• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Rabu, 15 Januari 2014
no image

Makalah Ulumul Qur’an

al quran
“Qiro’atul Qur’an”
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Qira’at al-Qur’an disampaikan serta diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. kepada para sahabatnya sesuai dengan wahyu yang diterimanya dari malaikat Jibril. Selanjutnya para sahabat menyampaikan dan mengajarkan kepada para tabi’in dan para tabi’in pun menyampaikan serta mengajarkannya kepada para tabi’ tabi’in dan demikian seterusnya dari generasi ke genarisi berikutnya. Qira’at al-Qur’an yang dikenal dan dipelajari oleh kaum muslimin sejak zaman Nabi hingga sekarang ternyata tidak hanya satu macam versi qira’at sebagaimana yang terbaca dalam mushaf yang dimiliki umat Islam sekarang.
 Qira’at memiliki  berabagi versi qira’at lain yang juga bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Sehinggga permasalahan perbedaan qira’at ini menjadi pembicaraan sebagian masyarakat Islam.Berbagai macam cara baca al-Quran diajarkan kepada masyarakat Islam sahabat-sahabat besar seperti Abdullah bin Masud, Ubai bin Ka’ab, Abu Darda’, dan Zaid bin Tsabit adalah generasi pertama. Abdullah bin Abbas, Abdul Aswad Dualli, Al-Qomah bin Qois, Abdullah bin Said, Aswad bin Yazid, Abu Abdirrahman Sulami dan Masruq bin Ajda’ adalah generasi kedua. Hingga kemudian mereka melahirkan generasi ketiga sampai kedelapan. Sejak saat itulah penyusunan qira’at dimulai dan setelah itu tujuh orang qari’ ditentukan
Qira’at merupakan cabang ilmu tersendiri dalam ulum al-Qur’an. Tidak banyak orang yang tertarik dengan ilmu qira’at hal itu dikarenakan ilmu ini memang tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari tidak seperti ilmu fiqih, hadits, dan tafsir. Ilmu Qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu. Namun, ilmu qira’at mempelajari manhaj (cara, metode) masing-masing imam qurra’ sab’ah atau ‘asyaroh dalam membaca al-Qur’an.
Dalam kita membaca  al-Qur’an dalam satu qira’at diperlukan penguasaan cara membaca al-Qur’an dan penguasaan dalam pengucapan lafadz-lafadz tertentu dalam al-Qur’an secara bersamaan. Karen jika hanya menguasai salah satunya saja kemudian membaca al-Qur’an dengan Qira’at tertentu akan kacau jadinya. Biasanya orang yang membaca dengan qira’at syaratnya harus berguru langsung dengan syeikh qira’at untuk menghindari terjadinya kesalahan.
      
1.2.       Rumusan Masalah
a.         Pengertian qira’at al-qur’an ?
b.         Latar belakang timbulnya perbedaan qira’at ?
c.          Macam qira’at Al-Qur’an ?
d.         Urgensi mempelajari qira’at
e.         Pengaruhnya dalam penetapan (istinbath) hukum islam ?
1.3.       Tujuan Penulisan
Sebagai bentuk pengetahuan tentang qira’ay dalam al-qur’an dan mengetahui macam-macam serta pengaruh qira’at dalam huku islam.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1.    Pengertian Qira’at Al-Qur’an
Qira’at adalah bentuk jamak dari kata qira’ah yang secara bahasa berarti bacaan. Jadi, lafal qiro’at secara lughawi berarti beberapa pembacaan. Secara istilah ada beberapa pendapat tentang definisi tersebut, yaitu:
a.         Menurut Az-Zarqani, qira’at adalah suatu mazhab  yang dianut oleh seorang imam yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al karim serta disepakati riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan dalam pengucapan huruf maupun dalam pengucapan lafalnya.
Definisi ini mengandung tiga unsure pokok. Pertama qira’at dimaksud menyangkut bacaan ayat-ayat. Kedua cara bacaan yang dianut dalam dalam satu mazhab qira’at didasarkan atas riwayat dan bukan atas qiyas dan ijtihad. Ketiga perbedaan qira’at bias terjadi dalam pelafalan huruf dan dalam berbagai keadaan.
Ini sesuai dengan hadis nabi SAW. yang artinya:
sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf (cara bacanya) maka bacalah (menurut) makna yang engkau anggap mudah
b.        Menurut Ibnu Al-Jazari, qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat al-Qur’an dengan membangsakan kepada penukilnya.
2.2.    Latar Belakang Timbulnya perbedaan Qira’at
Al-qur’an memiliki makna sebagai bacaan, namun dalam perihal membaca al-qur’an ini memiliki kesukaran pada setiap pembaca dalam keadaan. Dengan demikian timbulah ilmu qira’at yang mana qira’at sebenarnya telah muncul semenjak Nabi SAW masih ada walaupun tentu saja pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi diatas :
Pertama : Suatu ketika ’Umar bin Al-Khaththab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca ayat al-Qur’an. ’Umar tidak puas terhaap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat Al-Furqan. Menurut ’Umar, bacaan Hisyam tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya juga berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi seraya melaporkan peristiwa diatas. Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi bersabda :”Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan, Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu”
Kedua : Di dalam riwayatnya, Ubai pernah bercerita : ”Saya masuk ke Masjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang dan membaca surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya. Setelah selesai, saya bertanya, ”Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?” Ia menjawab, ”Rasulullah SAW”. Kemudian, datanglah seseorang yang mengerjakan shalat dengan membaca permulaan surat An-Nahl [16], tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya dan bacaan teman tadi. Setelah shalatnya selesai, saya bertanya,” Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu ? ”Ia menjawab, ”Rasulullah SAW”. Kedua orang itu lalu saya ajak menghadap Nabi. Setelah saya sampaikan masalah ini kepada Nabi, beliau meminta salah satu dari kedua orang itu membacakannya lagi surat itu. Setelah bacaannya selesai, Nabi bersabda, Baik. Kemudian, Nabi meminta kepada yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun menjawabnya baik”.
Selanjutnya periodesasi qurra’ adalah sejak zaman sahabat sampai dengan masa tabi’in. Orang-orang yang menguasai Al-Qur’an ialah yang menerimanya dari orang-orang yang dipercaya dan dari imam ke imam yang akhirnya berasal dari Nabi. Sedangkan mushaf-mushaf tersebut tidaklah bertitik dan berbaris, dan bentuk kalimat didalamnya mempunyai beberapa kemungkinan berbagai bacaan. Kalau tidak, maka kalimat itu harus ditulis pada mushaf dengan satu wajah yang lain dan begitulah seterusnya. Tidaklah diragukan lagi bahwa penguasaan tentang riwayat dan penerimaan merupakan pedoman dasar dalam bab qira’ah dan Al-Qur’an. Kalangan sahabat sendiri dalam pengambilannya dari Rasul menggunakan sara berbeda-beda. Ada yang membaca dengan satu huruf. Bahkan, ada yang lebih dari itu. Kemudian mereka tersebar keseluruh penjuru daerah.
Kebijakan Abu Bakar Siddiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain selain yang telah disusun Zaib bin Tsabit, seperti mushaf yang dimiliki Ibn Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Miqdad bin amar, Ubay bin Ka’ab, dan Ali bin Abi Thalib, mempunyai andil besar dalam kemunculan qiraat yang kian beragam. Perlu dicatat bahwa mushaf-mushaf itu tidak berbeda dengan yang disusun Zaid bin Tsabit dan kawan-kawannya, kecualai pada dua hal saja, yaitu kronologi surat dan sebagian bacaan yang merupakan penafsiran yang ditulis dengan lahjah tersendiri karena mushaf-mushaf itu merupakan catatan pribadi mereka masing-masing.
Adanya mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari’ ke berbagai penjuru, pada gilirannya melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni timbulnya qiraat yang semakin beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan Arabin sehingga pada akhirnya perbedaan qiraat itu sudah pada kondisi sebagaimana yang disaksikan Hudzaifah Al-Yamamah dan yang kemudian dilaporkannya kepada ’Utsman.
Ketika mengirim mushaf-mushaf  keseluruh penjuru kota, khalifah Utsman r.a. mengirimkan pula para sahabat yang memiliki cara membaca tersendiri dengan masing-masing mushaf yang diturunkan. Setelah para sahabat berpencar keseluruh daerah dengan bacaan yang berbeda itu, para tabi’in mengikuti mereka dalam hal bacaan yang dibawa oleh para sahabat tersebut. Dengan demikian, beraneka-ragamlah pengambilan para tabi’in, sehingga masalah ini menimbulkan imam-imam Qari’ yang masyhur yang berkecimpung didalamnya, dan mencurahkan segalanya untuk qiraat dengan memberi tanda-tanda serta menyebarluaskannya.
Tatkala para qori pada masa tabi’iin yaitu pada awal abad II H tersebar ke berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qiraat imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan turun-temurun dari guru ke guru, sehingga sampai kepada imam-imam qira’at, baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.
Imam-Imam qira’at bekerja keras sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga  bisa   membedakan  antara bacaan  yang  benar dan yang salah.
Mereka mengumpulkan qira’at, mengembangkan wajah-wajah dan dirayah. Sesudah itu para Imam menyusun kitab-kitab mengenai qira’at. Orang pertama kali menyusun qira’at dalam satu kitab adalah Abu Ubaidillah al-Qasim bin Salam. Ia telah mengumpulkan qiraat sebanyak kurang lebih 25 Macam. Kemudian menyusul imam-imam lainnya. Diantara mereka, ada yang menetapkan 20 macam. Ada pula yang menetapkan dibawah bilangan itu. Persoalan qiro’at terus berkembang sampai masa Abu Bakar Ahmad bin Abbas bin Mujahid yang terkenal dengan nama ibn Mujahid. Dialah orang yang meringkas menjadi tujuh macam qira’at yang disesuai dengan tujuh imam qori’. Berkat jasanya dapat diketahui mana qira’at yang dapat diterima dan mana yang ditolak.
2.3.    Macam-Macam Qira’at Al-Qur’an
Di dalam ilmu qira’at ada macam-macamnya ,dilihat dari segi kuantitas qira’at terbagi menjadi tiga macam yaitu:
a.         Qira’at sab’ah (qir’at tujuh) adalah imam-imam qira’at yang tujuh yakni Abdullah bin Katsir Ad-Dari, Nafi’ bin ‘Abdurrahman bin Abu Na’im, Abdullah Al-Yahshibi, Abu ‘Amar, Ya’qub (nama lengkapnya Ibn Ishak Al-Hadhrami), Hamzah, dan Ashim.
b.        Qira’at ‘Asyarah (qira’at sepuluh) adalah qira’at tujuh yang telah disebutkan di atas ditambah lagi dengan tiga imam qira’at berikut yakni Abu Ja’far, Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin ‘Abdullah bin Abu Ishaq      Al-Hadhrami Al-Basri, dan Khallaf bin Hisam.
c.         Qira’at Arba’at Asyarah (qira’at empat belas) adalah qira’at sepuluh yang telah disebutkan diatas di tambah dengan empat imam qira’at berikut yakni Al-Hasan Al-Bashri, Muhammad bin ‘Abdirrahman (dikenal dengan Ibn Mahishan), Yahya’ bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi    Al-Baghdadi, dan Abu Al-Farj Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz.
Dilihat dari segi kualitasnya, qira’at terbagi menjadi enam macam yaitu:
a.         Qira’ah Mutawatir yakni qiraa’at yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta, sanadnya bersambung hingga penghabisan yakni sampai kepada Rasululllah saw. inilah yang umum dalam hal qira’at.
b.        Qira’ah Masyhur yakni qira’at yang memiliki sanad shahih tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf  Utsmani, masyhur dikalangan qurra’, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari, dan tidak termasuk qira’ah yang keliru dan menyimpang. Para ulama menyebutkan bahwa qira’at macam ini termasuk qira’at yang dapat diamalkan bacaannya.
c.         Qira’ah Ahad yakni qira’at yang memiliki sanad shahih tetapi menyalahi tulisan mushaf  Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak masyhur dikalangan qurra’ sebagaimana qira’at mutawatir dan qira’at masyhur. Qira’at macam ini tidak boleh dibaca dan tidak wajib meyakininya.
d.        Qira’ah Syadz (menyimpang) yakni qira’at yang sanadnya tidak shohih.
e.         Qira’at Maudhu’ (palsu atau dibuat-buat) yakni qira’at yang tidak ada asalnya.
f.         Qira’at Mudraj (sisipan) yakni qira’at yang disisipkan atau ditambahkan ke dalam qira’at yang sah.
Menurut jumhur ulama, qira’at yang tujuh itu mutawatir. Dan yang tidak mutawatir, seperti masyhur tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar shalat.
Imam  An-Nawawi menjelaskan qira’at syadz al-muhazzab  bahwa tidak boleh dibaca baik di dalam maupun di luar sholat karena ia bukan al-Qur’an. Al-Qur’an hanya ditetapkan dengan sanad mutawatir, sedangkan qira’at syadz tidak mutawatir. Orang yang berpendapat selain ini adalah salah. Apabila seseorang menyalahi pendapat ini dan membaca dengan qira’at yang syadz, maka tidak boleh dibenarkan baik di dalam maupun diluar sholat. Para fuqaha Baghdad sepakat bahwa orang yang membaca al-qur’an dengan qira’at yang syadz harus disuruh bertaubat. Ibnu Abdil Barr menukilkan ijma’ kaum muslimin tentang al-Qur’an yang tidak boleh dibaca dengan qira’at yang syadz, tidak sah shalat dibelakang orang yang membaca al-Qur’an dengan qira’at-qira’at yang syadz itu.
Tolak ukur yang dijadikan pegangan para ulama dalam menetapkan qira’at shohih adalah sebagai berikut:
a.         Sesuai dengan kaidah bahasa arab, baik yang fasih atau paling fasih.
b.        Sesuai dengan salah satu kaidah penulisan mushaf utsmani walaupun hanya kemungkinan.
c.         Memiliki sanad yang shahih.
2.4.    Urgensi Mempelajari Qira’at
1.         Dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama. Misalnya, berdasarkan surat An-Nisa’ ayat 12, para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja. Dalam qira’at syadz, sa’ad bin Abi Waqqash memberi tambahan ungkapan “min umm” sehingga ayat itu menjadi, artinya:
  Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis  saudara itu seperenam harta” (QS. An-Nisa’ :12)
Dengan demikian, qira’at Saad bin Abi Waqqash dapat memperkuat dan mengukuhkan ketetapan hokum yang telah disepakati.
2.         Dapat mentarjih hukum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya, dalam surat Al-Ma’idah : 89, disebutkan bahwa kifarat sumpah adalah berupa memerdekakan budak. Namun, tidak disebutkan apakah budaknya itu muslim atau non muslim. Hal itu mengandung perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha. Dalam qira’at syadz, ayat itu memperoleh tambahan mu’minatin. Dengan demikian, menjadi, artinya: “…maka kiffarat (melanggar sumpah itu ialah member makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau member pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak mukmin”. (QS. Al-Ma’idah: 89).
Tambahan kata “mukminatin” berfungsi mentarjih pendapat sebagian ulama, antara lain As-Syafi’I, yang mewajibkan memerdekakan budak mukmin bagi orang yang melanggar sumpah, sebagai salah satu alternative bentuk kifaratnya.
3.         Dapat menggabungkan dua ketentuan yang berbeda. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah: 222, dijelaskan bahwa seorang suami dilarang melakukan hubungan seksual tatkala istrinya edang haid, sebelum haidnya berakhir. Sementara qira’at yang membacanya dengan “yuththahhirna” (didalam mushaf Ustmani tertulis “yuthhurna), dapat dipahami bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.
4.         Dapat menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi yang berbeda pula. Misalnya yang terdapat dalam surat Al-Maidah: 6. Ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu yang membaca “arjulakum” dan yang membaca “arjulikum”. Perbedaan qira’at ini tentu saja mengkonsekuensikan kesimpulan hukum yang berbeda.
5.         Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam Al-Qur’an yang mungkin sulit dipahami maknanya.
2.5.  Pengaruhnya Dalam Istinbath (Penetapan) Hukum
Perbedaan-perbedaan qira’at itu terkadang mempengaruhi dalam penetapan ketentuan hukum.
Contohnya:
                                         Surah Al-Baqarah: 222
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Berkaitan dengan ayat diatas, diantara tujuh imam qira’at yaitu Abu Bakar Syu’bah, Hamzah, dan Al-Kisa’i membaca kata “yathhurna” dengan memberi syiddah pada huruf tha’ dan ha. Maka, bunyinya menjadi “yuththahhirna”. Berdasarkan perbedaan qira’at ini, para ulama fiqih berbeda pendapat sesuai dengan banyaknya perbedaan qira’at. Ulama yang membaca “yathhuma” berpendapat bahwa seorang suami tidak diperkenankan berhubungan dengan istrinya yang sedang haid, kecuali telah suci atau berhenti dari keluarnya darah haid. Sementara yang membaca “yuththahhirna” menafsirkan bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan istrinya, kecuali telah bersih.
Sehubungan dengan hal tersebut, batas keharaman seorang suami untuk mencampuri istrinya yang haid adalah sampai wanita tersebut suci dalam arti telah berhenti darah haidnya, dan telah mandi dari hadas besarnya
                       Surat An-Nisa’: 43
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa’: 43)
Berkaitan dengan ayat ini, Imam Hamzah dan Al-Kisa’I memendekkan huruf lam pada kata “lamastun”, ementara imam-imam lainnya memanjangkannya. Bertolak dari perbedaan qira’at ini, terdapat tiga versi pendapat para ulama mengenai maksud kata itu, yaitu bersetubuh, bersentuh dan sambil bersetubuh. Berdasarkan perbedaan qiraat itu pula, para ulam fiqih ada yang berpendapat bahwa persentuhan laki-laki dan perempuan itu membatalkan wudhu. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa persentuhan itu tidak membatalkan wudhu, kecuali kalau berhubungan badan.
                                         Surah Al-Maidah:  6
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Ma’idah: 6)
Berkaitan dengan ayat ini, Nafi’, Ibn ‘Amir, Hafs, dan Al-Kisa’i membacanya dengan “arjulakum”, sementara imam-imam yang lainnya membacanya dengan “arjulikum”. Dengan membaca “arjulikum”, mayoritas ulama berpendapat wajibnya membasuh kedua kaki dan tidak membedakan dengan menyapunya. Qira’at dipahami oleh jumhur ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua kaki. Sementara qira’at versi lainnya dipahami oleh sebagian ulama dengan mengahasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi hanya diwajibkan mengusapnya (dengan air).
      
http://pub.kliksaya.com?refid=210879

BAB III
PENUTUP
3.1.            Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwasannya:
1.        Qira’at Al-Qur’an adalah ilmu yang mempelajari cara mengucapkan lafadz-lafadz al-Qur’an.
2.        Qira’at ini muncul pada masa nabi Muhammad SAW sampai sekarang.
3.        Orang yang pertama kali menyusun qira’at dalam satu buku adalah Abu Ubaidillah Al-Qasim bin Salam kemudian imam-imam lainnya mulai menyusun qira’at.
4.        Dari segi kuantitasnya qira’at terbagi menjadi tiga yaitu Qira’ah Sab’ah (Qira’at Tujuh), Qira’at ‘Asyarah (Qira’at Sepuluh), dan Qira’at ‘Arba’at Asyarah (Qira’at Empat Belas). Dan dari segi kualitasnya Qira’at terbagi menjadi enam macam yaitu Qira’ah Mutawatir, Qira’ah Masyhur, Qira’ah Ahad, Qira’ah Syadz (menyimpang), Qira’ah Maudhu (palsu) dan Qira’at Mudraj.
5.        Yang dimaksud dengan al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf adalah memberi kelonggaran kepada umat manusia dalam membaca al-Qur’an sesuai dengan bacaan yang mudah bagi mereka. Namun, bacaan ayat-ayat al-Qur’an tidak boleh dibaca sesuka hati si pembacanya karena sudah ada aturan yang sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah.
6.        Di dalam  penetapan hukum, qira’at dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama;
3.2.    Saran
Dengan sangat menyadari bahwa makalah kami  masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami menyarankan kepada pembaca  untuk memberikan sumbang saran serta kritikan dalam memperbaiki makalah kami untuk yang akan dating.


DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan. 2008.  Ulum Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia
Ahmad Syadali, Ahmad Rofi’i. 2008. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia
no image

PENGERTIAN NIKAH SIRI DAN NIKAH MUT’AH


nikah sirri
“NIKAH SIRI DAN NIKAH MUT’AH”
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang Masalah
Pernikahan adalah ibadah, sesuatu yang telah diteladani oleh Rasulullah SAW. Namun meski pun demikian, tidak semua pernikahan itu bernilai ibadah, ada juga pernikahan yang tergolong makruh, bahkan haram (bathil).
Untuk itu, dalam makalah ini kami mencoba sedikit mengulas tentang pernikahan, khususnya tentang “nikah Siri dan Nikah Mut’ah”.
1.2.       Rumusan Masalah
Terkait dengan uraian di atas, kami merumuskan beberapa masalah, yakni:
a.         Apa yang dimaksud dengan nikah siri dan bagaimana menurut hukum (Hukum Negara dan  Syari’at Islam) ?
b.        Apa pula yang dimaksud dengan nikah mut’ah serta bagaimana menurut pandangan Islam ?
1.3.       Tujuan Penulisan
Adapun tujuan kami menulis makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan dan wawasan keberagamaan kita, khususnya dalam masalah pernikahan (siri dan mut’ah).


BAB II
PEMBAHASAN
2.1.    Nikah Siri
a.        Pengertian Nikah Siri
Nikah secara bahasa adalah berkumpul atau bercampur, sedangkan menurut syariat secara hakekat adalah akad (nikah) dan secara majaz adalah al-wath’u (hubungan seksual) menurut pendapat yang shahih, karena tidak diketahui sesuatupun tentang penyebutan kata nikah dalam kitab Allah -Subhanahu wa ta’ala- kecuali untuk makna at-tazwiij (perkawinan). Kata “siri” berasal dari bahasa Arab sirrunyang berarti rahasia, atau sesuatu yang disembunyikan. Melalui akar kata ini Nikah siri diartikan sebagai Nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan Nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan.
Nikah siri sah secara agama dan atau adat istiadat, namun tidak diumumkan pada masyarakat umum, dan juga tidak dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang beragama non Islam. Ada kerena faktor biaya, tidak mampu membiayai administrasi pencatatan; ada juga disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri menikah lebih dari satu (poligami) tanpa seizin pengadilan, dan sebagainya. Ketiga; Nikah yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena takut menerima stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu Nikah siri atau karena pertimbangan-pertimbangan lain yang akhirnya memaksa seseorang merahasiakannya.
Nikah siri kadang-kadang diistilahkan dengan nikah “misyar”. Ada ulama yang menyamakan pengertian kedua istilah ini, tetapi tidak sedikit pula yang membedakannya. Nikah siri kadang-kadang diartikan dengan nikah “urfi”, yaitu Nikah yang didasarkan pada adat istiadat, seperti yang terjadi di Mesir. Namun nikah misyar dan nikah urfi jarang dipakai dalam konteks masyarakat Indonesia. Persamaan istilah-istilah itu terletak pada kenyataan bahwa semuanya mengandung pengertian sebagai bentuk Nikah yang tidak diumumkan (dirahasiakan) dan juga tidak dicatatkan secara resmi melalui pejabat yang berwenang.
Nikah siri yang tidak dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara sering pula diistilahkan dengan Nikah di bawah tangan. Nikah di bawah tangan adalah Nikah yang dilakukan tidak menurut hokum negara. Nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap Nikah liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupa pengakuan dan perlindungan hukum.
b.        Nikah Siri Menurut Hukum Negara
Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 2 [2] disebutkan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sedang dalam PP No 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan, pasal 3 disebutkan:
1.         Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinannya dilangsungkan.
2.         Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3.         Pengecualian dalam jangka tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu alasan yang penting diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa negara dengan tegas melarang adanya nikah siri dan setiap upacara pernikahan harus memberitahukan kepada pegawai negara yang berwenang. Bahkan negara akan memberikan sanksi pidana kepada para pelaku nikah siri dengan alasan pernikahan siri telah menimbulkan banyak korban, yang mana anak yang lahir dari pernikahan siri akan sulit mendapatkan surat lahir, kartu tanda penduduk, hak-hak hukum seperti hak waris, dan sebagainya.
Hanya dengan alasan itu pemerintah melarang sesuatu yang sah menurut syariat Islam, sementara disisi lain pemerintah seakan lupa berapa persen dari anak Indonesia yang lahir dari hubungan zina dalam setiap tahunnya. Dengan kata lain, perutaran pemerintah yang melarang nikah siri ini secara tidak langsung ikut berperan menyuburkan praktek zina di Indonesia.
c.         Nikah Siri Menurut Islam
Hukum nikah siri dalam Islam adalah sah sepanjang hal-hal yang menjadi dan rukun nikah terpenuhi, dimana rukun nikah dalam agama Islam adalah sebagai berikut :
1.          Adanya calon mempelai pria dan wanita
2.          Adanya wali dari calon mempelai wanita
3.          Adanya dua orang saksi dari kedua belah pihak
4.          Adanya ijab ; yaitu ucapan penyerahan mempelai wanita oleh wali kepada mempelai pria untuk dinikahi
5.          Qabul; yaitu ucapan penerimaan pernikahan oleh mempelai pria (jawaban dari ijab)
Jika dalam pelaksanaan nikah siri rukun nikah yang tertera di atas terpenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat agama Islam, hanya saja tidak tercatat dalam buku catatan sipil. Dan proses nikah siri lainnya yang tidak memenuhi rukun-rukun diatas maka pernikahan tersebut tidak dianggap sah menurut syariat Islam, dalam hadits disebutkan :
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil”
(HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557)
2.2.    Nikah Mut’ah
a.        Pengertian
Mut’ah secara bahasa diambil dari bahasa arab Al-Tamattu’ artinya bersenang-senang. Sedangkan Nikah Mut’ah menurut istilah adalah perkawinan yang dilakukan untuk waktu tertentu dengan memberikan sesuatu sesuai dengan kesepakatan dan berakhir sesuai waktu yang telah ditentukan tanpa adanya talak. Dinamakan Nikah Mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja.
Ada beberapa pendapat ulama mengenai defenisi nikah mut’ah ini, di antaranya yakni:
1.        Ibnu Qudamah:
نِكَاحُ اْمُتْعَةِ اَنْ يَتَزَوَّجَ اْلمَرْأَةَمُدَّةً, مِثْلُ اَنْ يَقُوْلَ زَوَّجْتُكَ ابْنَتِى شَهْرًا اَوْسَنَةً اَوْاِلى انْقِضَاءِ اْمُوْسِمِ اَوْقُدُوْمِ اْلحَاجِّ وَشِبْهِهِ سَوَاءٌ كَانَتِ اْلمُدَّةُ مَعْلُوْمَةً اَوْ مَجْهُوْلَةً.
Artinya: “nikah mut’ah adalah adanya seseorang mengawini wanita (dengan terikat) hanya waktu yang tertentu saja; misalnya (seorang wali) mengatakan: saya mengawinkan putriku dengan engkau selama sebulan, atau setahun, atau sampai habis musim ini, atau sampai berakhir perjalan haji ini dan sebagainya. Sama halnya dengan waktu yang telah ditentukan atau yang belum.
2.         Sayyid Saabiq mengatakan:
نِكَاحُ اْلمُتْعَةِ: اَنْ يَعْقِدَ الرَّجُلُ عَلَى اْلمَرْأَةِ يَوْمً اَوْ اُسْبُوْعًااَوْشَهْرًا. وَيُسَمّى  بِالْمُتْعَةِ: لِاَنَّ الرَّجُلَ يَنْتْفِعُ وَيَتَبَلَّغُ بِالزَّوَاجِ وَيَتَمَتَّعُ اِلَى اْلاَجْلِ الَّذِىْ وَقَّتَهُ.
Artinya: “perkawinan mut’ah adalah adanya seseorang pria mengawini wanita selama sehari, atau seminggu, atau sebulan. Dan dinamakan mut’ah karena laki-laki mengambil manfaat serta merasa cukup dengan melangsungkan perkawinan dan bersenang-senang sampai kepada waktu yang telah ditentukannya.
Bertolak dari definisi di atas, maka pengertian nikah mutah adalah suatu ikatan perkawinan yang terikat dengan waktu tertentu, sehingga bila waktu tersebut sudah habis, maka
b.        Nikah Mut’ah Menurut Hukum Islam
Untuk menentukan status hukum tentang nikah mut’ah maka dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam pendapat; yaitu:
1.         Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Al-Laits dan Imam al-Auzaa’iy mengatakan; “Perkawinan mut’ah itu hukumnya haram”.
Pendapat ini didasarkan pada beberapa Hadits yang antara lain berbunyi:
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ حَرَّمَ اْلمُتْعَلةَ فَقَالَ: يَااَيُّهَ النَّاسُ اِنِّى كُنْتُ اَذَّنْتُ لَكُمْ فِى الْاِسْتِمْتَاعِ, اَلاَوَاِنَّ اللهَ قَدْحَرَّمَهَا اِلَل ىَوْمِ الْقِيَامِةِ. رواه ابن ماجه.
Artinya: “bahwasanya Rasulullah SAW mengharamkan kawin mut’ah, maka ia berkata: hai manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kamu sekalian kawin mut’ah. Maka sekarang ketahuilah, bahwa Allah mengharamkannya sampai hari kiamat”. (H.R. Ibnu Majjah).
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لحُوُمِ اْلحُرُوْمِ اْلاَهْلِيَّةِ. رواه النسائى.
Artinya: “bahwasanya Rasulullah SAW telah melarang perkawinan mut’ah terhadap wanita pada peperangan Khaibar dan (melarang pula) makan daging keledai peliharaan”. (H.R. An-Nasaa’i)
2.         Imam Zufar berkata: perkawinan mutah hukumnya sah, meskipun syaratnya batal. Oleh karena itu, dibolehkan dalam ajaran Islam. Dikatakan sah karena keterangan hadits yang dikemukakan oleh pengikut kaum Syi’ah (“bahwasanya ‘Umar berkata: dua macam perkawinan mut’ah (yang pernah terjadi) di masa Rasulullah SAW. Maka dapatkah aku melarangnya dan memberikan sangsi hukum terhadap pelakunya? (keduanya itu) adalah perkawinan mut’ah terhadap wanita (diwaktu tidak bepergian) dan kawin mut’ah (pada waktu bepergian) menunaikan ibadah hajji. Karena hal itu, merupakan perkawinan yang berguna (pada saat tertentu), maka perlu menentukan waktu berlakunya seperti halnya sewa-menyewa.),  tetapi syaratnya batal karena tidak disertai dengan niat kawin untuk selama-lamanya, kecuali hanya waktu sementara saja. Bertolak dari beberapa pendapat di atas, maka penulis mengikuti pendapat Imam Abu hanifah beserta Imam Madzhab yang sependapat dengannya, karena memandang bahwa kebolehan kawin mut’ah telah dihapus oleh larangan melakukannya, sebagaimana keterangan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah dan An-Nasaa’i di atas.


BAB III
PENUTUP
3.1.       Kesimpulan
Nikah secara bahasa adalah berkumpul atau bercampur, sedangkan menurut syariat secara hakekat adalah akad (nikah) dan secara majaz adalah al-wath’u (hubungan seksual) menurut pendapat yang shahih, karena tidak diketahui sesuatupun tentang penyebutan kata nikah dalam kitab Allah -Subhanahu wa ta’ala- kecuali untuk makna at-tazwiij (perkawinan). Kata “siri” berasal dari bahasa Arab sirrunyang berarti rahasia, atau sesuatu yang disembunyikan. Melalui akar kata ini Nikah siri diartikan sebagai Nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan Nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan.
Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 2 [2] dan pasal 3 PP No 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan, pemerintah melarang pernikahan siri. Namun, Islam sebagai agama yang di anut mayoritas rakyat Indonesia membolehkannya sepanjang memenuhi persyaratan menurut syari’at Islam.
Mut’ah secara bahasa diambil dari bahasa arab Al-Tamattu’ artinya bersenang-senang. Sedangkan Nikah Mut’ah menurut istilah adalah perkawinan yang dilakukan untuk waktu tertentu dengan memberikan sesuatu sesuai dengan kesepakatan dan berakhir sesuai waktu yang telah ditentukan tanpa adanya talak. Dinamakan Nikah Mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja.
Menurut pendapat jumhur ulama, nikah mut’ah itu pada mulanya hukumnya sah (halal), tetapi kemudian diharamkan, hal itu berdasarkan dari beberapa hadits yang dengan tegas mengharamkan nikah mut’ah. Namun demikian, nikah mut’ah masih tetap dilestarikan khususnya oleh kalangan pengikut Syi’ah.
3.2.       Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami menyarankan kepada teman-teman yang ingin lebih memahami tentang nikah siri dan nikah mut’ah untuk mencari referensi tambahan melalui buku-buku yang sekarang mudah didapat.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Warson Munawwir.1997. Al Munawir: Kamus arab Indonesia (Cet. XIV).Surabaya: Pustaka Progressif
Happy Susanto. 2007. Nikah Siri Apa Untungnya? (Cet I). Jakarta: Visimedia
Zuhaili, Wahbah. 2008. Fiqih Imam Syafi’I (terjemahan). Jakarta: Almahira
no image

tasawuf Sunni dan Tasawuf falsafi

tasawuf
Tasawwuf Sunni
A. Pengertian Tasawuf Sunni
Tasawwuf sunni ialah aliran tasaawuf  yang berusaha memadukan asapek hakekat dan syari’at,  yang senantiasa memelihara sifat kezuhudan dan mengkonsentrasikan pendekatan diri kepada allah, dengan berusaha sungguh-sugguh berpegang teguh terhadap ajaran al-Qur’an, Sunnah dan Shirah para sahabat.
Dalam kehidupan sehari-hari para pengamal tasawwuf ini berusaha untuk menjauhkan drii dari hal-hal yang bersifat keduniawian, jabatan, dan menjauhi hal-hal yang  dapat mengganggu kekhusua’an ibadahnya.
Latar belakang munculnya ajaran ini tidak telepas dari pecekcokan masalah aqidah yang  melanda para ulama’ fiqh dan tasawwuf lebih-lebih pada abad  kelima hijriah aliran syi’ah al-islamiyah yang berusaha untuk memngembalikan kepemimpinan kepada keturunan ali bin abi thalib. Dimana syi’ah lebih banyak mempengaruhi para sufi dengan doktrin bahwa imam yang ghaib akan pindah ketangan sufi yang layak menyandang gelar waliyullah, dipihak lain para sufi banyak yang dipengaruhi oleh filsafat Neo-Platonisme yang memunculkan corak pemikiran taawwuf falsafi yang tentunya sangat bertentangan dengan kehidupan para sahabat dan tabi’in. dengan ketegangan inilah muncullah sang pemadu syari’at dan hakekat yaitu Imam Ghazali.
B. Tokoh-tokoh Tasawuf Sunni
Munculnya aliran-aliran tasawuf ini tidak terlepas dari tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya. Begitu juga sama halnya dengan Tasawuf sunni. Diantara sufi yang berpengaruh dari aliran-aliran tasawuf sunni dengan antara lain sebagai berikut:
1. Hasan al-Basri.
Hasan al-Basri adalah seorang sufi angkatan tabi’in, seorang yang sangat taqwa, wara’ dan zahid. Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id al-Hasan ibn Abi al-Hasan. Lahir di Madinah pada tahun 21 H tetapi dibesarkan di Wadi al-Qura. Setahun sesudah perang Shiffin dia pindah ke Bashrah dan menetap di sana sampai ia meninggal tahun 110 H. setelah ia menjadi warga Bashrah, ia membuka pengajian disana karena keprihatinannya melihat gaya hidup dan kehidupan masyarakat yang telah terpengaruh oleh duniawi sebagai salah satu ekses dari kemakmuran ekonomi yang dicapai negeri-negeri Islam pada masa itu. Garakan itulah yang menyebabkan Hasan Basri kelak menjadi orang yang sangat berperan dalam pertumbuhan kehidupan sufi di bashrah. Diantara ajarannya yang terpenting adalah zuhud serta khauf dan raja’.
Dasar pendiriannya yang paling utama adalah zuhud terhadap kehidupan duniawi sehingga ia menolak segala kesenangan dan kenikmatan duniawi.
Prinsip kedua Hasan al-Bashri adalah al-khouf dan raja’. Dengan pengertian merasa takut kepada siksa Allah karena berbuat dosa dan sering melalakukan perintahNya. Serta menyadari kekurang sempurnaannya. Oleh karena itu, prinsip ajaran ini adalah mengandung sikap kesiapan untuk melakukan mawas diri atau muhasabah agar selalu memikirkan kehidupan yang akan dating yaitu kehidupan yang hakiki dan abadi.
2. Rabiah Al-Adawiyah
Nama lengkapnya adalah Rabiah al-adawiyah binti ismail al Adawiyah al Bashoriyah, juga digelari Ummu al-Khair. Ia lahir di Bashrah tahun 95 H, disebut rabi’ah karena ia puteri ke empat dari anak-anak Ismail. Diceritakan, bahwa sejak masa kanak-kanaknya dia telah hafal Al-Quran dan sangat kuat beribadah serta hidup sederhana.
Cinta murni kepada Tuhan adalah puncak ajarannya dalam tasawuf yang pada umumnya dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat puitis. Dari syair-syair berikut ini dapat diungkap apa yang ia maksud dengan al-mahabbah:
Kasihku, hanya Engkau yang kucinta,
Pintu hatiku telah tertutup bagi selain-Mu,
Walau mata jasadku tak mampu melihat Engkau,
Namun mata hatiku memandang-Mu selalu.
Cinta kepada Allah adalah satu-satunya cinta menurutnya sehingga ia tidak bersedia mambagi cintanya untuk yang lainnya. Seperti kata-katanya “Cintaku kepada Allah telah menutup hatiku untuk mencintai selain Dia”. Bahkan sewaktu ia ditanyai tentang cintanya kepad Rasulullah SAW, ia menjawab: “Sebenarnya aku sangat mencintai Rasulullah, namun kecintaanku pada al-Khaliq telah melupakanku untuk mencintai siapa saja selain Dia”. Pernyataan ini dipertegas lagi olehnya lagi mealui syair berikut ini: “Daku tenggelam dalam merenung kekasih jiwa, Sirna segalanya selain Dia, Karena kekasih, sirna rasa benci dan murka”.
Bisa dikatakan, dengan al-hubb ia ingin memandang wajah Tuhan yang ia rindu, ingin dibukakan tabir yang memisahkan dirinya dengan Tuhan.
3. Dzu Al-Nun Al-Misri
Nama lengkapnya adalah Abu al-Faidi Tsauban bin Ibrahim Dzu al-Nun al-Mishri al-Akhimini Qibthy. Ia dilahirkan di Akhmin daerah Mesir. Sedikit sekali yang dapat diketahui tentang silsilah keturunan dan riwayat pendidikannya karena masih banyak orang yang belum mengungkapkan masalah ini. Namun demikian telah disebut-sebut oleh orang banyak sebagai seorang sufi yang tersohor dan tekemuka diantara sufi-sufi lainnya pada abad 3 Hijriah.
4. Abu Hamid Al-Ghazali
Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad. Karena kedudukan tingginya dalam Islam, dia diberi gelar Hujjatul Islam.Ayahnya, menurut sebagian penulis biografi, bekerja sebagai pemintal wol. Dari itulah, tokoh sufi yang satu ini terkenal dengan al-Ghazzali (yang pemintal wol), sekalipun dia terkenal pula dengan al-Ghazali, sebagaimana diriwayatkan al-Sam’ani dalam karyanya, al-Ansab, yang dinisbatkan pada suatu kawasan yang disebut Ghazalah. Al-Ghazali lahir di Thus, kawasan Khurasan, tahun 450 H (diriwayatkan pula dia lahir pada 451 H). menurut periwayatan al-Subki, dia serta saudaranya menerima pendidikan mistisnya dirumah seorang sufi sahabat ayahnya, setelah ayahnya meninggal dunia.
Di bidang tasawuf, karya-karya Al-Ghazali cukup banyak, yang paling penting adalah Ihya’ ‘Ulum al-Din. Dalam karyanya tersebut, dia menguraikan secara terinci pendapatnya tentang tasawuf, serta menghubungkannya dengan fiqh maupun moral agama. Juga karya-karya lainnya, al-Munqidz min al-Dhalal, dimana ia menguraikan secara menarik kehidupan rohaniahnya, Minhaj al-‘Abidin, Kimia’ al-Sa’adah, Misykat al-Anwar  dan sebagainya.
TASAWWUF FALSAFI
A. Devinisi tasawwuf falsafi
Secara garis besar tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional.Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya,yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang telahmempengaruhi para tokohnya.[1]
Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis (العملي ), sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis (النطري ) sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.Kaum sufi falsafi menganggap bahwasanya tiada sesuatupun yang wujudkecuali Allah, sehingga manusia dan alam semesta, semuanya adalahAllah. Mereketidak menganggap bahwasanya Allah itu zat yang Esa, yangbersemayam diatas Arsy.Dalam tasawuf falsafi, tentang bersatunya Tuhan dengan makhluknya,setidaknya terdapat beberapa term yang telah masyhur beserta para tokohnya yaitu ; hulul,wadah al~wujud, insan kamil, Wujud Mutlak.
1. Hulul
Hulul merupakan salah satu konsep didalam tasawuf falsafi yangmeyakini terjadinya kesatuan antara kholiq dengan makhluk. Paham hululini disusun oleh Al-hallaj
Kata hulul berimplikasi kepada bersemayamnya sifat-sifat ke-Tuhanankedalam diri manusia atau masuk suatu dzat kedalam dzat yang lainnya.Hulul adalah doktrin yang sangat menyimpang. Hulul ini telah disalahartikan oleh manusia yang telah mengaku bersatu dengan Tuhan. Sehanggadikatakan bahwa seorang budak tetaplah seorang budak dan seorang rajatetaplah seorang raja. Tidak ada hubungan yang satu dengan yang lainnyasehingga yang terjadi adalah hanyalah Allah yang mengetahui Allah danhanya Allah yang dapat melihat Allah dan hanya Allah yang menyembahAllah
2.Wahdah Al-Wujud
Istilah wahdah Al-wujud sangat dekat dengan pribadi Ibnu Arabi,sehingga ketika menyebut pemikiran Ibnu Arabi seakan-akan terlintas tentang doktrin wahdah Al-wujud sebenarnya wihdatul wujud bukan penyebutan aari ibnu arbai sendiri melainkan sebutan yang dilontarkan  oleh musuh bebuyutannya yaitu Ibnu taimiyah.
3. Ittihad                                                                                                                                  Pengertian ittihad sebagaimana disebutkan dalam sufi terminologi adalah;;                                             ttihad adalah penggabungan antara dua hal yang menjadi satu.Ittihad merupakan doktrin yang menyimpang dimana didalamnya terjadiproses pemaksaan antara dua ekssistensi. Kata ini berasal dari katawahd atau wahdah yang berarti satu atau tunggal. Jadi ittihad artinyabersatunya manusia dengan Tuhan.                                                                                                                     Tokoh pembawa faham ittihad adalah Abu Yazid Al-busthami. Menurutnya manusia adalah pancaran Nur Ilahi,oleh karena itu manusia hilang kesadaranya [sebagai manusia] maka padadasarnya ia telah menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu nur ilahiatau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan[2]
4.. insan kamil.
Al-jilli adalah seorang yang sangat terkenal di Baqhdat, riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh sejrah tapi yang jelas ajran yang al-jilli ini ialah Insan kamil. Insan kamil menurut aljilli ialah manusia
5. Ibnu Sab’in
Disamping para sufi ia juga seorang filosof yang sangat terkenal dari Andalusia, ia adalah seorang penggagas paham tasawwuf yang lebih dikenal denan kesatuan Mutlak
B.LATAR BELAKANG BERKEMBANGNYA TASAWWUF  FALSAFI
Corak dari pada tasawwuf falsafi tentunya sangat berbeda dengan tasawwuf yang pernah diamalkan oleh masa sahabat dan tabi’in, karena tasawwuf ini muncul karena pengaruh filasafat Neo-Platonisme Berkembangnya tasaawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucia batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah, juga menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampl sejumlah kelompok sufi yang filosofis atau filosofis yang sufi. Konsep-konsep mereka yang disebut dengan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. ajaran filsafat yang paling banyak dipergunakan dalam analisis tasawuf adalah Paham emanasi neo-Plotinus.
Andanya pemaduan antara filsafat dengan tasawuf pertama kali di motori oleh para filsuf muslim yang pada saat itu mengalami helenisme pengetahuan. Misalnya filsuf muslim yang terkenal yang membahas tentang Tuhan dengan mengunakan konsep-konsep neo-plotinus ialah Al-Kindi.
Dalam filsafat emanasi Plotinus roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat lagi kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha. dari sini di tarik ke dalam ranah konsep tasawuf yang berkeyakinan bahwa penciptaan alam semesta adalah pernyataan cinta kasih Tuhan yang direfleksikan dalam bentuk empirik atau sebagai Sifat madzohir dari sifat tuhan. Namun istilah tasawuf   falsafi bulum terkenal pada waktu itu, setelah itu baru tokoh-tokoh teosofi yang populer. Abu Yazid al-Bustami, Ibn Masarrah (w.381 H) dari Andalusia dan sekaligus sebagai perintisnya.
orang kedua yang mengombinasikan antara teori filsafat dan tasawuf ialah Suhrawardi al-Maqtul yang berkembang di Persia atau Iran. Masih banyak tokoh tasawwuf falsafi yang berkembang di Persia ini sepeti al-Haljj dengan konsep al-Hulul yakni perpaduan antara Mansusia dengan sifat-sifat tuhan. Perkembangan puncak dari tasawuf falsafi, sebenarnya telah dicapai dalam konsepsi al-wahdatul wujud sebagai karya pikir mistik Ibn Arabi. sebelum Ibn arabi muncul teorinya seorang sufi penyair dari Mesir Ibn al-Faridh mengembangkan teori yang sama yaitu al-wahdatasa-syuhud.
Pada umumnya konsep ini diterima dan berkembang dari kaum syi’ah dan bermazhabkan Mu’tazilah. Makanya nama lain dari tasawuf falsafi juga di sebut dengan tasawuf Syi’i. diterimanya konsep-konsep atau pola pikir tasawuf falsafi di kawasan Persia, karena dimungkinkann disana dulu adalah kawasan sebelum Islam sudah mengenal filsafat.
Semenjak masa Abu Yazid al-Busthami, pendapat sufi condong pada konsep kesatuan wujud. Inti dari jaran ini adalah bahwa dunia fenomena ini hanyalah bayangan dari realitas yang sesungguhnya, yaitu Tuhan. Satu-satunya wujud yang hakiki adalah wujud Tuhan yang merupakan dasar dan sumber kejadian dari segala sesuatu. Dunia ini hanyalah bayangan yang keberadaannya tergantung dengan wujud Tuhan, sehingga realitas Hidup ini hakikatnya tunggal. Atas dasar seperti itu tentang Tuhan yang seperti itu, mereka berpendapat bahwa alam dan segala yang ada termasuk manusia merupakan radiasi dari hakikat Ilahi. Dalam diri manusia terdapat unsur-unsur ke –Tuhanan Karena merupakan panacaran dari tuhan.
Dari konsep seperti ini lah para sufi dari tasawuf falsafi ini mempunyai karakteristik sendiri sehingga dapat di pukul rata bahwa semua konsep yang ditawarkan oleh para sufi falsafi ini adalah konsep wihdatul wujud, meskipun dalam penjabarannya mengalami perbedaan dan perkembangan yang berbeda antara sufi yang satu
Dengan sufi yang lain.
Seperti hanya dalam konsep emanasi, Ibn Arabi menggunakan bentuk pola akal yang bertingkat-tingkat, seperti; akal pertama, kedua, ketiga dan sampai akal kesepuluh. Dimana ia mencoba mengambarkan bahwa proses terjadinya sesuatu ini berasal dari yang satu, kalau meminjam Bahsanya plotinus ialah the one
Kemudian konsep itu terus disempurnakan bahwakan mengalami kritikan dari sufi-sufi yang lain. Misalnya sufi yang memperbarui konsep ajaran Ibn Arabi ini ialah Mulla Shadra yang lebih mencoba menggunkan konsep yang rasional dengan istilah Nur yang mana ia mencoba merujuk dari al-qur’an sendiri bahwa Tuhan adalah cahaya dari segala cahaya..

[1] M. Sobirin dan Rosihan Anwar, Kamus Tasawuf, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000, hlm. 224
[2] . Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, hlm. 82



sumber http://rokimgd.wordpress.com/2011/03/30/tasawuf-sunni-vs-falsafi/
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net