• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Tampilkan postingan dengan label MAQAM SUFI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAQAM SUFI. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 24 April 2010
no image

Maqam Raja'

MAQAM ROJA`

Adapun roja` secara bahasa artinya harapan/cita-cita; sedangkan menurut istilah ialah bergantungnya hati dalam meraih sesuatu di kemudian hari. Roja` merupakan ibadah yang mencakup kerendahan dan ketundukan, tidak boleh ada kecuali kepada Allah 'Azza wa Jalla. Memalingkannya kepada selain Allah adalah kesyirikan, bisa berupa syirik besar atau pun syirik kecil tergantung apa yang ada dalam hati orang yang tengah mengharap.

Raja’ (Harap/Harapan) adalah ketergantungan hati pada sesuatu yang dicintai yang akan terjadi di masa yang akan datang. Sebagaimana khauf (takut) yang berhubungan dengan sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang, maka demikian juga Raja’ akan membawa implikasi terhadap hal yang di cita-citakan di masa yang akan datang. Dengan Raja’ maka hidup akan menjadi hidup dan merdeka.

Roja (harapan/mengharap) tidaklah menjadikan pelakunya terpuji kecuali bila disertai amalan. Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. Al-Baqarah: 218]. Allah juga berfirman, "Barang siapa mengharap perjumpaan dengan tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan sesuatupun dalam beribadah kepada tuhannya." [Al-Kahfi: 110].

Di dalam Al-qur’an banyak firman Allah yang menjanjikan raja’ (harapan) bila orang berbuat baik akan diberi syurga dan lain-lain. Seperti firman Allah pada surat Assajadah ayat 19: أَمَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ جَنَّاتُ الْمَأْوَى نُزُلًا بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ , Surat At-Thin ayat 6: ِإ لَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ, demikian pula tentang perasaan khauf (takut) seperti firman Allah pada surat Al-Isra’ ayat 10: َوأَنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا , An-Nisa’ ayat 138 ِبشرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا . Rasulullah bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Anas: “Keduanya (takut dosa dan rahmat Allah) itu tidaklah berkumpul pada hati hamba pada tempat ini, melainkan ia diberikan oleh Allah apa yang diharapkannya dan ia diamankan oleh Allah dari apa yang ditakutinya”.

Berkata Ibnul Qoyyim dalam "Madarijus-Salikin": "Orang-orang yang mengerti telah bersepakat bahwa roja` tidak akan sah kecuali jika dibarengi dengan amalan. Oleh karena itu, tidaklah seseorang dianggap mengharap apabila tidak beramal". Dengan demikian, roja` kepada Allah akan tercapai dengan beberapa hal, diantaranya: pertama, senantiasa menyaksikan karunia-Nya, kenikmatan-Nya, dan kebaikan-kebaikan-Nya terhadap hamba; kedua, jujur dalam mengharap apa yang ada di sisi Allah dari pahala dan kenikmatan; ketiga, membentengi diri dengan amal shaleh dan bergegas dalam kebaikan.

Ibnul Qayyim -rahimahullah- membagi roja` menjadi tiga bagian, dua di antaranya roja`,yang benar dan terpuji pelakunya, sedang yang lainnya tercela. Roja` yang menjadikan pelakunya terpuji, pertama: seseorang mengharap disertai dengan amalan taat kepada Allah, di atas cahaya Allah, ia senantiasa mengharap pahalaNya; kedua: seseorang yang berbuat dosa lalu bertaubat darinya, dan ia senantiasa mengharap ampunan Allah, kebaikan-Nya dan kemurahan-Nya. Adapun yang menjadikan pelakunya tercela: seseorang terus-menerus dalam kesalahan-kesalahannya lalu mengharap rahmat Allah tanpa dibarengi amalan; roja` yang seperti ini hanyalah angan-angan belaka, sebuah harapan yang dusta.

Menurut Syah Al-Kirmani, tanda raja’ adalah kebaikan ta’at. Menurut Abdullah bin Khubiq, raja’ memiliki tiga bentuk. Pertama orang yang mengerjakan peprbuatan baik dan berharap dapat diterima. Kedua, orang yang mengerjakan perbuatan jahat lantas ia bertobat kemudian berharap mengharapkan ampunan. Ketiga, orang yang mengerjakan perbuatan dusta dan tidak mengulangi perbuatan dosa, lalu mengharapkan ampunan. Barang siapa yang mengetahui dirinya berbuat jahat sebaiknya ia bersikap khauf daripada bersikap raja’.

Menurut satu pendapat, raja’ merupakan sikap percaya terhadap sifat kedermawanan Allah SWT. Menurut yang lain, raja’ adalah melihat Tuhan dengan pandangan yang baik. Ada yang berpendapat, raja’ adalah dekatnya hati terhadap kelemah lembutan Tuhan. Menurut yang lain, Raja’ adalah senangnya hati terhadap tempat kembali yang baik (akhirat). Sedangkan pandangan yang lain, raja adalah memandang keleluasaan rahmat Tuhan.

Abu Ali Ar-Rudzabaari menganalogkan khauf dan raja’ sebagai dua sayap burung. Apabila keduanya seimbang, maka burung itu akan seimbang dan terbang dengan sempurna. Apabila salah satu sayapnya ada yang kurang, maka ia tidak akan seimbang. Apabila burung itu terbang maka ia akan mati.

Ahmad bin ‘Ashim Al-Anthaki pernah ditanya, “Apa tanda raja’ bagi seorang hamba ?”. Ia menjawab, “Apabila mendapatkan kebaikan, maka ia akan bersyukur dengan mengharapkan kenikmatan yang sempurna dari Allah SWT di dunia dan pengampunan di akhirat”.

Menurut Abu AbdilLah bin Khafif, yang dimaksud raja adalah merasa bahagia karena mendapatkan keutamaan dari Allah SWT dan leganya hati karena dapat melihat keagungan Dzat yang diharapkan dan dicintai.

Syaikh Al-Qusyairy berkata, “Saya mendengar Abu Utsman Al-Maghribi mengatakan, ‘barang siapa yang mementingkan diri sendiri dengan mengesampingkan raja’ maka dia akan rusak’. Barang siapa yang mementingkan diri sendiri dan mengesampingkan khauf maka dia akan terputus. Diantara keduanya terkadang yang pertama terjadi dan terkadang yang kedua’”.

Bakar bin Sulaim Ash-Shawaf bertemu kepada Malik bin Anas diwaktu sore hari ketika akan meninggal dunia. Bakar bertanya kepadanya, “Wahai Abu AbdiLlah, bagaimana engkau mendapati keadaaan dirimu ?”. Malik menjawab, “Saya tidak tahu apa yang harus aku katakan, hanya saja engkau harus memohon pengampunan kepada Allah SWT sebelum di hisab”. Setelah itu Bakar senantiasa memohon sehingga dapat memejamkan kedua matanya”.

Yahya bin Muadz mengatakan, “Saya hampir mengharapkan dosa kepadaMu yang dapat mengalahkan harapanku terhadap perbuatan baik. Dalam mengerjakan perbuatan baik saya selalu ikhlas, bagaimana saya dapat memeliharanya sedangkan saya dalam keadaan bahaya. Dalam mengerjakan dosa, saya selalu mengharapkan pengampunan-Mu. Bagaimana Engkau tidak mengampuniku sedangkan Engkau mempunyai sifat dermawan”.

Orang-orang membicarakan Dzun_nun Al-Mishri ketika ia sakit yang mengantarkan pada kematian. Dzun-Nun mengatakan, “Jangan menyibukkan diri untuk diriku karena aku sudah memperoleh karunia Allah SWT yang selalu bersamaku”.

Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Ya.. Tuhan beberapa pemberian akan kuhiaskan di dalam hatiku untuk mengharapkan-Mu. Beberapa ucapan akan ku tanamkan di dalam mulutku untuk memuji-Mu, dan setiap saat akan ku cintakan di dalam diriku agar dapat berjumpa dengan-Mu”. Sebagian kitab menjelaskan bahwa RasuluLlah SAW berkumpul-kumpul dengan para sahabat di depan pintu Syaibah seraya beliau bersabda, “Kenapa kalian tertawa, seandainya kalian tahu apa yang kuketahui pasti kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis”. (HR. Bukhari dan Turmudzi).

Setelah itu Qahqari (salah seorang sahabat yang berkumpul ) pulang dan bertemu dengan RasuluLlah SAW beliau bersabda, “Malaikat Jibril datang kepadaku dan menyampaikan firman Allah SWT, ‘Peringatilah hamba-hamba-Ku sesungguhnya Aku adalah Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun’”. (QS. Al-Hijr 49).

‘Aisyah RA mengatakan bahwa RasuluLLah SAW bersabda, “Allah SWT menertawakan hamba yang berputus asa karena rahmatNya selalu dekat dengannya”’.

“Demi ayah dan Ibu, apa betul Allah SWT tertawa, ya RasuluLLah SAW ?”. tanya ‘Aisyah.

“Demi Dzat yang diriku ada dalam kekuasaannya, sesungguhnya Allah SWT tertawa”.

‘Aisyah kemudian berkata bahwa seseorang tidak dianggap baik apabila ia tertawa. Tertawa merupakan sifat-sifat pekerjaan yakni dengan menampakkan keutamaan sebagaimana ungkapan, “Bumi tertawa karena adanya tumbuh-tumbuhan,” . Allah SWT menertawakan hamba-hambaNya yang berputus asa karena merupakan keutamaan-Nya yang mereka tidak mampu melihatnya.

Ada suatu cerita, seorang Majusi bertamu dan minta jamuan kepada Nabi Ibrahim AS.

“Ya.. asalkan engkau masuk Islam maka engkau akan kujamu”. Jawab Nabi Ibrahim AS.

“Jika saya masuk Islam ? Maka mana kedermawananmu yang bisa engkau berikan kepadaku ?”. kata si Majusi. Setelah itu ia pergi. Allah SWT kemudian menurunkan wahyu sebagai teguran kepada Nabi Ibrahim AS “Wahai Ibrahim, mengapa engkau tidak memberikan makanan kecuali dengan menuntut kepindahan agamanya ? Aku (Allah) selama 70 tahun telah memberikan ia makanan meski ia dalam kekafiran. Engkau semalampun tidak bisa memberinya jamuan, maka dimana kekonsistenanmu (sebagai Nabi ?)”.

Nabi Ibrahim AS menyesal kemudian segera menyusul orang majusi dan memberinya jamuan. Orang majusi kemudian bertanya, “apa yang menyebabkan kamu berbuat yang demikian ?” Maka Nabi Ibrahim menceritakan kisahnya , dan orang majusi kemudian bertanya, “Apa karena itu engkau berbuat seperti ini ?”

Nabi Ibrahim AS menjawab, “Tunjukkanlah Islammu !”. maka orang majusi itupun kemudian masuk Islam.

Abu Bakar bin Asykib mengatakan, “Saya bermimpi bertemu Abu Sahal Ash-Shu’luki dalam keadaan yang sangat baik. Saya bertanya, “Wahai Ustadz, dengan cara apa engkau memperoleh semua ini ?” Ia menjawab, “Dengan cara baik sangka kepada Tuhan”. Malik bin Dinar pernah bermimpi, ia ditanya, “Apa yang telah Allah berikan kepadamu ?” Ia menjawab, “Saya ,emghadap Tuhan dengan membawa dosa yang banyak, tetapi Allah SWT memberikan ampunan karena saya selalu berbaik sangka kepada-Nya”.



Diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabda, yang artinya “Allah SWT berfirman dalam hadits qudsi : Aku berada sebagaimana persangkaan hamba-Ku kepadaKu dan Aku akan selalu bersamanya selagi mereka mengingatku. Jika dia ingat kepadaku di dalam dirinya, maka Aku akan mengingatnya dalam diriKu. Jika ia mengingatKu dalam kerumunan orang ramai, maka Aku akan mengingatnya dalam kerumunan yang lebih baik daripada mereka. Jika dia mendekat kepadaKu satu jengkal, maka Aku akan mendekat kepadany satu hasta. Jika ia mendekat kepadaKu satu hasta, maka Aku akan mendekat kepadanya satu depa. Jika dia mendekat kepadaKu dengan berjalan, maka Aku akan mendekat kepadanya seraya berlari”.

Al Kisah Ibnu Mubarak ingin membunuh orang kafir ajam / non arab. Ketika waktu shalat tiba, dia tidak mempedulikan hingga waktupun berganti tidak mempedulikannya. Sewaktu orang kafir itu menyembah matahari, Ibnu Mubarak hendak memenggal lehernya dangan pedangnya. Tiba-tiba Ibnu Mubarak mendengar suara dari atas awan yang menegurnya ,”Hendaklah engkau memenuhi janji karena janji itu akan dimintai pertanggung jawaban”. (QS. Al-Isra 34).

Seketika itu dia menahan tangannya, dan setelah majusi selesai mengerjakan ibadahnya, dia mengucap salam dan mengatakan kepada Ibnu Mubarak, “Kenapa tidak engkau lanjutkan apa yang engkau inginkan ?”.

Ibnu Mubarak menjelaskan apa yang telah ia dengar. Orang majusi itu menimpalinya, “Ya..Tuhan benar,. Tuhan mencela kekasihNya yang terlibat dalam permusuhan “. Setelah kejadian itu orang majusi itupun masuk Islam.

Menurut satu pendapat, Allah SWT akan menjatuhkan orang-orang dalam lumpur dosa sehingga Dzat Allah SWT akan disebut sebagai Dzat Yang Maha Pengampun. Menurut satu pendapat lain, seandainya Allah SWT berfirman, “Aku tidak akan mengampuni dosa-dosa maka orang Islam tidak akan pernah mengerjakan dosa. Dan seandainya Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni orang yang menyekutukan-Ku maka tentu seorang muslim tidak akan pernah menyekutukanNya. Akan tetapi Allah SWT berfirman, “Dan Allah akan mengampuni dosa-dosa selain syirik kepada orang yang dikehendaki”.(QS. An-Nisa 48). Untuk itu tentu mereka akan mengharapkan ampunanNya.



Diriwayatkan dari Ibrahim bin Adham, yang menceritakan, “saya pernah menunggu sesuatu dalam tenggang waktu yang tidak ada angin topan. Namun ketika malam menjadi sangat gelap, hujan turun dengan sangat lebatnya. Setelah angin topan itu reda, saya memasuki tempat yang dikelilingi orang banyak dan saya berdo’a, Ya allah lindungilah diriku’. Tiba-tiba saya mendengar suara gaib yang menegurku, Wahai Abu Adham, engkau mwminta perlindungan kepadaKu, demikian pula semua orang memohon perlindungan kepadaKu. Jika Aku memberikan perlindungan kepada semuanya, maka kepada siapa Aku memberikan rahmat ?’.

Dalam suatu ungkapan diceritakan bahwa Abu Al-Abas As-Suraij pernah bermimpi, dalam mimpi itu ia akan meninggal dunia sementara kiamat seakan akan telah tiba. Kemudian Allah SWT bertanya, “dimana Ulama?”.

Ketika para ulama menghadap, Allah SWT bertanya, “Apa yang te;ah engkau kerjakan ?”

“Ya Tuhan, kami tealh lengah dan telah berbuat kejahatan”.

Allah SWT kemudian mengembalikan pernyataan itu kepada mereka seakan – akan Ia tidak rela dan menghendaki jawaban yang lain. Setelah itu saya memberanikan diri menjawab, “Di dalam buku catatan amalku, aku tidak menemukan dosa syirik, padahal engkau tealh berjanji akan mengampuni dosa-dosa selain syirik”.

Allah SWT berfirman, “ Pergilah Aku telah mengampuni dosa-dosamu”.

Tiga hari setelah kejadian itu, Abu Al-Abbas meninggal dunia.

Ada seorang laki-laki peminum khamr mengumpulkan para peminum. Dianmemberikan uang 4 dirham kepada hamba sahayanya agar membeli buah-buahan untuk jamuan id tempat pertemuan. Hamba itu melewati depan pintu rumah Manshur bin Amar yang sedang meminta-minta untuk kepentingan orang fakir. Manshur mengatakan“ Barang siapa yang memberiku 4 dirham maka akan aku do’akan empat kali. Makahamba itupun menyerahkan uangnya yang 4 dirham yang sedang ia pegang.


“Apa yang engkau inginkan agar aku mendo’akanmu ?’”. tanya Manshur.

“Saya ingin merdeka”

“Apalagi ?”

“Agar Allah SWT mengembalikan dirham-dirhamku”

“ Ada yang lain ?”

“Agar Allah SWT menerima tobat tuanku “.

Kemudian ?”

Agar Allah SWT mengampuniku, tuanku, dirimu, dan orang banyak”

Manshur kemudian mendoakan segala permintaan hamba itu. Setelah hamba itu kembali kepada tuannya, maka tuannya bertanya, “Kenapa engkau terlambat ?”.

Hamba itu menceritakan peristiwa yang dialaminya.

“Apa saja yand didoakan olehnya “? Tanyanya.

“Pertama aku minta agar diriku dimerdekakan”.

“Pergilah, sekarang engkau merdeka”.

“Ke dua, agar Allah SWT menggantiakn dirham yang sedang saya pegang”.

“Engaku mendapat empat ribu dirham”.

“Ketiga, Agar Allah SWT meenerima tobatmu”.

“Saya telah bertobat kepada Allah SWT”.

“Ke empat agar Allah SWT mengampunimu, diriku, orang banyak, dan orang yang memberikan peringatan”.

Si tuan lantas mengatakan “Ini yang saya tidak miliki”.

Ketiak si tuan ini tidur di waktu malam, dia bermimpi seakan akan ada yang mengatakan, “Engkau telah mengerjakan sesuatu yang telah engkau pinjamkan untuk kepentinganmu yang Aku tidak mengerjakan sesuatu untuk kepentingan-Ku. Aku tealh memngampunimu, hamba sahayamu, Manshur bin Amar dan orang-orang yang hadir”.

Dalam cerita yang lain, Ribah Al-Qaisi telah melaksanakan haji berkali-kali. Suau hari ia berhenti di bawah mizab seraya memohon, “Yaa Tuhanku, beberapa haji yang telah aku lakukan kuberikan kepada RasuluLLah SAW. , sepuluh untuk sepuluh sahabat, dua untuk ke dua orang tuaku, dan sisanya untuk orang-orang Islam.” Dia tidak menyisakan untuk dirinya sendiri sehingga ia mendengarlah sebuah suara gaib,”Dia adalah orang yang dermawan. Oleh karena itu Aku akan mengampunimu, ke dua orang tuamu, dan orang-orang yang mengetahui kebenaran”.

Diriwayatakn dari Muhammad bin Abdul Wahab Ats-Tsaqafi yang mengatakan, “Saya pernah melihat jenazah yang dipanggul oleh tiga orang laki-laki dan satu orang perempuan. Maka saya mengambil alih tempat perempuan itu. Setelah itu kami berlima pergi bersama-sama menuju tempat kuburan, mengerjakan salat janazah, dan menguburkannya, saya bertanya kepada perempuan itu, “Siapa jenazah itu?”.

‘Dia adalah puteraku’.

‘Apa engkau tidak memiliki tetangga?’

‘Punya tetapi mereka mengenggapnya rendah’.

‘Apa sebenarnya yang terjadi ?’

‘Dia adalah waria’

Saya merasa kasihan kepadanya. Suatu saat perempuan itu datang ke rumahku dan kuberikan dirham, buah labu dan pakaian. Di malam harinya, ketika tidur aku bermimpi melihat waria itu seakan – akan datang kepadaku seperti bulan di malam purnama dengan berpakaian serba putih dan berterima kasih kepadaku. Saya bertanya, “’Siapa engkau ?’

Dia menjawab, ‘Saya adalah waria yang telah engkau kubur di siang itu’. Allah SWT telah memberikan rahmat kepadaku karena banyaknya orang yang merendahkanku’.

Syaikh Abu Al-Qasim Al-Qusyairy RA berkata, “Saya telah mendengar Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, ‘Suatu hari Abu Amr Al-Baikindi melewati jalan yang datar. Dia melihat kaum yang hendak mengusir seorang pemuda dari tempatnya karena membuat kerusakan. Ibunya menangis sehingga Abu Amr merasa kasihan dan memberikan pertolongan. Abu Amr mengatakan, ‘Serahkanlah perkara ini kepadaku. Jika ia membuet kerusakan lagi maka ia akan kuserahkan kepadamu’. Mereka menyerahkan pemuda itu kepada Abu Amr . selang beberapa hari Abu Amr melewati tanah datar tersebut dan mendengar isak tangis dari perempuan (ibu pemuda itu) di balik pintu. Abu Amr bergumam dalam hatinya, ‘Barang kali pemuda itu membuat kerusakan lagi sehingga diasingkan dari tempat ini’. Abu Amr mengetuk pintu dan menanyakan tentang pemuda itu. Perempuan tua itu keluar dan berkata, “Dia telah meninggal”. Abu Amr menanyakan peristiwanya. Perempuan itu menjawab, “Ketiak akan meninggal ia mengatakan kepadaku, Wahai Ibu jangan kau ceritakan kepada tetangga tentang kematianku. Saya telah menyakiti mereka. Oleh karena itu mereka akan menyia-nyiakan diriku dan tidak akan menghadiri jenazahku. Apabila engkau telah menguburku, maka inilah cincin yang bertuliskan “BismiLlahirrahmaanirrahiim” hendaklah engkau pendam bersamaku. Jika telah selesai hendaklah memohon pertolongan kepada Tuhanku”. Perempuan itu melanjutkan ceritanya. “Saya telah melaksanakan wasiyatnya’.

Ketika Abu Amr hendak pulang, dari tempat kuburan itu Abu Amr mendengar suara memanggil ‘Wahai Ibu pulanglah , saya telah menghadap Tuhan’”.

Menurut satu pendapat, Allah SWT menurunkan sebuah wahyu kepada Nabi Daud AS “Katakan kepada mereka sesungguhnya Aku Allah telah menciptakan mereka bukan untuk mendapatkan keuntungan, akan tetapi Aku menciptakan mereka agar mereka mengambil keuntungan dariKu”.


Ibrahim Al-Athrusi mengatakan, “di Baghdad saya duduk bersama Syaikh Ma’ruf Al-Kharqi RA di tepi sungai tigris. Di depanku, beberapa pemuda berlayar menggunakan sampan kecil. Mereka berlabuh menuju tepi sungai sambil minum, makan dan bercanda. Saya bertanya kepada Syaikh Ma’ruf Al-Kharqi, apakah negkau tidak melihat bagaimana mereka bermaksiyat kepada Allah SWT dengan cara membuka saluran air?’. Berdoalah kepada Allah SWT untuk mereka. Syaikh Ma’ruf lantas mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, “Ya Tuhan sebagaimana engkau telah membahagiakan mereka di dunia, maka bahagiakanlah mereka di akhirat”. Saya menegurnya, “Saya meminta kepadamu untuk mendoakan mereka”. Syaikh Ma’ruf balik berkata, “Jika Allah SWT membahagiakan mereka di akhirat berarti Allah SWT menerima taubatnya”.

Diceritakan oleh Abu Abdullah Husain bin Sa’id yang mengatakan, “Yahya bin Akhtsam Al-Qadhi adalah orang yang setia kawan. Dia mencintaiku, begitupun juga aku mencintainya. Saya ingin bermimpi bermimpi bertemu dengannya dan ingin kutanyakan sesuatu, ‘Apa yang telah Allah SWT berikan kepadamu ?’. Yahya menjawab, ‘Allah SWT telah mengampuniku, hanya saja Allah SWT mencelaku. Kemudian dikatakannya kepadaku, ‘Wahai Yahya engkau hanyalah temanKu di dunia. Kemudian saya menjelaskan satu hadits yang diriwayatkan oleh Asbu Hurairah RA bahwa RasuluLlah SAW bersabda, ‘Engkau telah berkata bahwa Engkau akan menyiksa orang tua dengan api’.

Setelah itu aku mendapatkan jawaban yakni : Allah SWT telah memaafkanmu, wahai Yahya, dan apa yang disabdakan oleh Nabi SAW adalah benar, hanya saja engkau adalah seorang teman di dunia.




ALASAN PENTINGNYA MEMILIKI RASA RAJA'

Pertama.
Agar bersemangat dalam melakukan ketaatan. Sebab berbuat baik itu berat, dan setan senantiasa mencegahnya, hawa nafsu tak henti-hentinya mengajak paa selain yang baik. Seperti keadaan kebanyakan orang yang lalai, mereka mempunyai watak menuruti hawa nafsu secara terang-terangan. Sedang pahala yang dicari dengan ketaatan itu tidak kelihatan mata dan bersifat gaib. Sementara jalan memperoleh pahala itu begitu jauh.
Apabila demikian keadaannya, tentu nafsu tidak bersemangat dalam mengerjakan kebaikan, tidak menyukai dan tidak pula mau bergerak guna melakukan kebaikan. Dalam menghadapi hal ini, harus dihadapi dengan raja' yang kuat, mengharap rahmat Allah dan kebaikan pahala-Nya.

Guru Imam Ghozali berkata: "Kesedihan itu dapat mencegah manusia dari makan. Khauf dapat mencegah orang berbuat dosa. Sedang raja' bisa menguatkan keinginan untuk melakukan ketaatan. Ingat mati dapat menjadikan orang bersikap zuhud dan tidak menganbil kelebihan harta duniawi yang tidak perlu.

Kedua.
Agar merasa ringan menanggung berbagai kesulitan dan kesusahan.
Barang siapa telah mengetahui kebaikan akan sesuatu yang menjadi tujuan, tentu menjadi ringan untuk mengeluarkan apa yang perlu diberikan. Ketika orang benar-benar menyukai sesuatu, tetnu ia sanggup memikul beban beratnya dan tidak akan peduli apa yang akan ia hadapi dan berapapun ongkosnya. Jika seorang telah benar-benar mencintai orang lain, tentu ia dengan senang hati ikut menanggung cobaan orang yang ia cintai itu. Bahkan merasa senang dengan cobaan itu.
Coba lihat orang yang mengambil madu di sarang lebah, ia tidak mempedulikan sengatan lebah itu. karena ingat akan manisnya madu. Begitu pula orang-orang yang tekun beribadah, mereka bersungguh-sungguh apabila ia teringat surga yang indah dengan berbagai kenikmatannya, kecantikan bidadari-bidadarinya, kemegahan istananya, kelezatan makanan dan minumannya, keindahan pakaian dan keelokan perhiasannya dan semua apa yang disediakan Allah di dalam surga. Mereka merasa ringan menanggung beban kepayahan dalam beribadah, walaupun tidak sempat merasakan kenikmatan dan kelezatan di dunia.

Diceritakan, bahwa murid-murid Sufyan Ats-Tsauri berkata kepadanya, mengenai ketakwaan dan kesunguhan ibadahnya serta kesahajaan keadaannya yang selama ini mereka lihat. Mereka berkata: "Wahai Ustadz, seandainya Anda mau mengurangi kepayahan yang demikian itu, tentu Anda tetap dapat mencapai maksud Anda, insya Allah,"
Sufyan menjawab, "Bagaimana aku tidak bersungguh-sungguh, sebab aku pernah mendengar bahwa ahli surga itu berada pada tempat mereka, lalu datanglah nur yang menerangi delapan surga. Mereka menyangka bahwa nur itu datang dari sisi Allah, maka mereka pun menyungkurkan wajahnya bersujud. Lalu ada panggilan dari arah Allah: " Wahai penduduk surga! Anggkatlah kepala Anda! Apa yang Anda sangka itu tidak lain hanyalah nur seorang bidadari yang tersenyum didepan suaminya."

Selanjutnya Sufyan mendendangkan bait-bait syairnya:

"Tidak akan memerasakan keberatan menghadapi bahaya
orang yang surga Firdaus sebagai tempatnya.
Kamu dapat melihatnya berjalan dalam keadaan menanggung
sedih dan gelisah khawatir dan takut,
menuju ke masjid-masjid
berjalan dengan pakaian yang sederhana dan lusuh
Hai nafsu!
Kamu pasti tidak akan kuat menahan jilatan nyala api
yang berkobar-kobar
sudah saatnya kau menghadap, setelah lama berpaling."

Jadi pokok urusan ibadah itu berkisar pada dua hal, yaitu melakukan taat kepada Allah dan menghentikan laku maksiat. Keduanya tidak akan berjalan dengan baik dan sempurna, sementara nafsu senantiasa mengajak pada kejahatan.

Nafsu semacam itu harus diatasi dengan membuat senang kepada pahala Allah dan menakut-nakuti dengan siksa-Nya, berharap akan janji Allah, sekali gus menakut-nakuti dengan siksa azab-Nya.
no image

Maqam Khauf

MAQAM KHAUF

Khauf (takut) adalah ibadah hati, tidak dibenarkan khauf ini kecuali terhadap-Nya Subhanahu wa Ta'ala. Khauf adalah syarat pembuktian keimanan seseorang. Allah berfirman: "Sesungguhnya mereka itu tidak lain syaitan-syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman." [QS. Ali Imran: 175].

Takut, dalam Islam juga diposisikan sebagai ujian, sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Al Quran, “Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan” (QS. 2:155). وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ Menurut Sayyid Quthb, ayat tersebut menjelaskan tentang adanya keniscayaan untuk menempa jiwa dengan bencana dan ujian. Adanya rasa takut, merupakan ‘training’ mental dan jiwa manusia. Oleh karena itu mereka yang memiliki positive thinking yang akan berhasil melewati rasa takut dan mampu meningkatkan kualitas hidupnya.

Apabila khauf kepada Allah berkurang dalam diri seorang hamba, maka ini sebagai tanda mulai berkurangnya pengetahuan dirinya terhadap Rabb-nya. Sebab orang yang paling tahu tentang Allah adalah orang yang paling takut kepada-Nya.
Rasa khauf akan muncul dengan sebab beberapa hal, di antaranya: pertama, pengetahuan seorang hamba akan pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosanya serta kejelekan-kejelekannya; kedua, pembenarannya akan ancaman Allah, bahwa Allah akan menyiapkan siksa atas segala kemaksiatan; ketiga, mengetahui akan adanya kemungkinan penghalang antara dirinya dan taubatnya.

Para ulama membagi khauf menjadi lima macam:
1. Khauf ibadah, yaitu takut kepada Allah, karena Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, memuliakan siapa yang dikehendaki-Nya dan menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya, memberi kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan menahan dari siapa yang dikehendaki-Nya. Di Tangan-Nya-lah kemanfaatan dan kemudharatan. Inilah yang diistilahkan oleh sebagian ulama dengan khaufus-sirr.
2. Khauf syirik, yaitu memalingkan ibadah qalbiyah ini kepada selain Allah, seperti kepada para wali, jin, patung-patung, dan sebagainya.
3. Khauf maksiat, seperti meninggalkan kewajiban atau melakukan hal yang diharamkan karena takut dari manusia dan tidak dalam keadaan terpaksa. Allah berfirman, "Sesungguhnya mereka itu tidak lain syaitan-syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman." [QS. Ali Imran: 175].
4. Khauf tabiat, seperti takutnya manusia dari ular, takut singa, takut tenggelam, takut api, atau musuh, atau selainnya. Allah berfirman tentang Musa, "Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya)." [QS. Al-Qashash: 18].
5. Khauf wahm, yaitu rasa takut yang tidak ada penyebabnya, atau ada penyebabnya tetapi ringan. Takut yang seperti ini amat tercela bahkan akan memasukkan pelakunya ke dalam golongan para penakut.

Keutamaan Khauf disebutkan dalam hadits Nabi SAW: “Berfirman ALLAH SWT: Demi Keagungan dan Kekuasaan-KU tidak mungkin berkumpul 2 rasa takut dalam diri hambaku dan tidak akan berkumpul 2 rasa aman. Jika ia merasa aman pada-KU di dunia maka akan aku buat takut ia di hari kiamat, dan jika ia takut pada-KU di dunia maka akan aman ia di akhirat.” (HR Ibnu Hibban 2494)

1. Takutnya para Malaikat : “Mereka merasa takut kepada Rabb-nya, dan mereka melakukan apa-apa yang diperintahkan ALLAH.” (QS An-Nahl 16/50).

2. Takutnya Nabi SAW. “Bahwa Nabi SAW jika melihat mendung ataupun angin maka segera berubah pucat wajahnya. Berkata A’isyah ra: “Ya Rasulullah, orang-orang jika melihat mendung dan angin bergembira karena akan datangnya hujan, maka mengapa anda cemas?” Jawab beliau SAW: “Wahai A’isyah, saya tidak dapat lagi merasa aman dari azab, bukankah kaum sebelum kita ada yang diazab dengan angin dan awan mendung, dan ketika mereka melihatnya mereka berkata: Inilah hujan yang akan menyuburkan kita.” (HR Bukhari 6/167 dan Muslim 3/26) Dan dalam hadits lain disebutkan bahwa Nabi SAW jika sedang shalat terdengar didadanya suara desis seperti air mendidih dalam tungku, karena tangisnya [2].

3. Khauf-nya shahabat ra. Abubakar ra sering berkata: “Seandainya saya hanyalah buah pohon yang dimakan.” Umar ra sering berkata: “Seandainya aku tidak pernah diciptakan, seandainya ibuku tidak melahirkanku.” Abu ‘Ubaidah ibnal Jarraah ra berkata: “Seandainya aku seekor kambing yang disembelih keluargaku lalu mereka memakan habis dagingku.” Berkata Imraan bin Hushain ra: “Seandainya aku menjadi debu yang tertiup angin kencang.”

4. Khauf-nya Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu mendengar sebuah ayat yang dibaca, lalu dia jatuh sakit hingga beberapa hari lamanya. Lalu, suatu hari dia mengambil segenggam tanah, seraya berkata, “Andaikan saja aku menjadi seperti tanah ini. Andaikan saja aku bukan yang diingat. Andaikan saja ibuku tidak pernah melahirkan aku.” Sementara itu, diwajahnya saat itu terlihat dua garis hitam karena banyak menangis.

5. Khauf-nya Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah, aku telah melihat para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada saat ini, aku tidak melihat sesuatu yang menyerupai mereka. Mereka (sahabat) adalah orang-orang yang kusut dan berdebu, di antara mata mereka seakan-akan ada iring-iringan orang yang mengantar jenazah. Mereka senantiasa sujud dan berdiri kepada Allah, membaca Kitabullah, pergi dengan berjalan kaki dan mengingat Allah. Mereka tampak seperti pohon-pohon yang condong dan bergoyang pada saat angin berhembus kencang. Mereka selalu menangis hingga kain mereka basah. Demi Allah, sepertinya orang-orang pada saat ini sudah (banyak yang) lalai.” Muhammad bin Waqi’ pernah menangis sepanjang malam dan hampir tidak pernah berhenti.

6. Khauf-nya Khalifah Umar bin Abdul-Aziz mengingat mati, maka badannya bergetar seperti burung yang gemetar, lalu dia menangis, dan air matanya membasahi jenggotnya. Sepanjang malam dia menangis dan seluruh penghuni rumah pun ikut menangis. Fatimah, istrinya bertanya kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau menangis?” Umar bin Abdul-Aziz menjawab, “Aku ingat tempat kembalinya orang-orang dihadapan Allah. Di antara mereka ada yang di surga dan yang lain ada di neraka.” Setelah itu, Umar bin Abdul-Aziz pun pingsan.

7. Khauf-nya Tabi’iin. Ali bin Husein jika berwudhu untuk shalat pucat wajahnya, maka ditanyakan orang mengapa demikian? Jawabnya: “Tahukah kalian kepada siapa saya akan menghadap?” Berkata Ibrahiim bin ‘Iisa as Syukriy: “Datang padaku seorang lelaki dari Bahrain ke dalam mesjid saat orang-orang sudah pergi, lalu kami bercerita tentang akhirat dan dzikrul maut, tiba-tiba orang itu demikian takutnya sampai menghembuskan nafas terakhir saat itu juga.” Berkata Misma’: “Saya menyaksikan sendiri mau’izhoh Abdul Waahid bin Zaid disuatu majlis, maka wafat 40 orang saat itu juga dimajlis itu setelah mendengar ceramahnya.” Berkata Yaziid bin Mursyid: “Demi ALLAH seandainya Rabb-ku menyatakan akan memenjarakanku dalam sebuah ruangan selama-lamanya maka sudah pasti aku akan menangis selamanya, maka bagaimanakah jika ia mengancamku akan memenjarakanku didalam api?!”

Demikianlah Khauf para Malaikat, Nabi-nabi, ulama dan auliya’, maka kita lebih pantas untuk takut dibanding mereka. Mereka takut bukan karena dosa, melainkan karena kesucian hati dan kesempurnaan ma’rifah, sementara kita telah dikalahkan oleh kekerasan hati dan kebodohan. Hati yang bersih akan bergetar karena sentuhan kecil, sementara hati yang kotor tak berguna baginya nasihat dan ancaman.


ALASAN PENTINGNYA RASA KHAUF

Pertama.
Agar terhindar dari kemaksiatan. Sebab nafsu yang ada pada diri kita sangat cenderung melakukan perbuatan jahat, dan selalu bermain mata dengan fitnah. Seperti tidak ada henti-hentinya nafsu ini mendorong dan menarik kita pada perbuatan demikian. Oleh karena itu kita harus mengancam dan membuat nafsu itu menjadi takut, dengan cara mencambuk dan mendera, baik berupa ucapan tindakan maupun pikiran. Sebagaimana yang dituturkan seorang shaleh, "Suatu ketika nafsuya mengajak berbuat maksiat, lalu ia keluar dan berguling- guling di atas pasir yang panas seraya berkata kepada nafsunya: "Rasakanlah! Neraka jahanam itu lebih panas dari pada apa yang anda rasakan ini. Paada malam hari engkau menjadi bangkai, sementara siang harinya menjadi pemalas."

Kedua.
Agar tidak ujub atau berbangga diri/sombong pada ketaatan dan amal shalehnya. Sebab jika sampai bersikap ujub, maka dapat menyebabkan celaka. Sekalipun kita sedang berbuat ketaatan, kita harus selalu waspada terhadap nafsu. Nafsu harus tetap dipaksa dengan dicela dan dihinakan tentang apa yang ada padanya, berupa kejahatannya, dosa-dosa dan berbagai macam bahayanya.

Diceritakan dari Hasan Bashri, bahwa ia berkata: "Salah seorang diantara kita tidak akan aman, setelah melakukan dosa, sementara pintu ampunan telah ditutup, tanpa bisa memasukinya. sehingga salah seorang dari kita yang berbuat maksiat itu, brarti berbuat tidak pada tempatnya."

Abdullah bin Mubarak pernah mencela nafsunya sendiri dengan berkata: "Ucapan anda seperti ucapan orang zuhud, tapi perbuatan anda seperti perbuatan orang munafik. Sementara anda ingin masuk surga. Jauh amat..!, mana mungkin..? Surga itu ada orang-orangnya sendiri. Orang-orang yang masuk surga itu tidak beramal seperti yang anda lakukan."

Ucapan peringatan seperti itu sebaiknya sering diulang-ulang, untuk mengingatkan diri sendiri, agar tidak bersikap ujub dalam melakukan ketaatan dan agar tidak terjerumus pada kemaksiatan.

Ketiga
Khauf seorang sālik bukanlah hanya sekedar rasa takut semata. Khauf pasti diiringi dengan rajā’ (harapan) kepada Allah, karena khauf adalah pembangkit dari rajā’. Maqām khauf adalah maqām yang membangkitkan maqām rajā’. Rajā’ tidak akan ada jika khauf tidak ada.
Ibn ‘Atā’illah menyatakan bahwa jika sālik ingin agar dibuka baginya pintu rajā’ maka hendaknya dia melihat apa yang diberikan Allah kepadanya berupa anugerah maqām, hal dan berbagai kenikmatan yang dia terima. Jika dia ingin agar terbuka baginya pintu khauf, maka hendaknya dia melihat apa yang dia berikan kepada-Nya berupa peribadatan dan ketaatan penuh pada-Nya. Sebagaimana diutarakan oleh Ibn ‘Atā’illah:
”Jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu rajā’, maka lihatlah segala sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yang telah kau berikan kepada-Nya.”

Rajā’ bukan semata-mata berharap, rajā’ harus disertai dengan perbuatan. Jika rajā’ hanya berupa harapan tanpa perbuatan, maka tidak lain itu hanyalah sebuah angan-angan atau impian belaka. Dengan demikian wajib bagi seorang sālik untuk menyertakan rajā’nya dengan amal kepatuhan, dan peribadatan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah secara kontinu.
Jika rajā’ sudah ada dalam diri sālik, maka rajā’ ini akan semakin menguatkan khauf yang ada pada dirinya. Karena suatu harapan, pasti akan disertai dengan rasa takut akan sesuatu, sehingga dapat dinyatakan bahwa khauf akan melahirkan rajā’, dan rajā’ akan menjadi penguat khauf

Wallahu A’lam
no image

Maqam Syukur

MAQAM SYUKUR

Pengertian syukur secara terminology berasal dari kata bahasa Arab, yang berarti berterima kasih kepada atau berati pujian atau ucapan terima kasih atau peryataan terima kasih. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia syukur memiliki dua arti yang pertama, syukur berarti rasa berterima kasih kepada Allah dan yang kedua, syukur berarti untunglah atau merasa lega atau senang . Sedangkan salah satu kutipan lain menjelaskan bahwa syukur adalah gambaran dalam benak tetang nikmat dan menampakkannya ke permukaan.

Lain hal dengan sebagaian ulama yang menjelaskan syukur berasal dari kata ‘’syakara’’ yang berarti membuka yang dilawan dengan kata ‘’kufur’’ yang berarti ‘’menutup atau melupakan segala nikmat dan menutup-nutupinya. Hal ini berdasarkan ayat 7 surat Ibrahim sbb : [14:7] Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. Serta dalam surat An-Naml ayat 40 yang dilakukan oleh nabi sulaiman as sbb: [27:40] Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan ni’mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”. Jadi hakikat syukur yang sebenarnya adalah ‘’ menampakan nikmat dengan artian bahwa syukur adalah menggunakan pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemeberinya yaitu Allah SWT

Macam / Jenis Nikmat

1. Nikmat Jasmani / Fisik
Nikmat fisik adalah suatu kenikmatan yang dirasakan oleh tubuh kita. Contohnya seperti nikmat sehat, nikmat makanan dan minuman, nikmat bersetubuh, nikmat angin sepoi-sepoi, dan lain-lain.

2. Nikmat Rohani / Mental
Nikmat rohani adalah nikmat yang dirasakan oleh roh atau jiwa kita. Contoh nikmat jiwa yakni nikmat ilmu pengetahuan, nikmat akal pikiran, nikmat perasaan, dan lain sebagainya.


Contoh Perilaku Bersyukur Kepada Tuhan Allah SWT

1. Bersyukur dengan Hati dan Perasaan, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata-mata dari-Nya, seperti contoh dengan cara :
- Menghindari perilaku buruk yang dibenci manusia dan Allah SWT seperti kikir, ria, fasik, mungkar, keji, dendam, sombong, takabur, munafik, dan sebagainya.
- Hati selalu ingat (dzikir) kepada Allah SWT dan juga mengingat mati.
- Memiliki perasaan cinta kepada Allah SWT dan Rasulnya melebihi apapun juga.
- Mengejar kenikmatan akhirat untuk masuk surga.

2. Beryukur dengan Mulut / Ucapan, syukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat, yakni dengan cara :
- Terbiasa Membaca Al-Quran atau tadarus
- Menyebarkan dan mengajarkan ilmu yang dimiliki
- Selalu ingat Allah dengan berzikir di manapun dan kapanpun kita berada seperti tahlil, tahmid, istigfar, hauqalah, takbir, ta'awudz, dan lain sebagainya
- Senantiasa berdoa kepada Allah untuk mendoakan diri sendiri, keluarga, kerabat, musuh, dan lain sebagainya.

3. Bersyukur dengan Amal Perbuatan, yakni beramal dengan ketaatan kepada Allah
- Melakukan ibadah sholat lima waktu
- Melaksanakan ibadah puasa wajib dan sunat
- Melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangannya
- Berperang dan berjihad di jalan Allah SWT
- Belajar dan mengajarkan ilmu yang telah didapat
- Tolong-menolong sesama manusia
- Melaksanakan ibadah zakat dan haji jika mampu dan memenuhi syarat

4. Bersyukur dengan Harta Benda, adalah dengan menyalurkan hartanya kepada mereka yang membutuhkan
- Membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan finansial
- Menabung di bank syariah yang jauh dari praktek riba
- Membangun mushala, masjid, sekolah, jembatan, dan sebagainya
- Menyumbang dana untuk membiayai perang jihad
- Membuat rumah sakit umum
- Mendirikan panti asuhan dan panti jompo islam
5. Bentuk shukur orang yang memperoleh kenikmatan berupa jabatan dan kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan, keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran terhadap orang-orang yang ada dalam kekuasaannya.



Manfaat dari shukur adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang didapat menjadi langgeng, dan semakin bertambah. Ibn ‘Ata’illah memaparkan bahwa jika seorang salik tidak menshukuri nikmat yang didapat, maka bersiap-siaplah untuk menerima sirnanya kenikmatan tersebut. Dan jika dia menshukurinya, maka rasa shukurnya akan menjadi pengikat kenikmatan tersebut. Allah berfirman: لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ (Jika kalian bershukur [atas nikmat-Ku) niscaya akan kutambah [kenikmatan itu]).1
Jika seorang salik tidak mengetahui sebuah nikmat yang diberikan Allah kepada-Nya, maka dia akan mengetahuinya ketika nikmat tersebut telah hilang. Hal inilah yang telah diperingatkan oleh Ibn ‘Ata’illah.
Lebih lanjut Ibn ‘Ata’illah menambahkan hendaknya seorang salik selalu bershukur kepada Allah sehingga ketika Allah memberinya suatu kenikmatan, maka dia tidak terlena dengan kenikmatan tersebut dan menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi Nikmat.
Meskipun pada dasarnya semua kenikmatan pada hakikatnya adalah dari Allah, shukur kepada makhluk juga menjadi kewajiban seorang salik. Dia harus bershukur terhadap apa yang telah diberikan orang lain kepadanya, karena hal ini adalah suatu tuntutan shari‘at, seraya mengakui dan meyakini dalam hati bahwa segala bentuk kenikmatan tersebut adalah dari Allah.
Pengejawantahan shukur tetap harus dilandasi dengan menanggalkan segala bentuk angan-angan dan keinginan. Akal adalah kenikmatan paling agung yang diberikan Allah kepada manusia. Karena akal inilah manusia menjadi berbeda dari sekalian makhluk. Namun, dengan kelebihan akal ini pula manusia memiliki potensi untuk bermaksiat kepada Allah. Dengan akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan shukur.


Allah swt. berfirman:

"Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat pemberian Ku) kepadamu." (Q.s. Ibrahim: 7)


Diriwayatkan oleh Yahya bin Ya’la dari Abu Khabab, dari Atha’ yang berkata, "Aku bersama Ubaid bin Umair mengunjungi Aisyah r.a. dan berkata kepadanya, ‘Ceritakanlah kepada kami sesuatu yang paling mengagumkan yang Anda lihat pada Rasulullah. saw.!’ Beliau menangis dan bertanya, ‘Adakah yang beliau lakukan, yang tidak mengagumkan? Suatu malam, beliau datang kepadaku, dan kami tidur di tempat tidur hingga tubuh beliau bersentuhan dengan tubuhku. Setelah beberapa saat, beliau berkata, ‘Wahai putri Abu Bakr, izinkanlah aku bangun untuk beribadat kepada Tuhanku!’ Aku menjawab, "Saya senang berdekatan dengan Anda,’ tapi aku mengizinkannya. Kemudian beliau bangun, pergi ke tempat kantong air dan berwudhu dengan mencucurkan banyak air, lalu shalat. Beliau mulai menangis hingga air matanya membasahi dadanya, kemudian beliau ruku’ dan terus menangis, lalu sujud dan terus menangis, lalu mengangkat kepala dan terus menangis. Terus menerus beliau dalam keadaan demikian sampai Bilal datang dan memanggil beliau untuk shalat subuh. Aku bertanya kepada beliau, ‘Apakah yang menyebabkan Anda menangis wahai Rasulullah, sedangkan Allah telah mengampuni dosa dosa Anda, baik yang dahulu maupun yang akan datang?’ Beliau menjawab, ‘Tidakkah aku menjadi seorang hamba yang bersyukur? Bagaimana aku tidak akan menangis sedangkan Allah telah menurunkan ayat ini kepadaku:
‘Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang diturunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mau menggunakan akal.’ (Q.s. Al Baqarah: 164)."

Dengan ayat ini, Allah swt. memiliki sifat syakur. Artinya, memberi pahala hamba yang bersyukur, sebagai balasannya adalah diterimanya syukur itu sendiri. Sebagaimana difirmankanNya, "Balasan bagi tindak kejahatan adalah kejahatan yang serupa." (Q.s. Asy Syura: 40).

Dikatakan bahwa bersyukurnya Allah adalah pemberian balasan yang melimpah bagi amal yang sedikit, seperti kata pepatah, "Seekor binatang dikatakan bersyukur, jika ia mencari makanan melebihi jerami yang diberikan kepadanya." Kita mungkin dapat mengatakan bahwa hakikat bersyukur adalah memuji Sang Pemberi kebaikan dengan mengingat ingat anugerah yang telah diberikan Nya. Jadi bersyukurnya seorang hamba kepada Allah swt. adalah pujian kepada Nya dengan mengingat ingat anugerah Nya kepadanya. Sebaliknya, bersyukurnya Allah swt. kepada hamba Nya adalah dengan mengingat kebaikan hamba kepada Nya. Kebaikan si hamba adalah kepatuhan kepada Allah swt, sedangkan kebaikan Allah adalah memberikan rahmat Nya kepada si hamba dengan menjadikan ia mampu menyatakan syukur kepada Nya. Syukur seorang hamba, Pada hakikatnya mencakup syukur secara lisan maupun penegasan dalam hati atas anugerah dan rahmat Allah swt.

Syukur dibagi menjadi: Syukur dengan lisan, yang berupa Pengakuan atas anugerah dalam derajat kepasrahan, dan syukur dengan tubuh, yang berarti mengambil sikap setia dan mengabdi; syukur dengan hati, adalah tentram dalam latar musyahadah dengan terus menerus melaksanakan pemuliaan. Dikatakan bahwa kaum cendekiawan bersyukur dengan lidah mereka, kaum pecinta bersyukur dengan perbuatan mereka, dan kaum ‘arifin bersyukur dengan istiqamah mereka terhadap Nya di dalam semua perilaku mereka.

Abu Bakr al Warraq berkata, "Syukur atas nikmat adalah memberikan musyahadah terhadap, anugerah tersebut dan menjaga penghormatan."
Hamdun al Qashshar menegaskan, "Bersyukur atas anugerah adalah bahwa engkau memandang dirimu sebagai parasit dalam syukur."
Al-junayd berkomentar, "Ada cacat dalam bersyukur, karena manusia yang bersyukur melihat peningkatan bagi dirinya sendiri; jadi ia sadar di sisi Allah swt. lebih dari bagian dirinya sendiri."

Abu Utsman berkata, "Syukur berarti mengenal kelemahan dari syukurnya itu sendiri."
Dikatakan, "Bersyukur atas kemampuan untuk bersyukur adalah lebih lengkap daripada bersyukur saja. Dengan cara memandang bahwa rasa bersyukur Anda datang karena Dia telah memberikan taufik Nya. Dan taufiq Nya itu termasuk nikmat yang diperuntukkan bagi diri Anda. Jadi Anda bersyukur atas kesyukuran Anda, dan kemudian Anda bersyukur terhadap kesyukuran atas kesyukuran Anda, sampai tak terhingga."
Dikatakan, "Bersyukur adalah menisbatkan anugerah kepada pemiliknya yang sejati dengan sikap kepasrahan."

Al-junayd mengatakan, "Bersyukur adalah bahwa engkau tidak memandang dirimu layak menerima nikmat."
Ruwaym menegaskan, "Bersyukur adalah engkau menghabiskan seluruh kemampuanmu."
Dikatakan, "Orang yang bersyukur adalah orang yang bersyukur atas apa yang ada, dan orang yang sangat bersyukur adalah yang bersyukur atas apa yang tidak ada."

Dikatakan, "Orang yang bersyukur berterimaksih atas pemberian, tapi orang yang sangat bersyukur (Syakur) berterimakasih karena tidak diberi." Dikatakan juga, "Orang yang bersyukur berterimakasih atas pemberian, dan orang yang sangat bersyukur berterimakasih atas kemelaratan."
Dikatakan, "Orang yang bersyukur berterimakasih manakala anugerah diberikan, dan orang yang sangat bersyukur berterimakasih manakala anugerah ditunda."

Al-junayd menjelaskan, "Suatu waktu, ketika aku masih berumur tujuh tahun, aku sedang bermain main di hadapan as-Sary, dan sekelompok orang yang sedang berkumpul di hadapannya, berbincang tentang syukur. Ia bertanya kepadaku, ‘Wahai anakku, apakah bersyukur itu?’ Aku menjawab, ‘Syukur adalah jika orang tidak menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat kepada Nya.’ Ia mengatakan, ‘Derajatmu di sisi Allah akan segera engkau peroleh melalui lidahmu, nak’!" Al-junayd mengatakan, ‘Aku senantiasa menangis mengingat kata kata as Sary itu."
Asy-Syibly menjelaskan, "Syukur adalah kesadaran akan Sang Pemberi nikmat, bukan memandang nikmat itu sendiri."
Dikatakan, "Syukur adalah kendali yang ada serta jerat bagi apa yang tiada."

Abu Utsman berkata, "Kaum awam bersyukur karena diberi makanan dan pakaian, sedangkan kaum khawash bersyukur atas makna makna yang datang di hati mereka."

Dikatakan bahwa Daud as. bertanya, "Ilahi, bagaimana aku dapat bersyukur kepacla Mu, sedangkan bersyukurku itu sendiri adalah nikmat dari Mu?" Allah mewahyukan kepadanya, "Sekarang, engkau benar benar telah bersyukur kepada Ku."

Dikatakan bahwa Musa as. mengatakan dalam doa munajatnya, "Ya Allah, Engkau telah menciptakan Adam dengan Tangan Mu, dan Engkau telah begini dan begitu. Bagaimana ia bersyukur kepada Mu?" Allah Menjawab, "Ia mengetahui bahwa semua itu berasal dari Ku, dan dengan begitu pengetahuannya tentang semua itu adalah syukurnya kepada Ku."
Diriwayatkan bahwa salah seorang Sufi mempunyai sahabat yang ditahan oleh Sultan. Sufi itu diminta supaya datang, dan sahabatnya itu mengatakan kepadanya, "Bersyukurlah kepada Allah swt.! " Lalu sahabatnya itu didera, dan ia menulis surat kepada si Sufi, "Bersyukurlah kepada Allah swt.! " Kemudian seorang Majusi yang sedang sakit perut didatangkan dan dibelenggu, salah satu borgol rantainya dikenakan pada kaki sahabat, dan borgol lainnya dikenakan pada kaki Majusi. Pada malam hari, si Majusi sering bangun, yang berarti sahabat itu terpaksa ikut bangun sampai si Majusi selesai melepaskan hajatnya. Ia lalu menulis surat kepada sahabatnya, "Bersyukurlah kepada Allah swt.!" Sahabatnya (si Sufi) bertanya, "Berapa lama engkau akan mengatakan kalimat ini: Cobaan apa yang lebih berat dari ini?" Sahabatnya menjawab, "Jika sabuk yang dikenakan orang kafir pada pinggangnya dikenakan pada pinggangmu, sebagaimana belenggu kakinya juga dikenakan pada kakimu, maka apa yang akan engkau perbuat?"
Seseorang mendatangi Sahl bin Abdullah dan mengatakan kepadanya, "Seorang pencuri telah memasuki rumahku dan mencuri barang barangku!" Sahl berkata, "Bersyukurlah kepada Allah swt.! Seandainya sang pencuri itu, yaitu setan, memasuki hatimu dan merusak tauhid, apa yang akan engkau perbuat?".

Dikatakan,
"Syukurnya kedua belah mata adalah bahwa engkau menyembunyikan cacat yang engkau lihat pada sahabatmu, dan syukurnya kedua telinga adalah engkau menyembunyikan cacat yang engkau dengar tentang dirinya."

"Syukur adalah menyibukkan diri dalam memujiNya karena Dia telah memberimu apa yang engkau tidak pantas menerimanya."


Al-Junayd menuturkan, "Manakala as-Sary berkehendak untuk mengajarku, biasanya ia mengajukan sebuah pertanyaan kepadaku. Suatu hari ia bertanya kepadaku, ‘Wahai al-Junayd, apakah syukur itu?’ Aku menjawab, ‘Syukur adalah jika tidak satu bagian pun dari nikmat Allah swt. digunakan untuk bermaksiat kepada Nya.’ Ia bertanya lagi, ‘Bagaimana engkau sampai pada (pengetahuan) ini.’ Aku menjawab, ‘Bersama majelis-majelis Anda’."

Diceritakan bahwa al-Hasan bin Ali pernah bergayut pada sebuah tiang dan bermunajat, "Tuhanku, Engkau telah memberi nikmat aku, namun tidak Engkau dapati aku bersyukur. Engkau telah mengujiku, namun tidak Engkau dapati aku bersabar. Namun Engkau tidak mencerabut nikmat karena aku tidak bersyukur, dan tidak melanggengkan bencana ketika kutinggalkan kesabaran. Tuhanku, tidak ada yang datang dari Yang Maha Pemurah, kecuali kemurahan."

Dikatakan, ‘Jika tangan mu tidak bisa engkau gunakan, maka engkau mesti lebih banyak mengucap syukur dengan lisanmu. "
Dikatakan pula, "Ada empat amal yang tidak berbuah: Mempercayakan rahasia kepada orang yang bisu, memberi nikmat kepada orang yang tidak mau bersyukur, menebar benih di tanah yang tandus, dan menyalakan lampu di bawah cahaya matahari."

Juga dikatakan bahwa ketika Idris as. memperoleh kabar gembira pengampunan, beliau memohon diberi panjang umur. Ketika ditanya tentang permohonannya itu, beliau menjawab, "Agar aku dapat bersyukur kepada Nya, karena sebelum ini aku telah berjuang hanya untuk memperoleh ampunan." Kemudian salah satu malaikat mengembangkan sayapnya dan membawanya ke langit.

Diceritakan bahwa salah seorang Nabi - semoga Allah swt. melimpahkan salam kepadanya - berjalan melewati sebuah batu kecil yang memancarkan air, yang membuatnya kagum. Kemudian Allah menjadikan batu itu berbicara kepadanya, katanya, "Ketika aku mendengar Allah swt. berfirman, ‘Takutlah neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.’ (Q.s. At Tahrim: 6). Aku pun menangis karena takut." Nabi itu kemudian mendoakan, agar Allah swt. melindungi batu itu dari api neraka, dan Allah lalu mewahyukan kepadanya, ‘Aku telah menyelamatkannya dari neraka." Maka Nabi itu lalu meneruskan perjalanannya. Ketika kembali melewati batu itu, ia melihat air menyembur darinya seperti sebelumnya, yang membuatnya heran. Allah swt. menjadikan batu itu bisa berbicara, dan Nabi itu lalu bertanya, "Mengapa engkau masih menangis sedangkan Allah telah mengampunimu?" Batu itu menjawab, "Sebelumnya adalah tangis takut dan sedih, sekarang adalah tangis syukur dan gembira."
Dikatakan, "Orang yang bersyukur selalu meningkat karena ia berada di hadapan nikmat."

Allah swt. berfirman, "Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat Ku) kepadamu." (Q.s. Ibrahim: 7).
Orang yang sabar berada bersama Allah, karena ia berada di hadirat kesaksian kepada Nya yang memberikan cobaan. Allah lalu berfirman, "Sesungguhnya Allah beserta orang orang yang sabar" (Q.s. AI Anfal: 46).

Diceritakan bahwa suatu delegasi datang kepada Umar bin Abdul Aziz r.a. Di antara mereka ada seorang pemuda, yang memulai membuka pembicaraan. Umar berkata kepadanya, "Coba, yang tua-tua dulu berbicara! " Mendengar itu si pemuda berkata, "Wahai Amirul Mukminin, jika urusan diserahkan kepada orang berdasarkan usianya, maka banyak orang di kalangan kaum Muslimin yang lebih layak menjadi khalifah dibanding Anda." Maka Umar berkata, "Bicaralah! Pemuda itu menjelaskan, "Kami bukanlah delegasi yang menyampaikan keinginan, bukan pula delegasi yang menyampaikan rasa takut. Mengenai keinginan, maka kemurahan Anda telah memenuhi kebutuhan kami, dan tentang soal takut, keadilan. Anda pun telah mengamankan kami dari ketakutan." Maka Umar pun bertanya kepadanya, "Lantas, siapa kalian ini?" Ia menjawab, "Kami adalah delegasi yang menyampaikan syukur. Kami datang untuk menyampaikan terimakasih kepada Anda, dan sekarang kami akan pulang." Dan mereka lalu bersenandung:
Alangkah malangnya bahwa syukurku adalah diam.
Atas apa yang telah kau lakukan,
sedangkan kebaikanmu berbicara.
Aku melihat anugerah darimu
dan aku menyembunyikan;
karenanya, di tangan yang pemurah
jadi pencuri.


Diceritakan bahwa Allah swt. menyampaikan wahyu kepada Musa as, ‘Aku melimpahkan rahmat kepada hamba hamba Ku: Mereka yang mendapat cobaan maupun mereka yang terampuni." Musa bertanya, "Mengapa pula terhadap mereka yang terampuni?" Allah swt. menjawab, "Dikarenakan kecilnya syukur mereka atas dihindarkannya mereka dari penderitaan itu."
Dikatakan, "Pujian itu bagi nafas, dan syukur atas nikmat nikmat anggota badan."

Dikatakan pula, "Pujian sebagai permulaan dari Nya, dan syukr sebagai tebusan darimu."
Dalam hadis shahih disebutkan, "Yang pertama dipanggil ke surga adalah mereka yang selalu memuji kepada Allah swt. dalam segala hal."
Dikatakan, "Pujian hanya bagi Allah terhadap apa yang diberikanNya, dan syukur atas apa yang diperbuat oleh Nya."

Wassalam
no image

Maqam Sabar

MAQAM SABAR

Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)

PENGERTIAN SABAR

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Sabar merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Arab, dan sudah menjadi istilah dalam bahasa Indonesia. Asal katanya adalah "Shobaro", yang membentuk infinitif (masdar) menjadi "shabran". Dari segi bahasa, sabar berarti menahan dan mencegah. Menguatkan makna seperti ini adalah firman Allah dalam Al-Qur'an:

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”. (QS. Al-Kahfi/ 18 : 28)

Perintah untuk bersabar pada ayat di atas, adalah untuk menahan diri dari keingingan ‘keluar’ dari komunitas orang-orang yang menyeru Rab nya serta selalu mengharap keridhaan-Nya. Perintah sabar di atas sekaligus juga sebagai pencegahan dari keinginan manusia yang ingin bersama dengan orang-orang yang lalai dari mengingat Allah SWT.

Sedangkan dari segi istilahnya, sabar adalah:
Menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah.

Amru bin Usman mengatakan, bahwa sabar adalah keteguhan bersama Allah, menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan tenang. Hal senada juga dikemukakan oleh Imam al-Khowas, bahwa sabar adalah refleksi keteguhan untuk merealisasikan al-Qur'an dan sunnah. Sehingga sesungguhnya sabar tidak identik dengan kepasrahan dan ketidak mampuan. Justru orang yang seperti ini memiliki indikasi adanya ketidak sabaran untuk merubah kondisi yang ada, ketidak sabaran untuk berusaha, ketidak sabaran untuk berjuang dan lain sebagainya.

Sabr bukanlah sesuatu yang harus diterima seadanya, bahkan sabr adalah
usaha kesungguhan yang juga merupakan sifat Allah yang sangat mulia dan
tinggi. Sabr ialah menahan diri dalam memikul sesuatu penderitaan baik
dalam sesuatu perkara yang tidak diingini mahupun dalam kehilangan sesuatu
yang disenangi.
Menurut Imam Ahmad ibn Hanbal perkataan sabr disebutdalam al-Qur’an pada tujuh puluh tempat. Menurut ijma’ ulama’, sabr iniwajib dan merupakan sebahagian daripada shukr. Sabr dalam pengertian bahasa adalah “menahan atau bertahan”. Jadi sabr sendiri adalah “menahan diri daripada rasa gelisah, cemas dan marah, menahan lidah daripada keluh kesah serta menahan anggota tubuh daripada kekacauan”.
Sabr juga merupakan sikap jiwa yang ditampilkan dalam penerimaan
sesuatu baik berkenaan dengan penerimaan tugas dalam bentuk suruhan dan
larangan mahupun dalam bentuk perlakuan orang lain serta sikap menghadapi
sesuatu musibah. Sabr merupakan sifat yang secara holistik harus dimiliki
oleh seorang sufi. Sabr sendiri tidak mengenal bentuk ancaman dan ujian.
Seorang sufi semestinya berada dalam ketabahan dan kesabaran yang
utuh. Sabr mempunyai nilai psikologi iaitu setelah seorang sufi menjalani
maqam zuhd sebagaimana yang telah diterangkan sebelum ini dan dia
boleh memperkuat nilai-nilai zuhd tersebut. Allah menghuraikannya dalam
firmanNya yang bermaksud:
“(Kisah Nuh) itu adalah perkhabaran ghaib, Kami wahyukan kepada
engkau (ya Muhammad), sedang engkau tidak mengetahuinya dan
tidak pula kaummu sebelum ini. Sebab itu bersabarlah. Sesungguhnya
akibat (yang baik) itu bagi orang-orang yang bertaqwa.”(QS.Hud:49)
“Hendaklah engkau bersabar, kerana sesungguhnya Allah tidak
mensia-siakan pahala orang- orang yang berbuat kebaikan.”(QS.Hud:115)
“Sabarlah engkau (ya Muhammad) dan tiadalah kesabaran engkau itu,
melainkan dengan (pertolongan) Allah, dan janganlah engkau berduka
cita terhadap mereka itu dan jangan pula sempit hati (keluh kesah)
disebabkan mereka.”(QS.Al-Nahl:127)
“Hai anakku, dirikanlah solat dan suruhlah orang (membuat) yang
ma`ruf (yang baik) dan laranglah (membuat) yang mungkar (haram),
serta sabarlah atas cubaan yang menimpa engkau. Sesungguhnya
demikian itu pekerjaan yang dicita-citakan.”(QS.Lukman:17)
“Kesabaran harus diaplikasikan dengan baik dan indah.
Maka sabarlah engkau dengan kesabaran yang indah.”(QS.Al-Ma'arij:5)
“Sabar itu harus selalu diiringi dengan solat sebagai meminta tolong
padaNya. Minta tolonglah kamu kepada Allah dengan kesabaran dan
(mengerjakan) solat, dan sesungguhnya solat itu amat berat, kecuali
bagi orang-orang yang tunduk (kepada) Allah.”(QS.Al-Baqarah:45)
“Musa berkata kepada kaumnya: Mintalah pertolongan kepada Allah
dan sabarlah, sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah, diberikanNya
kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya. Akibat
yang baik itu adalah bagi orang-orang yang berbuat kebaikan."(QS.Al-Araf:128)

Pada prinsipnya, sabar itu adalah mengingati janji Allah SWT yang akan
memberi balasan yang setimpal bagi siapa sahaja yang teguh dalam kesabaran
dan dapat pula menahan diri daripada kemahuan dan kecenderungan menuruti
hawa nafsu terhadap perkara-perkara yang diharamkan Allah SWT. Seorang
yang sabar akan tetap berwaspada daripada pelbagai pengaruh negatif yang
mengakibatkan dirinya jatuh ke lembah maksiat. Mereka mengamalkan
pelbagai bentuk ketaatan yang dirasakan sangat berat bagi dirinya dan merekajuga selalu ingat bahawa setiap musibah yang menimpanya merupakan takdir daripada Tuhannya dan akan berserah (tawakkal) kepadaNya.
Peraturan ketaatan yang ada dalam sabr, menjadi tunggak lahirnya
kepatuhan, integriti dan jati diri yang tabah, gigih dan tegas. Seorang sufi dalam menempuh hidupnya berada dalam tawakkal dan rasa shukr yang amat
dalam. Ia memandang cubaan, ujian dan musibah sebagai sesuatu yang indah
dan baik bahkan mereka menyebutnya sebagai rahmat Allah atas hambaNya.
Penderitaan, kecaman dan kecemasan dapat memadamkan nyalaan kekuatan
tabiat dan menghidupkan kekuatan rohani yang menyebabkan kekuatan batin.
Oleh kerana itu, kesabaran dijadikan sesuatu yang menghasilkan pancaran
yang merupakan campuran cahaya dengan kegelapan.
Seseorang yang berusaha memiliki sifat sabr adalah usaha bagi
mempraktikkan “tarbiyyah al-ruhaniyyah” dengan meneladani sifat
Rasulullah s.a.w yang ulu al-‘azmi. Tahap kesabaran dalam bentuk ketaatan
adalah lebih tinggi darjatnya berbanding dengan kesabaran dalam menjauhi
larangan Allah. Sabr dalam ketaatan memiliki makna esoterik yang radikal di
mana di dalamnya tergambar kesungguhan dan teladan yang sangat disukai
Allah SWT. Namun sabr dalam menjauhi laranganNya tidak kalah pentingnya
kerana ia merupakan kemaslahatan yang akan menghiasi seseorang Muslim
sehingga ia boleh meninggalkan pelbagai.

Macam-Macam Sabar

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:
1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Sedangkan Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam sabar terhadap perkara haram, sabar terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha.

Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia. Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut salik untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya.

“Sabar atas keharaman adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas kewajiban adalah sabar atas kewajiban ibadah. Dan semua hal yang termasuk dalam kewajiban ibadah kepada Allah mewajibkan pula atas salik untuk meniadakan segala angan-angannya bersama Allah”.

SABAR MENURUT AL-QUR’AN

Dalam al-Qur'an banyak sekali ayat-ayat yang berbicara mengenai kesabaran. Jika ditelusuri secara keseluruhan, terdapat 103 kali disebut dalam al-Qur'an, kata-kata yang menggunakan kata dasar sabar; baik berbentuk isim maupun fi'ilnya. Hal ini menunjukkan betapa kesabaran menjadi perhatian Allah SWT, yang Allah tekankan kepada hamba-hamba-Nya. Dari ayat-ayat yang ada, para ulama mengklasifikasikan sabar dalam al-Qur'an menjadi beberapa macam;

1. Sabar merupakan perintah Allah SWT. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam QS.2: 153: "Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar."

Ayat-ayat lainnya yang serupa mengenai perintah untuk bersabar sangat banyak terdapat dalam Al-Qur'an. Diantaranya adalah dalam QS.3: 200, 16: 127, 8: 46, 10:109, 11: 115 dsb.

2. Larangan isti'ja l(tergesa-gesa/ tidak sabar), sebagaimana yang Allah firmankan (QS. Al-Ahqaf/ 46: 35): "Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka…"

3. Pujian Allah bagi orang-orang yang sabar, sebagaimana yang terdapat dalam QS. 2: 177: "…dan orang-orang yang bersabar dalam kesulitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa."


4. Allah SWT akan mencintai orang-orang yang sabar. Dalam surat Ali Imran (3: 146) Allah SWT berfirman : "Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar."

5. Kebersamaan Allah dengan orang-orang yang sabar. Artinya Allah SWT senantiasa akan menyertai hamba-hamba-Nya yang sabar. Allah berfirman (QS. 8: 46) ; "Dan bersabarlah kamu, karena sesungguhnya Allah itu beserta orang-orang yang sabar."

6. Mendapatkan pahala surga dari Allah. Allah mengatakan dalam al-Qur'an (13: 23 - 24); "(yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): "Salamun `alaikum bima shabartum" (keselamatan bagi kalian, atas kesabaran yang kalian lakukan). Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu."

Inilah diantara gambaran Al-Qur'an mengenai kesabaran. Gembaran-gambaran lain mengenai hal yang sama, masih sangat banyak, dan dapat kita temukan pada buku-buku yang secara khusus membahas mengenai kesabaran.

SABAR MENURUT HADITS

Sebagaimana dalam al-Qur'an, dalam hadits juga banyak sekali sabda-sabda Rasulullah SAW yang menggambarkan mengenai kesabaran. Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mencantumkan 29 hadits yang bertemakan sabar. Secara garis besar, hadits-hadits tersebut menggambarkan kesabaran sebagai berikut;
1. Kesabaran merupakan "dhiya' " (cahaya yang amat terang). Karena dengan kesabaran inilah, seseorang akan mampu menyingkap kegelapan. Rasulullah SAW mengungkapkan, "…dan kesabaran merupakan cahaya yang terang…" (HR. Muslim)

2. Kesabaran merupakan sesuatu yang perlu diusahakan dan dilatih secara optimal. Rasulullah SAW pernah menggambarkan: "…barang siapa yang mensabar-sabarkan diri (berusaha untuk sabar), maka Allah akan menjadikannya seorang yang sabar…" (HR. Bukhari)

3. Kesabaran merupakan anugrah Allah yang paling baik. Rasulullah SAW mengatakan, "…dan tidaklah seseorang itu diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran." (Muttafaqun Alaih)

4. Kesabaran merupakan salah satu sifat sekaligus ciri orang mu'min, sebagaimana hadits yang terdapat pada muqadimah; "Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman, karena segala perkaranya adalah baik. Jika ia mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur karena (ia mengatahui) bahwa hal tersebut adalah memang baik baginya. Dan jika ia tertimpa musibah atau kesulitan, ia bersabar karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut adalah baik baginya." (HR. Muslim)

5. Seseorang yang sabar akan mendapatkan pahala surga. Dalam sebuah hadits digambarkan; Dari Anas bin Malik ra berkata, bahwa aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya Allah berfirman, "Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan kedua matanya, kemudian diabersabar, maka aku gantikan surga baginya." (HR. Bukhari)

6. Sabar merupakan sifat para nabi. Ibnu Mas'ud dalam sebuah riwayat pernah mengatakan: Dari Abdullan bin Mas'ud berkata"Seakan-akan aku memandang Rasulullah SAW menceritakan salah seorang nabi, yang dipukuli oleh kaumnya hingga berdarah, kemudia ia mengusap darah dari wajahnya seraya berkata, 'Ya Allah ampunilah dosa kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui." (HR. Bukhari)

7. Kesabaran merupakan ciri orang yang kuat. Rasulullah SAW pernah menggambarkan dalam sebuah hadits; Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, namun orang yang kuat adalah orang yang memiliki jiwanya ketika marah." (HR. Bukhari)


8. Kesabaran dapat menghapuskan dosa. Rasulullah SAW menggambarkan dalam sebuah haditsnya; Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullan SAW bersabda, "Tidaklah seorang muslim mendapatkan kelelahan, sakit, kecemasan, kesedihan, mara bahaya dan juga kesusahan, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan dosa-dosanya dengan hal tersebut." (HR. Bukhari & Muslim)

9. Kesabaran merupakan suatu keharusan, dimana seseorang tidak boleh putus asa hingga ia menginginkan kematian. Sekiranya memang sudah sangat terpaksa hendaklah ia berdoa kepada Allah, agar Allah memberikan hal yang terbaik baginya; apakah kehidupan atau kematian. Rasulullah SAW mengatakan; Dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah salah seorang diantara kalian mengangan-angankan datangnya kematian karena musibah yang menimpanya. Dan sekiranya ia memang harus mengharapkannya, hendaklah ia berdoa, 'Ya Allah, teruskanlah hidupku ini sekiranya hidup itu lebih baik unttukku. Dan wafatkanlah aku, sekiranya itu lebih baik bagiku." (HR. Bukhari Muslim).


Dalam Al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah SAW, terdapat beberapa ayat dan hadits yang secara spesifik menggambarkan aspek-aspek ataupun kondisi-kondisi seseroang diharuskan untuk bersabar. Meskipun aspek-aspek tersebut bukan merupakan ‘pembatasan’ pada bidang-bidang kesabaran, melainkan hanya sebagai contoh dan penekanan yang memiliki nilai motivasi untuk lebih bersabar dalam menghadapi berbagai permasalahan lainnya. Diantara kondisi-kondisi yang ditekankan agar kita bersabar adalah :

1. Sebab Meraih Kemuliaan

Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan sebab-sebab untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.

Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini. Di antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala, “Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).

Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam menangani semua urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).

Allah juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).

Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan Kami menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24) (Lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 375)

2. Sabar Dalam Ketaatan

• Sabar Dalam Menuntut Ilmu

Syaikh Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar, kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.

Semoga Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan, “Ilmu itu tidak akan didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam shahih Imam Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari orang-orang yang terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh darinya, hanya karena kegiatannya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.” (Taisirul wushul, hal. 12-13)

• Sabar Dalam Mengamalkan Ilmu

Syaikh Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia melaksanakan ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan ada ahlul bida’ wal ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya, demikian pula orang-orang bodoh yang tidak kenal agama kecuali ajaran warisan nenek moyang mereka.

Sehingga gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan terkadang berbentuk gangguan fisik, bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di zaman di mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang sedang menggenggam bara api, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita, Dialah sebaik-baik penolong” (Taisirul wushul, hal. 13)

• Sabar Dalam Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Syaikh Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama Allah harus bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya, karena di saat itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah bin Naufal mengatakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada seorang pun yang datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti akan disakiti orang.”

Sehingga jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak di hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan perut mereka dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As Sunnah maka akan ditemuinya para pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan dan berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa besar serta orang-orang yang turut bergabung dengan kelompok mereka.

Mereka semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalangi mereka dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.” (Taisirul wushul, hal. 13-14)

3. Sabar dan Kemenangan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan para Rasul sebelummu, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan mereka juga disakiti sampai tibalah pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]: 34).

Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan. Dan bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang (da’i) masih hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud. Akan tetapi yang dimaksud pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu ketika Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga menerima dakwahnya serta berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk pertolongan yang didapatkan oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.

Maka wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan tetap konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah yang sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan yang menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun yang datang sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang sihir atau orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang berasal dari kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31). Namun, hendaknya para da’i tabah dan bersabar dalam menghadapi itu semua…” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

4. Sabar di atas Islam

Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang tetap berpegang teguh dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh majikannya di atas padang pasir yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah bagaimana siksaan tidak berperikemanusiaan yang dialami oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah pertama yang syahid di jalan Allah. (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)

Lihatlah keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang dipaksa oleh ibunya untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok makan dan minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu, demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa kemudian satu persatu keluar, sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan agama ini…” (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Inilah akidah, inilah kekuatan iman, yang sanggup bertahan dan kokoh menjulang walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.

Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang berupa kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan tempat tinggal atau kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada cobaan yang dialami oleh salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa silam.

Mereka disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai meninggal di dalam penjara, namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan pilar keimanan mereka.

Ingatlah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 102).

Ingatlah juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya akan Allah berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).

Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan.” (HR. Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148) dan Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala Shahihain, III/624). (Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)

5. Sabar Menjauhi Maksiat

Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena bahaya dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah umat-umat terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam muhkam al-Qur’an.

Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang binasa karena disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur, dan ada juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada juga di antara mereka yang di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”

Pentahqiq kitab tersebut memberikan catatan, “Syaikh memberikan isyarat terhadap sebuah ayat, “Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al ‘Ankabuut [29] : 40).

“Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat kepada Allah tabaaraka wa ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai, maka kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang akan menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang sangat pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran adalah bersabar untuk menahan diri dari perbuatan maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.

Dan apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia segera bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya di hadapan Allah. Dan hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan berbuat kebaikan-kebaikan. Sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] : 114). Dan juga sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.” (HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam Misykatul Mashaabih 5043)…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)

6. Sabar Menerima Takdir

Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)

Sabar dan Tauhid

Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu ta’ala membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah)

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.

Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.

Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi larangan syari’at dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir.

Adapun ujian dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Allah ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu’.”

Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.

Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”

Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah.

Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.

Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.

Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syari’at sabar artinya: Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan”

Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang.

Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayit) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan” (At Tamhiid, hal.389-391)

Kiat-kiat Untuk Meningkatkan Kesabaran

Ketidaksabaran (baca; isti'jal) merupakan salah satu penyakit hati, yang seyogyanya diantisipasi dan diterapi sejak dini. Karena hal ini memilki dampak negatif dari amalan yang dilakukan seorang insan. Seperti hasil yang tidak maksimal, terjerumus kedalam kemaksiatan, enggan untuk melaksanakan ibadah kepada Allah dsb. Oleh karena itulah, diperlukan beberapa kiat, guna meningkatkan kesabaran. Diantara kiat-kiat tersebut adalah;

1. Mengkikhlaskan niat kepada Allah SWT, bahwa ia semata-mata berbuat hanya untuk-Nya. Dengan adanya niatan seperti ini, akan sangat menunjang munculnya kesabaran kepada Allah SWT.

2. Memperbanyak tilawah (baca; membaca) al-Qur'an, baik pada pagi, siang, sore ataupun malam hari. Akan lebih optimal lagi manakala bacaan tersebut disertai perenungan dan pentadaburan makna-makna yang dikandungnya. Karena al-Qur'an merupakan obat bagi hati insan. Masuk dalam kategori ini juga dzikir kepada Allah.

3. Memperbanyak puasa sunnah. Karena puasa merupakan hal yang dapat mengurangi hawa nafsu terutama yang bersifat syahwati dengan lawan jenisnya. Puasa juga merupakan ibadah yang memang secara khusus dapat melatih kesabaran.

4. Mujahadatun Nafs, yaitu sebuah usaha yang dilakukan insan untuk berusaha secara giat dan maksimal guna mengalahkan keinginan-keinginan jiwa yang cenderung suka pada hal-hal negatif, seperti malas, marah, kikir, dsb.

5. Mengingat-ingat kembali tujuan hidup di dunia. Karena hal ini akan memacu insan untuk beramal secara sempurna. Sedangkan ketidaksabaran (isti'jal), memiliki prosentase yang cukup besar untuk menjadikan amalan seseorang tidak optimal. Apalagi jika merenungkan bahwa sesungguhnya Allah akan melihat "amalan" seseorang yang dilakukannya, dan bukan melihat pada hasilnya. (Lihat QS. 9 : 105)
6. Perlu mengadakan latihan-latihan untuk sabar secara pribadi. Seperti ketika sedang sendiri dalam rumah, hendaklah dilatih untuk beramal ibadah dari pada menyaksikan televisi misalnya. Kemudian melatih diri untuk menyisihkan sebagian rezeki untuk infaq fi sabilillah, dsb.

7. Membaca-baca kisah-kisah kesabaran para sahabat, tabi'in maupun tokoh-tokoh Islam lainnya. Karena hal ini juga akan menanamkan keteladanan yang patut dicontoh dalam kehidupan nyata di dunia.

Demikianlah sekelumit sketsa mengenai kesabaran. Pada intinya, bahwa sabar mereupakan salah satu sifat dan karakter orang mu'min, yang sesungguhnya sifat ini dapat dimiliki oleh setiap insan. Karena pada dasarnya manusia memiliki potensi untuk mengembangkan sikap sabar ini dalam hidupnya.

Sabar tidak identik dengan kepasrahan dan menyerah pada kondisi yang ada, atau identik dengan keterdzoliman. Justru sabar adalah sebuah sikap aktif, untuk merubah kondisi yang ada, sehingga dapat menjadi lebih baik dan baik lagi. Oleh karena itulah, marilah secara bersama kita berusaha untuk menggapai sikap ini. Insya Allah, Allah akan memberikan jalan bagi hamba-hamba-Nya yang berusaha di jalan-Nya.
no image

Maqam Zuhud

MAQAM ZUHUD

Secara terminologi zuhd ialah mengarahkan keinginan kepada Allah SWT,
menyatukan kemahuan kepadaNya dan sibuk denganNya berbanding kesibukan-kesibukan lainnya agar Allah memerhati dan memimpin seorang zahid (orang yang berperilaku zuhd).25 Al-Junayd al-Baghdadi mengatakan:
“Zuhd adalah ketika tangan tidak memiliki apa-apa pun dan pengosongan hati
daripada cita-cita”. Di sini seorang sufi tidak memiliki sesuatu yang berharga melainkan Tuhan yang dirasakannya dekat dengan dirinya. Sebagaimana juga Yahya ibn Mu`adh menyatakan bahawa zuhd adalah meninggalkan apa yang mudah ditinggalkan.

Seorang sufi meninggalkan harta benda dan kemewahan duniawi untuk
menuju Tuhan yang dicintai. Menurut Imam al-Ghazali bahawa hakikat zuhd
adalah “meninggalkan sesuatu yang dikasihi dan berpaling daripadanya
kepada sesuatu yang lain yang terlebih baik daripadanya kerana menginginkan
sesuatu di dalam akhirat”. Seiring dengan pernyataan al-Ghazali, Ibn
Taymiyyah pula berkata bahawa zuhd itu bererti meninggalkan apa-apa yang
tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat.

Daripada pelbagai pengertian yang dikemukakan tergambar sebuah
kesinambungan pola pemikiran dalam bentuk sedikit berbeza. Namun
demikian zuhd seperti yang dipaparkan boleh menjadi kerangka acuan untuk
menelaah zuhd sebagai salah satu maqam dalam tasawuf. Definisi yang
dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dan Syaikh al-Islam Ibn Taymiyyah
misalnya merupakan penetapan atas pendekatan diri seorang hamba bersama
Tuhan dan hamba melihat sesuatu yang mengandungi nilai signifikan
terhadap ketaatan dirinya untuk kepentingan akhirat. Pernyataan yang agak
berbeza adalah ungkapan al-Junayd al-Baghdadi dan Yahya ibn Mu`adh
serta Ibn Qayyim al-Jawziyyah. Mereka ini lebih memandang zuhd sebagai
satu kepentingan dalam mewujudkan cinta kepada Tuhan kerana Tuhan
bagi seorang zahid adalah harapan untuk mendapatkan Keredaannya. Allah
berfirman yang bermaksud:

“Mereka menjual Yusuf dengan harga murah, beberapa dirham sahaja,
sedang mereka itu orang yang zuhd (kurang suka) kepadanya. (QS.Yusuf:21)

Kandungan zuhd membangkitkan semangat spiritual yang tinggi. Pengabdian
serupa itu membawa zahid kepada ‘ubudiyyah yang sarat dengan muatan
kecintaan dan keredaan daripada Allah. Maka kebiasaannya seorang zahid
menahan jiwanya daripada pelbagai bentuk kenikmatan dan kelazatan hidup
duniawi, menahan daripada dorongan nafsu yang berlebihan agar memperoleh
kebahagiaan yang abadi. Seorang zahid juga mengikis habis nilai yang akan
menghalangnya untuk memperoleh rahmat dan kelazatan hidup di bawah
naungan Tuhan. Kecintaan kepada Tuhan mengalahkan segala alternatif
yang mendorong kepada hubb al-shahwat (cinta untuk menuruti hawa
nafsu). Perasaan naluri memberi kesaksian ke atas kecintaan, kedamaian dan
kebahagiaan hubungan dengan Rabb ketika ia lebih mengutamakan kebenaran
berbandingan dorongan hawa nafsu.

Hasan al-Basri seorang tokoh sufi zaman awal Islam dalam suatu
kesempatan mengatakan: “Jauhilah dunia ini kerana dia sebenarnya sama
dengan ular, licin pada rasa tangan tetapi racunnya membunuh”. Pelbagai
polemik telah terjadi dalam membincangkan kepentingan zuhd. Ada yang
memandangnya sebagai hal yang bersifat ukhrawi sehingga segala aktivitinya
berhubung dengan akhirat sahaja.

Bahkan ada juga yang melihat zuhd sebagaikehidupan faqir dengan memakan makanan kasar (tidak mementingkan kesihatan) atau memakai pakaian kusam dan kasar. Ulama’ salaf seperti Sufyan al-Thawri, Ahmad ibn Hanbal, ‘Isa ibn Yunus dan lain-lainnya menegaskan :

"bahwa zuhd di dunia bererti membatasi angan-angan dan keinginan".

Zuhd sebenarnya bukanlah mengharamkan yang halal atau sebaliknya
juga bukan membenci kekayaan duniawi tetapi ia menjadi perisai agar tidak
terpesong dan menafikan hal-hal yang penting daripada Islam (menyimpang
daripada ajaran Islam yang sebenarnya). Namun demikian persoalan zuhd tetap
menampung perbezaan dalam satu kesatuan yang utuh dengan meletakkan
posisi Rabb pada tempat yang tetap sebagai objek daripada kecintaan dan
harapan keredhaanNya.

Kata zuhud sering disebut-sebut ketika kita mendengar nasehat dan seruan agar mengekang ketamakan terhadap dunia dan mengejar kenikmatannya yang fana dan pasti sirna, dan agar jangan melupakan kehidupan akhirat yang hakiki setelah kematian. Hal ini sebagaimana peringatan Allah tentang kehidupan dunia yang penuh dengan fatamorgana dan berbagai keindahan yang melalaikan dari hakikat kehidupan yang sebenarnya.


Allah berfirman,

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)

Ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang menipu, batil, dan sekadar permainan. Yang dimaksud sekadar permainan adalah sesuatu yang tiada bermanfaat dan melalaikan. Ayat ini juga menunjukkan bahwa dunia adalah perhiasan, dan orang-orang yang terfitnah dengan dunia menjadikannya sebagai perhiasannya dan tempat untuk saling bermegah-megahan dengan kenikmatan yang ada padanya berupa anak-anak, harta-benda, kedudukan dan yang lainnya sehingga lalai dan tidak beramal untuk akhiratnya.

Allah menyerupakan kehancuran dunia dan kefanaannya yang begitu cepat dengan hujan yang turun ke permukaan bumi. Ia menumbuhkan tanaman yang menghijau lalu kemudian berubah menjadi layu, kering dan pada akhirnya mati. Demikianlah kenikmatan dunia, yang pasti pada saatnya akan punah dan binasa. Maka barangsiapa mengambil pelajaran dari permisalan yang disebutkan di atas, akan mengetahui bahwa dunia ibarat es yang semakin lama semakin mencair dan pada akhirnya akan hilang dan sirna. Sedangkan segala apa yang ada di sisi Allah adalah lebih kekal, dan akhirat itu lebih baik dan utama sebagaimana lebih indah dan kekalnya permata dibandingkan dengan es. Apabila seseorang mengetahui dengan yakin akan perbedaan antara dunia dan akhirat dan dapat membandingkan keduanya, maka akan timbul tekad yang kuat untuk menggapai kebahagian dunia akhirat.

Definisi Zuhud

Banyak sekali penjelasan ulama tentang makna zuhud. Umumnya mengarah kepada makna yang hampir sama. Di sini akan disampaikan sebagian dari pendapat tersebut.

Makna secara bahasa:

Zuhud menurut bahasa berarti berpaling dari sesuatu karena hinanya sesuatu tersebut dan karena (seseorang) tidak memerlukannya. Dalam bahasa Arab terdapat ungkapan “syaiun zahidun” yang berarti “sesuatu yang rendah dan hina”.

Makna secara istilah:

Ibnu Taimiyah mengatakan – sebagaimana dinukil oleh muridnya, Ibnu al-Qayyim – bahwa zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat demi kehidupan akhirat.

Dalam pandangan Ibn ‘Aţā’illah, zuhd ada 2 macam, yakni : 1) Zuhd Ẓahir Jalī seperti zuhd dari perbuatan berlebih-lebihan dalam perkara halal, seperti: makanan, pakaian, dan hal lain yang tergolong dalam perhiasan duniawi. 2) Zuhd Bāţin Khafī seperti zuhd dari segala bentuk kepemimpinan, cinta penampilan zahir, dan juga berbagai hal maknawi yang terkait dengan keduniaan”.

Al-Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa zuhud itu bukanlah mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih mempercayai apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Keadaanmu antara ketika tertimpa musibah dan tidak adalah sama saja, sebagaimana sama saja di matamu antara orang yang memujimu dengan yang mencelamu dalam kebenaran.

Di sini zuhud ditafsirkan dengan tiga perkara yang semuanya berkaitan dengan perbuatan hati:
Bagi seorang hamba yang zuhud, apa yang ada di sisi Allah lebih dia percayai daripada apa yang ada di tangannya sendiri. Hal ini timbul dari keyakinannya yang kuat dan lurus terhadap kekuasaan Allah. Abu Hazim az-Zahid pernah ditanya, “Berupa apakah hartamu?” Beliau menjawab, “Dua macam. Aku tidak pernah takut miskin karena percaya kepada Allah, dan tidak pernah mengharapkan apa yang ada di tangan manusia.” Kemudian beliau ditanya lagi, “Engkau tidak takut miskin?” Beliau menjawab, “(Mengapa) aku harus takut miskin, sedangkan Rabb-ku adalah pemilik langit, bumi serta apa yang berada di antara keduanya.”
Apabila terkena musibah, baik itu kehilangan harta, kematian anak atau yang lainnya, dia lebih mengharapkan pahala karenanya daripada mengharapkan kembalinya harta atau anaknya tersebut. Hal ini juga timbul karena keyakinannya yang sempurna kepada Allah.
Baginya orang yang memuji atau yang mencelanya ketika ia berada di atas kebenaran adalah sama saja. Karena kalau seseorang menganggap dunia itu besar, maka dia akan lebih memilih pujian daripada celaan. Hal itu akan mendorongnya untuk meninggalkan kebenaran karena khawatir dicela atau dijauhi (oleh manusia), atau bisa jadi dia melakukan kebatilan karena mengharapkan pujian. Jadi, apabila seorang hamba telah menganggap sama kedudukan antara orang yang memuji atau yang mencelanya, berarti menunjukkan bahwa kedudukan makhluk di hatinya adalah rendah, dan hatinya dipenuhi dengan rasa cinta kepada kebenaran.

Hakekat zuhud itu berada di dalam hati, yaitu dengan keluarnya rasa cinta dan ketamakan terhadap dunia dari hati seorang hamba. Ia jadikan dunia (hanya) di tangannya, sementara hatinya dipenuhi rasa cinta kepada Allah dan akhirat.

Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara total dan menjauhinya. Lihatlah Nabi, teladan bagi orang-orang yang zuhud, beliau mempunyai sembilan istri. Demikian juga Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman, sebagai seorang penguasa mempunyai kekuasaan yang luas sebagaimana yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Para Shahabat, juga mempunyai istri-istri dan harta kekayaan, yang di antara mereka ada yang kaya raya. Semuanya ini tidaklah mengeluarkan mereka dari hakekat zuhud yang sebenarnya.

TINGKATAN ZUHUD
Ada beberapa tingkatan zuhud sesuai dengan keadaan setiap orang yang melakukannya, yaitu:
Berusaha untuk hidup zuhud di dunia; sementara ia menghendaki (dunia tersebut), hati condong kepadanya dan selalu menoleh ke arahnya, akan tetapi ia berusaha melawan dan mencegahnya.
Orang yang meninggalkan dunia dengan suka rela, karena di matanya dunia itu rendah dan hina, meskipun ada kecenderungan kepadanya. Dan ia meninggalkan dunia tersebut (untuk akhirat), bagaikan orang yang meninggalkan uang satu dirham untuk mendapatkan uang dua dirham (maksudnya balasan akhirat itu lebih besar daripada balasan dunia).
Orang yang zuhud dan meninggalkan dunia dengan hati yang lapang. Ia tidak melihat bahwa dirinya meninggalkan sesuatu apapun. Orang seperti ini bagaikan seseorang yang hendak masuk ke istana raja, terhalangi oleh anjing yang menjaga pintu, lalu ia melemparkan sepotong roti ke arah anjing tersebut sehingga membuat anjing tersebut sibuk (dengan roti tadi), dan ia pun dapat masuk (ke istana) untuk menemui sang Raja dan mendapatkan kedekatan darinya. Anjing di sini diumpamakan sebagai syaitan yang berdiri di depan pintu (kerajaan/surga) Allah, yang menghalangi manusia untuk masuk ke dalamnya, sementara pintu tersebut dalam keadaan terbuka. Adapun roti diumpamakan sebagai dunia, maka barangsiapa meninggalkannya niscaya akan memperoleh kedekatan dari Allah.

Untuk mengkaji makna zuhud, dapat dibedakan kepada tiga peringkat
yang meliputi:

1. Zuhd dalam shubhat setelah meninggalkan yang haram kerana tidak
menyukai celaan di mata Allah, tidak suka kepada kekurangan dan
tidak suka bergabung dengan orang-orang fasiq. Zuhd dalam shubhat
bermakna meninggalkan hal-hal yang meragukan, apakah sesuatu
itu halal atau haram dalam pandangan zahid. Contohnya, shubhat
merupakan pembatas seperti kematian dan kehidupan sesudahnya
yang menjadi pembatas antara dunia dan akhirat, kederhakaan yang
menjadi pembatas antara iman dan kufur;

2. Zuhd dalam perkara-perkara yang berlebihan iaitu sesuatu yang lebih
daripada kelaziman dengan melepaskan kerisauan hati dan dengan
mencontohi para nabi dan siddiqin. Contohnya teladan doa dalam
aspek makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan lain-lainnya.
Jika sufi memenuhi teladan ini untuk menambah kekuatan dalam
melakukan hal yang dicintai dan diredai Allah dan menjauhi yang
dimurkaiNya, maka itu dinamakan sebagai mengisi waktu sekalipun
dia mendapat kenikmatan kerana menggunakan hal tersebut

3. Zuhd dalam zuhd yang dapat dilakukan dengan tiga cara iaitu
menghina perbuatan zuhd, menyeimbangkan keadaan ketika
mendapat dan meninggalkan sesuatu dan ingin memperoleh balasan.
Orang yang memenuhi hatinya dengan kecintaan kepada Allah
tidak layak melihat keduniaan yang ditinggalkannya sebagai suatu
pengorbanan. Sebagaimana seorang sufi, oleh kerana kecintaannya
kepada Allah, maka seorang ahli sufi beribadah dan meninggalkan
perkara-perkara lain seperti kepentingan dan kemewahan dunia
dengan tujuan untuk mencapai kecintaan Allah Ta’ala

Imam Al-Ghazali memberikan tiga tips cara zuhud, yakni : Pertama, memaksa diri untuk mengendalikan hawa nafsunya. Kedua, sukarela meninggalkan pesona dunia karena dipandang kurang penting. Ketiga, tidak merasakan zuhud sebagai beban, karena dunia dipandang bukan apa-apa bagi dirinya.

Sementara itu, Ibrahim bin Adham pernah ditanya seorang lelaki, “Bagaimana cara engkau mencapai derajat orang zuhud?” Ibrahim menjawab,”Dengan tiga hal, pertama, aku melihat kuburan itu sunyi dan menakutkan, sedang aku tidak menemukan orang yang dapat menentramkan hatiku di sana. Kedua, aku melihat perjalanan hidup menuju akherat itu amat jauh, sedang aku tidak memiliki cukup bekal. Ketiga, aku melihat Rabb Yang Maha Kuasa menetapkan satu keputusan atasku, sedang aku tidak punya alasan untuk menolak keputusan itu.” (Abu Ishak Ibrahim bin Adham Al Balkhi)

Hakikat zuhud adalah menyingkirkan apa apa yang semestinya disenangi dan diinginkan oleh hati, karena yakin ada sesuatu yang lebih baik untuk meraih derajat yang tinggi di sisi ALLAH.

Syeikh Abdul Samad Al Palimbani mengatakan bahwa ada rukun kezuhudan.

1. Meninggalkan sesuatu karena menginginkan sesuatu yang lebih baik lagi
2. Meninggalkan keduniaan karena mengharapkan akhirat.
3. Meninggalkan segala sesuatu selain ALLAH karena mencintainya.

Sebagai contoh untuk zuhud tingkat ini, ada satu kisah seorang sahabat Nabi ternama, Haritsah. Nabi SAW bertanya "Bagaimana kamu hari ini, wahai Haritsah?"

Dia menjawab, "Aku sungguh beriman, ya Rasulullah."

"Apa buktinya?" Tanya Nabi. Dia menjawab, "Aku telah memalingkan jiwaku dari dunia ini. Itulah sebabnya di siang hari aku haus dan di malam hari kau terjaga, dan rasa rasanya aku melihat Arasy Tuhanku menghampiriku, dan para penghuni surga sedang bersuka ria dan para penghuni neraka sedang menangis. "Nabi SAW bersabda," itulah seorang mukmin yang hatinya telah dibukakan ALLAH. Kau telah tahu Haritsah, maka jangan lupa. "

Imam Ahmad Ibnu Hambal mengklasifikasikan tingkatan zuhud yakni: -
1. Zuhudnya orang sipil adalah meninggalkan hal hal yang haram
2. Zuhud orang orang yang khawas (khusus) yaitu meninggalkan hal yang berlebih lebihan (al fudhul) meskipun barang halal.
3. Zuhud orang Arif yaitu meninggalkan segala sesuatu yang dapat memalingkan dari mengingat ALLAH.

Al Imam Ghazali pula membagi zuhud atas tiga tingkat yakni: -

1. Tingkat terendah adalah menjauhkan dunia agar terhindar dari hukuman di akhirat
2. Tingkat kedua adalah mereka yang menjauhi dunia karena ingin mendapatkan imbalan di akhirat
3. Tingkat tertinggi adalah zuhud yang ditempuh bukan lagi karena takut atau harap, tapi semata mata karena cinta kepada ALLAH Ta'ala.

Menurut Syeikh Abdus Samad Al Palimbani, proses kehidupan zuhud itu ada 3 tingkat: -

1. Zuhud Awal
2. Zuhud Menengah
3. Zuhud tingkat Terakhir (muntahi)

Pada semua tingkat proses kezuhudan tersebut baik di tingkat awal maupun akhir, para zahid harus membentengi dirinya dengan sifat2 wara 'atau wira / I yaitu menjaga diri dari hal hal yang haram dan hal hal subahat serta segala sesuatu yang meragukan

Tingkat Pertama

Zuhud awal (mubtadi ') adalah kezuhudan seseorang yang dalam hatinya masih ada rasa cinta kepada keduniaan, namun demikian dia bersungguh sungguh melawan hawa nafsunya. Maka, pada tingkat awal inilah seorang zahid harus melatih diri untuk bersikap wara '. Wara 'bagi zahid pemula dapat diartikan sebagai sifat dan sikap hidup seseorang yang selalu meninggalkan hal hal subahat yaitu segala sesuatu yang belum jelas hala, atau haram. Sebagaimana di terangkan dalam hadis Nabi SAW

"Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Tapi di antara keduanya ada hal yang masih Samara Samara (subahat). Mengambil yang subahat dapat menyebabkan kita jatuh ke dalam larangan Tuhan "

Tingkat Kedua

Zuhud orang yang hatinya sudah meninggalkan dunia, hatinya tidak lagi tertarik kepada dunia. Pada tahap ini orang orang zahid dituntut meningkatkan sikap wara'nya ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu wira'I yang biasa diartikan sebagai sikap hidup meninggalkan segala sesuatu yang meragukan dalam hati, sebagaimana sabda Nabi SAW

"Tinggalkan apa yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukan"

Ini karena keraguan itu merupakan bagian dari angkara setan agar manusia menjadi was was atau syak. Nabi SAW juga pernah mengingatkan, bahwa hakikat dosa sesungguhnya terletak pada apa yang diragukan oleh hati nurani. Karena itu ia mengajarkan manusia agar selalu bertanya dan minta pertimbangan pada hati nuraninya yang benar.

Berdasarkan dua tahap proses kezuhudan tersebut di atas, seorang zahid dapat naik ke tingkat zuhud yang paling tinggi nilainya yaitu zuhud muntahi; zuhudnya golongan orang yang sudah makrifatullah (arifin). Bagi mereka, dunia dan segala isinya ini sudah tidak ada nilainya lagi sehingga segenap hati dan pikiran mereka sudah menghadap ke akhirat. Maka zahid pada tingkat yang tertinggi ini memilikki cirri cirri ruhaniah amat tinggi maqamnya. Hatinya tidak lagi bersuka ria karena memperoleh sesuatu dan tidak pula bersedih karena kehilangan sesuatu; orang yang memujinya, dan orang yang mencelanya dianggap sama saja, dan dia selalu merasa dekat dengan Tuhan dan merasakan nikmatnya ibadah.

Seiring dengan tingkat kezuhudan yang dicapai oleh para zahid muntahi ini, maka sifat sifat wira'I yang dimilikki mereka pun merupakan nilai nilai hakiki yang tinggi. Mereka menjalani wira'I dalam arti meninggalkan segala sesuatu yang dapat membuat seseorang lalai dan lupa kepada ALLAH walau sekejap saja dianggap sebagai dosa. Inilah puncak hakikat zuhud dan wira'I yang sesungguhnya.

Zuhud tingkat pertama adalah kalangan orang awam, zuhud tingkat kedua adalah dikalangan para Salik yang saleh dan tingkat terakhir ini hanya dapat dimilikki oleh orang orang yang lebih khusus atau khawas al khawas yaitu para Sufi sebagai orang orang yang arif bijaksana

HAL YANG MENDORONG HIDUP ZUHUD

Hal yang dapat membangkitkan maqām zuhd adalah dengan merenung (ta’ammul). Jika seorang sālik benar-benar merenungkan dunia ini, maka dia akan mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi yang selain Allah, dia akan mendapatinya hanya berisikan kesedihan, kesusahan dan kekeruhan. Jikalau sudah demikian, maka sālik akan zuhd terhadap dunia. Dia tidak akan terbuai dengan segala bentuk keindahan dunia yang menipu.

Adapun hal-hal yang mendorong seseorang hidup zuhud :
1. Keimanan yang kuat dan selalu ingat bagaimana ia berdiri di hadapan Allah pada hari kiamat guna mempertanggung-jawabkan segala amalnya, yang besar maupun yang kecil, yang tampak ataupun yang tersembunyi. Ingat! betapa dahsyatnya peristiwa datangnya hari kiamat kelak. Hal itu akan membuat kecintaannya terhadap dunia dan kelezatannya menjadi hilang dalam hatinya, kemudian meninggalkannya dan merasa cukup dengan hidup sederhana.

2. Merasakan bahwa dunia itu membuat hati terganggu dalam berhubungan dengan Allah, dan membuat seseorang merasa jauh dari kedudukan yang tinggi di akhirat kelak, dimana dia akan ditanya tentang kenikmatan dunia yang telah ia peroleh, sebagaimana firman Allah,

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takaatsur: 6)

Perasaan seperti ini akan mendorong seorang hamba untuk hidup zuhud.

3. Dunia hanya akan didapatkan dengan susah payah dan kerja keras, mengorbankan tenaga dan pikiran yang sangat banyak, dan kadang-kadang terpaksa harus bergaul dengan orang-orang yang berperangai jahat dan buruk. Berbeda halnya jika menyibukkan diri dengan berbagai macam ibadah; jiwa menjadi tentram dan hati merasa sejuk, menerima takdir Allah dengan tulus dan sabar, ditambah akan menerima balasan di akhirat. Dua hal di atas jelas berbeda dan (setiap orang) tentu akan memilih yang lebih baik dan kekal.

4. Merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an yang banyak menyebutkan tentang kehinaan dan kerendahan dunia serta kenikmatannya yang menipu (manusia). Dunia hanyalah tipu daya, permainaan dan kesia-siaan belaka. Allah mencela orang-orang yang mengutamakan kehidupan dunia yang fana ini daripada kehidupan akhirat, sebagaimana dalam firman-Nya,

“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Naaziat: 37-39)

Dalam ayat yang lainnya Allah berfirman,

“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’laa: 16-17)

Semua dalil-dalil, baik dari Al-Qur’an maupun as-Sunnah, mendorong seorang yang beriman untuk tidak terlalu bergantung kepada dunia dan lebih mengharapkan akhirat yang lebih baik dan lebih kekal.

Maqām zuhd tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih terdapat rasa cinta kepada dunia, dan rasa hasud kepada manusia yang diberi kenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibn ‘Aţā’illah: ”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau hasud kepada mereka yang diberi kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk dengan memikirkan kenikmatan dunia yang diberikan kepada mereka, maka engkau lebih bodoh daripada mereka. Karena mereka hanya disibukkan dengan kenikmatan yang mereka dapatkan, sedangkan engkau disibukkan dengan apa yang tidak engkau dapatkan”.

Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.

ZUHUD YANG BERMANFAAT DAN SESUAI SYARIAT

Zuhud yang disyariatkan dan bermanfaat bagi orang yang menjalaninya adalah zuhud yang dicintai oleh Allah dan rasul-Nya, yaitu meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat demi menggapai kehidupan akhirat. Adapun sesuatu yang memberi manfaat bagi kehidupan akhirat dan membantu untuk menggapainya, maka termasuk salah satu jenis ibadah dan ketaatan. Sehingga berpaling dari sesuatu yang bermanfaat merupakan kejahilan dan kesesatan sebagaimana sabda Nabi,

“Carilah apa yang bermanfaat bagi dirimu dan mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah.” (HR. Muslim hadits no. 4816)

Yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah beribadah kepada Allah, menjalankan ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya. Dan semua yang menghalangi hal ini adalah perkara yang mendatangkan kemudharatan dan tidak bermanfaat. Yang paling berguna bagi seorang hamba adalah mengikhlaskan seluruh amalnya karena Allah. Orang yang tidak memperhatikan segala yang dicintai dan dibenci oleh Allah dan rasul-Nya akan banyak menyia-nyiakan kewajiban dan jatuh ke dalam perkara yang diharamkan; meninggalkan sesuatu yang merupakan kebutuhannya seperti makan dan minum; memakan sesuatu yang dapat merusak akalnya sehingga tidak mampu menjalankan kewajiban; meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar; meningalkan jihad di jalan Allah karena dianggap mengganggu dan merugikan orang lain. Pada akhirnya, orang-orang kafir dan orang-orang jahat mampu menguasai negeri mereka dikarenakan meninggalkan jihad dan amar ma’ruf -tanpa ada maslahat yang nyata-.

Allah berfirman,

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, ‘Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.’” (QS. Al-Baqarah: 217)

Allah menjelaskan dalam ayat ini, walaupun membunuh jiwa itu merupakan keburukan, akan tetapi fitnah yang ditimbulkan oleh kekufuran, kezaliman dan berkuasanya mereka (orang-orang kafir) lebih berbahaya dari membunuh jiwa. Sehingga menghindari keburukan yang lebih besar dengan melakukan keburukan yang lebih ringan adalah lebih diutamakan. Seumpama orang yang tidak mau menyembelih hewan dengan dalih bahwa perbuatan tersebut termasuk aniaya terhadap hewan. Orang seperti ini adalah jahil, karena hewan tersebut pasti akan mati. Disembelihnya hewan tersebut untuk kepentingan manusia adalah lebih baik daripada mati tanpa mendatangkan manfaat bagi seorang pun. Manusia lebih sempurna dari hewan, dan suatu kebaikan tidak mungkin bisa sempurna untuk manusia kecuali dengan memanfaatkannya, baik untuk dimakan, dijadikan sebagai kendaraan atau yang lainya. Yang dilarang oleh Nabi adalah menyiksanya dan tidak menunaikan hak-haknya yang telah tetapkan oleh Allah.

Nabi bersabda,

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat baik atas segala sesuatu, maka jikalau kalian membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kalian menyembelih maka sembelihlah dengan baik, hendaklah salah seorang diantara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim hadits no. 3615)

KHILAFIAH ZUHUD

Zuhud yang menyelisihi Sunnah tidak ada kebaikan sama sekali di dalamnya. Karena ia menganiaya hati dan membutakannya, membuat agama menjadi buruk dan hilang nilai-nilai kebaikannya yang diridhai oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya, menjauhkan manusia dari agama Allah, menghancurkan peradaban, dan memberi kesempatan bagi musuh-musuh Islam untuk menguasai mereka; merendahkan kemuliaan seseorang serta menjadikan seorang hamba menyembah kepada selain Allah. Berikut ini beberapa perkataan para penyeru zuhud yang menyelisihi petunjuk Nabi.

Perkataan Junaid, salah seorang penyeru zuhud yang menyelisihi syariat, “Saya senang kalau seorang pemula dalam kezuhudan tidak menyibukkan diri dengan tiga perkara agar tidak berubah keadaannya, yaitu bekerja untuk mendapatkan rezeki, menuntut ilmu hadist, dan menikah. Dan lebih aku senangi jika seorang sufi tidak membaca dan menulis agar niatnya lebih terarah.” (Kitab Qutul-Qulub 3/135, kitab karya Junaid).

Perkataan Abu Sulaiman ad-Darani, “Jika seseorang telah menuntut ilmu, pergi mencari rezeki atau menikah, maka dia telah bersandar kepada dunia.” (Kitab Al-Futuhat Al-Makiyah, 1/37).

Padahal telah dimaklumi bahwa semua peradaban di dunia ini tidak mungkin tegak dan berkembang kecuali dengan tiga perkara, yaitu dengan bekerja, mencari ilmu, dan menikah demi meneruskan keturunan manusia. Rasulullah sendiri telah memerintahkan kita bekerja mencari rezeki sebagaimana dalam sabda beliau,

“Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik daripada hasil kerja tangannya sendiri. Sesungguhnya nabi Allah, Dawud, makan dari hasil kerja tangannya.” (HR. Bukhari, III/8 hadits no. 1930)

Dan Rasulullah telah memerintahkan umatnya untuk menikah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mempunyai kemampuan (lahir dan batin) untuk menikah, maka hendaklah dia menikah. Sesungguhnya pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan. Sedangkan untuk yang tidak mampu, hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat menjaganya (yaitu benteng nafsu).” (HR. Bukhari, VI/117)

Beliau juga memerintahkan kaum muslimin menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun dunia, sebagaimana sabdanya,

“Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim.” (Ibnu Majah hadits no. 220. Hadist Sahih, lihat Kitab Al-Jami’ As-Shahih no. 3808 karya Al-Bani)

Wajib di sini adalah dalam menuntut ilmu agama. Adapun ilmu duniawi, tidak ada seorang pun yang berselisih tentang pentingnya ilmu tersebut, baik berupa ilmu kesehatan, ilmu perencanaan maupun ilmu lainnya yang manusia tidak mungkin terlepas darinya. Terpuruknya kaum muslimin ke dalam jurang kehinaan dan kemunduran pada masa sekarang ini tidak lain akibat kelalaian mereka dalam menuntut ilmu agama yang benar, merasa cukup dengan ilmu duniawi yang mereka ambil dari musuh-musuh mereka dalam berbagai macam aspek kehidupan, baik yang besar maupun yang kecil, banyak maupun sedikit, yang semuanya berujung kepada kebinasaan, hilangnya agama, akhlak, dan hal-hal utama lainnya.

Bukanlah yang disebut Zuhud itu meninggalkan harta, tetapi yang disebut zuhud itu meninggalkan dunia karena tahu kerusakannya dan berpaling pada akhirat yang kekal. Firman ALLAH SWT: “Apa-apa yang di sisimu akan sirna, dan apa yang disisi ALLAH kan kekal” (QS An-Nahl 16/96). Berkata al-Fudhail: ALLAH menciptakan keburukan dalam satu rumah dan menjadikan cinta dunia sebagai kuncinya, dan ALLAH menciptakan kebaikan dalam satu rumah dan menjadikan Zuhud sebagai kuncinya.

Tingkatan Zuhud ada 3, yakni :
1. Tingkat Pertama adalah orang yang berusaha untuk Zuhud terhadap dunia dan ia merasa berat, tetapi ia terus berusaha sekuat tenaga, orang ini disebut sebagai mutazahhid dan ini tingkatan yang terendah.
2. Tingkat Kedua adalah ia telah mampu zuhud dengan sukarela tanpa harus menguras kemampuan, tetapi ia dapat melihat kezuhudannya dan dapat merasakan bahwa ia telah meninggalkan dunia dan merasa senang karenanya.
3. Sementara derajat ketiga dan yang tertinggi adalah yang zuhud dengan mudah, dan ia sudah demikian zuhud sehingga merasa biasa saja dengan kezuhudannya karena ia sudah merasa bahwa dunia itu tidak ada nilainya sedikitpun, maka jadilah ia seperti orang yang membuang kotoran dan pergi tanpa menoleh ataupun mengingat lagi, padahal dunia jika dibandingkan dengan sampah masih lebih hina lagi nilainya

Zuhud dilakukan terhadap berbagai hal sbb:

1. Zuhud terhadap makanan, dalam hadits Nabi SAW disebutkan kata A’isyah ra kepada keponakannya ‘Urwah: “Telah berlalu atas kami bulan baru, bulan baru, bulan baru (3 bulan) sementara tidak pernah menyala api di dapur rumah Nabi SAW dan keluarganya, maka ditanyakan oleh ‘Urwah: Wahai bibinda maka dengan apa kalian makan? Dijawab: Dengan air dan kurma.” (HR Bukhari 8/121 dan Muslim 8/217)

2. Zuhud terhadap pakaian, diriwayatkan dari Abi Bardah: “Telah keluar A’isyah ra pada kami membawa sehelai selendang kasar dan selembar kain keras sambil berkata: Telah dibungkus jasad Nabi SAW dengan kain seperti ini.” (HR Bukhari 7/195, Muslim 6/145, Abu Daud 4036 dan Turmudzi 1733) Dan berkata Al-Hasan ra: Umar ra pernah berkhutbah saat ia menjabat presiden sementara di bajunya aku hitung ada 12 bekas jahitan.

3. Zuhud terhadap tempat tinggal, dalam hadits disebutkan: “Seorang muslim diberi pahala dari semua harta yang dinafkahkannya, kecuali dari apa yang dibuatnya dari tanah ini (bangunan).” (HR Ibnu Maajah 4163), berkata al-Hasan ra: Aku jika memasuki rumah Nabi SAW, maka kepalaku menyentuh atap daun kurmanya.

4. Zuhud dalam alat rumah tangga, dalam hadits disebutkan kata Umar ra: “Saya masuk ke dalam rumah Nabi SAW, sedang ia bertelekan pada sebuah tikar kasar sehingga berbekas pada tubuhnya, maka aku melihat pada perabotannya hanya kulihat segenggam tepung sebanyak 1 sha’.” (HR Bukhari 7/38, Muslim 4/189, 191)

Zuhud yang terbaik menurut Ibnul Mubarak adalah yang menyembunyikan kezuhudannya dari manusia, ciri-cirinya adalah:

1. Ia tidak merasa senang dengan adanya sesuatu dan tidak merasa sedih dengan ketiadaannya, sebagaimana firman ALLAH SWT: “Agar engkau tidak berputus asa atas apa yang hilang darimu dan merasa senang dengan apa yang ada padamu.” (QS al-Hadiid 23) Dan inilah zuhud dalam harta.

2. Sama baginya dicela atau dipuji, ini merupakan tanda zuhud terhadap kedudukan.

3. Sangat dekat ia dengan ALLAH, dan hatinya dikuasai kelezatan taat pada ALLAH SWT.

Ketahuilah bahwa antara cinta pada ALLAH dengan cinta pada dunia sebagaimana air dengan udara dalam sebuah bejana, jika air masuk maka udara akan keluar dari bejana itu sebanyak air yang masuk, maka ada bejana yang dipenuhi air, 2/3 nya, 1/2 nya, dan seterusnya sampai ada yang kosong sama sekali dari air. Maka dimanakah letak hatimu ?!


Khatimah

Sebagai penutup tulisan ini, marilah kita lihat bagaimana kehidupan generasi pertama dan terbaik dari umat ini, generasi sahabat yang hidup di bawah naungan wahyu Ilahi dan didikan Nabi. Salah seorang tokoh generasi tabi’in, Imam al-Hasan al-Bashri berkata, “Aku telah menjumpai suatu kaum dan berteman dengan mereka. Tidaklah mereka itu merasa gembira karena sesuatu yang mereka dapatkan dari perkara dunia, juga tidak bersedih dengan hilangnya sesuatu itu. Dunia di mata mereka lebih hina daripada tanah. Salah seorang di antara mereka hidup satu atau dua tahun dengan baju yang tidak pernah terlipat, tidak pernah meletakkan panci di atas perapian, tidak pernah meletakkan sesuatu antara badan mereka dengan tanah (beralas) dan tidak pernah memerintahkan orang lain membuatkan makanan untuk mereka. Bila malam tiba, mereka berdiri di atas kaki mereka, meletakkan wajah-wajah mereka dalam sujud dengan air mata bercucuran di pipi-pipi mereka dan bermunajat kepada Allah agar melepaskan diri mereka dari perbudakan dunia. Ketika beramal kebaikan, mereka bersungguh-sungguh dengan memohon kepada Allah untuk menerimanya. Apabila berbuat keburukan, mereka bersedih dan bersegera meminta ampunan kepada Allah. Mereka senantiasa dalam keadaan demikian. Demi Allah, tidaklah mereka itu selamat dari dosa kecuali dengan ampunan Allah. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada mereka.”

Wallahu A’lam.
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net