• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Senin, 26 Maret 2012
KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA WARISAN DALAM HUKUM ADAT JAWA

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA WARISAN DALAM HUKUM ADAT JAWA

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA WARISAN
DALAM HUKUM ADAT JAWA DAN KHI

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Anak angkat adalah bagian dari segala tumpuhan dan harapan kedua orang tua (ayah dan ibu) sebagai penerus hidup. Mempunyai anak merupakan tujuan dari adanya perkawinan untuk menyambung keturunan serta kelestarian harta kekayaan. Mempunyai anak adalah kebanggaan dalam keluarga. Namun, demikian tujuan tersebut terkadang tidak dapat tercapai sesuai dengan harapan. Beberapa pasangan hidup, tidaklah sedikit dari mereka mengalami kesulitan dalam memperoleh keturunan. Sedang keinginan untuk mempunyai anak nampaknya begitu besar. sehingga kemudian di antara merekapun ada yang mengangkat anak.
Pengangkatan anak terbagi dalam dua pengertian, yaitu: pertama, pengangkatan anak dalam arti luas. Ini menimbulkan hubungan nasab sehingga ada hak dan kewajiban selayaknya antara anak sendiri terhadap orang tua sendiri. kedua, ialah pengangkatan anak dalam arti terbatas. yakni pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri dan hubungan antara anak yang diangkat dan orang tua yang mengangkat hanya terbatas pada hubungan sosial saja.[1]

Di Indonesia, ada tiga sistem hukum yang berlaku dan mengatur permasalahan tentang pengangkatan anak. Ketiga sistem hukum itu adalah hukum Islam, hukum Adat dan hukum Barat. Untuk sementara pembahasan mengenai hukum Barat tidak kami sebutkan di sini, melainkan lebih dikonsentrasikan antara hukum Islam dan hukum Adat di Indonesia.
baru dan proses perubahan sosial. Jika yang pertama hukum Islam ditempatkan sebagai blue-print atau cetak biru Tuhan yang selain sebagai kontrol juga sekaligus sebagai social engineering terhadap keberadaan suatu Hukum Islam sebagai satu pranata sosial memiliki dua fungsi; pertama, sebagai kontrol sosial dan  kedua, sebagai nilai komunitas masyarakat. Sementara yang kedua, hukum lebih merupakan produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya, dan politik. Oleh karena itu, dalam konteks ini, hukum Islam dituntut akomodatif terhadap persoalan umat tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Sebab kalau tidak, besar kemungkinan hukum Islam akan mengalami kemandulan fungsi, atau meminjam istilah Abdurrahman Wahid,  fosiliasi, bagi kepentingan umat. Karena itu apabila para pemikir hukum tidak memiliki kesanggupan atau keberanian untuk mereformulasi dan mengantisipasi setiap persoalan yang muncul dalam masyarakat dan mencari penyelesaian hukumnya, maka hukum Islam akan kehilangan aktualitasnya. Sehingga kemudian, sebagai realisasi dari semua itu dipandang perlu untuk diadakan pembaharuan Hukum Islam seperti telah diwujudkan dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam atau dikenal KHI.
KHI Sesuai Inpres no.1 Tahun 1991 sebagaimana termaktub dalam dictumnya adalah perintah kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam.[2] Tujuannya ialah untuk digunakan oleh Instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya.
Sementara itu, hukum adat atas kedudukannya dalam tata hukum nasional Indonesia merupakan hukum tidak tertulis yang berlaku sepanjang tidak menghambat terbentuknya masyarakat sosialis Indonesia dan menjadi pengatur-pengatur hidup bermasyarakat.[3] Di dalam hukum adat terdapat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang berbagai masalah, termasuk mengenai pengangkatan anak.
Anak angkat, di dalam hukum adat diartikan sebagai suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis.[4] Anak angkat dalam hukum adat mendapat kedudukan yang hampir sama dengan anak sendiri, yaitu dalam hal kewarisan dan perkawinan. Namun sebaliknya, dalam hukum Islam tidak demikian. Hukum Islam secara tegas melarang adanya pengangkatan anak yang mengakibatkan hubungan nasab antara anak angkat dengan orang tua angkat dan tidak pula menyebabkan hak waris. Hal ini diterangkan dalam firman Allah SWT.

وماجعل ادعياءكم ابناءكم، ذلكم قولكم بافواهكم, والله يقول الحق وهويهدي السبيل. [5]

 ادعوهم لابائهم هواقسط عندالله, فان لم تعلموااباءهم فاخوانكم في الدين ومواليكم. [6]

ماكان محمدابااحدمن رجالكم ولكن رسول الله وخاتم النبين. [7]

Akan tetapi, berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, bahwa pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda, sejalan dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Kenyataan tersebut dapat dilihat antara lain dalam KHI disebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawab dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Pengangkatan anak yang dimaksud bertujuan untuk menolong atau sekedar meringankan beban hidup bagi orang tua kandung. Sedang, pengangkatan anak juga sering dilakukan dengan tujuan untuk meneruskan keturunan bilamana dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Ada pula yang bertujuan sebagai pancingan seperti di Jawa khususnya. Menurut istilah adat tersebut, dengan mengangkat anak, keluarga tersebut akan dikaruniai anak kandung sendiri. Disamping itu ada yang disebabkan oleh rasa belas kasihan terhadap anak yang menjadi yatim piatu atau disebabkan oleh keadaan orang tuanya yang tidak mampu untuk memberi nafkah. Keadaan demikian, kemudian berlanjut pada permasalahan mengenai pemeliharaan harta kekayaan (harta warisan) baik dari orang tua angkat maupun orang tua asal (kandung). Sedang cara untuk meneruskan pemeliharaan harta kekayaan inipun dapat dilakukan melalui berbagai jalur sesuai dengan tujuan semula.
Hal-hal tersebut di atas, membuat penyusun ingin melihat lebih jauh makna filosofis yang terkandung dari adanya pengangkatan anak yang karena keberadaannya, baik hukum adat Jawa maupun KHI memberikan hak kepada anak angkat untuk mendapatkan harta dari orang tua angkat.







Pokok Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat Penyusun sampaikan satu hal yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini, yaitu:

-     Mengapa hukum adat Jawa dan KHI memberikan hak kepada anak angkat untuk memperoleh harta?

Tujuan dan Kegunaan

Mengiringi latar belakang serta permasalahan sebelumnya diharapkan tulisan ini mampu menjawab dan mengungkap persoalan melalui pembahasan yang mudah dimengerti dan terarah dengan baik. Untuk mewujudkan semua itu, ada beberapa tujuan dan nilai guna yang ingin dicapai, antara lain:

Tujuan

Mengetahui alasan-alasan hukum adat Jawa dan KHI dalam memberikan hak kepada anak angkat untuk memperoleh harta.

Kegunaan

1.      Sebagai bahan informasi atau pengetahuan tentang hakikat pemberian harta terhadap anak angkat baik dalam hukum adat Jawa maupun KHI.

2.      Sebagai bahan referensi bagi siapa saja yang ingin mempelajari lebih dalam permasalahan yang berkaitan dengan anak angkat seperti tersebut di atas.


Telaah Pustaka

Beberapa penelitian yang membahas tentang anak angkat atau pengangkatan anak ini telah cukup banyak dilakukan. Namun, sepengetahuan Penyusun belum ada yang menyinggung tentang hak pemberian harta terhadap anak angkat berkaitan dengan kedudukannya terhadap harta warisan dalam hukum Adat khususnya di Jawa serta apa yang tertulis dalam KHI. Adapun di antara beberapa penelitian tersebut ialah:
Penelitian yang dilakukan oleh Mila Fursiana Salma Musfiroh dalam tulisannya Studi Perbandingan Antara Hukum Adat dan Hukum Islam Tentang Adopsi.[8] Tulisan tersebut hanya terbatas pada permasalahan apa dan siapakah anak angkat itu dalam perspektif antara dua hukum. Selanjutnya ia juga menyebutkan tentang bagaimanakah pengangkatan anak itu terjadi dalam hukum adat dan hukum Islam. Perbandingan antara dua hukum tersebut dipandang masih bersifat umum.
Penelitian yang hampir sama juga dilakukan oleh Dzura Nafisyah Khondary, yang kali ini secara langsung di lapangan, tepatnya di Kelurahan Beringin Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat.[9] Pembahasanya tidak jauh beda dengan sebelumnya. Hanya saja dalam tulisannya, ia lebih mengkonsentransikan pada peristiwa apa yang terjadi dan berlaku di daerah tersebut. Sedang penelitian yang lain, oleh Toha lebih cenderung pada hukum acaranya, yaitu tentang Pemeriksaan dan Pembuktian Status Anak Angkat serta Pewarisannya di Pengadilan Agama Cilacap.[10]
Beberapa penelitian mungkin sedikit bersinggungan dengan pembahasan dalam penelitian ini. Namun, di sini Penyusun mencoba lebih menekankan dan membedakannya pada pembahasan tentang hakikat  pemberian harta kepada anak angkat dalam kedudukannya terhadap harta warisan menurut hukum adat yang berlaku khususnya di Jawa, serta KHI.
Selain dari beberapa penelitian di atas, studi tentang anak angkat juga banyak dibahas dalam berbagai kalangan untuk memenuhi khazanah koleksi perpustakaan. Semua itu ditulis dan dipaparkan dengan sudut pandang serta karakter penulisan yang berbeda dan dalam ukuran ilmiah tertentu di Indonesia.
Adapun, di antara tulisan-tulisan tersebut di atas yaitu; tulisan B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak beserta Akibat-akibatnya di Kemudian Hari menjelaskan berbagai pengangkatan anak yang terjadi di beberapa daerah. Kemudia dalam buku Problematika Hukum  Islam Kontemporer Chuzaimah T.Yanggo, juga menyebutkan permasalahan hukum anak pungut (anak angkat) dan kedudukan anak asuh, yang pembahasannya berkaitan dengan berbagai pandangan hukum tentang anak angkat. Sedang Soeroso R berbicara tentang Perbandingan Hukum Perdata, disebutkan dalam pembahasannya mengenai adopsi sebagai suatu perbandingan antara Hukum Barat, Hukum Adat dan Hukum Islam. Buku tersebut secara singkat juga mengemukakan berbagai sistem pengangkatan anak di berbagai Negara.
Adapun mengenai hukum adat oleh Soerjono Soekanto dipaparkan secara umum dalam Hukum Adat Indonesia yang menyebutkan suatu deskripsi analisis di antaranya adalah hukum keluarga dan hukum waris. Iman Sudiyat juga memaparkan tentang isi hukum adat dalam bukunya Hukum Adat sketsa Asas. Buku yang pembahasannya hampir sama, juga telah ditulis oleh Soerojo Wignjodipoero dalam Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, yang di antaranya berbicara tentang hukum perkawinan adat dan hukum adat waris.
Buku lain yang secara khusus berbicara mengenai KHI, telah ditulis oleh Cik Hasan Bisri dan M. Daud Ali dkk. Buku tersebut membahas pokok-pokok materi hukum kewarisan, termasuk wasiat wajibah bagi anak angkat. Sedang dalam Fiqh Madzhab Negara oleh Marzuki Wahid dan Rumadi diungkapkan tentang bagaimana pembentukan KHI serta berlakunya bagi masyarakat Indonesia khususnya umat Islam. Ahmad Rofiq, dalam Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia lebih berbicara tentang latar belakang pembentukan KHI.
Buku lain yang juga dapat disebutkan di sini adalah beberapa buku yang menulis tentang keadilan hukum, antara lain;  buku tulisan Mukti Ali Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam disebutkan dalam pembahasannya yaitu keadilan dalam Islam. Sedang Juhaya S. Praja dalam Filsafat Hukum Islam menyebutkan tentang beberapa prinsip hukum Islam termasuk keadilan hukum.

Kerangka Teoretik

Untuk dapat memahami sistem hukum adat yang berlaku pada masyarakat Jawa khususnya mengenai pengangkatan anak dan keberadaan anak dalam keluarga termasuk kedudukannya terhadap harta warisan kelak ketika orang tua angkat telah tiada, penyusun menggunakan pendapat yang dikemukakan oleh Soepomo tentang pengangkatan anak yang berarti tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak yang diangkat dan orang tuanya sendiri. Anak angkat masuk kehidupan rumah tangga orang tua yang mengambilnya, sebagai anggota rumah tangganya (gezinslid), akan tetapi ia tidak berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan turunan bapak angkatnya.[11] Adapun alasan pengangkatan anak oleh Soerojo Wignjodipoero diuraikan, antara lain:
-          Karena tidak mempunyai anak sendiri, sehingga memungut seorang keponakan yang merupakan jalan untuk mendapatkan keturunan.
-          Karena belum dikaruniai anak, sehingga dengan memungut keponakan ini diharapkan akan mempercepat kemungkinan mendapat anak.
-          Terdorong oleh rasa kasihan terhadap keponakan yang bersangkutan, misalnya karena hidupnya kurang terurus dan lain sebagainya.[12]

Mengenai kedudukannya terhadap harta warisan dalam hukum adat menurut B. Bastian Tafal, di Jawa pada umumnya anak angkat itu ngangsu sumur loro artinya mempunyai dua sumber warisan. Karena di samping ia mendapat warisan dari orang tua kandung, ia juga mendapat warisan dari orang tua angkatnya. Hal ini berbeda dengan KHI. Oleh karena KHI dalam hukum kewarisan diatur secara umum adalah ketentuan yang berlaku sejalan dengan hukum yang berlaku bagi pewaris yaitu beragama Islam dan karenanya masalah harta warisannya harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum-hukum Islam., maka berdasarkan hukum Islam anak angkat tidak dapat memperoleh harta warisan dari orang tua angkatnya. Anak angkat hanya berhak atas harta warisan orang tua kandung. Yang demikian, sesuai dengan pengertian anak angkat yang terdapat pada pasal 171 huruf h KHI yang berarti bahwa keberadaan anak angkat dalam keluarga yang mengangkat hanya terbatas pada pemeliharaan hidup dengan kasih sayang, serta memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Akan tetapi, pada pasal 209 KHI menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkat.
Dari uraian di atas, keberadaan anak angkat dalam kedudukannya terhadap harta warisan baik menurut hukum adat Jawa maupun KHI menimbulkan pertanyaan seperti telah dikemukakan dalam pokok masalah. Maka untuk menjawab pertanyaan tersebut, kemudian penyusun melihat beberapa teori tentang keadilan hukum atau nilai-nilai hukum dalam sistem hukum adat Jawa serta KHI. Teori tersebut dapat digali dari aktifitas kehidupan masyarakat Jawa yang membentuk suatu norma hukum, serta berkaitan dengan keberadaan KHI yang ikut mengatur kehidupan masyarakat pada umumnya. Arti keadilan di dalam hukum adat Jawa dan KHI, menjadi pokok pembahasan yang mendasar untuk dapat dipahami lebih jauh.
Di dalam hukum adat terdapat nilai-nilai universal. soepomo, menyebutkan ada empat bagian yang termasuk dalam nilai-nilai tersebut, yaitu: nilai dengan asas gotong royong, fungsi sosial dan milik dalam masyarakat, asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum, serta asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan.[13] Sedang Anwar Harjono mengatakan bahwa tempat dan waktu adalah faktor yang penting dalam pembentukan hukum, hukum adat baru berlaku jika kaidah-kaidahnya tidak ditentukan dalam al-Qur’an  dan Sunnah Rasulullah, tetapi tidak bertentangan dengan kedua-duanya, sehingga tidak memungkinkan timbulnya konflik antara sumber-sumber hukum itu.
Menurut sistem hukum adat terdapat sendi-sendi hukum adat yang merupakan landasan  (fundamental), seperti dikatakan Soerojo Wignjodipoero bahwa hukum adat memiliki corak-corak tersendiri, yaitu:
-          mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat
-          mempunyai corak religio-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam
-          hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba kongkrit
-          hukum adat mempunyai sifat yang visual.[14]
Dalam teori keadilan, Rawls berpendapat perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan  bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut keadilan. Ada tiga prinsip keadilan yang diungkapkan oleh Rawls, yaitu prinsip kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya, prinsip perbedaan dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan.[15] Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan stabilitas hidup manusia. Agar tidak terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu, perlu ada aturan-aturan. Sehingga diperlukan hukum. Hukum akan ditaati apabila ia mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan.
Adapun prinsip-prinsip keadilan dapat ditemukan dalam al-Qur’an. Yaitu di antaranya adalah tentang keadilan yang ditetapkan untuk manusia dalam kehidupan masyarakat, disebutkan dalam firman Allah SWT.

يايهاالذين امنواكونواقوامين لله شهدآءبالقسط ولايجرمنكم شنان قوم علىالاتعدلوااعدلواهواقرب للتقوىوالتقواالله ان الله خبيربماتعملون[16]


Keadilan dalam kehidupan masyarakat biasanya dikatakan sebagai keadilan sosial. Keadilan sosial ialah keseimbangan dalam hidup bermasyarakat, yang menyangkut sikap mental, tingkah laku dan perbuatan, serta untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Keseimbangan, keserasian dan keselarasan sikap dan tingkah laku manusia yang hidup dalam masyarakat, terjelma dalam bentuk nilai-nilai, hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Pada prinsipnya al-Qur’an menetapkan bahwa manusia itu mempunyai hak dan kewajiban yang berimbang antara sesama jenis dan sesama manusia; yang berbeda hanyalah aneka ragam usaha dan kerjanya. 

Metode Penelitian


1.Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Dengan jenis penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan kaidah atau norma hukum yang ada, mengenai kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam hukum adat Jawa dan KHI. Sedang untuk mendapatkan data atau informasi tentang kedudukan anak angkat terhadap harta warisan ini, maka kemudian diadakan Library Research, sehingga penelitian inipun dinamakan  penelitian pustaka. Yaitu penelitian dengan meneliti data yang ada di perpustakaan yang berkenaan dengan pembahasan ini, data tersebut diambil dari bahan primer dan bahan skunder.[17] bahan primer tersebut, antara lain: buku-buku tentang hukum adat dan KHI, makalah tentang anak angkat, dan penelitian mengenai anak angkat. Sedang yang termasuk bahan  sekunder, adalah: kamus dan bibliografi.


2.Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis. Dengan sifat tersebut, maka pada penelitian ini akan digambarkan bagaimana keberadaan anak angkat dalam keluarga berkaitan dengan kedudukannya terhadap harta warisan baik menurut hukum adat Jawa maupun KHI. Gambaran tersebut akan menjelaskan bagaimana anak angkat dapat memperoleh harta warisan dari orang tua angkat.

3.   Pendekatan

Untuk memahami peraturan hukum mengenai kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam hukum adat Jawa dan KHI, Penyusun menggunakan pendekatan filosofis. Dengan pendekatan ini, diharapkan Penyusun akan menemukan beberapa tujuan pemberian harta terhadap anak angkat dari orang tua angkat, prinsip keadilan hukum yang ada dalam hukum adat Jawa dan KHI. Sehingga ditemukan hakikat terdalam atas pemberian hak perolehan harta terhadap anak angkat tersebut.

4.   Pengumpulan data
Karena penelitian ini merupakan penelitian library risearch, maka dalam pengumpulan datanya menggunakan metode dokumentasi. Dengan metode ini, Penyusun akan menelaah berbagai literatur atau buku-buku yang isinya membahas tentang kedudukan anak angkat terhadap harta warisan baik dalam hukum adat khususnya yang berlaku di Jawa maupun dalam KHI.

5.   Analisis data

Setelah Penyusun memperoleh data, maka  data-data tersebut diolah/dianalisa untuk diperiksa kembali validitas data dan sekaligus melakukan kritik sumber dengan metode komparatif, yaitu memperbandingkan antara dua sistem hukum tentang pemberian harta terhadap anak angkat. Selanjutnya dilakukan penafsiran terhadap makna kata-kata dan kalimat-kalimat tersebut kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif yang kemudian dilaporkan secara deskriptif.

Sistematika Pembahasan

Melalui metode penelitian tersebut di atas, maka untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian ini, kiranya perlu disusun secara sistematik dengan membaginya dalam beberapa bab sebagai berikut:

Bab I. Merupakan pendahuluan yang  digunakan sebagai rambu-rambu atau frame  bagi pembahasan selanjutnya. Adapun isinya meliputi; Latar belakang masalah, Pokok masalah, Tujuan dan kegunaan, Telaah pustaka, Kerangka teoretik, Metode penelitian, dan  Sistematika pembahasan.

Bab II. dalam bab II penelitian ini membahas tentang Kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam hukum adat Jawa. pada pembahasan ini diuraikan secara berurut, yaitu: Hukum adat Jawa, Anak angkat dalam perspektif hukum adat Jawa, Hukum kewarisan adat Jawa, dan Kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam hukum adat Jawa.

Bab III. Bab ini merupakan kelanjutan dari pembahasan sebelumnya yang kali ini membicarakan tentang Kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam KHI. Pada pembahasannya diuraikan beberapa hal, antara lain: KHI, Hukum kewarisan KHI, dan Kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam KHI, termasuk di dalamnya adalah mengenai wasiat wajibah bagi anak angkat.

Bab IV. Menguraikan secara faktual berbagai alasan tentang pemberian hak terhadap anak angkat atas harta yang ditinggalkan oleh orang tua angkat baik menurut hukum adat Jawa maupun KHI. Alasan-alasan tersebut di ambil dari maksud dan tujuan serta prinsip keadilan hukum mengenai harta warisan berkaitan dengan kedudukan anak angkat atas keberadaannya dalam keluarga yang mengangkat. Karena itu dalam pembahasannya disebutkan: Peradilan harta dalam hukum adat Jawa dan KHI.

Bab.V. Adalah bab penutup dari pembahasan dalam penelitian ini yang  merupakan analisa menyeluruh dari bab-bab sebelumnya yang dijadikan kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Dan pada bagian akhir akan ditambahkan beberapa saran.


Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tag: KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA WARISAN DALAM HUKUM ADAT JAWA
no image

KEBIJAKAN KEAGAMAAN SULTAN AURANGZEB DI INDIA (1658-1707 M)

KEBIJAKAN KEAGAMAAN SULTAN AURANGZEB DI INDIA ( 1658-1707 M )
SULTAN AURANGZEB


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah tentang Aurangzeb tidak dapat dilepaskan dari kebesaran Dinasti Mughal yang didirikan oleh Zahirudin Muhammad, yang lebih dikenal sebagai Babur.[2] Ia dapat menyatukan India[3] yang pada awal abad XVI M merupakan daerah terpecah-pecah dan memiliki pemerintahan yang merdeka. Wilayah kekuasaannya terbentang dari Sungai Gangga sampai Oxus. Babur hanya berkuasa selama empat tahun, dengan demikian dia belum sempat melakukan pembaruan yang berarti bagi Mughal.
Penguasa Mughal setelah Babur adalah putranya, Nashirudin Humayun (1530-1540 M dan 1555-1556 M). Masa pemerintahannya kondisi negara dalam keadaan tidak stabil. Ia harus menghadapi berbagai pemberontakan, seperti pemberontakan Bahadur di Gujarat dan Sher Khan.[4] Humayun dapat dikalahkan oleh Sher Khan yang mengakibatkan Ia melarikan diri dan mencari suaka politik ke Persia.
            Sher Khan menobatkan dirinya sebagai raja Delhi dengan gelar Sher Shah. Ia melakukan pembaruan di bidang administrasi, keuangan, perdagangan, komunikasi, keadilan, perpajakan, dan pertanian di India.[5] Sher Shah merupakan satu-satunya penguasa yang berusaha menyatukan India tanpa membedakan ras dan agama. Pengganti Sher Shah adalah penguasa-penguasa yang lemah, sehingga Humayun dapat menguasai kembali Delhi pada Juli 1555 M, namun satu tahun kemudian Humayun meninggal  dunia karena kecelakaan, jatuh dari lantai dua perpustakaan Sher Mandal di Delhi.[6] Pendapat lain menyatakan bahwa Ia meninggal karena jatuh dari kuda ketika sedang bermain chaugan (permainan yang sangat populer di kalangan bangsawan India-Persia seperti hoki, hanya saja pemainnya menunggang kuda). Ia dimakamkan di Sahsaram.
Jalaludin Muhammad Akbar (1556-1605 M) menggantikan tahta ayahnya saat berusia empat belas tahun.[7] Ia adalah penguasa terbesar Mughal. Akbar memperluas imperium ini dari wilayahnya yang asal di Hindustan dan Punjab, Gujarat, Rajastan, Bihar, dan Bengal (Bangla).[8] Ke  arah utara Ia merebut Kashmir, Sind, dan Baluchistan. Sebelum akhir abad XVII M, imperium ini telah meluas sampai ke ujung utara dan merebut Bijapur, Golkunda, serta beberapa wilayah merdeka di India Selatan.[9]
Akbar mampu mendirikan negara kesatuan di India utara dan memperoleh dukungan dari mayoritas Hindu India. Sebagai raja, Akbar tidak berusaha menindas dan memaksa mereka untuk memeluk kepercayaan yang sama. Akbar sangat menonjolkan toleransi dan universalisme dalam pemerintahannya, sehingga tidak mengherankan jika dia menghapuskan jizyah yang ditetapkan oleh Syariah bagi dzimmi. Pada 1575 M, Akbar mendirikan Ibadat Khana (rumah ibadah), tempat berdiskusi dan berkumpul para ahli dari semua agama. Pada puncaknya dia memperkenalkan Din-e-Ilahi, yakni semacam sintesis dari berbagai agama. Pluralisme yang diterapkan Akbar sangat berbeda dengan komunalisme garis keras perkumpulan Syariah masa itu, sehingga Akbar dinilai telah murtad.[10]
Sepeninggal Akbar, Salim, putranya, naik tahta dengan gelar Nurudin Muhammad Jahangir Padsah Ghazi (1605-1627 M).[11] Meskipun  Jahangir juga melakukan penaklukan ke beberapa wilayah, Ia tidak sekuat ayahnya.[12] Pada 1615 M Ia menaklukkkan Mewar yang dikuasai Raja Amar Singh dan pada 1620 M dapat menguasai Bijapur dan Golkunda, sehingga seluruh Deccan (wilayah India yang paling selatan) menjadi miliknya. Jahangir masih meneruskan Sulh-e-Kul (toleransi universal) ayahnya, tetapi tidak Din-e-Ilahi. Meskipun Jahangir lebih ortodok dari ayahnya, dia mempunyai kebiasaan buruk yaitu mengkonsumsi minuman keras.
Jahangir berkuasa selama 22 tahun. Ia wafat 7 November 1627 M. Kekuasaan kemudian dipegang oleh Shah Jahan (1627-1658 M). Semasa berkuasa Ia menghadapi beberapa pemberontakan yaitu Khan Jahan Lodi (kepala daerah/raja muda Deccan) dan Jujhar Singh, putera Bir Singh Bundela dari Oricsha. Shah Jahan lebih taat kepada Syariah dibandingkan dengan ayahnya.
Tampuk kekuasaaan Mughal setelah Shah Jahan diduduki oleh Aurangzeb setelah menyingkirkan saudara-saudaranya.[13] Pada 31 Juli 1658 M, Aurangzeb menobatkan dirinya menjadi raja Mughal dengan gelar Abu al Muzafar  Muhyi al Din Muhammad Aurangzeb Bahadur Alamghir Padshah Ghazi  (1027-1118 H/1618-1707 M).[14] Setelah kemenangannya itu Aurangzeb tinggal di Delhi dan Agra. Ia segera melakukan penaklukan, yang terpenting adalah ke Palamau, daerah utara Bihar, yang dipimpin oleh Daud Khan, Gubernur Patna pada 1661 M, penaklukan Chittagong oleh Shayesta Khan, Gubernur Bangla pada tahun 1666 M. Selanjutnya menyerang Tibet melalui Khasmir.
Kekuasaaan Aurangzeb mendapat pengakuan dari negara-negara muslim lain. Sekitar 1661-1667 M, mereka mengirimkan dutanya ke India seperti: Sharif Mekah, Raja Persia, Balkh, Bukhara, Kasghar, Urganj (Khiva), Shahr-e-Nau, Gubernur Turki di Basrah, Hadramaut, Yaman, serta Raja Abessinia.[15]
Aurangzeb dikenal sebagai penguasa Mughal yang melakukan gerakan puritan dengan menerapkan Islam Orthodok. Ia menggantikan kebijakan konsiliasi Hindu dengan kebijakan Islam. Untuk itu Ia mensponsori pengkodifikasian hukum Islam dalam karya agungnya yang dikenal dengan Fatawa-e- Alamghir.[16]
Setelah memperkuat kekuasaannya, secara bertahap Aurangzeb menghapuskan semua praktek (tradisi) yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Ia juga menghapuskan delapan puluh  pajak yang sangat memberatkan rakyat, namun di pihak lain Ia menerapkan kembali jizyah yang telah dihapuskan Akbar.
Selanjutnya untuk menegakkan kehidupan religius di masyarakat, Aurangzeb berusaha menerapkan pola baru dengan mengangkat muhtasib (petugas pengawas moral), yang mempunyai kewenangan untuk mengontrol perjudian, prostitusi, pengguna narkotika, minuman keras, serta hal-hal yang merusak moral lainnya (1659 M).[17]
Hal  tersebut di atas pada umumnya dianggap menyulut kemarahan orang Hindu, yang berdampak pada timbulnya pemberontakan di masa itu. Dalam keadaan yang demikian pemberontakan itu dapat ditumpas, namun secara umum tidak semua dapat dipadamkan. Akhirnya Aurangzeb meninggal pada 3 Maret 1707  M dan dimakamkan di Khuld-e-Makan, 4 mil arah barat Daulatabad.[18] Penguasa Mughal setelah Aurangzeb adalah penguasa-penguasa lemah sehingga Mughal mengalami kemunduran.
 Figur Aurangzeb menurut R.C. Majumdar dan S.M. Ikram sangat mengagumkan. Ia taat beragama, gagah berani, kuat ingatan, keras kemauan, dan pantang menyerah, tidak seperti penguasa lainnya. Ia seorang sultan yang  saleh,  sederhana, dan menghindari kesenangan duniawi. Sebagai seorang raja Ia tidak pernah duduk di singgasananya.[19]
 Aurangzeb merupakan orang yang senantiasa menjadi perbincangan kalangan sejarah. Ia sebagai satu-satunya pengusa Mughal yang secara disiplin menerapkan syariat Islam. Pada masa pemerintahannya imperium Mughal telah sangat luas, melebihi masa Akbar, tetapi filosofi pemerintahannya berbeda dengan Akbar. Ia berusaha untuk memberi corak keislaman di India yang mayoritas beragama Hindu itu. Oleh karena itu penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui bagaimana kebijakan keagamaan yang diterapkan Aurangzeb di India dan pengaruhnya, mengingat agama merupakan masalah krusial yang rentan menimbulkan polemik.

B. Batasan dan Perumusan masalah
Penelitian ini memfokuskan pada kebijakan keagamaan Sultan Aurangzeb di India 1658-1707 M. Dengan alasan bahwa tahun tersebut merupakan masa di mana Sultan Aurangzeb menduduki tahta di Mughal dan menjalankan kebijakan-kebijakannya dalam berbagai bidang kehidupan.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dari permasalahan kebijakan keagamaan Sultan Aurangzeb di India, maka perlu dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi keagamaan India sebelum Sultan Aurangzeb?
2. Apa pokok kebijakan keagamaan Sultan Aurangzeb di India dan respon masyarakat terhadap kebijakan tersebut ?
3. Bagaimana  pengaruh kebijakan keagamaan Sultan Aurangzeb di India baik di bidang pemerintahan, ekonomi-sosial, pendidikan, karya satra, seni, dan arsitektur?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Setiap kegiatan yang dilakukan manusia pada umumnya memiliki tujuan yang hendak dicapai, maka sesuai dengan judul yang telah dikemukakan di atas, tujuan pokok penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mendeskripsikan tentang kondisi sosial keagamaan sebelum Sultan  Aurangzeb
2.      Untuk mendeskripsikan tentang kebijakan Sultan Aurangzeb di India
3.      Untuk mendeskripsikan tentang pengaruh kebijakan keagamaan Sultan Aurangzeb
Adapun kegunaan penelitian ini dimaksudkan sebagai berikut:
Berguna sebagai informasi dan menambah wawasan tentang kebijakan keagamaan Sultan Aurangzeb di India, bagi  peneliti lain yang melakukan kajian serupa. Selain itu kajian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber sejarah periode Aurangzeb dalam bahasa Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka
Penulisan tentang sejarah kebijakan keagamaaan Sultan Aurangzeb di India pada kurun waktu yang telah disebutkan di atas menarik untuk dikaji. Hal ini mengingat tulisan yang bersangkut paut dengan pembahasan belum memadai, terlebih dalam bahasa Indonesia. Tulisan yang ada sebagian besar dalam bahasa asing. Selain itu, kajian yang ada biasanya berisi gambaran yang umum tentang sultan-sultan Mughal, bukan membahas secara rinci tentang kebijakan keagamaan Aurangzeb.
Untuk mendukung penelitian ini digunakan beberapa literatur yang dapat dijadikan sebagai acuan pokok:
Pertama, buku The History of India as Told by Its Own Historians karya Sir H.M. Elliot. Buku ini terdiri dari VIII volume dan diterjemahkan pada 1873 M dari bahasa aslinya, Persia.    Sejarah tentang Aurangzeb ditulis oleh sejarawan masa itu seperti Rai Bharmal dengan karyanya Lubbut al Tawarikh-e-Hind (ditulis sekitar 1108 H/1696 M); Mirza Muhammad Kazim, putera Muhammad Amin Munshi, penulis Alamgir Nama (1688 M); Khafi Khan dengan Muntakhab al Lubab; Muhammad Saki Mustaid Khan, dengan Ma’asir Alamgiri-nya (selesai ditulis pada 1710 M).
Kedua, buku yang ditulis oleh Elphinstone (Mountstuart), History of India: The Hindu and Mahometan Periods. Buku ini terdiri dari 12 bab dan diterbitkan oleh Jhon Murray pada 1857 M di London. Pembahasan tentang Aurangzeb terdapat pada bab ke-11 dan disistematisasikan secara periodisasi, sehingga sangat membantu penulis.
Ketiga, buku yang secara lebih spesifik membahas  tentang Sultan Aurangzeb adalah Aurangzeb and the Decay of the Mughal Empire, oleh Stanley Lane PooleBuku yang terdiri dari dua belas bab ini memuat tentang pemerintahan Aurangzeb di Mughal. Namun buku ini lebih banyak mengutip tulisan-tulisan sejarawan masa Aurangzeb yang telah diterjemahkan oleh Elliot and Dowson.
Buku lain yang cukup representatif membahas tentang Aurangzeb adalah karya K. Ali, History of India, Pakistan, and Bangladesh yang diterbitkan di Dhaka pada 1980. Dalam bukunya, Ali memaparkan sejarah India kuno hingga berdirinya Bangladesh. Sejarah yang ditulisnya disertai dengan pendapat dan kritikan untuk sejarawan yang telah menulis India. Karena itu buku ini memberikan cakrawala baru bagi penulis.

E. Landasan Teori
Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang ingin menghasilkan bentuk dan proses pengkisahan atas peristiwa-peristiwa manusia yang telah terjadi di masa lalu. Dengan penelitian sejarah ini diharapkan dihasilkan sebuah penjelasan tentang berbagai hal mengenai kebijakan keagamaan Sultan Aurangzeb di Dinasti Mughal pada masanya baik dari segi asal usul dan mengapa kebijakan itu berlangsung, bentuk kebijakan, dan pengaruh kebijakan tersebut.
Kalau kebijakan dianggap fenomena politik dan dimaknai sebagai distribusi kekuasaan, maka tidak dapat dielakkan bahwa kebijakan keagamaan Aurangzeb adalah sebuah proses politik. Akan tetapi pola distribusi tersebut jelas dipengaruhi faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya.[20] Karena itu penelitian ini tidak hanya ditekankan pada politik an sich, tetapi lebih pada aspek non politik yang mempengaruhi terbentuknya kebijakan dan sekaligus dampaknya bagi masyarakat atau negara, sehingga diperlukan pendekatan ilmu sosial. Jadi secara singkat penelitian ini adalah penelitian sejarah dengan pendekatan ilmu sosial.
Pendekatan ilmu sosial yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan behavioral. Dengan pendekatan ini tidak hanya akan tertuju pada kejadiannya, tetapi tertuju pada pelaku sejarah dalam situasi riil. Bagaimana pelaku menafsirkan situasi yang dihadapi. Dari penafsiran tersebut muncul suatu tindakan yang menimbulkan suatu kejadian, dan selanjutnya akan timbul konsekuensi dari tindakan pelaku sejarah.[21] Dari pendekatan di atas maka akan dapat dikaji bagaimana Aurangzeb menginterpretasikan totalitas situasi yang dihadapi. Pada saat yang sama akan diterangkan pula manifestasi tindakan kebijakan keagamaannya dipandang dari segi tujuan, motif, rangsangan, dan lingkungan yang menyebabkan lahirnya kebijakan keagamaan dan pengaruhnya di masyarakat setelah adanya kebijakan tersebut.

F. Metode Penelitian
Sesuai dengan maksud dan tujuan dalam penelitian ini, yaitu untuk mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa masa lampau, maka dalam penelitian ini digunakan metode historis yang bertumpu pada empat langkah kegiatan yaitu: pengumpulan data (heuristik), kritik sumber (verifikasi), penafsiran (interpretasi), dan penulisan sejarah (historiografi).[22]
Keempat langkah tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1.      Heuristik (pengumpulan data)
Heuristik adalah suatu teknik atau seni, dan bukan  suatu ilmu,[23] oleh karena itu heuristik tidak memiliki peraturan-peraturan umum. Heuristik seringkali merupakan suatu keterampilan dalam menemukan, mengenali, dan memperinci bibliografi, atau mengklasifikasikan dan merawat catatan,[24] maka dari itu penulis mengumpulkan data yang sesuai dengan obyek penelitian melalui dokumentasi. Pengumpulan data dilakukan dari buku-buku, majalah, artikel, dan sumber-sumber lain yang relevan dengan obyek kajian dan pembahasan ini.
  1. verifikasi (kritik sumber)
Setelah sumber sejarah terkumpul, tahap berikutnya adalah verifikasi, yang lazim disebut kritik sumber, untuk memperoleh keabsahan sumber. Dalam hal ini harus diuji pula keabsahan tentang keaslian sumber (otentisitas) yang dilakukan melalui kritik ekstern, dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas) yang ditelusuri melalui kritik intern.[25] Dalam tahapan ini penulis mengawalinya dengan tahapan membaca sumber-sumber sejarah.
  1. interpretasi
Dalam langkah ketiga ini tahap yang dilakukan adalah menganalisis dan mensintesiskan data yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah, kemudian disusun menjadi fakta-fakta sejarah yang berkaitan dengan tema yang dibahas.
  1. Historiografi
Sebagai tahap terakhir dalam proses penelitian ini, penulisan dilakukan secara deskriptif-analisis dan berdasar sistematika yang telah ditetapkan dalam rencana skripsi.
Dalam penelitian ini juga digunakan metode komparasi. Penjelasannya adalah bahwa sejarah sebagai pengungkapan peristiwa unik, yakni hanya sekali dan tidak berulang, namun apabila diperhatikan akan nampak kemiripan pola, tendensi, dan struktur antara peristiwa satu dengan yang lain.[26] Komparasi kebijakan Aurangzeb dengan para pendahulunya dapat menonjolkan kemiripan yang mengantarkan pada suatu generalisasi.

G. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan penelitian ini terdiri dari lima bab:
Bab I yaitu Pendahuluan, terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan kegunaan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Teori, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan. Bab ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai penelitian secara umum.
Bab II membahas tentang kondisi keagamaan sebelum Aurangzeb. Dalam bab ini diuraikan tentang kondisi keberagamaan serta kebijakan keagamaan para penguasa Mughal sebelum Aurangzeb, yakni Babur, Humayun-Sher Shah, Akbar, Jahangir, dan Shah Jahan.
Sementara itu kebijakan keagamaan Aurangzeb diuraikan pada bab ke tiga. Pada bagian inilah dibahas tentang biografi Aurangzeb masa sebelum dan sesudah menjadi sultan. Hampir sebagian besar sisa hidupnya dihabiskan dalam pertempuran-pertempuran baik di perbatasan Afghanistan maupun Deccan. Selain itu dipaparkan juga pokok kebijakan keagamaan, dan respon masyarakat Hindu atas kebijakan tersebut, seperti Jat, Satnami, dan Bundela.
Bab IV mendeskripsikan tentang pengaruh kebijakan pemerintahan Aurangzeb terhadap kemajuan India. Pada bagian inilah dipaparkan mengenai pengaruh kebijakan Aurangzeb dalam bidang pemerintahan, ekonomi-sosial, pendidikan, karya sastra, seni, dan arsitektur. 
Bab V merupakan bab terakhir atau penutup yang berisikan kesimpulan dari uraian yang telah dikemukakan dalam skripsi. Selain  itu juga memuat saran-saran atas segala kekurangan dari karya tulis ini.

Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tags:  KEBIJAKAN KEAGAMAAN SULTAN AURANGZEB DI INDIA ( 1658-1707 M )
Copyright © Teologi ~ Sufisme & Tasawuf All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net