Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan rasulullah saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat nabi.
Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh abu Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah. Tulisan ini akan berusaha memberikan paparan tentang zuhud dilihat dari sisi sejarah mulai dari pertumbuhannya sampai dengan peralihannya ke tasawuf.
Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi.
Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.
Zuhud disini berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada ditangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya. Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki.
Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalam tasawuf. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat,meskipun dengan sistematika yang berbeda – beda. Al-Ghazali menempatkan zuhud dalam sistematika : al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud, al-tawakkul, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla. Al-Tusi menempatkan zuhud dalamsistematika : al-taubah,al-wara’,al-zuhd, al-faqr,al-shabr,al-ridla,al-tawakkul, dan al-ma’rifah. Sedangkan al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan maqam : al-taubah,al-wara’,al-zuhud, al-tawakkul dan al-ridla.
Jalan yang harus dilalui seorang sufi tidaklah licin dan dapat ditempuh dengan mudah. Jalan itu sulit,dan untuk pindah dari maqam satu ke maqam yang lain menghendaki usaha yang berat dan waktu yang bukan singkat, kadang – kadang seorang calon sufi harus bertahun – tahun tinggal dalam satu maqam.
Benih – benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari –hari ia berkhalwat di gua Hira terutama pada bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berdzikir bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalahkehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteduhan iman, ketaqwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad – abad sesudahnya.
Setelah periode sahabat berlalu, muncul pula periode tabiin (sekitar abad ke I dan ke II H). Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah darimasa sebelumnya. Konflik –konflik sosial politik yang bermula dari masa Usman bin Affan berkepanjangan sampai masa – masa sesudahnya.Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok kelompok Bani Umayyah,Syiah, Khawarij, dan Murjiah.
Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah – khalifah BaniUmayyah secara bebas berbuat kezaliman – kezaliman, terutama terhadap kelompok Syiah, yakni kelompok lawan politiknya yang paling gencar menentangnya.Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein bin Alibin Abi Thalib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti – hentinya itu membuat sekelompok penduduk Kufah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut kelompoknya itu dengan Tawwabun (kaum Tawabin). Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaumTawabin itu dipimpin oleh Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi yang terbunuh di Kufah pada tahun 68 H.
Suatu kenyataan sejarah bahwa kelahiran tasawuf bermula dari gerakan zuhud dalam Islam.Istilah tasawuf baru muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250 H.) dengan meletakkan al-sufy di belakang namanya. Pada masa ini para sufi telah ramai membicarakan konsep tasawuf yang sebelumnya tidak dikenal.Jika pada akhir abad II ajaran sufi berupa kezuhudan, maka pada abad ketiga ini orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana fi mahbub), bersatu dalam kecintaan (ittihad fi mahbub), bertemu dengan Tuhan (liqa’) dan menjadi satu dengan Tuhan (‘ain al jama’). Sejak itulah muncul karya –karya tentang tasawuf oleh para sufi pada masa itu seperti al-muhasibi (w. 243 H.), al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H.), dan al-Junaidi (w. 297 H.). Oleh karena itu abad II Hijriyyah dapat dikatakan sebagai abad mula tersusunnya ilmu tasawuf.
SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF
Menurut sejarah, orang yang pertama kali memakai kata “sufi” adalah Abu Hasyim al Kufi (zahid Irak, w. 150). Sedangkan menurut Abdul Qosim Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Talha bin Muhammad al Qusyairi (tokoh sufi dari Iran 376-465 H), istilah ”tasawuf” telah dikenal sebelum tahun 200 H. Tetapi ajaran pokok yang selanjutnya merupakan inti tasawuf itu baru muncul secara lengkap pada abad ke 3 Hijriyah. Pada abad ke 2 Hijriyah itu itu belum diketahui adanya orang-orang yang disebut sufi; yang terlihat adalah aliran Zuhud (penganutnya disebut zahid).
Seperti diketahui dalam sejarah, para zahid besar dalam abad ke 2 H. (seperti al Hasan al Basri, abu Hasyim al Kufi, Sufyan as Sauri, Fudail bin Iyad, Rabi’ah al Adawiyah dan Makruf al Karkhi) dan lebih-lebih lagi mereka yang hidup pada abad2-abad berikutnya (eperti al Bistaami, al Halaj, Junaid al Bagdadi, al Harawi, al Gazali, Ibn Sab’in, Ibni Arabi, abu al Farid, Jalaluddin ar Rumi) telah mengolah atau mengembangkan sikap atau emosi agamadalam hati mereka dengan kesungguhan yang luar biasa. Sebelum munculnya Ar Rabbi’ah al Adawiyah (w.185 H) tujuan tasawuf yang diupayakan oleh para zahid menurut penilaian para ahli, tidak lain dari terciptanya kehidupan yang diridhai oleh Tuhan didunia ini, sehingga di akhirat terlepas dari azab Tuhan (neraka) dan memperoleh surga-Nya.
Untuk tiba pada identifikasi akhir tasawuf denga thariqah, yang kita ketahui terjadi pada abad ke 3 H, kita harus meneliti apa yang sebenarnya terjadi dalam tradisi Islam yang mengakibatkan timbulnya tasawuf. Ada sejumlah peristiwa yang berlangsung pada masa itu, yang kesemuanya membuat tasawuf mengemuka : 1) kecenderungan mencampuradukan asketisme dengan jalan itu; 2) semakin mantapnya aliran-aliran yurisprudensi eksetorik; 3) pernyataan-pernyataan kaum syi’ah mengenai para imam; 4) munculnya filsafat Islam; 5) meningkatnya formalism ahli-ahli hokum; dan 6) tuntutan untuk memastikan bahwa pesan integral dari wahyu, sejak saat itu dikaitkan dengan tasawuf. Jika diperhatikan keenam hal tersebut, kelihatan kaitan erat dengan kemunculan tasawuf.
Tasawuf yang sering kita temui dalam khazanah dunia islam, dari segi sumber perkembangannya, ternyata muncullah pro dan kontra, baik dikalangan muslim maupun dikalangan non muslim. Mereka yang kontra menganggap bahwa tasawuf islam merupakan sebuah faham yang bersumber dari agama-agama lain. Pandangan ini kebanyakan diwakili oleh para orientalis dan orang-orang yang banyak terpengaruh oleh kalangan orientalis ini.
Dengan tidak bermaksud untuk tidak melibatkan diri pada persoalan pro dan kontra itu, dalam tulisan ini, kami akan mempertengahkan paham tasawuf dalam tinjauan yang lebih universal karena tentang asal usul atau ajaran tasawuf, kini semakin banyak orang menelitinya. Kesimpulannya perbedaan paham itu disebabkan pada asal usul tasawuf tersebut. Sebagian beranggapan bahwa tasawuf berasal dari masehi (Kristen), sebagian lagi mengatakan dari unsur Hindu-Budha, Persia, Yunani, Arab, dan sebagainya. Untuk itulah, kami akan menguraikan asal usul tasawuf dalam konteks kebudayaan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah tasawuf yang ada di dunia islam terpengaruhi dengan konteks kebudayaan tersebut atau tidak.
1. Unsur Nasrani (Kristen)
Bagi mereka yang berbbanggpan bahwa tasawuf berasal dari unsur Nasrani, mendasarkan argumennya pada dua hal. Pertama, adanya interaksi antara orang Arabdan kaum Nasrani pada masa jahiliyah maupun zaman islam. Kedua adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para asketis atau sufi dalam hal ajaran cara mereka melatih jiwa dan mengasingkan diri dengan kehidupan Al-masih dan ajaran-ajarannya, serta dengan para rahib ketika sembahyang dan berpakaian.
2.Unsur Hindu Budha
Tasawuf dan system kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap fakir. Darwis Al-Birawi mencatat adanya persamaan cara ibadah dan mujahadah pada tasawuf dan ajaran hindu. Demikian juga pada paham reinkarnasi, cara pelepasan dari dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.
3. Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani seperti Filsafat, telah masuk ke dunia islam pada akhir Daulah Amawiyah dan puncaknya pada masa Daulah Abbasiyah ketika berlangsung zaman penerjemahan filsafat Yunani.
4. Unsur Persia dan Arab
Sebenarnya Arab dan Persia memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Namun belum ditemukan argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang Persia itu terkenal sebagai ahli-ahli tasawuf. Barangkali ada persamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut agama manu dan mazdaq; antara istilah hakikat Muhammad dan paham Hormuz dalam agama zarathustra.
A. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Tasawuf Dalam Islam
Pertumbuhan Tasawuf
Jauh sebelum lahirnya agama islam, memang sudah ada ahli Mistik yang menghabiskan masa hidupnya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya; antara lain terdapat pada India Kuno yang beragam Hindu maupun Budha. Orang-orang mistik tersebut dinamakan Gymnosophists oleh penulis barat dan disebut al-hukama’ul uroh oleh penulis Arab. Yang dapay diartikan sebagai orang-orang bijaksana yang berpakaian terbuka. Hal tersebut dimaksudkan, karena ahli-ahli mistik orang-orang India selalu berpakaian dengan menutup separuh badannya.
Selanjutnya dapat dikemukakan beberapa nash yang mengandung ajaran tasawuf yaitu:
Nash-nash al-qur’an, antara lain QS; Al-Ahzab ayat 41-42 yang artinya: : Hai orang-orang yang beriman berdzikirlah dengan menyebut nama Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya di waktu pagi dan petang”.
Nash-nash hadits yang antara lain artinya berbunyi;” Bersabda Rosulullah saw: takutilah firasat orang-orang mu’min, karena ia dapat memandang dengan nur (petunjuk Allah). H.R.Bukhary yang bersumber dari Abi Sa’id Al-Khudriyyi.
Kehidupan Rosulullah saw yang menggambarkan kehidupan sebagai sufi yang sangat sederhana, karena beliau menjauhkan dirinya dari kehidupan mewah, yang sebenarnya merupakan amalan zuhud dalam ajaran Tasawuf.
Perkembangan Tasawuf
a. Pada abad pertama dan kedua Hijriyah
1.Perkembangan tasawuf pada masa sahabat
Para sahabat juga mencontohi kehidupan rosulullah yang serba sederhana, dimana hidupnya hanya semata-mata diabdikan kepada tuhannya.
Beberapa sahabat yang tergolong sufi di abad pertama, dan berfungsi sebagai maha guru bagi pendatang dari luar kota Madinah, yang tertarik kepada kehidupan shufi, para sahabat-sahabat tersebut antara lain, Khulafaurrasyidin, Salman Al-Farisiy, Abu Dzarr Al-Ghifary, dll.
2.Perkembangan tasawuf pada masa tabi’in
Ulama-ulama sufi dari kalangan tabi’in adalah murid dari ulama-ulama sufi dari kalangan shahabat. Kalau berbicara tasawuf dan perkembangannya pada abad pertama, dengan mengemukakan tokoh-tokohnya dari kalangan shahabat, maka pembicaraan perkembangan tasawuf pada abad kedua dengan tokoh-tokohnya pula. Tokoh-tokoh ulama sufi Tabi’in antara lain, Al-Hasan Al-Bashry,Rabi’ah Al-Adawiyah, Sufyaan bin sa’id Ats-Tsaury, Daud Ath-Thaaiy, dll.
b.Pada abad ketiga dan keempat hijriyyah.
Perkembangan tasawuf pada abad ketiga hijriyyah
Pada abad ini perkembangan tasawuf pesat, hal ini ditandai dengan adanya segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran tasawuf yang berkembang pada masa itu, sehingga mereka membaginya ke dalam tiga macam, yakni; Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa, ilmu akhlaq dan Metafisika. Tokoh-tokoh sufi pada masa ini diantaranya; Abu Sulaiman Ad-Daaraany, Ahmad bin Al-Hawaary Ad-Damasqiy, Abul Faidh Dzuun Nun bin Ibrahim Al-Mishry, dll.
Perkembangan tasawuf pada abad ke empat hijriyyah
Pada abad ini ditamdai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan dengan kemajuannya di abad ketiga hijriyyah, karena usaha maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing. Tokoh-tokoh sufinya antara lain Musa Al-Anshaary, Abu Hamid bin Muhammad, Abu Zaid Al-Adamy, Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahhab, dll.
c.Pada abad kelima hijriyyah
Disamping adanya pertentangan yang turun temurun antara Ulama sufi dengan ulama Fiqih, maka pada abad kelima ini, keadaan semakin rawan ketika berkembangnya mahzab Syi’ah ismaa’iliyah; yaitu suatu mahzab yang hendak mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keturunan Ali bin Abi Thalib. Karena menganggapnya bahwa dunia ini harus diatur oleh imam, karena dialah yang langsung menerima petunjuk dari Rosulullah saw.
Menurut mereka ada 12 imam yang berhak mengatur dunia ini yang disebut sebagai imam mahdi, yang akan mmenjelma ke dunia dengan membawa keadilan dan memurnikan agama islam. Kedua belas imam itu adalah:
Ali bin Abi Thalib
Hasan bin Ali
Husein bin Ali
Ali bin Husein
Muhammad Al-Baakir bin Ali bin Husein
Ja’far shadiq bin Muhammad Al Baakir
Musa Al-Kazhim bin Ja’far Shadiq
Ali Ridhaa bin Kazhim
Muhammad Jawwad bin Ali Ridha
Ali Al-Haadi bin Jawwaad
Hasan Askary bin Al-Haadi
Muhammad bin Hasan Al-Mahdi
d.Pada abad keenam, ketujuh dan kedelapan Hijriyyah
Perkembangan tasawuf pada abad keenam Hijriyyah; para ulama yang sangat berpengaruh pada zaman ini adalah Syihabuddin Abul Futu As-Suhrawardy, Al-Ghaznawy,
Perkembangan tasawuf pada abad ketujuh Hijriyyah; ada beberapa ahli tasawuf yang berpengaruh di abad ini diantaranya; Umar Abdul Faridh, Ibnu Sabi’iin, Jalaluddin Ar-Ruumy, dll.
e.Pada abad kesembilan, kesepuluh Hijriyyah dan sesudahnya.
Dalam beberapa abad ini, betul-betul ajaran tasawuf sangat sunyi di dunia islam, artinya nasibnya lebih buruk lagi dari keadaannya pada abad keenam, ketujuh dan kedelapan Hijriyyah. Factor yang menyebabkan runtuhnya ajaran tasawuf ini antara lain; ahli tasawuf sudah kehilangan kepercayaan di kalangan masyarakat islam. Serta adanya penjajah bangsa eropa yang beragama Nasrani ynag menguasai seluruh negeri islam.
B. Perkembangan Tasawuf Di Indonesia
Tersebarnya ajaran tasawuf di Indonesia tercatat sejka masuknya agama islam di Negara ini. Ketika pedagang-pedagang muslim mengislamkan orang-orang Indonesia, tidak hanya menggunakan pendekatan bisnis, tetapi juga mengguanakan pendekatan tasawuf.
KESIMPULAN
· Zuhud adalah fase yang mendahului tasawuf.
· Munculnya aliran –aliran zuhud pada abad I dan II H sebagai reaksi terhadap hidup mewah khalifah dan keluarga serta pembesar – pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syiria, Mesir, Mesopotamia dan Persia. Orang melihat perbedaan besar antara hidup sederhana dari Rasul serta para sahabat.
· Pada akhir abad ke II Hijriyyah peralihan dari zuhud ke tasawuf sudah mulai tampak. Pada masa ini juga muncul analisis –analisis singkat tentang kesufian. Meskipun demikian,menurut Nicholson,untuk membedakan antara kezuhudan dan kesufian sulit dilakukan karena umumnya para tokoh kerohanian pada masa ini adalah orang – orang zuhud. Oleh sebab itu menurut at-taftazani,mereka lebih layak dinamai zahid daripadasebagai sufi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Aceh, Abu Bakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo, Ramadhani,1984.
2. Al-Taftazani, Abu al-Wafa, al-Ghanimi, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islamy, Qahirah, Dar al-Tsaqafah , 1979.
3. Al-Tusi, al-Luma’, Mesir,dar al-Kutub al-Hadisah,1960.
4. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.
5. Hasan, Abd-Hakim, al-Tasawuf fi Syi’r al-Arabi,Mesir,al-Anjalu al-Misriyyah,1954.
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ إِلَى أَنْ قَالَ فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ كَمِ النَّبِيُّونَ؟ قَالَ :« مِائَةُ أَلْفِ نَبِىٍّ وَأَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ أَلْفِ نَبِىٍّ ». قُلْتُ : كَمِ الْمُرْسَلُونَ مِنْهُمْ؟ قَالَ :« ثَلاَثُمِائَةٍ وَثَلاَثَةَ عَشَرَ »(الحاكم ، والبيهقى فى شعب الإيمان) أخرجه الحاكم (2/652 ، رقم 4166) ، والبيهقى فى شعب الإيمان (1/148 ، رقم 131) . وأخرجه أيضًا : البيهقى فى السنن الكبرى (9/4 ، رقم 17489) .
Dari Abu Dzar r.a berkata, aku masuk ke masjid dimana beliau di sana, maka aku bertanya kepada Nabi , 'Berapakah jumlah Nabi semuanya?" Nabi menjawab, "Semuanya ada 124.000 nabi.” ”Dan berapakah jumlah Rasul?” beliau menjawab:” 313 Rasul.” ( HR. Hakim, Al Baihaqi)
Ada juga yang mengatakan 314 (sebagaimana pendapat Syeikh Al Malawi dalam Kifayatul Awwam) atau 315 orang rasul.
Sebagaian Ulama’ berpendapat bahwa Jumlah Rasul itu 314. Dari mana angka 314 tersebut ?
Dari kata (مُحَمَّدْ) yang terdiri dari 3 huruf mim ( م atau مِيْمْ atau م م ي), 1 huruf kha ( ح atau حاَ atau ح ا) dan 1 huruf dal ( د atau دَالْ atau د ا ل) dan huruf arab itu mempunyai nilai numerik yaitu:
م = 40; ي = 10 maka مِيْمْ atau م ي م= 40+10+40 = 90
ح = 8; ا = 1 maka حاَ atau ح ا = 8+1=9
د = 4; ا = 1; ل = 30 maka دَالْ atau د ا ل = 4+1+30 = 35
Maka jumlah numeriknya = ( (90x3) + (9x1) + (35x1) = 270+9+35=314
2. Kitab-kitab suci dan Shuhuf
Menurut Ats-Tsa'labi, semua kitab yang diturunkan kepada para rasul ada empat. Yaitu kitab Taurat, kitab Injil, kitab Zabur dan kitab Al Qur'an. Adapun suhuf-suhuf yang diturunkan kepada mereka, semuanya berjumlah 111 suhuf. Di antaranya, 60 suhuf diturunkan kepada Nabi Syits bin Adam, 30 suhuf kepada Nabi Idris dan 20 suhuf kepada Nabi Ibrahim. Ada yang mengatakan: Adam عليه السلام - 10 shuhuf; Syits عليه السلام - 60 shuhuf; Idris عليه السلام - 30 shuhuf; Ibrahim عليه السلام - 30 shuhuf; Musa عليه السلام - 10 shuhuf
Wahab bin Munabbih berkata, Allah swt menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa عليه السلامdi atas lembaran-lembaran batu zamrud hijau. Kemudian Nabi Musa عليه السلام menulisnya kembali dalam dua puluh empat sifr (bagian kitab). Di setiap sifrnya ada seribu surat (jadi ada 24.000 surat). Sedangkan di setiap suratnya ada seribu ayat. Kitab ini dipegang erat-erat oleh kaum Bani Isra'il sekaligus menjadi pedoman bagi mereka. Setelah beberapagenerasi kemudian sesudah Musa عليه السلام wafat, khususnya di akhir zaman, mereka banyak merubah dan menyelewengkan isi kitab Taurat tersebut. Menurut Ibnu 'Abbas r.a, orang yang junub tidak diperbolehkan memegang kitab-kitab yang diturunkan Allah swt kepada para nabi, yaitu Taurat, Injil, Zabur dan Al Qur'an.
Rasul adalah orang laki-laki pilihan yang Allah berikan wahyu berisi syari’ah dan diperintahkan untuk menyampaikan kepada kaumnya. Sedang nabi adalah orang laki-laki yang Allah berikan wahyu kepadanya berisi syari’ah, tetapi tidak diperintahkan untuk menyampaikan kepada kaumnya.
Rasul dan nabi sama-sama mendapatkan wahyu, tetapi sering kali seorang Nabi diutus Allah kepada kaum yang memang sudah beriman sehingga perannya hanya menjalankan syari’ah yang sudah ada itu dan tidak membawa ajaran yang baru. Seperti para Nabi yang pernah Allah utus kepada Bani Israil setelah ditinggalkan Nabi Musa, mereka bertugas mengajarkan dan mengamalkan Taurat, tidak membawa ajaran yang baru/bukandari Taurat. (QS. 2: 246).
Di sinilah rahasia sabda Nabi : al ulama waratsatul Anbiya, bukan waratsaturrasul, karena peran ulama hanya terbatas pada menyampaikan ajaran agama yang ada bukan membuat aturan baru.
Jumlah Nabi dan Rasul
Ketika Rasulullah ditanya oleh Abu Dzar, tentang berapa jumlah para nabi dan rasul itu? Nabi menjawab 120 (seratus dua puluh) ribu, dari mereka itu terdapat 313 (tiga ratus tiga belas) rasul. Dari jumlah itu, yang tersebut namanya dalam Al Qur’an terdapt 25 orang, yaitu : 1.Adam, 2. Nuh, 3. Idris, 4. Shalih, 5. Ibrahim, 6. Hud, 7. Luth, 8. Yunus, 9. Ismail, 10. Ishaq, 11. Ya,qub, 12. Yusuf, 13. Ayyub, 14. Syu’aib, 15. Musa, 16.Harun, 17. Yasa’, 18. Dzulkifli, 19. Dawud, 20. Zakariyyah, 21. Sualaiman, 22. Ilyas, 23. Yahya, 24. Isa dan 25. Muhammad SAW.
18 orang nabi disebutkan namanya dalam surah Al An’am/6: 83-86, kemudian yang lainnya disebutkan di ayat-ayat lain seperti QS. Ali Imran/3: 33, Al A’raf, 65, 73, 85, Huud/11:50, 61, 84, Al Anbiya/21: 85.
Syubuhat yang muncul dalam masalah Nubuwwah dan Risalah.
Mengapa nabi dan rasul itu tidak dari bangsa malaikat saja ?
Para nabi dan rasul diambil dari bangsa manusia itu sendiri, ( QS. 3:144) bukan dari jenis makhluk lain, meskipun pernah ada permintaan dari kaum kafir agar nabinya dari bangsa malaikat. Hal ini sangat tidak mungkin, karena akan bertentangan dengan fungsi dan tugas rasul yang menjadi teladan. Bisa jadi ketika nabi yang dari malaikat itu menyerukan sesuatu umatnya mudah saja menolak dengan mengatakan :”Wajar saja ia bisa berbuat begitu, karena memang dia malaikat, sementara kita manusia biasa, bagaimana bisa seperti dia…..dst”
Mengapa nabi dan rasul itu selalu dari laki-laki, tidak ada yang wanita.
Begitu juga tidak ada nabi atau rasul dari kaum wanita. Kenabian adalah mutlak pilihan Allah, tidak ada intervensi siapapun dalam penunjukannya (QS. 21:7), disamping itu tugas-tugas kenabian yang harus dilakukan memang banyak yang bertentangan dengan fitrah kewanitaan, seperti menerima wahyu, berbaur dengan umat, berjihad, keluar rumah, dsb.
Bagaimana jadinya jika nabi itu wanita yang sedang berhalangan lalu mendesak turun wahyu.. Dan sepanjang sejarah manusia memang belum pernah ada nabi wanita.
SIFAT RASUL
1. Basyariyyaturrasul
Para nabi adalah manusia biasa yang juga membutuhkan hal-hal yang bersifat umum, seperti makan, minum, menikah, berketurunan dan sifat kemanusian/basyariyyah lainnya. (QS. 25: 20, 13:38, 5:75)
Para Nabi tidak memiliki kekuasaan sedikitpun yang menjadi kekhususan Allah, seperti mengetahui hal-hal ghaib, menguasai alam, mendatangkan keuntungan atau kerugian, memberkahi, dsb, kecuali yang telah Allah berikan kepadanya. QS. 7:188, Jin: 26-27
2. Ishmaturrasul
Para rasul adalah orang yang ma’shum, terlindung dari dosa dan salah dalam kemampuan pemahaman agama, ketaatan, dan menyampaikan wahyu Allah, mereka telah dibekali Allah kesempurnaan dalam hal amanah, shidq/ kejujuran, fathonah/ kecerdasan, dan tabligh/ penyampaian, sehingga selalu siaga dalam menghadapi tantangan dan tugas apapun.
3. Iltizamurrasul
Para rasul adalah orang-orang yang selalu komitmen dengan apapun yang mereka ajarkan. Mereka bekerja dan berda’wah sesuai dengan arahan dan perintah Allah, meskipun untuk menjalankan perintah Allah itu harus berhadapan dengan tantangan-tantangan yang berat baik dari dalam diri pribadinya, maupun dari para musuhnya. Dalam hal ini para rasul tidak pernah sejengkal-pun menghindar atau mundur dari perintah Allah.
4. Mukjizat Rasul.
Para rasul juga dibekali mukjizat dan tanda-tanda keistimewaan lainnya, untuk membuktikan kebenaran kerasulannya, bahwa mereka datang dari Allah SWT. Seperti yang pernah Allah berikan kepada Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad SAW.
5. Rasul Ulul-Azmi.
Dari 25 orang rasul itu terdapat lima orang rasul yang dikenal dengan Ulul- Azmi minarrusul, yaitu : Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad SAW. Mereka itu Allah sebutkan dalam firman Allah: “Dan Ingatlah ketika kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu sendiri, dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh” QS. Al Ahzab/33:7
Lima rasul ulul-azmi inilah yang harus selalu kita kenang dan kita hayati perjalanan hidupnya, tanpa melupakan atau mengecilkan peran dan keteladanan rasul-rasul lainnya.
Nabi Nuh, as. Kegigihannya dalam berda’wah siang dan malam, tanpa mengharapkan jasa dan imbalan dari kaumnya. Keberadaan istri dan anak yang menjadi pengahalang da’wahnya serta ia tidak pernah terpengaruh oleh tantangan dan ejekan itu.
“Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu, sebagaimana kamu sekalian mengejek kami” QS. Hud/11: 38
Nabi Ibrahim, as. Kepatuhannya dalam menjalankan perintah Allah, mulai dari pernyataannya memisahkan diri dari kepercayaan kaumnya termasuk ayahnya sendiri, caranya berdialog menunjukkan kebatilan patung/berhala kepada kaumnya, keberaniannya menghancurkan patung-patung sesembahan Namrud dan kaumnya, hingga murka dan pembakaran Ibrahim oleh kaumnya (QS.21: 51-69).
Maka wajar orang yang sedemikian hanifnya, dan tinggi semangat da’wahnya, Allah tidak relakan terbakar oleh api Namrud. Demikian juga kepindahannya ke Makkah, tanah tandus yang tidak berumput (QS. 14:37), kesiapan istri dan keluarga ketika harus ditinggal sendiri, Ibrahim pergi memenuhi perintah Allah. Kesungguhannya untuk berkorban, kebesaran jiwa istri, dan kepatuhan anak untuk dikorbankan, hanya karena memenuhi perintah Allah.
Nabi Musa, as. Kisah terbanyak dalam Al Qur’an adalah kisah Musa dan Fir’aun. Sejak kecilnya sudah dihadapkan dengan bahaya. Kerelaan ibunya menghanyutkan bayi Musa di sungai Nil, adalah sebuah pengorbanan yang tak terhingga.
Pembelaannya pada Bani Israil yang tertindas, membuatnya keluar dari istana Fir’aun, menuju ke Madyan, menjadi penggembala kambing Nabi Syu’aib selama sepuluh tahun. Lalu diperintahkan Allah kembali menemui Fir’aun mengajaknya beriman kepada Allah,QS. Al Qashash/28:2-40, Musa mulai berhadapan dengan tantangan besar, ditentang dan dimusuhi Fir’aun. Musa berhasil membawa sebagian Bani Israil setelah mengalahkan tukang-tukang sihir Fir’aun. Musa di uji kesabarannya membawa Bani Israil, keluar dari Mesir menuju ke Baitul Maqdis dan pendurhakaan Bani Israil pada Musa, (QS.5:20-25).
Nabi Isa, as. Kelahiran tanpa ayah (19:16-22), tuduhan keluarga Maryam atas diri Maryam, (19:27-28). Mukjizat Isa yang bisa berbicara saat di buaian, menyembuhkan orang sakit, dan menghidupkan orang mati, atas izin Allah (3:49) tidak membuatnya keluar dari statusnya sebagai hamba Allah (4:172).
Tantangan dari kaum Yahudi, yang berusaha membunuhnya (4:157-158). Pengkultusan yang dilakukan oleh kaum Nasrani, karena Isa dianggap memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti menyembuhkan orang sakit, menghidupkan orang mati, dan membuat burung dari tanah (3:49, 4:1710, 5:72-73, 116-120) membuatnya berdoa “ Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesngguhnya Engkau yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana ”.
Nabi Muhammad, SAW. Kesabarannya yang tak terhingga dalam mengajak kaumnya bertauhid kepda Allah. Tantangan dari kaumnya dan bahkan pamannya sendiri, hingga ia harus terusir dari kampung halamannya. Ke Thaif, dilempari batu, dituduh orang gila, tapi yang keluar dari mulutnya, hanya permohonan kepada Allah agar menunjuki mereka. Dst.