• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Rabu, 15 Januari 2014
no image

KHAWARIJ DAN MURJI’AH DALAM ISLAM

khawarij
MENGENAL ALIRAN
KHAWARIJ DAN MURJI’AH
BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Ketika peperangan Shiffin antara Sayidina Ali dengan Saidina Muawiyah ra. Pihak Sayidina Muawiyah hampir kalah lalu mereka mengangkat Mushaf pada ujung tombak dan menyerukan perhentian peperangan dengan bertahkim. Akibat itu golongan Ali terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan yang setuju dengan tahkim dan golongan yang tidak setuju dengan tahkim. Mereka yang tidak setuju dengan tahkim beralasan bahwa orang yang mau berdamai pada ketika pertempuran adalah orang yang ragu akan pendiriannya, dalam kebenaran peperangan yang ditegakkannya. Hukum Allah sudah nyata kata mereka, siapa yang melawan khalifah yang sah harus diperangi. Kaum inilah yang dinamakan kaum Khawarij yaitu kaum yang keluar yakni keluar dari Sayyidina Muawiyah dan keluar dari Sayyidina Ali.
Kemudian selain Khawarij, umat islam juga mengenal aliran Murji’ah. Aliran Murji’ah ini merupakan golongan yang tak sepaham dengan kaum Khawarij dan Syi’ah. Pengertian Murji’ah sendiri adalah penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT, sehingga seorang muslim sekalipun berdosa besar dalam kelompok ini tetap diakui sebagai muslim dan mempunyai harapan untuk bertobat.
Setiap orang Islam harus mengetahui macam dan bentuk paham Khawarij dan Murji’ah, agar kita bisa mengambil pelajaran penting yang bisa diambil dari kedua paham tersebut. Memang kedua golongan ini sudah hilang dibawa arus sejarah, tetapi pahamnya masih berkeliaran dimana-mana.
2.      Rumusan Masalah
a.       Bagaimana sejarah kemunculan Khawarij?
b.      Bagaimana pemikiran dan doktrin-doktrin Khawarij?
c.       Bagaimana perkembangan Khawarij?
d.      Bagaimana sejarah kemunculan Murji’ah?
e.       Bagaimana pemikiran dan doktrin-doktrin Murji’ah?
f.       Apa saja sekte-sekte Murji’ah?
g.      Perbandingan antara Khawarij dan Murji’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
1.      Aliran Khawarij
a.      Sejarah Munculnya Khawarij
Khawarij adalah aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut Ibnu Abi Bakar Ahmad al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dar imam yang hak dan telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa Khulafaur Rasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik. Nama Khawarij berasal dari kata “kharaja”  berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.
Khawarij sebagai sebuah aliran telogi adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju terhadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Keputusan tahkim (arbitrase), yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali, ini sangat mengecewakan kaum khawarij sehingga mereka membelot dan mengatakan. Pada saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura. Dengan arahan Abdullah al-Kiwa mereka sampai di Harura. Di Harura, kelompok khawarij ini melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan juga Ali. Mereka mengangkat seorang pemimpin bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang Shiffin pada tahun 37/648 M dengan kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan perihal persengketaan khalifah.
Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah di bai’at mayoritas umat Islam, sementara Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah.
b.      Doktrin-doktrin pokok Khawarij:
a.       Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam.
b.      Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Setiap orang muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat.
c.       Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh jika zalim.
d.      Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya Utsman ra dianggap telah menyeleweng.
e.       Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng.
f.       Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan menjadi kafir.
g.      Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga kafir.
h.      Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis (kacau) lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan risiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
i.        Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al-harb (Negara musuh), dan mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-islam (Negara islam).
j.        Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
k.      Wa’ad dan wa’id (orang baik harus masuk surga, dan yang jahat masuk neraka).
l.        Amar ma’ruf nahyi munkar.
m.    Memalingkan ayat-ayat Al-quran yang tampak mutasabihat (samar)
n.      Quran adalah makhluk.
o.      Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
c.       Perkembangan Khawarij
Perkembangan khawarij semakin meluas dan terbagi menjadi dua golongan yang pertama bermarkas di sebuah negeri Bathaih yang menguasai dan mengontrol kaum Khawarij yang berada di Persia yang dikepalai oleh Nafi bin Azraq dan Qathar bin Faja’ah, dan golongan yang kedua bermuara di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang berada di Yaman, Handharamaut, dan Thaif yang dikepalai oleh Abu Thalif, Najdah bin ‘Ami, dan abu Fudaika.
Terlepas dari berapa banyak subsekte pecahan Khawarij, tokoh-tokoh seperti Al-Bagdadi dan Al-Asfarayani, sepakat bahwa subsekte khawarij yang besar terdiri dari delapan macam, yaitu:
1.      Al-Muhakkimah                5. Al-Ajaridah
2.      Al-Azriqah                        6. As-Saalabiyah
3.      An-Nadjat                         7. Al-Abadiyah
4.      Al-Baihasiyah                   8. As-Sufriyah
Semua subsekte itu membicarakan persoalan hukum bagi orang yang berbuat dosa besar, apakah ia masih dianggap mukmin atau telah menjadi kafir. Tampaknya doktrin teologi ini tetap menjadi primadona dalam pemikiran mereka, sedangkan doktrin-doktrin lain hanya sebagai pelengkap saja.
2.      Aliran Murji’ah
a.      Sejarah kemunculan Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu, arja’a berarti pula meletakan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan. Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sekretarianisme (terikat pada satu aliran saja), baik sebagai kelompok politik maupun teologis.
Awal mula timbulnya Murji’ah adalah sebagai akibat dari gejolak dan ketegangan pertentangan politik yaitu soal khilafah (kekhalifahan) yang kemudian mengarah ke bidang teologi. Pertentangan politik ini terjadi sejak meninggalnya Khalifah Usman yang berlanjut sepanjang masa Khalifah Ali dengan puncak ketegangannya terjadi pada waktu perang Jamal dan perang Shiffin. Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman Ibn Affan, umat islam terbagi menjadi dua golongan yaitu kelompok Ali dan Muawiyyah. Kelompok Ali lalu terpecah menjadi dua yaitu Syi’ah dan Khawarij.
Setelah wafatnya Ali, Muawiyyah mendirikan Dinasti Bani Umayyah (661M). Kaum Khawarij dan Syi’ah yang saling bermusuhan, mereka sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayyah itu. Syi’ah menganggap bahwa Muawiyyah telah merampas kekuasaan dari tangan Ali dan keturunannya. Sementara itu, Khawarij tidak mendukung Muawiyyah karena ia dinilai telah menyimpang dari ajaran islam. Di antara ke tiga golongan itu terjadi saling mengkafirkan.
Dalam suasana pertentangan ini, timbul satu golongan baru yaitu Murji’ah yang ingin bersikap netral, tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan itu. Bagi mereka, sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah dan memandang lebih baik menunda penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di hadapan Tuhan.
Dari persoalan politik mereka tidak dapat melepaskan diri dari persoalan teologis yang muncul di zamannya. Waktu itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa besar. Persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum Khawarij mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan pembahasan bagi mereka. Terhadap orang yang berbuat dosa besar, kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir sedangkan kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin. Argumentasi yang mereka ajukan dalam hal ini bahwa orang islam yang  berdosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasul-nya. Dengan kata lain, orang yang mengucapkan kedua kalimat syahadat menjadi dasar utama dari iman.
Aliran Murji’ah ini berkembang sangat subur pada masa pemerintahan Dinasti bani Umayyah, karena bersifat netral dan tidak memusuhi pemerintahan yang sah. Dalam perkembangan berikutnya, lambat laun aliran ini tak mempunyai bentuk lagi, bahkan beberapa ajarannya diakui oleh aliran kalam berikutnya. Sebagai aliran yang berdiri sendiri, golongan Murji’ah ekstrim pun sudah hilang  dan tidak bisa ditemui lagi sekarang. Namun ajaran-ajarannya yang masih ekstrim itu masih didapati pada sebagian umat Islam yang menjalankan ajaran-ajarannya.
b.      Pemikiran dan doktrin-doktrin Murji’ah
1.    Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
2.    Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun.
3.    Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
4.    Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis (Helenis, Helenistik: Istilah yang dipakai secara tradisional oleh orang Yunani sendiri untuk menyebutkan nama etnik mereka)
Masih berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu :
1.    Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
2.    Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3.    Meletakkan (pentingnya) iman daripada amal.
4.    Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sementara itu, Abdul A’la al-Maududi menyebut ajaran Murji’ah dalam dua doktrin pokok, yaitu:
1.    Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardhukan dan melakukan dosa besar.
2.    Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madharat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk dapat pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan aqidah tauhid.
Sebagaimana aliran-aliran lain, aliran Murji’ah ini juga memiliki banyak sekte turunannya atau bias juga disebut subsekte. Perpecahan dalam kelompok Murji’ah ini tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat di kalangan para pendukung Murji’ah sendiri.
Pimpinan dari kaum Murji’ah adalah Hasan Ibn Bilal al-Muzni, Abu Salat as-Saman, Tsauban, Dirar Ibn Umar. Penyair mereka yang  terkenal pada masa Bani Umayyah adalah Tsabit Ibn Quthanah yang mengarang sebuah syair tentang I’tiqad dan kepercayaan kaum Murji’ah.
Secara garis besar, kelompok Murji’ah terbagi kepada dua golongan yakni golongan moderat dan golongan ekstrim. Golongan Murji’ah moderat tetap teguh berpegang pada doktrin Murjiah di atas. Sementara itu, golongan Murji’ah ekstrim memiliki doktrin masing-masing.
Yang termasuk golongan Murji’ah ekstrim antara lain:
1.    Golongan al-Jahmiyah yang dipelopori oleh Jahm Ibn Sofwan. Berpendapat bahwa iman adalah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datang dari Allah SWT. Sebaliknya, kafir adalah tidak mempercayai hal-hal tersebut di atas. Apabila seseorang sudah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datang dari Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan dalam perbuatannya hal-hal yang bertentangan dengan imannya, seperti berbuat dosa besar, syirik, dan minum minuman keras. Golongan ini juga meyakini surga  dan neraka itu tidak abadi, yang abadi hanya Allah SWT semata.
2.    Golongan al-Salihiyah dengan tokohnya  Abu Hasan as-Sahili. Sama dengan pendapat al-Jahmiyah, golongan ini berkeyakinan bahwa iman adalah semata-mata makrifat (mengetahui) kepada Allah SWT, sedangkan kufur (kafir) adalah sebaliknya yakni tidak mengetahui Allah SWT. Iman dan kufur itu tidak bertambah dan tidak berkurang. Menurut mereka, shalat itu tidak merupakan ibadah kepada Tuhan, karena yang disebut ibadah itu adalah beriman kepada Tuhan dalam arti mengetahui Tuhan.
3.    Golongan Yunusiah pengikut Yunus Ibn an-Namiri. Berpendapat bahwa iman adalah totalitas dari pengetahuan tentang Tuhan, kerendahan hati, dan tidak takabur. Kufur adalah kebalikan dari itu. Iblis dikatakan kafir bukan karena tidak  percaya kepada Tuhan, melainkan karena ketaburannya. Mereka juga percaya bahwa perbuatan jahat dan maksiat sama sekali tidak merusak iman.
4.    Golongan al-Ubaidiyah dipelopori oleh Ubaid al-Maktaib. Pendapatnya pada dasarnya sama dengan golongan al-Yunusiah. Sekte ini berpendapat bahwa jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan beriman, semua dosa dan perbuatan jahatnya tidak akan merugikannya. Perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik, banyak atau sedikit tidak akan memperbaiki posisi orang kafir.
5.    Golongan al-Gailaniyah dipelopori oleh Gailan al-Dimasyaqi. Berpendapat bahwa ima adalah makrifat (mengetahui) kepada Allah SWT melalui nalar dan menunjukkan sikap mahabbah (cinta) dan tunduk kepada-Nya.
6.    Golongan al-Saubaniyah dipimpin oleh Abu Sauban. Prinsip ajaranya sama dengan sekte al-Gailaniyah, namun mereka menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Dengan demikian, sekte ini mengakui adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya syari’at.
7.    Golongan al-Marisiyah dipelopori oleh Bisyar al-Marisi. Berpendapat bahwa iman di samping meyakini dalam hati bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu rasul-nya, juga harus diucapkan secara lisan. Jika tidak diyakini dalam hati dan diucapkan dengan lisan, maka bukan iman namanya. Sementara itu, kufur merupakan kebalikan dari iman.
8.    Golongan al-Karamiyah dipelopori oleh Muhammad Ibn Karram. Berpendapat bahwa iman adalah pengakuan secara lisan dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya seseorang dapat diketahui melalui pengakuannya secara lisan.
9.    Golongan al-Khassaniyah. Berpendapat jika seseorang mengatakan, “saya tahu bahwa Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, orang yang demikian tetap mukmin dan bukan kafir. Jika seseorang mengatakan, “saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah tetapi saya tak tahu apakah Ka’bah di India atau di tempat lain”, orang demikian juga tetap mukmin.
Menyikapi ajaran Murji’ah yang ekstrim itu, menurut Harun Nasution ada bahayanya karena dapat membawa pada moral latitude, sikap memperlemah ikatan moral masyarakat yang bersifat permissive, masyarakat yang dapat mentolelir penyimpangan dari norma-norma akhlak yang berlaku. Karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma akhlak bisa dipandang kurang penting dan diabaikan oleh orang-orang yang menganut faham demikian. Oleh karena itu, nama Murji’ah pada akhirnya mengandung arti tidak baik dan tidak disenangi oleh mayoritas umat islam.
BAB III
PENUTUP
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.        Khawarij sebagai sebuah aliran telogi adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju tehadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
2.        Perkembangan khawarij semakin meluas dan terbagi menjadi dua golongan yang pertama bermarkas di sebuah negeri Bathaih yang menguasai dan mengontrol kaum khawarij yang berada di Persia yang dikepalai oleh Nafi bin azraq dan Qathar bin Faja’ah, dan golongan yang kedua bermuara di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang berada di Yaman, Handharamaut, dan Thaif yang dikepalai oleh Abu Thalif, Najdah bin ‘Ami, dan abu Fudaika.
3.        Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu.  dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin dihadapan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Nata Abuddin. Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998.
Rozak Abdul, Rosihon Anwar. Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2003.
Hamdani, Maslani, Ratu Suntiah. Ilmu Kalam, Sega Asry, 2011.
Nasution, Harun, Theology Islam, UI Press, Jakarta, cet.II, 1972, hlm. 11.
Abul A’la Al-Maudidi, Al-Khalifah wa Al-Mulk, terj. Muhammad Al-baqir, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 279-80
no image

RUKUN DAN SYARAT NIKAH

syarat nikah
RUKUN DAN SYARAT NIKAH


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar  Belakang
Dengan  melihat apa-apa yang telah terjadi didalam kehidupan masyarakat, baik langsung ataupun tak langsung. Tentunya masih banyak terdapat persoalan-persoalan yang menjadi pertanyaan didalam kehidupan bermasyarakat. Persoalan itulah yang menjadi inspirasi penulis untuk membuat sebuah makalah yang berjudul rukun dan syarat pernikahan.
Adapun pernikahan itu sendiri adalah salah satu asas pokok yang paling utama dalam pergaulan atau menjadi masyarakat yang sempurna pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk mencapai pertolongan antara satu dengan yang lainnya.
Namun, untuk menuju suatu jenjang pernikahan tentunya memilki banyak kendala atau hal-hal yang perlu diperhatikan serta harus dilaksanakan seperti memenuhi criteria dalam menuju sebuah pernikahan. Salah satunya, harus melaksanakan rukun dan syarat pernikahan yang telah ditentukan.
Adapun rukun dan syarat pernikahan itu, nanti akan dibahas oleh penulis dalam bab pembahasan. Demikianlah alasan penulis untuk mengangkat rukun dan syarat pernikahan sebagai pokok permasalahan dalam makalah ini.
1.2.       Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulis dalam pembuatan tugas  ini, yaitu : Untuk memenuhi kewajiban penulis terhadap dosen yang bersangkutan, dan untuk menambah wawasan penulis mengenai munakahat
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.    Pengertian Munakahat ( Pernikahan )
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti bertemu, berkumpul. Menurut istilah  nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum syariat  Islam.  Menurut U U  No : 1 tahun 1974,  Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME. Keinginan untuk menikah adalah fitrah manusia, yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT.
Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani rokhaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis, teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis yang dapat dicintai dan mencintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, yang dapat diajak bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan hidup berumah tangga. Rasulullah SAW bersabda :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (رواه البخارى و مسلم)
Artinya :”Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup menikah, maka nikahlah. Karena nikah itu dapat menundukkan mata dan memelihara faraj (kelamin) dan barang siapa tidak sanggup maka hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan syahwat”. (HR. Bukhori Muslim)
Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut


2.2.    Rukun Nikah 
Rukun nikah adalah sebagai berikut:
a.         Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
b.        Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
c.         Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.” Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an.
Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
 فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)
d.        Wali, wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah atau orang yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.
Dalam hadits disebutkan:  
إِلاَّ بِوَلِيٍّ لاَ نِكَاحَ
Ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i)
Seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud)
Karena keberadaan wali nikah merupakan rukun, maka harus dipenuhi beberapa syarat. Dalam pasal 20 KHI ayat (1) dirumuskan sebagai berikut: “yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh”.
Wali nikah ada dua macam yaitu:
1.         Wali Nasab
Adalah wali yang hak perwalianya didasarkan karena adanya hubungan darah. Baik orang tua kandung, dan bisa juga wali aqrob dan ab’ad.
2.         Wali Hakim
Adalah wali yang hak perwalianya timbul, karena orang tua mempelai perempuan menolak (‘adhal) atau tidak ada, atau karena sebab lain.
e.         Dua orang saksi Saksi adalah orang yang menyaksikan sah atau tidaknya suatu pernikahan. Hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ (رواه الطبراني، وهو في صحيح الجامع 7558)
Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i)
2.3.       Syarat Nikah
a.         Syarat calon pengantin pria sebagai berikut :
1.         Beragama Islam
2.         Terang prianya (bukan banci)
3.         Tidak dipaksa
4.         Tidak beristri empat orang
5.         Bukan Mahram bakal istri
6.         Tidak mempunyai istri dalam yang haram dimadu dengan bakal isteri
7.         Mengetahui bakal istri tidak haram dinikahinya
8.         Tidak sedang dalam ihram atau umrah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 لاَ يُنْكِحُ الْـمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
Yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim)
b.        Syarat calon pengantin wanita sebagai berikut :
1.         Beragama Islam
2.         Terang wanitanya (bukan banci)
3.         Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
    لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458) Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya
tanpa seizinnya.
Nabi  صلى الله عليه وسلم  juga bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَالْمَهْرُ لَهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal. Jika ia telah digauli maka ia berhak mendapatkan mahar, karena lelaki itu telah menghalalkan kemaluannya. Jika terjadi pertengkaran di antara mereka, maka penguasalah yang menjadi wali atas orang yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Daud no. 1783, Tirmdizi no. 1021 dan Ibnu Majah no. 1869 Maktabah Syamilah)
4.         Tidak bersuami dan tidak dalam iddah
5.         Bukan mahram bakal suami
6.         Belum pernah dili'an ( sumpah li'an) oleh bakal suami.
7.         Terang orangnya
8.         Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah
c.         Syarat wali sebagai berikut :
1.         Beragama Islam
2.         Baligh
3.         Berakal
4.         Tidak dipaksa
5.         Terang lelakinya
6.         Adil ( bukan fasik )
7.         Tidak sedang ihram haji atau umrah
8.         Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah (mahjur bissafah)
9.         Tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya.
d.        Syarat saksi
1.         Beragama Islam
2.         Laki-laki
3.         Baligh
4.         Berakal
5.         Adil
6.         Mendengar {tidak tuli}
7.         Melihat (tidak buta)
8.         Bisa bercakap-cakap (tidak bisu)
9.         Tidak pelupa ( mughhaffal)
10.     Menjaga harga diri ( menjaga muru'ah)
11.     Mengerti maksud ijab dan qobul
12.     Tidak merangkap menjadi wali
e.         Ijab dan Qabul Ijab dan qabul harus berbentuk dari asal kata "inkah" atau "tazwij" atau terjemahan dari kedua asal kata tersebut yang dalam bahasa Indonesia berarti "Menikahkan". Contoh :
1.         Ijab dari wali calon mempelai perempuan : Hai Wulan bin, saya nikahkan fulanah, anak saya dengan engkau, dengan ;mas kawin (mahar).
2.         kabul dari calon mempelai pria ; saya terima nikahnya fatimah binti........ dengan maskawin (mahar)............



BAB III
PENUTUP
3.1.    Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas, yang telah kami bahas. Maka kami mengambil kesimpulan, yaitu sebagai berikut :
1.      Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut.
2.        Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
3.2.    Saran
Sebagai penutup dari makalah ini, tak luput pula kami ucapkan ribuan terima kasih pada semua rekan-rekan yang telah banyak membantu dalam pembuatan makalah  ini. Di samping itu, masih banyak kekurangan serta jauh dari kata kesempurnaan,  tetapi  kami semua telah berusaha semaksimal munkin dalam pembutan makalah yang amat sederhana ini. Maka, dari pada itu . kami semua sangat berharap kepada semua rekan-rekan untuk memberi kritik atau sarannya, sehingga dalam pembuatan makalah selanjutnya bisa menjadi yang lebih baik.
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net