berbeda dalam metode dan keyakinan. Sedangkan Ghazali menolak filsafat metafisika Yunani seperti Aristoteles dan melihat itu cocok untuk menyanggah metafisik ajaran-ajaran mereka atas dasar "irasionalitas mereka", Aquinas memeluk filsuf non-Kristen dan dimasukkan Yunani kuno, Latin dan pemikiran Islam ke dalam tulisan-tulisannya sendiri filosofis.

"Sebuah penelitian yang cermat karya Ghazali akan menunjukkan bagaimana menembus dan meluas pengaruhnya adalah pada para tokoh abad pertengahan Barat. Salah satu contoh adalah pengaruh Ghazali di St Thomas Aquinas - yang mempelajari karya-karya para filsuf Islam, khususnya Ghazali, di Universitas Naples . Selain itu, 'bunga Aquinas dalam studi Islam dapat dihubungkan dengan infiltrasi' bahasa Latin Averroism 'di abad ke-13, khususnya di [Universitas] Paris ". [38]

sarjana Sebuah telah mencatat kesamaan antara Descartes Wacana pada Metode dan pekerjaan Ghazali, tapi berhenti singkat argumentasi bahwa Ghazali dipengaruhi Descartes kekurangan bukti untuk ini. [5] Penulis George Henry Lewes bahkan lebih jauh lagi dengan menyatakan bahwa "punya terjemahan itu [Kebangkitan Ilmu Agama] pada zaman Descartes ada, setiap orang memiliki berseru terhadap plagiarisme itu ".

Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya

Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).

Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).

Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.

Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).

Polemik Kejiwaan Imam Ghazali

Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.

Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.

Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.

Masa Akhir Kehidupannya

Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”

Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).







Karya-Karyanya

The Inkoherensi Islam
The inkoherensi dari para filsuf menandai suatu titik balik dalam filsafat Islam di penolakan keras atas Aristoteles dan Plato . Buku ini membidik pada filsafat, sebuah kelompok yang didefinisikan secara longgar dari filsuf Islam dari abd 8 sampai abad ke-11 (yang paling menonjol di antara mereka Ibnu Sina dan Al-Farabi ) yang menarik secara intelektual atas Yunani Kuno. Ghazali mengecam pahit Aristoteles, Socrates dan penulis Yunani lainnya sebagai non-Muslim dan orang-orang yang bekerja berlabel metode dan ide-ide sebagai koruptor dari iman Islam.

The inkoherensi dari para filsuf terkenal untuk mengusulkan dan membela teori Asharite dari occasionalism. Ghazali terkenal mengklaim bahwa ketika kebakaran dan kapas ditempatkan di kontak, kapas dibakar langsung oleh Allah dan bukan oleh api, sebuah klaim yang ia pertahankan dengan menggunakan logika . Dia berargumen bahwa karena Tuhan biasanya dilihat sebagai rasional, bukan sewenang-wenang, perilaku di biasanya menyebabkan peristiwa dalam urutan yang sama (misalnya, apa yang tampaknya kita menjadi penyebab efisien) dapat dipahami sebagai outworking alami alasan yang prinsip, yang kemudian kita menggambarkan sebagai hukum alam . berbicara dengan benar, tetapi, ini bukan hukum alam tetapi undang-undang oleh mana Allah memilih untuk mengatur tingkah laku sendiri (otonomi-nya, dalam arti sempit) - dengan kata lain, rasional kehendaknya.

Namun, Ghazali tidak menyatakan dukungan bagi metodologi ilmiah yang didasarkan pada demonstrasi dan matematika, sementara membahas astronomi . Setelah menggambarkan ilmiah fakta dari Gerhana matahari yang timbul dari Bulan datang antara Matahari dan Bumi dan Gerhana bulan dari Bumi datang antara Matahari dan Bulan, ia menulis:
Barang siapa yang berpikir bahwa untuk terlibat dalam perdebatan untuk menyangkal teori tersebut adalah sebuah kewajiban agama merugikan agama dan melemahkan itu. Untuk hal ini bertumpu pada demonstrasi, geometri dan aritmatika, yang tidak meninggalkan ruang bagi keraguan.

Dalam pembelaannya terhadap doktrin Asharite dari alam semesta diciptakan yang temporal terbatas , terhadap Aristotelian doktrin alam semesta yang abadi, Al-Ghazali mengusulkan modal teori kemungkinan dunia , dunia nyata dengan alasan bahwa mereka adalah yang terbaik dari semua kemungkinan dunia dari antara semua alternatif jadwal dan sejarah dunia bahwa Allah mungkin bisa dibuat. Teorinya paralel bahwa dari Duns Scotus di abad ke-14. Meskipun masih belum pasti apakah Al-Ghazali memiliki pengaruh pada Scotus, mereka berdua mungkin memiliki teori mereka berasal dari bacaan mereka Avicenna 's Metafisika.

Pada abad berikutnya, Ibn Rusyd (juga dikenal di Barat sebagai Averroes) menyusun sebuah bantahan panjang inkoherensi Ghazali berjudul The inkoherensi dari ketidaklogisan , namun perjalanan epistemologis pemikiran Islam sudah ditetapkan.

The Deliverance Dari Kesalahan

The autobiografi Ghazali menulis menjelang akhir hidupnya, The Deliverance Dari Kesalahan (-Munqidh min Al al-Dalal; beberapa terjemahan bahasa Inggris) dianggap sebuah karya sangat penting. Di dalamnya, Ghazali menceritakan bagaimana, sekali krisis skeptisisme epistemologis diselesaikan oleh "cahaya yang Allah yang Maha Tinggi dilemparkan ke payudara saya ... kunci pengetahuan yang paling," ia belajar dan menguasai argumen Kalam, filsafat Islam. Meskipun menghargai apa yang berlaku dalam dua pertama ini, setidaknya, ia memutuskan bahwa ketiga pendekatan tidak memadai dan nilai akhir hanya ditemukan dalam pengalaman mistik dan wawasan spiritual (Kerohanian Umat berpikir intuitif - Firasa dan Nur) ia mencapai sebagai akibat dari berikut praktek sufi. William James , di Varieties Pengalaman Keagamaan , dianggap otobiografi dokumen penting untuk "sastra murni mahasiswa yang ingin berkenalan dengan kekuatan batin dari agama-agama selain Kristen" karena kelangkaan dicatat pribadi agama pengakuan dan otobiografi sastra dari periode ini luar tradisi Kristen.

Dalam karya ini, Ghazali menyatakan dukungan bagi matematika sebagai ilmu pasti, tapi berpendapat bahwa tidak dapat digunakan sebagai bentuk bukti untuk atau metafisik doktrin agama karena mereka non- fisik alam. Dia berpendapat bahwa agama dan metafisika tidak membutuhkan matematika dalam arti bahwa puisi tidak membutuhkan matematika atau dalam arti bahwa filologi atau tata bahasa dapat dikuasai tanpa pengetahuan tentang ilmu matematika. Dia juga berpendapat bahwa setiap disiplin memiliki pakar-pakar sendiri dan yang ahli dalam satu disiplin, dalam hal ini matematika, mungkin gagal total dalam disiplin lain, dalam hal ini agama dan metafisika. Ghazali melihat kegunaan praktis matematika dan mengutuk orang-orang yang menolak ilmu matematika:
Kejahatan berat terhadap agama memang telah dilakukan oleh orang yang membayangkan bahwa Islam dipertahankan oleh penolakan dari ilmu-ilmu matematika, melihat bahwa tidak ada kebenaran terungkap dalam menentang ilmu-ilmu ini dengan cara baik negasi atau afirmasi, dan tidak ada dalam ilmu menentang kebenaran agama.

Kebangkitan Ilmu-ilmu Agama

Satu lagi karya besar yang Ghazali adalah Kebangkitan Ilmu Agama (Ihya 'Ulum al-Din atau Ihya'ul Ulumuddin). Ini mencakup hampir semua bidang ilmu agama Islam: Fiqih (yurisprudensi Islam), Kalam ( teologi Islam ) dan tasawuf. Ini berisi empat bagian utama: Kisah ibadah ('al Gosok-'ibadat), Perilaku Hidup Sehari-hari (' al Gosok-'adatat), Cara ke neraka ('al Gosok-'muhlikat) dan cara untuk Salavation (Rub 'al-'munjiyat). Dikatakan bahwa ia digunakan Abu Thalib al-Makki sebagai salah satu sumber itu. Dia kemudian menulis sebuah versi singkat dari buku ini di Persia dalam The Alchemy of Happiness (Kīmyāye Sa'ādat).

Dalam buku ini, ia diklasifikasikan matematika dan obat abad pertengahan Islam sebagai terpuji (mamdūh) ilmu dan menganggap mereka menjadi kewajiban masyarakat ( kifāyah hukumnya ). Dia menulis:
Ilmu pengetahuan yang dianggap kifāyah hukumnya terdiri [semua ilmu] yang sangat diperlukan bagi kesejahteraan dunia seperti: obat yang diperlukan untuk kehidupan tubuh, aritmatika untuk transaksi sehari-hari dan pembagian warisan dan warisan, serta lain. Ini adalah ilmu-ilmu yang, karena tidak adanya mereka, masyarakat akan berkurang menjadi sempit Selat Malaka.

atomisme

Ghazali bertanggung jawab untuk merumuskan sekolah Asy'ari dari atomisme . Dia berargumen bahwa atom adalah abadi, hanya ada hal-hal material, dan semua orang di dunia adalah "kebetulan" sesuatu yang berarti bahwa hanya berlangsung sesaat. Tidak ada yang kebetulan bisa menjadi penyebab apa pun, kecuali persepsi, seperti yang ada sejenak. peristiwa kontinjensi tidak tunduk pada sebab-sebab fisik alam, tetapi merupakan akibat langsung dari intervensi konstan Allah, tanpa yang tidak ada yang bisa terjadi. sifat demikian sangat tergantung pada Allah, yang konsisten dengan ide-ide lain Asy'ari Islam pada sebab-akibat , atau kekurangan itu.

Dalam teori atom , Ghazali menyinggung kemungkinan membagi atom. Dengan mengacu pada divisi luas di kalangan umat Islam, ia menulis: "Muslim begitu baik membagi bahwa mereka dapat membagi atom,. Jika Anda melihat dua muslim mungkin mereka milik 3 pihak".

Pada abad keempat belas, Nicholas dari Autrecourt dianggap bahwa materi, ruang, dan waktu semua terdiri dari atom-atom dapat dibagi, poin, dan instants dan bahwa semua generasi dan korupsi terjadi dengan penataan ulang atom material. Kesamaan ide dengan orang-Ghazali menyatakan bahwa Nicholas akrab dengan karya Ghazali, yang dikenal sebagai "Algazel" di Eropa, baik secara langsung atau tidak langsung melalui Ibn Rusyd.

Harus dicatat bahwa Al Ghazali pernah menulis tentang proton, neutron, fisika atom bertabrakan atau pembentukan molekul. Teorinya hanya berkaitan dengan gagasan bahwa hal-hal yang bisa dipecah menjadi bagian-bagian yang sangat kecil, karena ada sejenak. Tulisan-tulisannya pernah mencapai tingkat detail yang fisika modern

Kosmologi dan Astronomi

Dalam kosmologi , berbeda dengan filsuf Yunani kuno seperti Aristoteles yang percaya bahwa alam semesta memiliki masa lalu yang tak terbatas tanpa awal, filsuf dan teolog abad pertengahan mengembangkan konsep alam semesta yang memiliki masa lalu hingga dengan awal ( finitism temporal ). Pandangan ini diilhami oleh keyakinan dalam ciptaan bersama oleh tiga agama Abrahamik : Yudaisme, Kristen dan Islam. Filsuf Kristen, John Philoponus , disajikan argumen seperti pertama terhadap gagasan Yunani kuno masa lalu yang tak terbatas. logika-Nya diadopsi oleh banyak orang, terutama dan Muslim filsuf, Al-Kindi (Alkindus); filsuf Yahudi, Saadia Gaon (Saadia ben Joseph), dan akhirnya Ghazali. Mereka mengusulkan dua argumen logis terhadap masa lalu yang tak terbatas, yang pertama adalah argumen "dari kemustahilan keberadaan tak terbatas yang sebenarnya", yang menyatakan:
"Seorang yang tak terbatas sebenarnya tidak bisa eksis."
"Sebuah regresi temporal yang tak terbatas adalah peristiwa aktual yang tak terbatas."
". • Sebuah regresi temporal peristiwa tak terbatas tidak dapat ada.."

Argumen kedua, argumen "dari kemustahilan menyelesaikan aktual yang tak terbatas dengan penambahan berturut-turut", menyatakan:
"Seorang yang tak terbatas sebenarnya tidak dapat diselesaikan dengan penambahan berturut-turut."
"Seri temporal peristiwa masa lalu telah selesai dengan penambahan berturut-turut."
". •. Temporal Seri peristiwa masa lalu tidak dapat menjadi tak terbatas yang sebenarnya."

Kedua argumen diadopsi oleh Kristen kemudian filsuf dan teolog, dan argumen kedua pada khususnya menjadi lebih terkenal setelah diadopsi oleh Immanuel Kant dalam tesisnya dari antinomy pertama tentang waktu .

-Ghazali kritik fisika Aristoteles dan kosmologi Aristotelian memainkan peran penting dalam pengembangan astronomi independen selama beberapa abad berikutnya. Dari abad ke-12 dan seterusnya, astronomi Islam mulai menjadi ilmu pengetahuan terutama tergantung pada pengamatan daripada filsafat, terutama karena oposisi agama dari teolog Islam , yang paling menonjol Al-Ghazali, yang menentang campur tangan Aristotelianisme dalam astronomi , membuka kemungkinan untuk sebuah astronomi yang tidak dibatasi oleh filsafat Aristoteles. Contoh, Asy'ari doktrin mempengaruhi teolog Fakhr al-Din al-Razi (1149-1209) untuk menolak gagasan Aristotelian dari Earth's sentralitas dalam alam semesta dan sebagai gantinya mengusulkan gagasan tentang multiverse yang terdiri dari banyak dunia dan semesta, "sedemikian rupa sehingga masing-masing dunia tersebut menjadi lebih besar dan lebih besar daripada dunia ini serta memiliki seperti apa dunia ini." Al-Razi juga mengkritik gagasan Aristotelian padat celestial sphere dan menyarankan ini mungkin "hanya orbit abstrak dilacak oleh bintang-bintang".

Adud teolog al-Din al-Iji (1281-1355), di bawah pengaruh doktrin Asy'ari Ghazali-Al occasionalism , yang menyatakan bahwa semua efek fisik yang disebabkan secara langsung oleh kehendak Allah bukan oleh sebab-sebab alamiah, menolak Aristoteles prinsip dari sebuah prinsip bawaan gerak melingkar dalam benda-benda langit, dan mempertahankan bahwa celestial sphere adalah "hal-hal yang imajiner" dan "lebih lemah dari laba-laba's web". Di bawah pengaruh tersebut, Ali al-Qushji (d ). 1474 menolak fisika Aristoteles dan benar-benar dipisahkan dari astronomi, astronomi memungkinkan untuk menjadi murni empiris sains dan matematika. Hal ini memungkinkan dia untuk mengeksplorasi alternatif gagasan Aristotelian dari Bumi diam, seperti ia menjelajahi gagasan Bumi bergerak . Ia menyimpulkan, berdasarkan bukti empiris daripada filsafat spekulatif, bahwa teori Bumi bergerak sama mungkin benar sebagai teori Bumi diam dan bahwa tidak mungkin untuk menyimpulkan secara empiris teori yang benar.

Logika

Dalam logika Islam , Al-Ghazali memiliki pengaruh penting pada penggunaan logika dalam teologi Islam , karena ia adalah orang pertama yang menerapkan sistem Avicennian dari temporal logika modal untuk teologi Islam. Ia juga mendirikan penerapan tiga jenis logis sistem dalam Islam Syariah hukum dan Fiqh yurisprudensi: penalaran dengan analogi , logika deduktif dan logika induktif . Dalam kasus yang memiliki beberapa hukum preseden , ia merekomendasikan penggunaan logika induktif, menyatakan bahwa "lebih besar jumlah potongan-potongan bukti tekstual adalah, semakin kuat kita menjadi pengetahuan."

Psikologi

Dalam Psikologi Islam dan Psikologi sufi , Ghazali membahas konsep diri dan penyebab kesengsaraan dan kebahagiaan. Dia menggambarkan empat menggunakan istilah sendiri: Qalb (jantung), Ruh (roh), Nafs (jiwa) dan 'aql (intelek). Dia menyatakan bahwa "diri memiliki keinginan yang melekat untuk ideal , yang berusaha untuk menyadari dan ini dikaruniai dengan kualitas untuk membantu mewujudkan hal itu. " Dia lebih lanjut menyatakan bahwa diri memiliki motif motor dan sensorik untuk memenuhi kebutuhan tubuh nya. Dia menulis bahwa motif motor terdiri dari kecenderungan dan impuls , dan selanjutnya membagi kecenderungan menjadi dua jenis: nafsu makan dan kemarahan. Dia menulis bahwa nafsu makan mendesak lapar, haus, dan keinginan seksual, sementara kemarahan mengambil bentuk kemarahan, kemarahan dan balas dendam. Dia lebih jauh menulis bahwa impuls tinggal di otot, saraf, dan jaringan, dan memindahkan organ untuk "memenuhi kecenderungan".

Ghazali adalah salah satu yang pertama untuk membagi motif indra ( ketakutan ) menjadi lima indera eksternal (klasik indra pendengaran , penglihatan , bau , rasa dan sentuhan ) dan lima indera internal: akal sehat (Hiss Mushtarik) yang mensintesis tayangan sensual dibawa ke otak saat memberikan arti kepada mereka; imajinasi (Takhayyul) yang memungkinkan seseorang untuk mempertahankan citra mental dari pengalaman; refleksi (Tafakkur) yang menyatukan pemikiran yang relevan dan asosiasi atau memisahkan mereka sebagai yang dianggap sesuai tetapi tidak memiliki kekuatan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang tidak sudah ada dalam pikiran; ingatan (Tadhakkur) yang mengingat bentuk luar dari obyek di memori dan recollects artinya; dan memori ( Hafiza ) di mana jejak yang diterima melalui indra disimpan. Dia menulis bahwa, sementara indra eksternal terjadi melalui organ-organ tertentu, indera internal berlokasi di berbagai daerah di otak, dan menemukan bahwa memori terletak di menghambat lobus , imajinasi terletak di lobus frontal , dan refleksi terletak di tengah lipatan otak. Dia menyatakan bahwa indra batin memungkinkan orang untuk memprediksi situasi masa depan berdasarkan apa yang mereka belajar dari pengalaman masa lalu.

Dalam Kebangkitan Ilmu Agama, ia menulis bahwa panca indera internal ini ditemukan di manusia dan hewan. Dalam Mizan Al Amal, bagaimanapun, dia kemudian menyatakan bahwa binatang "tidak memiliki kekuatan yang dikembangkan reflektif-baik" dan berpendapat bahwa kebanyakan hewan berpikir tentang "ide-ide gambar dengan cara sederhana dan tidak mampu asosiasi dan disosiasi kompleks ide abstrak terlibat dalam refleksi. " Dia menulis bahwa "membawa diri dua kualitas tambahan, yang membedakan manusia dari binatang yang memungkinkan manusia untuk mencapai kesempurnaan rohani", yang adalah 'aql (intelek) dan Irada ( akan ). Dia berargumen bahwa kecerdasan adalah "kemampuan rasional mendasar, yang memungkinkan manusia untuk menggeneralisasi dan bentuk konsep dan mendapatkan pengetahuan . " Dia juga berpendapat bahwa akan manusia dan hewan akan keduanya berbeda. Dia menulis bahwa kehendak manusia adalah "dikondisikan oleh intelek" sedangkan hewan akan adalah "dikondisikan oleh amarah dan nafsu makan" dan bahwa "semua kendali kekuasaan dan mengatur tubuh." Dia lebih lanjut menulis bahwa Qalb (jantung) "kontrol dan memerintah atas mereka" dan bahwa ia memiliki enam kekuatan: nafsu, kemarahan, dorongan, ketakutan, intelek, dan kehendak. Dia menyatakan bahwa manusia memiliki semua enam sifat-sifat, sedangkan hewan hanya memiliki tiga (nafsu makan, amarah, dan dorongan). Hal ini berbeda dengan pemikir kuno dan abad pertengahan lain seperti Aristoteles, Ibnu Sina, Roger Bacon dan Thomas Aquinas yang semua percaya bahwa binatang tidak bisa menjadi marah.

Ghazali menulis pengetahuan yang baik dapat bawaan atau didapat. Ia membagi pengetahuan bawaan ke fenomenal , ( dunia material ) dan spiritual (berkaitan dengan Allah dan jiwa), dan pengetahuan yang diperoleh dibagi menjadi imitasi , penalaran logis , kontemplasi dan intuisi . Dia juga berpendapat bahwa ada empat elemen dalam sifat manusia : orang bijak (intelek dan alasan ), babi ( hawa nafsu dan kerakusan ), anjing (kemarahan), dan iblis ( kebrutalan ). Dia berargumen bahwa tiga elemen terakhir yang bertentangan dengan unsur mantan dan bahwa "orang yang berbeda memiliki kekuasaan seperti itu dalam proporsi yang berbeda".

Ghazali membagi Nafs dalam tiga kategori berdasarkan Al-Qur'an: Nafs Ammarah (12:53) yang "mengajak seseorang untuk secara bebas menikmati memuaskan nafsu dan instigates untuk melakukan "jahat, Nafs Lawammah (75:2) yang adalah" hati nurani yang mengarahkan manusia menuju atau salah "benar, dan Nafs Mutmainnah (89:27) yang adalah" diri yang mencapai akhir perdamaian . " Sebagai analogi antara psikologi dan politik, ia dibandingkan jiwa dengan seorang raja kerajaan berjalan, dengan alasan bahwa organ-organ tubuh seperti para pengrajin dan pekerja, intelek adalah seperti wazir yang bijak, keinginan seperti seorang hamba yang jahat, dan kemarahan seperti kepolisian. Dia berpendapat bahwa seorang raja benar dapat menjalankan keadaan dengan kembali kepada wazir bijaksana, berpaling dari hamba yang jahat, dan mengatur para pekerja dan polisi, dan bahwa dengan cara yang sama, jiwa seimbang jika "terus marah bawah kontrol dan membuat keinginan mendominasi intelek. " Dia berargumen bahwa bagi jiwa untuk mencapai kesempurnaan, perlu berkembang melalui beberapa tahapan: sensual (seperti kupu-kupu yang memiliki memori tidak), imajinatif (lebih rendah hewan), naluri hewan yang lebih tinggi (), rasional ("melampaui tahap hewan dan benda apprehends di luar jangkauan indra-Nya ") dan ilahi (" apprehends realitas hal-hal rohani ").

Dia menyatakan bahwa ada dua jenis penyakit: jasmani dan rohani. Ia menganggap yang kedua lebih berbahaya, hasil dari "kebodohan dan penyimpangan dari Allah", dan mendaftarkan penyakit rohani sebagai: orang yang berpusat diri ; kecanduan kekayaan, ketenaran dan status sosial, dan ketidaktahuan, pengecut, kekejaman, nafsu, waswas ( ragu), kedengkian, fitnah, iri hati, penipuan, dan keserakahan. Untuk mengatasi kelemahan rohani, Ghazali menyarankan terapi yang berlawanan ("penggunaan imajinasi dalam mengejar lawan"), seperti ketidaktahuan dan belajar, atau benci & cinta. Dia menggambarkan kepribadian sebagai integrasi "spiritual dan kekuatan tubuh" dan percaya bahwa "kedekatan dengan Allah adalah setara dengan normal sedangkan jarak dari Allah menyebabkan kelainan".

Ghazali berpendapat bahwa manusia menempati posisi "tengah-tengah antara hewan dan malaikat dan kualitas nya membedakan adalah pengetahuan." Dia berpendapat bahwa manusia yang dapat menimbulkan "tingkat malaikat dengan bantuan pengetahuan" atau jatuh ke "tingkat hewan dengan membiarkan kemarahan dan nafsu mendominasi dia." Dia juga berpendapat bahwa Ilm al-Batin ( esotericism ) adalah hukumnya (incumbent) dan disarankan Tazkiya Nafs ( penyucian diri ). Ia juga mencatat bahwa "melakukan yang baik hanya bisa timbul dari dalam dan tidak perlu kehancuran total kecenderungan alam".





Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah:

Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah tauhid dan teologi:
1. Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
2. Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.
4. Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
5. Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.
6. al-Munqidh min al-Dalal (Penyelamat dari kesesatan)
7. Hujjat al-Haq (Bukti Kebenaran)
8. al-Iqtisad fil-i `tiqad (Median dalam Kepercayaan)
9. al-maqsad al-Asna fi sharah Asma 'Allahu al-Husna (Yang berarti terbaik dalam menjelaskan Nama Indah Allah)
10. Jawahir al-Qur'an wa duraruh (Perhiasan-perhiasan milik Al-Qur'an dan Mutiara perusahaan)
11. Fayasl al-tafriqa bayn al-Islam wa-l-zandaqa (Kriteria dari Perbedaan antara Islam dan kekafiran Bawah Tanah)
12. Mishkat al-Anwar ( The Niche of Lights )
13. Tafsir al-Yaqut al-ta'wil
14. Sirr al-`Alamin (semesta alam Rahasia)
15. al-Risalah al-Qudsiyyah (The Saluran Yerusalem)

Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf,
beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:
Karya Sufisme :
1. Mizan al-'amal (Kriteria Aksi)
2. Ihya 'ulum al-din, "Kebangkitan Agama Ilmu", Ghazali yang paling penting pekerjaan
3. Bidayat al-Hidayah (Awal Bimbingan)
4. Kimyaye sa'ādat Kimiya ( The Alchemy of Happiness ) [versi kompak Ihya, dalam bahasa Persia]
5. Nasihat al-Muluk (Raja Konseling) [dalam bahasa Persia]
6. al-Munqidh min al-Dalal (Penyelamat dari kesesatan)
7. Minhaj Al-'Abidin (Metodologi untuk penyembah

Karya Filsafat

1. Filsuf Maqasid al (Tujuan Filsuf) [ditulis di awal hidupnya, yang mendukung filsafat dan penyajian teori dasar dalam bidang Filsafat, terutama dipengaruhi oleh Avicenna bekerja]
2. Tahafut al-filsuf ( The inkoherensi dari para filsuf ), [dalam buku ini ia menyangkal Filsafat Yunani yang bertujuan Ibnu Sina dan Al-Farabi dan Ibn Rusyd yang menulis bantahan terkenal Tahafut al-tahafut (The inkoherensi dari inkoherensi)]
3. Miyar fi Ilm-fan al-Mantiq (Kriteria Pengetahuan dalam Seni Logic)
4. Mihak al-Nazar fi al-mantiq (Touchstone dari Penalaran di Logic)
5. al-al-Mustaqim Qistas (The Saldo Correct)

Yurisprudensi
1. Fatawy al-Ghazali (Putusan Ghazali)
2. Al-Wasit fi al-mathab (The [media mencerna] di sekolah yurisprudensi)
3. Tahzib Kitab al-Isul (Prunning pada Teori Hukum)
4. al-Mustasfa fi 'ilm al-isul (The Klarifikasi dalam Teori Hukum)
5. Asas al-qiyas (Yayasan penalaran analogis)

(1) Al Mustashfa Min Ilmil Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fiqih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya. Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam dalam pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur adukkannya.” Tetapi kemudian beliau berkata, “Setelah kita mengetahui sikap keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar……” (Dua perkataan beliau ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 17 dan 18).

Lebih jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga bukan mukadimah khusus untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka siapa pun yang tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya.” (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 19).

Kemudian hal ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap orang yang akalnya sehat, maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang sama sekali tidak mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Demikianlah, karena para sahabat juga tidak mengenal ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik dari para ahli manthiq.

(2) Mahakun Nadzar.

(3) Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.

(4) Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.

(5) Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.

(6) Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.

(7) Mizanul Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.

(8) Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Oleh para ulama, kitab ini diperselisihkan keabsahan dan keontetikannya sebagai karya Al Ghazali. Yang menolak penisbatan ini, diantaranya ialah Imam Ibnu Shalah dengan pernyataannya, “Adapun kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, bukanlah karya beliau. Aku telah melihat transkipnya dengan khat Al Qadhi Kamaluddin Muhammad bin Abdillah Asy Syahruzuri yang menunjukkan, bahwa hal itu dipalsukan atas nama Al Ghazali. Beliau sendiri telah menolaknya dengan kitab Tahafut.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329).

Banyak pula ulama yang menetapkan keabsahannya. Di antaranya yaitu Syaikhul Islam, menyatakan, “Adapun mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, sebagian ulama mendustakan penetapan ini. Akan tetapi para pakar yang mengenalnya dan keadaannya, akan mengetahui bahwa semua ini merupakan perkataannya.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Kitab ini diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali Abdillah.

(9) Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.

(10) Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.

(11) Qanun At Ta’wil.

(12) Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Keduanya telah terbit.

(13) Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tashim Billah Al Baghdadi.

(14) Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.

(15) Ar Risalah Alladuniyah.

(16) Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak tentang kitab ini, di antaranya:

Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/334).

Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda tentang Abu Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan akal dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam kancah para pejabat tinggi. Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al Hallaj (pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh dia hampir tergelincir keluar dari agama ini. Ketika menulis Al Ihya’ beliau mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum mengenal betul dan tidak memiliki keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits palsu.” Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya, “Adapun di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan terdapat kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/339-340).

Imam Subuki dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al Ihya’ dalam kitabnya, Al Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal Akhbar. Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya Ulumuddin. Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan menjelaskan derajat keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin.

(17) Al Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.

(18) Al Wasith.

(19) Al Basith.

(20) Al Wajiz.

(21) Al Khulashah. Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/224-227.

Aqidah dan Madzhab Beliau

Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith, Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”

Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.

Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu, kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.

Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 110).

Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara:

Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya.

Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).

Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan Neo-Platoisme. Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani 2/928-929). Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitab Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri. Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 111).

Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian. Wallahu a’lam.”

*************************************************************
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net