• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Senin, 26 Maret 2012
no image

‘IDDAH PEREMPUAN HAMIL KARENA ZINA : STUDI PASAL 53 KHI

 ‘IDDAH PEREMPUAN HAMIL KARENA ZINA : 
STUDI PASAL 53 KHI

PEREMPUAN HAMIL KARENA ZINA
BAB I

PENDAHULUAN


Latar Belakang Masalah

Hukum merupakan esensi yang disaring dari peradaban suatu bangsa dan sekaligus mencerminkan jiwa suatu bangsa secara lebih jelas dari lembaga lain yang ada.[1](  Kedudukan hukum dalam Islam adalah sebagai inti dan saripati ajaran Islam itu sendiri.  Sehingga sangatlah tidak mungkin untuk dapat memahami Islam tanpa memahami hukum Islam.[2])
Hukum Islam[3]) dalam catatan  sejarah telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan.  Hal tersebut menunjukkan suatu dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri dan menggambarkan benturan-benturan agama dengan perkembangan sosial budaya dimana hukum itu tumbuh.[4])  Karena pada dasarnya ijtihad dalam hukum Islam merupakan hasil interaksi antara pemikir hukum dengan faktor sosial-budaya dan faktor sosial-politik yang mengitarinya.[5])
Sejarah Islam pada masa modern ini diwarnai oleh peristiwa – peristiwa yang sangat mendasar dan besar sekali pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran hukum Islam pada masa-masa mendatang. Pertama, peristiwa merembesnya ide-ide modern yang berasal dari Barat seperti ide nasionalisme, rasionalisme, demokrasi, emansipasi, sekularisasi, dan lain-lain yang pada akhirnya ide-ide tersebut mengubah struktur kebudayaan Islam klasik pada tingkat sosial kemasyarakatan maupun pada tingkat politik kenegaraan.  Kedua, peristiwa runtuhnya tradisi sistem khilafah berganti dengan sistem kekuasaan negara nasional.  Ummat Islam yang sebelumnya bersatu dalam kekuasaan imperium Islam dan akhirnya jatuh dalam dominasi kekuasaan kolonialis Barat, setelah merdeka mereka mempunyai kesempatan membangun corak kehidupan masyarakat yang mereka kehendaki.  Konsekuensi logis dari berdirinya negara-negara muslim tersebut melahirkan upaya perancangan sistem hukum nasional sesuai aspirasi sosial politik masing-masing.[6])
Pada dewasa ini pembaharuan hukum Islam telah menjadi suatu kebutuhan di negara-negara muslim.[7])  Meskipun pada kenyataannya pembaharuan hukum Islam di negara-negara muslim masih terbatas pada wilayah hukum keluarga,  setidaknya fenomena tersebut mencerminkan bahwa aktifitas ijtihad masih tetap hidup pada era globalisasi ini.  Karena tanpa adanya ijtihad pasti hukum Islam akan kehilangan sifat elastis dan akomodatifnya dalam merespon permasalahan baru yang muncul seiring dengan perubahan zaman.
Di Indonesia upaya pembaharuan hukum Islam telah menghasilkan wujud yang konkret.  Salah satunya adalah Kompilasi Hukum Islam yang patut dinilai sebagai ijma’ ulama Indonesia.[8])  Namun mencermati gagasan-gagasan yang ada dalam KHI, kesimpulan yang dapat diperoleh adalah pemanfaatan lembaga talfiq dan takhayyur dalam fomulasi hukumnya.  Nilai lebih dari proses penyusunan KHI adalah referensi dari 38 buah kitab dari berbagai mazhab fiqh yang ada, studi banding ke negara-negara muslim  Timur Tengah, telaah yurisprudensi dan serangkaian wawancara dengan para ulama Indonesia.[9])
Dasar hukum KHI adalah Instruksi Presiden No.1 tahun 1991 yang dikeluarkan pada tanggal 10 Juni 1991. Kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama No.154 tahun 1991 mengenai penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.[10]) Meskipun KHI oleh pakar hukum di Indonesia tidak dinyatakan sebagai hukum perundang – undangan yang berlaku di Indonesia namun seluruh jajaran peradilan agama di Indonesia sudah mengakuinya sebagai hukum dan pedoman yang harus dijalankan dan dipatuhi oleh umat Islam sehingga KHI dapat disebut sebagai undang – undang Islam.[11])
Adapun pendekatan yang digunakan di dalam penyusunan KHI mencakup beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan normatif. Yaitu bahwa  perumusan KHI mengambil bahan sumber utama dari nas{s} al-Qur’an dan Sunnah. Kedua, mengutamakan pemecahan problema masa kini. Ketiga, unity dan variety. Dan keempat, pendekatan kompromi dengan hukum adat.[12]) Keempat pendekatan tersebut digunakan di dalam merumuskan KHI yang terdiri dari tiga kitab hukum. Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan dan Buku III tentang Perwakafan.
Dalam pendekatan yang lebih mengutamakan pemecahan problema masa kini dimaksudkan bahwa di dalam perumusan KHI sejauh mungkin dihindari perdebatan di dalam mempersoalkan perbedaan pendapat ulama. Akan tetapi langsung diarahkan kepada masalah yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat, kemudian baru dicari dan dipilih pendapat yang paling potensial untuk memecahkan problema ketidaktertiban yang dihadapi selama ini.[13]) Dalam hal ini tampak sekali pemanfaatan lembaga talfi>q dan takhayyur dalam formulasi hukum KHI.
Akhir-akhir ini perubahan peradaban manusia semakin akseleratif. Sejalan dengan tuntutan perkembangan jaman, manusia semakin banyak kehilangan nilai-nilai yang diyakini sebelumnya. Manusia semakin dihadapkan pada perbenturan dan erosi nilai-nilai moral dan keluhuran. Budaya permisif dan serba terbuka memerangkap manusia hingga berkubang di dunia kemaksiatan.
Pergaulan bebas hingga free sex melanda kalangan muda-mudi hingga resiko kehamilan di luar nikah. Sementara pihak yang mengalami selalu berusaha untuk menutupi kehamilan di luar nikah tersebut dengan terpaksa mengawinkan anak perempuannya dengan laki-laki yang menghamili maupun yang bukan menghamili.
Sebenarnya masalah ‘iddah secara umum adalah sesuatu yang sudah disepakati oleh para ulama selain juga telah dijelaskan secara eksplisit oleh nass al-Qur’an maupun Sunnah. Akan tetapi ketika ‘iddah tersebut dihadapkan pada suatu peristiwa yang tidak lazim, seperti seorang perempuan yang hamil karena zina maka ‘iddah tersebut menjadi sebuah masalah yang membutuhkan pengkajian secara cermat.
Bagaimanapun  ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina tersebut akan membawa implikasi pada kebolehan akad nikah, dalam arti syah atau tidaknya perkawinan tersebut. Selain itu ‘iddah perempuan hamil karena zina tidak dijelaskan secara eksplisit baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah sehingga mengundang perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Menurut Sya>fi’iyyah dan H}anafiyyah perempuan hamil karena zina tidak diwajibkan untuk menjalankan ‘iddah, karena ‘iddah bertujuan untuk menjaga nasab sementara persetubuhan dalam bentuk zina tidak menyebabkan hubungan nasab dengan laki – laki yang menyebabkan hamil.[14]) 
Sebagian ulama H>>}anafiyyah menambahkan bahwa  terdapat larangan bagi suami untuk menggauli isterinya itu selama masih dalam keadaan hamil sampai isterinya melahirkan.[15]) Adapun menurut Sya>fi’iyyah tidak ada larangan untuk menggauli isterinya tersebut meskipun masih dalam keadaan hamil.[16])
Ulama Ma>likiyyah berpendapat bahwa perempuan yang dicampuri dalam bentuk zina sama hukumnya dengan perempuan yang dicampuri secara syubhat, berdasarkan akad yang batil maupun fasid yaitu dia harus menyucikan dirinya dalam waktu yang sama dengan ‘iddah kecuali jika dikehendaki untuk dilakukan hadd atas dirinya, maka ia cukup menyucikan dirinya dengan satu kali haid.[17])
Ulama H}ana>bilah menyatakan bahwa  ‘iddah perempuan hamil karena zina seperti halnya ‘iddah yang berlaku bagi isteri yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil yaitu sampai dengan melahirkan.[18]) Konsekuensi dari pendapat ini adalah larangan untuk menikahi perempuan tersebut pada waktu hamil. Pendapat ini didasarkan pada hadis\ Nabi :
لايحل  لإمرئ  يؤمن  بالله   واليوم  الآخر  ان يسقى  ماءه زرع  غيره     ([19]
لاتوطأ  حامل  حتى  تضع  ,  ولا غير  ذات  حمل   حتى   تحيض  حيضة      ([20]

Sementara itu jika meninjau hukum positif di Indonesia ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina secara implisit diatur dalam pasal 53 KHI sebagai berikut :
Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dari pasal 53 ayat 2 di atas dapat dipahami bahwa  tidak ada kewajiban ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina jika ia dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Persoalan yang kemudian muncul adalah jika perempuan hamil karena zina tersebut menikah dengan laki-laki yang tidak menghamilinya. Dalam hal ini KHI belum memberikan penjelasan.
Berangkat dari persoalan di atas penyusun ingin melakukan analisis  terhadap ketentuan pasal 53 ayat 2 KHI tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina.

Pokok Masalah

Bagaimana ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam Kompilasi Hukum Islam ?
Bagaimana analisis hukum ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam Kompilasi Hukum Islam ?

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam Kompilasi Hukum Islam.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan analisis hukum ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam Kompilasi Hukum Islam.
Kegunaan
Terapan
Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya wacana intelektual bagi para peminat dan pengkaji hukum Islam khususnya dalam bidang perkawinan.
Ilmiah
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan di dalam perumusan ketentuan ‘iddah perempuan hamil karena zina.

D.      Telaah Pustaka

Bahan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua kategori. Pertama, bahan pustaka yang membahas tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina. Kedua,bahan pustaka yang membahas seputar KHI.
Diantara bahan pustaka yang termasuk dalam kategori pertama adalah buku Hukum Perkawinan Islam.[21]) Dalam buku tersebut dijelaskan prbedaan pendapat yang berkembang di kalangan fuqaha tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina. Menurut pendapat Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan dan Syafi’i perkawinan wanita hamil karena zina dengan laki-laki kawan berzinanya itu dapat dilakukan seketika tanpa harus menunggu sampai melahirkan kandungan sebab wanita tersebut tidak disebutkan dalam al-Qur’an termasuk wanita yang haram dinikah sebagaimana dijelaskan dalam Surat an-Nisa>’: 24. Dalam  ayat itu dinyatakan bahwa selain yang telah disebutkan sebelumnya halal dikawin. Sedangkan Abu Yusuf, Zufar, Malik, dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa perempuan yang hamil karena zina wajib menjalankan ‘iddah yaitu sampai melahirkan.
Kemudian buku Hubungan Seks Menurut Islam[22]). Dalam bab kelima tentang zina terdapat uraian perbedaan pendapat tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina di kalangan fuqaha. Imam Ahmad dan Malik mewajibkan ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina sementara Abu Hanifah dan Syafi’i tidak mewajibkan ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina. Akan tetapi seorang ulama Hanafiyah yaitu Abu Yusuf, berpendapat bahwa perempuan hamil karena zina wajib menjalankan ‘iddah.
Selanjutnya buku Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil.[23]) Dalam buku ini juga dijelaskan perbedaan pendapat fuqaha berkaitan dengan ‘iddah perempuan hamil karena zina. Selain menjelaskan pendapat fuqaha sebagaimana telah dijelaskan dalam buku-buku sebelumnya, dalam buku ini dijelaskan pendapat An-Nawawi bahwa seorang wanita yang berzina tidak wajib ber’iddah baik sedang dalam keadaan hamil atau tidak. Sedangkan Ibn Hazm seorang ulama mazhab Z|a>hiri berpendapat bahwa wanita hamil karena zina boleh dikawinkan walaupun belum melahirkan anaknya.
Buku Meretas Kebekuan Ijtihad : Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia.[24]) Dalam buku ini juga terdapat uraian seputar perbedaan pendapat yang berkembang di kalangan fuqaha tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina sebagaimana dijelaskan dalam buku-buku sebelumnya.
Selain buku-buku di atas juga terdapat beberapa kitab fiqh yang menjelaskan masalah ‘iddah perempuan hamil karena zina, antara lain adalah Kita>>>>b al-Fiqh ‘ala> Maz\a>hib al-Arba’ah.[25]) Dalam juz IV Kita>b at-T}ala>q dijelaskan perbedaan pendapat tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina dari keempat imam maz}hab Sunni sebagaimana yang telah dijelaskan dalam buku-buku sebelumnya.
Dalam kitab Bida>>>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtas}id,[26])dijelaskan bahwa terjadinya perbedaan pendapat antara yuris Ma>likiyah dengan yuris-yuris pada umumnya (jumhur) dalam masalah ‘iddah perempuan hamil karena zina disebabkan karena perbedaan mereka dalam memahami larangan mengawini wanita yang berzina (Q.S.An-Nu>r (24) : 3), apakah hanya bersifat mencela atau mengharamkan. Sebagian besar mereka menangkap pesan ayat tersebut sebagai celaan saja dengan bukti bahwa penah terjadi kasus penyelewengan seorang isteri yang disarankan oleh Nabi agar diceraikan tetapi suaminya merasa keberatan hingga akhirnya Nabi merestui meneruskan rumah tangganya tanpa istibra>’ lagi.
Selanjutnya dalam kitab al-Mughni>,[27])dijelaskan pendapat ulama H}ana>bilah bahwa ‘iddah perempuan hamil karena zina seperti ‘iddah yang berlaku bagi isteri yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil yaitu sampai melahirkan. Kemudian Fiqh as-Sunnah,[28])dalam kitab ini dijelaskan bahwa menurut ulama H}anafiyyah dan Sya>fi’iyyah perempuan hamil karena zina tidak diwajibkan ‘iddah karena ‘iddah bertujuan untuk menjaga nasab sedangkan persetubuhan dalam bentuk zina tidak menyebabkan hubungan nasab dengan laki-laki yang menyebabkan hamil. Sedangkan menurut Malik dan Ahmad perempuan hamil karena zina wajib menjalankan ‘iddah, baik dengan tiga kali haid atau cukup sekali haid untuk mengetahui kebersihan rahim.
Adapun bahan pustaka yang termasuk dalam kategori kedua misalnya buku Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum di Indonesia.[29]Dalam tulisan Harahap tentang “Materi KHI” dijelaskan pendekatan yang ditempuh dalam merumuskan kebolehan kawin hamil, yaitu berdasarkan pendekatan kompromistis dengan hukum adat. Selain itu tujuan utama kebolehan kawin hamil adalah untuk memberikan perlindungan hukum yang pasti kepada anak yang dalam kandungan. Selanjutnya buku Hukum Islam di Indonesia.[30]) Dalam buku ini terdapat penjelasan tentang proses perumusan dan sumber rujukan KHI yang terdiri dari 38 buah kitab fiqh dari berbagai mazhab fiqh yang ada. Adapun proses perumusan KHI mencakup studi terhadap berbagai kitab fiqh, studi banding ke negara-negara muslim Timur Tengah, telaah yurisprudensi, dan serangkaian wawancara dengan para ulama Indonesia.
            Sejauh pengetahuan penyusun, sedikitnya ada tiga skripsi yang pernah membahas masalah ‘iddah perempuan hamil karena zina. Pertama , skripsi yang berjudul “ ‘Iddah Perempuan yang Berzina Antara Imam Syafi’i dengan Imam Ahmad bin Hanbal”. [31]) Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa menurut Imam Syafi’i perempuan hamil karena zina tidak wajib menjalankan ‘iddah dan boleh dicampuri meskipun dalam keadaan hamil. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal bependapat bahwa perempuan hamil karena zina wajib menjalankan ‘iddah sampai melahirkan. Kedua, skripsi yang berjudul “Analisis terhadap pendapat Imam Ahmad bin Hanbal tentang ‘Iddah Bagi Wanita Zina dan Implikasinya di Indonesia”.[32]). Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, perempuan hamil karena zina wajib melaksanakan ‘iddah sampai melahirkan dan penyusun skripsi ini berkesimpulan bahwa jika pendapat Imam Ahmad bin Hanbal ini diterapkan dalam konteks masyarakat Indonesia akan menyebabkan kesenjangan sosial. Dan yang terakhir, skripsi yang berjudul “ Pandangan Mazhab Maliki Terhadap ‘Iddah Perempuan Yang Berzina Dan Aplikasinya di Indonesia”.[33]) Dalam skripsi tersebut didiskripsikan metode istinbat hukum yang digunakan oleh mazhab Maliki dalam menetapkan ‘iddah yaitu berdasarkan qiyas disertai dengan bagaimana aplikasi pendapat Maliki tersebut di Indonesia. Menurut penyusun skripsi tersebut pendapat Maliki tidak relevan jika diterapkan di Indonesia karena akan menimbulkan kesenjangan sosial.
            Adapun kajian yang membahas pasal 53 ayat 2 KHI tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina dengan memberikan analisis hukum, sejauh pengetahuan penyusun masih jarang, untuk tidak mengatakan belum pernah ada.           

E.      Kerangka Teoretik

Sebagaimana diketahui bahwa ‘iddah bagi perempuan hamil dapat dibedakan menjadi dua.  Pertama, apabila isteri dicerai suaminya dalam keadaan hamil maka ‘iddahnya sampai melahirkan berdasarkan firman Allah:
والئي يئسن من المحيض من نسائكم ان ارتبتم فعدتهن ثلثة اشهر والئي لم يحضنج واولا ت الاحمال اجلهن ان يضعن حملهنج ومن يتق الله يجعل له من امره يسرا   ([34]

Kedua, apabila isteri ditinggal mati  oleh suaminya dalam keadaan hamil.  Mayoritas ulama menurut Ibn Rusyd[35]) berpendapat bahwa masa ‘iddah perempuan tersebut adalah sampai melahirkan, meskipun selisih waktu kematian suami hingga ia melahirkan hanya setengah bulan atau kurang dari empat bulan sepuluh hari.[36])  Sementara menurut Ma>lik dan Ibn ‘Abba>s masa ‘iddah perempuan tersebut diambil waktu yang terlama dari dua jenis ‘iddah tersebut apakah empat bulan sepuluh hari atau sampai melahirkan.
Sepanjang kedua jenis ‘iddah bagi  perempuan diatas mungkin tidak begitu banyak mengundang kontroversi karena masing-masing telah dijelaskan oleh nass secara eksplisit.  Akan tetapi dalam hal ’iddah bagi perempuan hamil karena zina maka tidak ada penjelasan secara eksplisit oleh nas. Sebagai konsekuensinya maka muncul perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang ada tidaknya kewajiban ‘iddah bagi perempuan tersebut ataupun tenggang waktu masa ‘iddah tersebut.
Mengenai ada atau tidaknya kewajiban ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina, maka ulama telah bersepakat bahwa jika perempuan hamil karena zina tersebut menikah dengan laki-laki yang menghamilinya tidak diwajibkan ‘iddah.[37]) Sedangkan apabila menikah dengan laki-laki yang tidak menghamilinya terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Menurut ulama Sya>fi’iyyah dan sebagian ulama H}anafiyyah berpendapat bahwa  perempuan tersebut tidak wajib menjalankan ‘iddah. Dalam arti bahwa  perempuan tersebut dapat langsung dikawini pada waktu hamil, akan tetapi menurut H}anafiyyah selama isteri tersebut masih dalam keadaan hamil terdapat larangan bagi suami untuk menggaulinya berdasarkan pada hadis\ Nabi :
لايحل  لإمرئ  يؤمن  بالله   واليوم  الآخر  ان يسقى  ماءه زرع  غيره    ([38]

Sedangkan Imam Sya>fi’i menyatakan bahwa  tidak ada larangan bagi suami untuk menggauli isterinya itu pada pada waktu masih dalam keadaan hamil, tetapi status anak itu tidak dapat dinasabkan kepada suaminya.[39]) Adapun  ulama Ma>likiyah dan H}ana>bilah mewajibkan perempuan yang hamil karena zina untuk menjalankan ‘iddah, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang tenggang waktu ‘iddah tersebut. Menurut ulama H}ana>bilah tidak ada perbedaan antara perempuan hamil karena zina atau bukan dalam hal ber’iddah yaitu sampai melahirkan anak yang dikandungnya.[40]) Sedangkan ulama Ma>likiyyah berpendapat bahwa perempuan yang dicampuri dalam bentuk zina sama hukumnya dengan perempuan yang dicampuri secara syubhat, berdasarkan akad yang batil maupun fasid yaitu dia harus menyucikan dirinya dalam waktu yang sama dengan ‘iddah kecuali jika dikehendaki untuk dilakukan hadd atas dirinya, maka ia cukup menyucikan dirinya dengan satu kali haid.[41])
Sedangkan di dalam KHI pasal 53 tidak terdapat penjelasan jika perempuan yang hamil karena zina tersebut menikah dengan laki-laki yang tidak menghamilinya.
Sejauh pemahaman penyusun jika perempuan yang berzina tersebut sudah terlanjur hamil, sementara laki-laki yang menghamilinya tidak bertanggung jawab maka lebih baik dinikahkan meskipun dengan laki-laki yang tidak menghamilinya tanpa harus menunggu kelahiran anak yang ada dalam kandungan. Karena selain dapat menutup aib baik bagi perempuan tersebut maupun keluarganya juga dapat meringankan beban psikologis yang nantinya akan ditanggung oleh anak yang ada dalam kandungan pada masa-masa pertumbuhannya. Dalam hal ini berlaku kaidah fiqh :

درء المفاسد اولى من جلب المصالح[42] )
           
Kondisi perempuan yang sudah terlanjur hamil sangat membutuhkan dukungan psikologis maupun ekonomi demi anak yang ada di dalam kandungan.

F.   Metode Penelitian

1.      Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research), yaitu suatu jenis penelitian yang didalam memperoleh bahan dilakukan dengan cara menelusuri bahan-bahan pustaka. Dalam penelitian ini cukup ditempuh dengan penelitian pustaka karena sebagian besar data yang diperlukan berasal dari bahan pustaka baik berupa buku maupun hasil penelitian. Misalnya untuk mendiskripsikan ‘iddah perempuan hamil karena zina dapat diperoleh dari kitab-kitab fiqih konvensional, kemudian untuk mengetahui ketentuan ‘iddah tersebut menurut KHI dapat dilihat pada KHI.
2.      Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis. Setelah data terkumpul akan dideskripsikan terlebih dahulu seputar masalah ‘iddah secara umum. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan pada pokok masalah tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina dan terakhir akan dianalisis ketentuan yang terdapat dalam KHI berkaitan dengan ‘iddah tersebut.
3.      Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang ditempuh dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-normatif-sosiologis. Pendekatan yuridis digunakan untuk mengetahui ketentuan ‘iddah perempuan hamil karena zina di dalam KHI. Sementara untuk mengetahui dalil-dalil dari nass baik al-Qur’an maupun Sunnah tentang ‘iddah serta pendapat ulama dalam kitab-kitab fiqh konvensional digunakan pendekatan normatif. Adapun untuk mengkaji dampak yang muncul dalam interaksi  sosial ditempuh pendekatan sosiologis.
4.      Pengumpulan Data
Sesuai dengan jenis penelitian ini maka data-data yang dibutuhkan dikumpulkan dengan cara menelusuri buku-buku maupun hasil penelitian yang memiliki kesesuaian dengan pokok masalah.
5.      Analisa Data
Data-data yang telah diperoleh akan dianalisa secara kualitatif dengan mengunakan metode induktif. Metode induktif adalah suatu metode penalaran yang bertitik tolak dari premis-premis khusus kemudian digeneralisasikan sehingga menghasilkan kesimpulan umum. Dengan memperhatikan faktor psikologis maupun sosiologis dihubungkan dengan kondisi perempuan hamil karena zina serta pendapat yang berkembang di kalangan ulama akan ditarik suatu kesimpulan.

G.  Sistematika Pembahasan

Pembahasan skripsi ini dibagi menjadi lima bab.  Setiap bab terdiri dari sub-sub bab.
Bab satu berisi pendahuluan untuk mengantarkan pembahasan skripsi secara keseluruhan.  Bab ini terdiri dari enam sub bab : latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoretik, metode penelitian.
Selanjutnya pada bab dua akan dideskripsikan tinjauan umum tentang ‘iddah. Bab ini terdiri dari beberapa sub bab, antara lain : pengertian dan dasar hukum ‘iddah, macam-macam ‘iddah, dan hikmah ‘iddah dan ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam pandangan ulama. Urgensi dari bab kedua ini adalah untuk memperoleh pemahaman tentang ‘iddah dan hikmah ditetapkannya semantara pemaparan pandangan ulama terhadap ‘iddah perempuan hamil karena zina akan digunakan sebagi suatu penilaian dalam menganalisis ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam KHI sebagaimana akan dijelaskan dalam bab ketiga.
 Bab tiga menjelaskan ketentuan ‘iddah yang terdapat di dalam KHI, baik ‘iddah yang telah dijelaskan secara eksplisit oleh nas}s} maupun ‘iddah yang masih mengundang kontroversi pendapat, yaitu ‘iddah perempuan hamil karena zina. Dalam menjelaskan ketentuan ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam KHI ini akan dibagi menjadi dua pasal. Pertama, ‘iddah perempuan hamil karena zina jika dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya. Kedua, ‘iddah perempuan hamil karena zina jika dikawinkan dengan laki-laki yang tidak menghamilinya. Bab tiga ini akan menjadi bahan yang akan dianalisis pada bab selanjutnya.
Pada bab empat akan diberikan analisis terhadap ketentuan ‘iddah perempuan hamil karena zina baik yang menikah dengan laki-laki yang menghamilinya atau bukan. Akan tetapi sebelumnya akan diuraikan latar belakang perumusan pasal 53 KHI untuk mengetahui pendekatan yang digunakan maupun tujuan perumusan pasal tersebut.
Kemudian pada bab lima sebagai penutup akan diberikan kesimpulan akhir disertai dengan saran-saran.


Selengkapnya Silahkan  >>> DOWNLOAD

Tags: ‘IDDAH PEREMPUAN HAMIL KARENA ZINA : STUDI PASAL 53 KHI
no image

Hukum Umroh Studi Komparasi Antara Mazab Maliki dan Mazhab Syafi'i


Hukum Umroh Studi Komparasi Antara Mazab Maliki dan Mazhab Syafii

hukum umroh
BAB I
 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Manusia tidak sekedar sebagai binatang yang berakal. Bukan pula sebuah benda mati yang tunduk kepada undang-undang atau kekuasaan, dan bukan sebuah mesin yang bergerak di bawah hukum tertentu atau di atas jalan yang telah digariskan. Ia adalah akal, hati, keimanan, perasaan, ketaatan, kepatuhan dan kecintaan. Dalam semua itu terdapat rahasia kekuatan, kecermerlangan, kreasi dan pengorbanannya. Dengan demikian, ia dapat mengatasi kesulitan dan mampu membuat hal-hal yang luar biasa. Ia berhak memikul amanat Allah yang tidak dapat dipikul oleh langit, bumi, dan gunung. Semuanya enggan untuk memikulnya, sehingga dipikul oleh manusia, dan sampailah ia kepada sesuatu yang tidak pernah dicapai oleh para malaikat, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati.[1]
Hubungan manusia dengan Tuhannya, bukan hanya hubungan yang legal atau logis dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban-Nya, tunduk di hadapan-Nya dan mentaati perintah-perintah serta hukum-hukum-Nya.      Melainkan sesuatu yang harus diiringi dan dihubungkan dengan kerinduan dan kecintaan.[2] Seorang Muslim membutuhkan suatu santapan hati dan bekal cinta. Ia merasa butuh untuk memenuhi harapannya, dan untuk memuaskan rasa dahaganya dari masa ke masa. Ia juga merasa butuh memenuhi gelasnya, namun apalah artinya sebuah gelas yang diisi namun tidak pernah terpenuhi? Ia pun merasa butuh untuk membanjiri gelas yang dipenuhi tapi tidak pernah banjir?[3]
Islam sebagai agama paripurna telah memberikan tuntunan kepada para pemeluknya agar melakukan berbagai kewajiban. Islam telah mensyari’atkan berbagai bentuk ibadah yang dapat membersihkan jiwa seseorang, mengangkat derajat rohani dan jasmaninya serta tidak menyia-nyiakan kepentingan manusia untuk memakmurkan dunianya. salah satu bentuk amal ibadah bagi orang Islam adalah melaksanakan ibadah ‘umrah.[4] Dalam hal ini, ka’bah dan syi’ar-syi’ar Allah yang ada di sekelilingnya, adalah sesuatu yang paling baik untuk merealisasikan keinginannya dan menghibur kerinduan serta kecintaannya.
Umat Islam diwajibkan melakukan berbagai ritual, yang adakalanya ritual tersebut pernah dilakukan umat-umat sebelumnya. Perintah salat, misalnya merupakan bentuk syari’at klasik pada masa Ibrahim AS dan Nabi-nabi sebelumnya, bahkan Gereja Kristen Ortodoks hingga kini juga melakukan ritual salat yang tidak berbeda jauh dengan umat Islam.
Di antara ritual yang amat menggoreskan kenangan dan magis bagi para pelakunya adalah ibadah haji dan ‘umrah. Sesungguhnya ibadah haji dan ‘umrah adalah menapak tilas leluhur kita, Nabi Ibrahim AS yang menginjakkan kaki di kota yang gersang dan tandus, Mekkah al-Mukarramah. Rangkaian ibadah haji meliputi ih}ra>m, wuqu>f di ‘Arafah, t}awa>f, sa’i, mabit di Muzdalifah dan Mina>, melempah jumrah, tahallul, dan dikerjakan secara berurutan.  Sedangkan ibadah 'umrah dilaksanakan sama seperti ibadah haji, minus wuqu>f di ‘Arafah, mabit di Muzdalifah dan Mina>, serta melempar jumrah. Ibadah ‘umrah juga dapat dilakukan sewaktu-waktu, berbeda dengan ibadah haji yang telah ditentukan waktunya.
Dilihat dari aspek moral spiritualnya, ibadah ini merupakan puncak taqarrub ilahiyah (upaya pendekatan diri kepada Allah). Sedang dilihat dari aspek sosial edukatifnya ibadah ini merupakan upaya pendekatan kemanusiaan. Dengan demikian, di dalam pelaksanaannya nilai-nilai moral berpadu dengan nilai-nilai sosial. Di samping itu juga diorientasikan untuk menghayati perjuangan Nabi Ibrahim AS dalam meletakkan monumen ajaran tauhid (keesaan Tuhan), sesuatu yang kemudian secara serius juga diperjuangkan oleh Nabi Muhammad SAW.[5]
Menurut pendapat jumhur ulama’, ibadah haji disyari’atkan pada tahun 6 H. Namun, menurut Ibnul-Qayyim ibadah haji disyari’atkan pada tahun 9/10 H.[6] Karena pada tahun itu, kaum muslimin di Madinah dan di seluruh tanah Arab menunaikan ibadah haji ke Mekkah yang telah bersih dari berhala-berhala.[7] Dalam pada itu, tidak seorang ulama’ pun yang berbeda pendapat tentang hukum haji. Kesemuanya tanpa kecuali sepakat, bahwa ibadah haji wajib dikerjakan oleh orang Islam yang mampu. Siapa yang mengingkarinya, berarti ia telah kafir.[8] Dalil kewajiban haji adalah firman Allah SWT:
ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا [9]
وأتموا الحج والعمرة لله [10]
Sementara itu, para ulama’ berbeda pendapat tentang hukum ‘umrah, apakah ‘umrah itu wajib atau sunnah hukumnya. Mereka terbelah ke dalam dua kubu. Kubu pertama, yaitu golongan ulama’ yang mewajibkan ‘umrah adalah ulama’ Sya>fi’iyyah [11] dan Hana>bilah. Pendapat ini juga sejalan dengan ‘Umar, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abba>s, dan Ja>bir bin ‘Abdullah dari kalangan sahabat, Sa’i>d bin Jubai>r dan Sa’i>d bin al-Musayyab dari kalangan tabi’in. Kubu kedua, yaitu golongan ulama’ yang menyatakan bahwa ‘umrah itu sunnah adalah ulama’ Ma>liki>yyah dan Hana>fi>yyah. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Ibnu Mas’u>d dari kalangan sahabat.[12]
Kedua pendapat yang berbeda ini tentu amat bertentangan secara diametral. Pendapat yang mewajibkan ‘umrah, mengharuskan seorang muslim agar mengerjakannya tatkala ia telah mempunyai kemampuan fisik dan finansial, dan  apabila ia tidak mengerjakannya, maka ia berdosa. Sedang pendapat yang menyatakan ‘umrah itu sunnah, hanya menganjurkan dengan sangat seorang muslim agar mengerjakan ‘umrah, tanpa dikenai sanksi dosa.
Menilik dari kedua implikasi di atas, kiranya perbedaan pendapat tentang hukum umrah menarik untuk diperbandingkan. Dalam skripsi ini, akan diperbandingkan antara pendapat maz\hab Sya>>fi’i dan maz\hab Ma>liki. Maz\hab Sya>fi’i dipilih karena maz\hab inilah yang berkembang luas dan dianut hampir seluruh rakyat Indonesia. Sedang, maz\hab Ma>liki dipilih karena Ima>m asy-Sya>fi’i, sebagai pendiri maz|hab Sya>fi’i pernah berguru dan menimba ilmu dari Ima>m Ma>lik.

B.    Pokok Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat ditarik beberapa permasalahan yang perlu dibahas yaitu:
1.         Bagaimanakah istinba>t} yang dikemukakan maz\hab Sya>fi’i dan maz\hab Ma>liki mengenai hukum ‘umrah?
2.         Bagaimanakah validitas dalil yang digunakan oleh kedua maz\hab tersebut mengenai masalah di atas?
3.       Manakah di antara kedua pendapat di atas yang ra>jih?

C.    Tujuan dan Kegunaan

Skripsi ini diharapkan mampu memberikan jawaban bagi pokok masalah yang telah dipaparkan. Untuk lebih jelasnya, tujuan pembahasan ini adalah:
1.       Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai istinba>t hukum ‘umrah.
2.       Untuk menjelaskan akurat-tidaknya dalil yang digunakan oleh kedua maz\hab tersebut.
3.       Untuk mendapatkan pendapat yang ra>>jih antara kedua pendapat yang bertentangan ini.
Sementara, kegunaan dari pembahasan skripsi ini adalah:
1.       Diharapkan berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam disiplin ilmu syari’ah, khususnya ilmu fiqh ibadah komparatif.
2.       Diharapkan dapat memperluas cakrawala pemikiran fiqh ibadah dan menambah perbendaharaan informasi pengetahuan hukum Islam.

D.    Telaah Pustaka
Sebelum menganalisa lebih lanjut, penyusun akan menela’ah karya-karya yang membahas seputar masalah ini. Salah satu rujukan penting dalam fiqh perbandingan, yaitu Bida>yah al-Mujtahid buah karya Ibn Rusyd secara sepintas membahas hukum ‘umrah. Beliau menerangkan adanya perbedaan pendapat antara kubu ulama’ yang menyatakan bahwa ‘umrah itu wajib, dan kubu ulama’ yang menyatakan bahwa ‘umrah itu sunnah. Selain itu, diterangkan pula dalil-dalil apa saja yang menjadi landasan kedua kubu ulama tersebut. Sebab terjadinya pendapat ialah adanya perlawanan hadis-hadis dalam soal ini, serta tentang perintah menyempurnakan apakah berarti wajib atau tidak.Akan tetapi, Ibn Rusyd hanya memaparkan perbedaan pendapat ini, tidak sampai menerangkan mana pendapat yang rajih. [13]
‘Abd ar-Rahman al-Jaziri dalam karyanya kitab al-Fiqh ‘ala al-Maz\ahib al-‘Arba’ah  juga menerangkan perbedaan pendapat tentang hukum ‘umrah ini. Beliau juga tidak lupa menerangkan secara ringkas dalil-dalil kedua golongan ulama’ itu. Menurut penyusun, Dalam kitab ini hanya dijelaskan bahwa suatu pekerjaan yang diwajibkan dalam haji juga diwajibkan dalam umroh, begitu juga pekerjaan yang disunnahkan dalam haji disunnahkan pula dalam umroh. Tetapi beliau agaknya cenderung pada pendapat yang menyatakan bahwa ‘umrah itu wajib karena menempatkan pembahasan ulama yang mewajibkan ‘umrah di atas garis.[14]
M. ‘Ali> as}-S{a>bu>ni> dalam karyanya, Rawa>i’ al-Baya>n: Tafsi>r At al-Ah}ka>m secara sepintas menyinggung tentang hukum 'umrah. Beliau hanya menjelaskan perbedaan pendapat antara ulama Sya>fi’iyyah dan Hana>bilah dengan ulama’ Ma>likiyyah dan Hana>fiyyah dan menyertakan  alasan berdasarkan dalil saja. . Beliau, dengan mengutip ucapan asy-Syauka>ni> lebih memilih pendapat yang menyatakan bahwa ‘umrah itu sunnah.[15]
Ima>m an-Nawa>wi, sebagai ulama’ Sya>fi’iyyah juga menerangkan perbedaan pendapat tentang hukum ‘umrah ini. Beliau menjelaskan bahwa Ima>m asy-Sya>fi’i, dalam qaul qadimnya menyatakan bahwa ‘umrah itu sunnah, dan dalam qaul jadidnya, ‘umrah itu wajib. Beliau juga secara sepintas membahas dalil ulama lain yang menyatakan bahwa ‘umrah itu sunnah.[16]
Ibn Quda>mah al-Maqdisi> dalam kitabnya, asy-Syarh al-Kabi>r  menerangkan adanya perbedaan pendapat antara segolongan ulama’ yang menyatakan bahwa ‘umrah itu wajib dan segolongan ulama’ yang menyatakan bahwa ‘umrah itu sunnah. Beliau juga tidak lupa menjelaskan dalil-dalil yang dijadikan pegangan masing-masing golongan tersebut. Namun, beliau sebagai ulama’ Hana>bilah jelas memilih pendapat yang menyatakan bahwa ‘umrah itu wajib.[17]
Sejauh penelusuran penyusun, belum ada skripsi yang membahas mengenai hukum umrah pada umumnya.

E.    Kerangka Teoritik

Kajian tentang hukum ‘umrah, apakah wajib atau sunnah tentu tidak terlepas dari kajian tentang dali>>l atau sumber hukum sebagai dasar tempat bertolak dalam melakukan penggalian hukum istinba>t al ahka>m. Tanpa lebih dahulu mengkaji dali>>l atau sumber hukumnya, kajian untuk menguaknya akan menjadi tidak utuh.
Para ulama membagi da>lil atau sumber hukum atas dua bentuk. Pertama, da>lil-da>lil yang disepakati keabsahannya, dan kedua, da>lil-da>lil yang tidak disepakati keabsahannya. Empat da>lil atau sumber hukum yang disepakati adalah al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Para ulama juga bersepakat bahwa istidla>l (proses pencarian sebuah dalil hukum) mengikuti hirarki di atas, yakni apabila ada suatu peristiwa atau kasus, maka seseorang yang ingin mengetahui hukumnya harus merujuk terlebih dahulu pada al-Qur’an. Apabila ia menemukannya, ia harus mengambil dan melaksanakannya. Bila ia tidak menemukannya, ia beralih ke as-Sunnah. Demikian pula, bila ia tidak menemukannya, ia akan menoleh ijma’ tentang kasus tersebut. Dan terakhir kali, bila ia tidak menemukannya, ia akan berijtihad menggunakan Qiyas.[18]
Dalam hukum melaksanakan ibadah Haji semua ulama’ sepakat bahwa ibadah Haji wajib dikerjakan oleh orang Islam yang mampu sekali seumur hidup. Dalil kewajiban haji dalam firman Allah SWT :
ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا [19]
وأتموا الحج والعمرة لله [20]

Akan tetapi para fuqaha berbeda pendapat dalam hal kewajiban umrah. Dalam kajian ini, maz\hab Ma>liki mengatakan bahwa ‘umrah itu sunnah, dengan mengetengahkan dali>l h}adis\ berupa tanya jawab tentang hukum ‘umrah, yang kemudian dijawab Nabi bahwa hukumnya tidak wajib. H{{adis ini diriwayatkan oleh Ima>m at-Tirmi>zi>, yang selengkapnya berbunyi:
حدثنا محمد بن عبد الأعلى الصنعاني حدثنا عمر بن علي عن الحجاج عن محمد بن المنكدر عن جابر أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن العمرة أواجبة هي؟ قال لا وأن تعتمروا هو أفضل [21]

Sedangkan maz\hab Sya>fi’i yang menyatakan bahwa ‘umrah itu wajib mengemukakan dali>l h}adis\, mengenai pertanyaan ‘A kepada Nabi tentang kewajiban jihad terhadap wanita. Lalu dijawab Nabi, bahwa para wanita diwajibkan melakukan jihad yang tidak perlu menumpahkan darah, yaitu haji dan ‘umrah. H{{adis\ tersebut diriwayatkan oleh Ima>m Ahmad bin Hanba>l, yang selengkapnya berbunyi:
حدثنا محمد بن فضيل قال ثنا حبيب بن أبي عمرة عن عائشة ابنة طلحة عن عائشة قالت قلت يا رسول الله هل على النساء من جهاد ؟ قال نعم عليهن جهاد لا قتال فيه الحج والعمرة [22]

Berbeda dengan al-Qur'an yang semuanya otentik dari Allah, kebenaran suatu h}adis\ Nabi tergantung pada kebenaran berita yang disampaikan pembawa berita tentang h}adis\.[23] Suatu h}adis\ bila berkualitas s}ah}i>h} dan atau h}asan, maka wajib diamalkan berdasarkan kesepakatan para pakar h}adis, ulama-ulama usu>li> terpercaya dan para fuqaha>’.[24] Sedangkan apabila h}adis\ itu berkualitas d}a’i>f, maka tidak dapat dijadikan hujjah.
Sebuah h}adis\ untuk dapat dikatakan berkualitas s}ah}i>h} harus memenuhi beberapa kriteria tertentu, yakni (1) Rangkaian sanad sejak Ima>m pentakhrij h}adis\ hingga sahabat harus bersambung. (2) Para perawi yang menuturkan h}adis\ itu merupakan orang-orang yang adil. (3) Para perawi yang menuturkan h}adis\ itu merupakan orang-orang yang sempurna hafalannya (tama>m ad}-d}abt}). (4) H{adis\ itu tidak sya>z\. (5) H{adis itu tidak ber’illat.[25]
Sedangkan kriteria h}adis\ h}asan sama seperti h}adis\ s}ah}i>h}, hanya saja kekuatan hafalan para perawinya di bawah para perawi h}adis\ s}ah}i>h}.[26] Sementara itu, suatu h}adis\ dikatakan d}a’i>f apabila tidak memenuhi kriteria-kriteria h}adis\ s}ah}i>h} dan h}asan. Hal ini adakalanya karena kredibilitas perawinya yang kurang adil atau karena terjadi keterputusan dalam sanadnya,  atau pun sebab lainnya. H{adis\ d}a’i>f, di antaranya h}adis maqlu>b, mud}t}arib, mursal, munqat}i’, mu’d}al, munkar dan lain-lain.[27]
Dengan demikian, untuk mengetahui kualitas suatu h}adis\, harus dilakukan penelitian tentang para perawinya serta ditelusuri apakah h}adis\ itu sya>z\ dan atau ber’illat atau tidak.
Untuk menyelesaikan pertentangan dari dua dalil tersebut sebagai langkah awal, adalah dengan menggunakan  al-jam´u wa at-taufiq, yakni dengan mengumpulkan dalil yang bertentangan itu, kemudian mengkompromikannya sesuai dengan syarat-syarat yang bertentangan. Bila solusi tersebut tak terselesaikan, maka dilakukan langkah lain, yaitu dengan na>sikh mansu>kh dengan membatalkan salah satunya. Dan alternatif terakhir yaitu tarji>h (mengunggulkan salah satunya) atau dengan tawaqquf (menangguhkan pengamalan keduanya hingga nampak dalil yang lebih kuat).[28] Dalam masalah ini, metode yang diterapkan pada perbenturan dua dalil di atas adalah metode tarji>hsebab pada salah satu dua dalil tersebut terdapat indikasi yang lebih menguatkan daripada yang lain, sehingga tidak memungkinkan diterapkannya metode al-jam´u wa at-taufiq, na>sikh mansu>kh dan apalagi tawaqquf.
Metode tarji>h yang digunakan untuk menyelesaikan pertentangan dalil (Ta`'a>rud} al-Adilahdi atas adalah tarji>h ba`in an-nus}u>s}.[29] Dalam hal ini, penyusun akan menggunakan pendekatan melalui 'ulu>m al-h}adis\ dan us}u>l al-fiqh. Pendekatan melalui 'ulu>m al-h}adis\ dapat dilakukan dengan melihat beberapa aspek, yakni tarjih dengan melihat turunnya riwayat, cara periwayatan, usia perawi ketika meriwayatkan, penunjukan lafal (dengan memperhitungkan lafal yang ada dalam teks), kandungan matn atau teks yang diriwayatkan sebagai perantara hukum serta faktor-faktor lain yang mendukung dalil tersebut.[30] Dalam hal ini, penulis akan mengunakan kaidah-kaidah tarjih yang berkenaan dengan hal-hal yang menjadi tolak ukur pembedaan dua dalil di atas, sehingga mampu menggambarkan perbandingan, yang selanjutnya dapat diambil suatu kesimpulan mana yang paling kuat (ra>jih}) dari kedua pendapat tersebut. Kaidah-kaidah itu adalah sebagai berikut:
1.    Dari segi sanad
a.    Menurut jumhur ulama, dapat dilakukan dari sisi kuantitas para perawi, yaitu menguatkan h}adis\ yang sanadnya lebih banyak daripada h}adis\ yang bersanad relatif sedikit, karena kemungkinan terjadinya kesalahan dalam satu riwayat yang diriwayatkan oleh banyak perawi sangat kecil.
b.   H{adi>s\ yang perawinya lebih kuat ingatannya (d}a>bit}), lebih kuat agamanya, lebih bisa dipercaya (s\iqah), dan lebih taqwa ditarjih daripada h}adis\ yang tidak diriwayatkan oleh perawi h}adis\ lain yang tidak demikian.
c.    Men-tarjih h}adis\ yang diterima dan dipelihara seorang perawi melalui hafalannya daripada h}adis\ yang diterima dan dipelihara hanya melalui tulisan.[31]
d.   Men-tarjih h}adis\ sahabat yang mengalami sendiri peristiwa daripada h}adis\ riwayat sahabat yang tidak mengalaminya.
e.    Men-tarjih h}adis\ riwayat orang yang menerimanya secara langsung daripada h}adis\ yang diriwayatkan seseorang yang menerimanya melalui perantara.
f.    Men-tarjih h}adis\ riwayat orang yang menyebutkan sabab al-wurud-nya atas h}adis\ riwayat orang yang tidak menyebutkannya.
g.   Men-tarjih h}adis\ riwayat yang keadilan perawinya diketahui melalui pernyataan banyak orang, praktek dalam kehidupan sehari-hari dan perawi yang mengamalkan h}adis\ yang diriwayatkan daripada yang tidak demikian.[32]
2.    Dari segi matan
a.    Teks umum yang belum dikhususkan lebih didahulukan daripada teks umum yang telah dikhususkan.
b.   Teks yang mengandung larangan lebih didahulukan daripada teks yang mengandung perintah.
c.    Teks yang mengandung perintah didahulukan daripada teks yang menunjukkan kebolehannya saja.
d.   Makna hakekat dari suatu lafal lebih didahulukan daripada makna majaznya.
e.    Teks yang sifatnya perkataan lebih didahulukan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
f.    Teks yang muhkam lebih didahulukan daripada teks yang mufassar, karena lebih pasti.
g.   Teks yang s}ari>h (jelas) didahulukan daripada teks yang bersifat kina>yah (sindiran).[33]

F.     Metode Penelitian

Metode Penelitian adalah suatu cara bertindak menurut sistem aturan atau tatanan yang bertujuan agar kegiatan praktis terlaksana secara rasional dan terarah sehingga dapat mencapai hasil yang maksimal dan optimal.[34]
Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini adalah:
1.    Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (Library research) yaitu penelitian yang kajiannya dilakukan dengan menelusuri dan menela’ah literatur atau penelitian yang difokuskan pada bahan-bahan pustaka.

2.      Sifat Penelitian
Penelitian ini berdasarkan analisis deskriptif-komparatif yaitu pemaparan apa adanya terhadap apa yang dimaksud oleh suatu teks dengan cara memparafrasekan dengan bahasa penyusun. Sehingga dari penelitian tersebut dapat menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat dari obyek kajian tersebut. Di samping itu, penelitian ini juga bersifat komparatif[35] yakni membandingkan antara pendapat maz\hab Sya>fi’i dan maz\hab Ma>liki tentang hukum ‘umrah.
3.      Sumber Data
Data-data yang penyusun kumpulkan terdiri dari dua kategori yaitu:
a)       Data primer, berupa kitab al-Umm, al-Muwatta’, kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib, Bida>yah al-Mujtahid.
b)       Data sekunder berupa kitab-kitab yang membahas tentang fiqh ibadah ditambah buku-buku lain yang berkaitan dengan masalah ini. Sedangkan mengenai kita>b h}adis\, akan digunakan kita>b-kita>b h}adis\ yang dikenal dengan nama al-kutub at-tis’ah.
Setelah pengumpulan bahan kepustakaan, kemudian dilakukan peninjauan data dan diklasifikasikan untuk mempermudah langkah analisis dengan menempatkan masing-masing data sesuai sistematika yang telah direncanakan.


4.    Analisis Data
     Dalam penelitian ini, analisis data yang digunakan adalah:
a)      Deduktif, yaitu metode penarikan kesimpulan yang diawali dari pernyataan yang bersifat umum menuju pernyataan yang bersifat khusus dengan menggunakan penalaran (berpikir rasional).[36]
b)      Induktif, yaitu kerangka berpikir yang didahului oleh fakta-fakta secara khusus atau peristiwa-peristiwa yang kongkret, kemudian ditarik ke hal-hal yang umum.[37]
       5.   Pendekatan Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penyusun menggunakan pendekatan ulu>m al-h}adis dan us}u>l fiqh untuk menilai sejauh mana kesahi>han h}adis yang digunakan dali>l dalam istinba>t hukum kedua maz\hab di atas dan kaidah-kaidah us}u>l yang dipakai dalam metode pen-tarjihan hukum.

G.    Sistematika Pembahasan

Skripsi ini terdiri dari lima bab, yang terdiri atas satu bab pendahuluan, tiga bab pembahasan materi dan satu bab penutup.
Bab pertama adalah pendahuluan yang dirinci atas beberapa anak bab, yakni: latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tela’ah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Pada dasarnya bab ini tidak termasuk dalam materi kajian, tetapi lebih ditekankan pada pertanggungjawaban ilmiah.
Pada bab kedua berisi tinjauan umum tentang ‘umrah yang dirinci dalam beberapa anak bab berupa pengertian, syarat-syarat dan waktu, serta rukun-rukun ‘umrah.
Pada bab ketiga, penyusun akan melihat riwayat kehidupan pendiri maz\hab mali>ki dan Sya>fi’i. Untuk itu, dalam bab ini dikemukakan riwayat kehidupan kedua ulama’ ini. Dan tidak lupa, dipaparkan pendapat kedua maz\hab ini beserta dali>l berupa h}adis\.
Pada bab keempat, penyusun mengkomparasikan pemikiran kedua maz\hab di atas serta melacak kesahi>han dali>l h}adis\ kedua maz\hab tersebut dan melakukan tarjih.
Akhirnya pada bab kelima, yakni penutup, penyusun mengemukakan kesimpulan umum dari kajian skripsi secara keseluruhan. Hal ini terutama dimaksudkan sebagai penegasan jawaban permasalahan yang telah dikemukakan, kemudian penyusun melengkapinya dengan daftar pustaka.
                               
Selengkapnya Silahkan  >>> DOWNLOAD

Tags: Hukum Umroh Studi Komparasi Antara Mazab Maliki dan Mazhab Syafi'i
Copyright © Teologi ~ Sufisme & Tasawuf All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net