• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Tampilkan postingan dengan label TASAWUF. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TASAWUF. Tampilkan semua postingan
Senin, 26 Maret 2012
no image

METAFISIKA JAWA DALAM SERAT WEDHATAMA Karya K.G.P.A.A. Mangkunegara IV

METAFISIKA JAWA DALAM SERAT WEDHATAMA ( Karya K.G.P.A.A. Mangkunegara IV )

SERAT WEDHATAMA
Oleh Team www.seowaps.com


ABSTRAK

Wacana tentang metafisika yang merupakan hasil pemikiran filsafat yang bertolak dari eksistensi manusia dan alam-dunia sebagai wujud nyata yang dapat ditangkap dengan panca indera. Bukanlah dasar yang dicari dan dipertanyakan untuk mencapai kesempurnaan hidup seperti yang terjadi pada filsuf-filsuf Yunani, melainkan dari mana dan kemana semua wujud ini berasal dan berakhir atau dalam istilah Jawa disebut dengan sangkan paraning dumadi dan manungsa ( awal dan akhir dari alam semesta dan manusia berasal dari Tuhan)
     Dalam skripsi ini ada beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas, pertama; bagaimana konsep metafisika dalam filosofi jawa, kedua; bagaimana konsep metafisika yang terkandung dalam serat Wedhatama, penulis memakai metode analisis dan pendekatan sejarah. Tema yang penulis angkat adalah masalah metafisika jawa yang terkandung dalam serat wedhatama hasil karya K.G.P.A.A Mangkunegara IV, penulis mencoba melakukan analisis terhadap konsep metafisika Jawa khususnya konsep metafisika yang terkandung dalam serat wedhatama.
     Sebagai salah seorang pujangga besar,. Mangkunegara IV ssdalam hasil karyanya banyak membicarakan tentang etika, seni, mistik, dan juga metafisika. Dalam serat wedhatama konsep metafisika Mangkunegara IV adalah mencapai hidup tertinggi yaitu mencapai kesatuan kembali dengan Tuhan yaitu deangan jalan penghayatan dan penguasaan batin yang diolah dan dilatih dalam sembah catur sebagai tangga menuju insan kamil.
     Konsep metafisika Jawa dalam serat wedhatama menjelaskan bahwa manusia pada hakekatnya hidup pada alam tiga dimensi, dan eksistensi manusia tidak bisa lepas dari ketiga dimensi tersebut, baik yanag berupa alam benda, alam batin maupun alam ghaib. Tujuan hidup tertinggi menurut filosofi Jawa adalah untuk mencapai kesempurnaan, dalam serat wedhatama dijelaskan dan digambarkan bagaimana manusia harus meningkatkan atau mentransformasikan dirinya dari dunia materi yang fana menuju kehidupan mutlak dan kekal kepada Tuhan sebagai akhir dari kesempurnaan yang hakiki.



BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah

Sejarah berdirinya suatu kerajaan, istana atau keraton mempunyai fungsi ganda. Di samping sebagai pusat pemerintahan, istana berfungsi pula sebagai pusat kebudayaan.[1] Sebagai pusat kebudayaan, Pemerintahan kerajaan banyak menghasilkan peninggalan bersejarah yang bersifat monumental berupa bangunan bersejarah yang mempunyai nilai seni yang tinggi dan masih dapat di saksikan hingga sekarang, Seperti Candi Prambanan maupun peninggalan kerajaan Mataram (Hindu),Candi penataran peninggalan kerajaan Majapahit, Candi Borobudur, Masjid Demak, serta istana Surakarta, dan istana Yogyakarta yang masih eksis hingga sekarang. Peninggalan bersejarah yang bersifat monumental itu dapat pula berupa karya sastra. Misalnya, Ramayana merupakan peninggalan kerajaan Mataram (Hindu), Mahabharata merupakan peninggalan kerajaan Medang, Arjuna Wiwaha (Karya Empu Kanwa) merupakan peninggalan kerajaan kahuripan, Baratayuda (karya Empu Sedah dan Empu Panuluh) merupakan peninggalan kerajaan kediri, negara kertagama (karya prapanca) merupakan peninggalan kerajaan Majapahit dan masih banyak lagi peninggalan-peninggalan kerajaan Islam yang berupa serat dan suluk, seperti; suluk syekh al-Bari merupakan peninggalan kerajaan Demak, serat nitipraya merupakan peninggalan kerajaan Mataram (Islam) dan sebagainya.[2]        
Sesudah kerajaan Mataram terpecah menjadi empat kerajaan, seperti, Surakarta, Ngayogyakarta, Mangkunegaran dan Pakualaman, yang keempatnya telah kehilangan kekuasaan politik, kenegaraaan, dan otoritas pemerintahan diambil alih di bawah pengawasan pemerintah kolonial Belanda. Dengan kehilangan kekuasan politik dan kekuasaan pemerintahan, maka pemikiran aktivitas istana dapat dipusatkan bagi perkembangan rohani dan kebudayaan spiritual, usaha ini merupakan satu-satunya jalan untuk mempertahankan wibawa istana sebagai pusat kebudayaan jawa.[3]
Maka dimulailah penulisan karya sastra yang tidak lepas dari peran para pujangga sastra yang umumnya memang secara khusus ditunjuk oleh para raja untuk membuat tulisan pesanan yang biasanya berupa seluk beluk kerajaan serta silsilahnya, atau beberapa hal mengenai kebijakan pemerintah yang berisi tentang kebaikan raja dan kerajaan. Akan tetapi kadangkala seorang pujangga juga ditugasi oleh kerajaan untuk menulis syair, babad atau sejarah, ramalan, serta cerita wayang.[4]
Turut sertanya raja membangun sastra jawa sangat berpengaruh terhadap perkembangan sastra jawa di tengah masyarakat. Karena kedudukan raja sebagai tokoh sentral dalam masyarakat jawa yang serba magis dan mistis, sebagian besar masyarakat memandang serat-serat sastra karya para raja sebagai pedoman yang harus diikuti. Bahkan secara fisik, naskah miliknya dipandang sebagai benda pusaka yang memiliki tuah, sebagaimana benda-benda keraton lainnya yang mengandung nilai magis. Faktor tersebut kiranya menjadi salah satu pendukung berkembangnya sastra jawa abad XVIII dan XIX di Surakarta dan Yogyakarta. Masa tersebut oleh Pigeaud dinamakan renaissance sastra Jawa atau kebangkitan sastra Jawa.[5]
Kebangkitan rohani dan kesusastraan Jawa baru ini bermula semenjak pusat kerajaan Mataram di pindahkan dari kartasura ke Surakarta, atau tepatnya sejak  tahun 1757 M, dan berlangsung selama kurang lebih 125 tahun, yaitu sampai wafatnya Raden Ngabehi Ranggawarsita tahun 1773 M, yang sering disebut sebagai pujangga penutup (as the coping stone of Javanese write). Atau lebih tepatnya berakhir pada tahun 1881 M, dengan wafatnya penyair kenamaan Aryo Mangkunegara IV. Kebangkitan spiritual ini menghasilkan perkembangan dan kesusilaan (etika) kesusasteraan dan bahasa Jawa, serta kesenian, serta seni tari, musik dan Syair Jawa.[6]

Berkaitan dengan itu karya-karya sastra yang ditulis oleh para pujangga kraton, misalnya Babad Tutur dan serat Wedhatama, tentu saja tak lepas dari keinginan serta imajinasi pribadi penulisnya, kedua karya sastra tersebut dianggap representatif sebagai rujukan bagi sastra Jawa-Islam karena telah berhasil menampilkan refleksi dari keluarga kraton tentang realitas sosial (dalam Babad Tutur) dan serta nasehat atau pitutur bagi masyarakat tentang kehidupan beragama serta adab sopan santun dan kehidupan rumah tangga (serat Wedhatama).
Serat Wedhatama dan Babad Tutur yang yang ditulis oleh KGPA Mangkunegara IV pada abad XIX, merupakan dua buah karya sastra yang barangkali cukup representatif untuk mewakili gambaran umum sastra Jawa abad XVIII-XIX.[7]
Menurut Sri Suhandjati secara keseluruhan, isi serat Wedhatama merupakan sebuah refleksi dari olah cipta seorang penguasa kerajaan yang jauh dari kesan arogan dan feodalistik, sebaliknya pengaruh dari sebuah komitmen yang tinggi terhadap agama dan pelestarian budaya serta kemajauan negara tampaknya sangat kental. Hal ini terlihat dari beberapa karya atau tembang-tembang yang lain, yang tertulis dalam buku tersebut, terutama tentang ajaran sembah, budiluhur, ibadat, akhlak, serta beberapa nasihat tentang kehidupan berkeluarga, termasuk nasihat untuk pawestri (wanita).[8]
Sehingga Wedhatama pada zamannya sangat terkenal. Bukan saja didalam lingkungan istana Mangkunegaran saja tetapi juga istana kasunanan maupun kasultanan Yogyakarta. Bahkan Wedhatama dikenal dan dihafal sampai dipelosok-pelosok desa yang berbahasa Jawa, meskipun hanya satu dan dua bait tetapi mereka itu hafal luar kepala.[9] Sehingga Wedhatama merupakan sebuah falsafah atau petunjuk hidup. Karena Wedhatama bersifat relijius dan menjadi “agama ageming aji kang tumrap neng tanah Jawa”.[10]
Pada masa kini serat Wedhatama masih banyak dipelajari dan diteliti oleh para sarjana baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Akan tetapi kebanyakan yang dipelajari dan diteliti dalam serat Wedhatama adalah unsur etika dan mistiknya. Sementara kalau kita pelajari dan teliti lebih mendalam banyak sekali kandungan dan hikmah dalam serat Wedhatama itu, sebagaimana  dikatakan Drs.R.Parmono dalam bukunya yaitu; “pandangan serat Wedhatama dalam beberapa cabang filsafat” didalam naskah penelitian itu dikemukakan ada tiga cabang filsafat yaitu: metafisika, Filsafat manusia,dan etika atau filsafat tingkah laku.[11]
Sehubungan dengan hal diataslah yang mendorong penulis untuk mengungkapkan salah satu pandangannya tentang metafisika Jawa dalam serat Wedhatama  yang menurut penulis belum ada yang mengkaji dan meneliti tentang hal itu secara lebih mendalam, dalam rangka memperkaya khazanah kefilsafatan di Indonesia pada umumnya dan filsafat Jawa pada khususnya.       
Menurut Marbangun Hardjowirogo, semua orang Jawa itu berbudaya satu mereka berfikir dan berperasaan seperti moyang mereka di Jawa tengah dengan kota Solo dan Jogja sebagai pusat-pusat kebudayaan. Dalam penghayatan hidup budaya mereka, baik yang yang tinggal di pulau Jawa maupun yang tinggal di pulau-pulau lain bahkan juga yang tinggal di Suriname orientasi nilai mereka tetap terarah ke kota Solo dan Jogja. Oleh sebab itulah kesatuan budaya yang dipegang oleh orang Jawa sebagai penduduk terbesar di Indonesia ini mau ataupun tidak, mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap budaya Indonesia[12].
Suku-suku bangsa Indonesia khususnya Jawa sebelum kedatangan pengaruh Hinduisme telah hidup teratur dengan Animisme-Dinamisme sebagai akar religiositasnya, dan hukum adat sebagai pranata sosial mereka, adanya warisan hukum adat menunjukkan bahwa nenek moyang suku bangsa Indonesia asli telah hidup teratur dibawah pemerintahan atau kepala adat, walaupun masih dalam bentuk sangat sederhana. Religi Animisme-Dinamisme yang menjadi akar budaya asli Indonesia khususnya masyarakat Jawa cukup memiliki daya tahan yang kuat terhadap pengaruh kebudayaan-kebudayaan yang telah berkembang maju.[13]
          Seiring perjalan waktu, peradaban Jawa yang berpusat di istana raja-raja Surakarta dan Yogyakarta yang merupakan perpaduan yang bercorak mistis antara doktrin dan praktek Hindu-Budha dan Islam yang bercorak sinkretisme menghasilkan peradaban yang disebut kejawen. Yang dalam sejarah Jawa kemudian menyatu dalam sebuah filsafat mengenai prinsip-prinsip bertindak dalam kehidupan.
          Sebagai sebuah sistem penulisan, Jawanisme itu cukup rumit dan luas meliputi Kosmologi, Mitologi, seperangkat konsep-konsep yang Mistis  pada hakekatnya dan hal-hal lain yang serupa itu, muatan-muatan itu memunculkan antropologi Jawa sebuah sistem gagasan tentang watak manusia dan masyarakat yang pada gilirannya, mewarnai etika, adat-istiadat dan gaya hidup. Pendeknya, Jawanisme memberikan sebuah semesta umum pemaknaan ini berisi  sekumpulan pengetahuan tentang penafsiran masyarakat Jawa tentang kehidupan sebagaimana adanya dan bagaimana seharusnya.[14]

          Kepustakaan Islam kejawen adalah salah satu kepustakaan Jawa yang memuat perpaduan antara tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam. Terutama aspek-aspek ajaran tasauf dan budi luhur yang terdapat dalam perbendaharaan kitab-kitab tasauf.[15] Pada masa Surakarta, tahun 1744 pertumbuhan kepustakaan Islam kejawen mengalami masa gemilang, sesudah kerajaan dipecah menjadi tiga negara Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegaran, semua kekuasaan dirampas oleh Belanda. Oleh karena itu seluruh perhatian dan kegiatan istana diarahkan untuk perkembangan kebudayaan rohani. Kegiatan ini menghasilkan perkembanagan dalam bidang kesusastraan dan berbagai cabang kesenian. Perkembangan dalam lapangan kesusastraan ini sedemikian indahnya, sehingga para peneliti barat, seperti G.W.J Drewes menilai sebagai masa renaisssance of modern Javanese letters, yaitu masa kebangkitan kepustakaan Jawa baru. Kebangkitan kepustakaan Jawa berlangsung selama 125 tahun, dari tahun 1757 sampai tahun 1873 (dengan wafatnya pujangga Ranggawarsita), atau bahkan sampai tahun 1881 (dengan wafatnya pujangga Ranggawarsita dan raja Mangkunegara IV).[16]
          Pada tahun 1940 Prof. Dr.I.J Brugmans seorang sarjana Belanda dengan gegabahnya mengatakan  bahwa di Indonesia tidak ada “Filsafat Pribumi” (autochtone philosophie) tetapi  yang ada adalah “Filsafat Barat” , jadi orang Indonesia tidak dapat berbicara tentang filsafat pribumi (Nusantara) pernyataan Brugman mendapat tanggapan dari Prof.Dr.P.J Zoet Mulder, bahwa memang benar ada perbedaan-perbedaan sistem filsafat Barat dengan pernyataan filsafat Timur (Jawa) itu sendiri. Di Timur orang mempelajari filsafat hampir boleh dikatakan, tidak pernah mempelajari filsafat demi ilmu filsafat itu sendiri dan sebagai arena aktivitas otak seperti yang terjadi di Barat.[17]
          Tetapi justru hikmah yang terpenting dan tertinggi yang menjadi puncak dari filsafat di Timur adalah mengenal Tuhan dan dan berhubungan dengan-Nya. Jadi filsafat Timur tidak meninggalkan “ngelmu atau olah rasa, yaitu sarana untuk mencapai kesempurnaan dalam mencapai kamuksan” atau ”kelepasan” sebagai akhir dari segala akhir tujuan hidup.[18] Pernyataan Brugman diatas sangat bertentangan sekali dengan fakta yang terjadi dilapangan dimana kesusastraan Jawa yang bernilai seni tinggi itu dimana mencapai puncaknya pada masa pujangga Ranggawarsita dan Mangkunegaran IV yang menghasilkan dokumen-dokumen tertulis karya para pujangga atau ahli sastra yang mengandung unsur-unsur filsafat Jawa antara lain: Serat Wedhatama, Serat Kalatidha, Serat Centini, Serat Hidayat Jati, Wulang Reh, cerita wayang  Mahabharata maupun Ramayana. Belum lagi yang terdapat dalam lagu-lagu rakyat, legenda, mitologi, cerita babad tanah Jawi dan sebagainya.[19]
          Dari pemaparan diataslah yang mendorong penulis untuk melakuan suatu kajian dan penelitian lebih mendalam tentang filsafat Jawa terutama tentang konsep metafisikanya dalam serat wedhatama.    

B.     Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas memunculkan beberapa pokok permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
  1. Bagaimana konsep metafisika dalam filsafat Jawa ?
  2. Bagaimana konsep metafisika yang terkandung dalam serat Wedhatama ?

C.     Tujuan Penelitian

Tujuan terpenting yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah bagaimana mendapatkan gambaran yang jelas dan utuh mengenai konsep metafisika dalam filsafat jawa, khususnya tentang konsep metafisika dalam serat wedhatama.
Penelitian juga diharapkan dapat memberikan pemahaman dan kesadaran tentang arti pentingnya penghayatan dan pengamalan konsep filosofi Jawa terutama tentang konsep metafisika Jawa dalam serat wedhatama sebagai pedoman dari dampak arus globalisasi yang banyak menyesatkan manusia.

D.    Telaah Pustaka

Serat Wedhatama yang dikarang oleh;  Mangkunegara IV pada abad XIX merupakan falsafah hidup khususnya bagi masyarakat Jawa pada masa itu.[20] Namun dalam perkembangannya hingga kini serat Wedhatama yang berisi tentang petunjuk atau pedoman untuk menjadi manusia yang berbudi luhur dalam mencapai keberhasilan hidup lahir dan batin. Sangat digemari baik kalangan muda dan tua karena Serat Wedhatama adalah suatu kitab yang padat dan ringkas yang disusun dalam bentuk sekar macapat dengan sastra yang amat indah, terutama sangat digemari oleh para pecinta kepustakaan dan kesenian Jawa. Bahkan isi dan kandungan ajarannya tentang budiluhur (etika) disejajarkan dengan etika dan pemikir-pemikir besar dunia Barat dan mirip dengan etika Aristoteles (384-322 SM).[21]
Sehingga sangat wajar bila Serat Wedhatama banyak dikaji dan ditelaah oleh para pemikir-pemikir dan sastrawan dalam negeri maupun Barat seperti terjemahan Serat Wedhatama oleh; Drs. S.Z. Hadisutjipto yang dikeluarkan oleh; yayasan Mengadeg tahun 1975, “Wedhatama Jinarwa” oleh: R.Tanoyo yang diterbitkan oleh Fa. Triyana 29 juli 1963, Soedjonoredjo R.”Wedhatama winardi” dalam huruf Jawa krama inggil disertai penjelasan arti dan maknanya, Menyingkap Serat Wedotomo oleh: Anjar Any Semarang: Aneka Ilmu,1986.
Kajian tentang Serat Wedhatama banyak juga dikaji oleh beberapa mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga yang penulis ketahui kurang lebih ada 12 orang yang mengangkat tentang Serat Wedhatama sebagai kajian dalam skripsinya diantaranya: penelitian yang dilakukan oleh; Siti Nur a’ini sukrillah dengan judul “Konsepsi Moral Dalam kitab Wedhatama” (1981), Bahron Zidni Rais dengan judul “Manusia Menurut Serat Wedhatama” (1983), H.M Mubari dengan judul”Ajaran Mistik Dalam Serat Wedhatama” (1982), Warits Lukmatun Hakimah dengan judul “Muatan Etika dalam Serat Wedhatama” (1998), dan sebagainya. Dari kedua belas judul skripsi yang ditulis tentang Serat Wedhatama tersebut belum ada satupun yang membahas tentang kajian metafisika, kebanyakan skripsi yang mereka angkat tentang persoalan etika, manusia, dan mistik Islam kejawen dalam dalam kajiannya.
          Sementara itu dalam bukunya yang berjudul;  “Menggali Unsur-unsur Filsafat Indonesia” Yang di tulis oleh; Drs.R. Parmono yaitu “pandangan Serat Wedhatama dalam beberapa cabang Filsafat”. Didalam naskah penelitian yang dikemukakan bahwa dalam serat Wedhatama terdapat tiga cabang filsafat yaitu; Metafisika, Filsafat manusia, dan Etika.
          Berangkat dari penjelasan Drs.R.Parmono yang mendorong penulis untuk mengkaji dan menulis skripsi tentang “Metafisika Jawa dalam Serat Wedhatama “ dalam hal ini penulis ingin meneliti tentang kajian metafisika yamg terdapat dalam Serat Wedhatama yang belum banyak diungkap dan dikaji secara luas, dalam hal ini yang penulis ketahui baru Drs. Parmono dalam bukunya “Menggali Unsur-unsur Filasafat Indonesia “ terbitan Yogyakarta: Andi Offset 1985 halaman 94-101, yang juga merupkan hasil penelitian DPPM 1981/ 1982, yang menyinggung persoalan Metafisika dalam Serat Wedhatama, tetapi apa yang diungkapkan dan diteliti oleh Drs.Parmono dalam bukunya tersebut masih secara garis besar dan belum mengungkapkan serta menganalisa seluruh pandangan Serat Wedhatama Mengenai Metafisika secara lebih luas dan mendalam.
          Dalam penulisan skripsi ini penulis mencoba mengungkap kandungan metafisika Jawa yang terkandung  yang penulis angkat yaitu “Metafisika Jawa Dalam Serat Wedhatama”.        

E.     Metode Penelitian

           Penelitian ini adalah kepustakaan  (library research),yaitu menelusuri literatur-literatur yang ada relefansinya dengan masalah yang sedang dibahas  maka penulis menggunakan dua model sumber data yaitu sumber data primer dan sumber data skunder.
          Sumber data primer adalah yang berhubungan langsung dengan konsep yang sedang dikaji yaitu buku yang mengkaji tentang Serat Wedhatama terutama Serat Wedhatama karya K.G.P.A.A Mangkunegara IV sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari literatur-leteratur lain  yang relevan dengan topik kajian ini baik dari buku, artikel, majalah, maupun sumber-sumber terkait lainnya.
          Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis, yaitu suatu bentuk penelitian yang meliputi proses pengumpulan data, penyusunan, penjelasan atas data kemudian dianalisis, sehingga metode ini sering disebut sebagai metode analitis.[22] Yaitu berupaya memaparkan isi ajaran metafisika yang terkandung dalam Serat Wedhatama secara sistematis dan sedetail mungkin.  

F.      Sistematika Pembahasan

      Untuk memperoleh hasil yang utuh dan sistematis agar memudahkan proses penelitian dan masalah yang diteliti dapat dianalisa secara tajam, maka pembahasan dalam penelitian ini disusun sebagai berikut:
     Bab Pertama adalah berupa Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan.
      Bab Kedua adalah, metafisika dalam filsafat jawa yang berisi tentang pengertian metafisika, metafisika dalam filsfat Jawa dan metafisika dalam kesusastraan Jawa.
         Bab ketiga adalah, merupakan bagian yang mengupas tentang Serat Wedhatama, biografi Mangkunegara IV, penulis Serat Wedhatama, isi ringkas Serat Wedhatama.
          Bab Keempat adalah, merupakan inti dari pembahasan Tentang Serat Wedhatama terutama tentang kajian metafisika yaitu; Tuhan sebagai dzat yang mutlak, Dualisme tunggal, Kosmologi dalam Serat Wedhatama, Yang Fana dan Abadi.
          Bab Kelima Merupakan bab akhir yang  berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan, saran dan kata penutup.

Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tags: METAFISIKA JAWA DALAM SERAT WEDHATAMA Karya K.G.P.A.A. Mangkunegara IV
no image

Keterlibatan Kaum Terekat Qadariyah Wa Naqsabandiyah dalam Pemberontakan Rakyat Banten)


Keterlibatan Kaum Terekat Qadariyah Wa Naqsabandiyah dalam Pemberontakan Rakyat Banten
 Pemberontakan Rakyat Banten
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah menurut sejarahnya adalah kombinasi dari Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah. Kombinasi tarekat ini dirintis oleh Ahmad Khatib Ibn ‘Abd Al-Ghaffar, seorang ulama dari Sambas Kalimantan Barat, pada pertengahan abad ke-19 di Mekkah.[1] Pada awal pengembangan tarekat, Syeikh Ahmad Sambas memperoleh pengikut terutama dari kalangan pelajar asal Nusantara yang menuntut ilmu agama di tanah suci. Kemudian atas dakwah mereka, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dapat tersebar di Nusantara dan memperoleh banyak pengikut khususnya di pulau Jawa.
Perkembangan tarekat itu di pulau Jawa berlangsung sejak tahun 1870, atas jasa Abdul Karim asal Banten. Dalam perkembangan selanjutnya hampir semua guru Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di pulau Jawa menggabungkan silsilahnya kepada Abdul Karim, apalagi setelah ia menggantikan Syeikh Ahmad Khatib Sambas sebagai pimpinan  Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.[2]
Pada pertengahan abad ke-19, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah diperkenalkan oleh Syeikh Abdul Karim kepada masyarakat Banten dan sekitarnya. Di bawah pengaruhnya tarekat ini menjadi populer di Banten, khususnya di antara penduduk miskin di desa-desa (masyarakat petani).
Pada tahun 1800-an, Tarekat telah berkembang menjadi golongan-golongan kebangkitan agama yang paling dominan, pada permulaannya Terekat-tarekat itu hanya merupakan gerakan-gerakan kebangkitan agama, akan tetapi secara berangsur-angsur berkembang menjadi badan politik keagamaan. Mereka membentuk alat-alat kelembagaan untuk kegiatan politik ekstrim. Mereka menolak proses westernisasi dan bertekad untuk mempertahankan lembaga-lembaga tradisional, terhadap pengaruh dan campur tangan Belanda, didorong oleh kebencian terhadap orang asing, mereka menggunakan kekerasan terhadap penguasa Belanda, dan terhadap sesama muslim yang bekerjasama dengan Belanda. Perkembangan proses kekerasan ini dapat ditafsirkan berdasarkan kondisi-kondisi sosial yang bersifat ekstrim dan rangsangan spesifik yang terdapat di Banten.[3]
            Pada abad ke-19 Masehi bagi sejarah Banten, merupakan fase bergolaknya rakyat Banten menghadapi penjajahan Belanda, meskipun sejak di awal abad ke-19 secara formal  kesultanan Banten sudah dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda,[4] namun ketidak-puasan rakyat Banten atas penindasan dan pemerasan kekayaan rakyat terus berlangsung. Kepemimpinan tidak  ada di tangan sultan, tetapi diambil alih oleh ulama dan pemimpin rakyat.[5]
Eksploitasi kolonial yang terjadi  pada abad ke-19 di Nusantara menciptakan kondisi yang bisa mendorong rakyat melakukan gerakan sosial. Dominasi ekonomi, politik, dan budaya yang berlangsung terus menimbulkan disorganisasi di kalangan masyarakat tradisional beserta lembaga-lembaganya.[6]
Dalam menghadapi penetrasi Barat yang mempunyai kekuatan disintegratif, masyarakat tradisional mempunyai cara-cara sendiri. Karena dalam sistem pemerintahan kolonial tidak terdapat lembaga untuk menyalurkan rasa tidak puas ataupun untuk menyampaikan aspirasi masyarakat, maka satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah melakukan gerakan sosial sebagai bentuk protes sosial. Hal ini terjadi di berbagai tempat di Banten. Dalam gerakan sosial yang marak di Banten ini peranan para ulama menduduki posisi sentral
Para ulama Banten dengan semangat jihad, semangat anti kafir, bahkan kadang semangat nativisme dan revivalisme, menjadi motor penggerak untuk berbagai gerakan sosial yang marak pada abad ke-19. Gerakan pemberontakan bukan hanya ditujukan kepada pemerintah kolonial, melainkan juga kepada penguasa pribumi yang dianggap sebagai kaki tangan pemerintah. Seiring dengan semakin dalamnya kekuasaan kolonial, maka makin kelihatan pula bahwa kaum pamongpraja, yang terdiri dari para bupati dan aparatnya, hanya berperan sebagai perantara pemerintah kolonial dengan rakyat atau menjadi kepanjangan tangan pemerintah kolonial belaka. Maka tidaklah mengherankan bila terjadi gerakan sosial, pamongpraja ikut menjadi sasaran.  
Beberapa gerakan sosial terjadi di tanah partikelir.[7] Sepanjang abad ke-19 hingga awal abad ke-20, gerakan ini merupakan gejala historis masyarakat petani pribumi. Hampir semua gerakan sosial terjadi diakibatkan oleh tingginya pungutan pajak dan beratnya pekerjaan yang menekan petani. Berbeda dengan gerakan sosial lainnya, pergolakan di tanah partikelir lebih terarah pada rasa dendam tertentu. Sifat gerakan bersifat magico religious, seperti tercermin dari adanya harapan mellenaristis atau datangnya Ratu Adil.[8]  
Hampir sepanjang abad ke-19 hingga memasuki abad ke-20, fenomena ulama di Pulau Jawa sangat erat kaitannya dengan munculnya berbagai gejala sosial, politik, dan keagamaan yang hadir terus menerus. Gejala-gejala itu meliputi bermacam-macam bentuk dan jenis, di antaranya mengalirnya arus demam kebangkitan kehidupan agama Islam.[9] Hal ini ditandai dengan meningkatnya berbagai kegiatan keagamaan yang dilakukan dari waktu ke waktu.
Kondisi semacam itu telah melahirkan perlawanan-perlawanan ulama dan santri yang ditujukan terhadap kekuasaan kolonial. Di antaranya adalah  perlawanan kaum Paderi di Minangkabau (1825-1830). Perang Diponegoro (1825-1830), yang memperoleh dukungan luar biasa dari ulama Jawa beserta para santrinya.[10] Perlawanan rakyat Aceh (1837-1904).[11] Pada bagian lain di Jawa, yaitu Jawa Barat, terjadi pula beberapa perlawanan yang serupa. Pemberontakan sengit terjadi di daerah Banten, pemberontakan itu terjadi dari tahun (1839-1883),[12] merupakan pemberontakan ulama Banten yang berusaha melepaskan diri dari penindasan kolonial Belanda. Dan perlawanan rakyat Banten yang berskala agak besar dan terorganisasi, misalnya perlawanan-perlawanan yang terjadi di Cikandi Udik tahun 1845,[13]  dan perlawanan di Ciomas terjadi pada tahun (1886).
Peran ulama dalam kebanyakan perlawanan-perlawanan tersebut adalah sebagai penyangga kekuatan mental dan penggerak rakyat. Mereka terkadang juga memimpin langsung pertempuran, terutama di daerah-daerah yang kuat keislamannya.[14] Dalam perlawanan yang dipimpin oleh bangsawan muslim, ulama berperan sebagai penasehat dan pemberi landasan keyakinan untuk mempertebal semangat dan tekad berperang. Dengan demikian, para ulama sangat penting, sebab di samping persenjataan lahir, landasan kerohanian sangat diperlukan dalam pertempuran.
Proses kekuasaan dan kehadiran penjajah yang demikian menyengsarakan rakyat, menjadi modal kebencian orang Banten terhadap penjajah. Karena itu, tidaklah heran selama penjajah masih berada di Banten, selama itu pula rakyat Banten melakukan perlawanan. Di berbagai daerah banyak terjadi perlawanan secara sporadis, terselubung, bahkan terang-terangan, baik dalam skala besar maupun skala kecil.
Perlawanan yang berskala besar dan menegangkan pihak kolonial terjadi lagi di daerah Cilegon, pada bulan Juli 1888, yang terkait erat dengan gerakan kaum sufi, karena kebanyakan mereka yang terlibat dalam pemberontakan adalah para haji dan kyai. Lebih dari itu, sebagian pengikut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ikut melakukan perlawanan terhadap Belanda dalam pertempuran tersebut.
Faktor ekstern dari perlawanan tersebut adalah akibat penjajah sendiri yang dengan sewenang-wenang memaksa kehendak, merampas hak-hak rakyat, dan mengubah tatanan politik yang mengarah pada keuntungan penjajah.[15] Di samping itu, faktor yang ikut menyebabkan terjadinya pergolakan-pergolakan, yaitu adanya disintegrasi tatanan tradisional dan proses yang menyertainya, yakni semakin memburuknya sistem politik dan tumbuhnya kebencian religius terhadap penguasa-penguasa asing. Dengan ambruknya Kesultanan Banten, sistem kontrol yang tradisional tidak dapat berfungsi lagi. Keadaan tidak menentu timbul di daerah-daerah yang menyebabkan munculnya unsur-unsur pembangkangan yang berulang-kali menimbulkan kerusuhan.
Adapun faktor internal dari perlawanan tersebut adalah memuncaknya keresahan sosial karena bertubi-tubi rakyat Banten ditimpa kesusahan. Pada tahun 1882, meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda yang membawa malapetaka penduduk[16] di kawasan pesisir barat Banten. Selain itu, pada tahun 1882-1884, keadaan rakyat Banten, khususnya di Serang dan Anyer ditimpa malapetaka kelaparan dan penyakit binatang ternak. Tahun-tahun berikutnya, suasana sosial ekonomi dan politik semakin mencekik rakyat.[17]
Musibah yang datang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya mempunyai dampak yang sangat luas, tidak hanya di bidang sosial ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial-politik dan kehidupan keagamaan, dalam kondisi demikian, ada di antara mereka yang lain lebih percaya ke takhayul, namun banyak pula di antara mereka mengikuti ajaran tarekat yakni ajaran yang menitik-beratkan pada penghayatan nilai-nilai batiniah (spiritual), guna mendapatkan ketenangan dan ketabahan batin dari pahitnya penjajah Belanda.
Bertolak dari latar belakang masalah tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh mengenai motivasi pengikut tarekat yang sebagian besar terlibat dalam sebuah pemberontakan rakyat Banten, pada masa kolonial Belanda.

B.  Batasan dan Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, masalah yang akan dibahas akan dibatasi seputar keterlibatan pengikut tarekat dalam pemberontakan rakyat Banten tahun 1888. Kajian  keterlibatan pengikut tarekat ini difokuskan pada permasalahan  yang meliputi kondisi Banten menjelang pemberontakan, asal usul dan perkembangan tarekat, bentuk-bentuk keterlibatan pengikut tarekat dalam pemberontakan rakyat Banten.
Untuk menjabarkan permasalahan tersebut, maka akan dipandu melalui pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1.  Bagaimanakah kondisi Banten menjelang pemberontakan rakyat 1888 ?
2. Bagaimanakah perkembangan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten pada abad XIX ?
3. Mengapa kaum tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terlibat dalam pemberontakan rakyat di Banten ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

            Tujuan penelitian yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui kondisi sosial-ekonomi, politik dan keagamaan menjelang meletusnya pemberontakan rakyat Banten.
2.   Mengetahui sejarah perkembangan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten pada abad ke-19.
3.  Untuk mengetahui seberapa besar keterlibatan pengikut Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dalam pemberontakan rakyat Banten
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah memperkaya kajian-kajian tentang keterlibatan pengikut tarekat dalam sebuah pemberontakan, dan juga untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan, khususnya kajian tentang sejarah sosial.


D. Tinjauan Pustaka
            Studi tentang Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah pada dasarnya telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu. Adapun studi yang lebih memperhatikan aspek-aspek sosiologis dari gerakan kaum sufi, tampaknya baru dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo, di dalam karyanya “Pemberontakan Petani Banten 1888”, memfokuskan pembahasannya mengenai gerakan sosial dalam pengertian yang umum,[18] tetapi jelas bahwa guru tarekat atau pemimpin mistik memainkan peranan utama dalam hampir seluruh serangkaian pemberontakan di Banten. Kartodirdjo menunjukkan peran-peran sosial mereka yang hanya berlangsung dalam peristiwa sejarah abad XIX, melalui jaringan sosial tarekat Qadiriyah dan dengan ajaran-ajaran mereka yang lebih bersifat mesianik. Padahal menurut prediksi penulis yang terlibat dalam pemberontakan di Banten itu bukanlah tarekat Qadiriyah, melainkan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang ajarannya berbeda dengan Qadiriyah saja, dan ajarannya tidak selamanya bermuatan nilai-nilai mesianik. Namun begitu, keluasan metodologi dan kekayaan faktual dalam buku tersebut dapat dijadikan pangkal bagi studi lanjutan gerakan sosial kaum tarekat. Meskipun kajian buku tersebut tidak menggambarkan secara luas sejarah perkembangan tarekat, dan faktor yang menyebabkan terjadinya pemberontakan tersebut berbeda dengan persepsi penulis, namun buku tersebut adalah buku pertama tentang gerakan sosial kaum sufi. Yang membuat perbedaan skripsi ini dengan buku tersebut adalah bahwa skripsi ini menekankan kepada tarekat dan memberikan penjelasan secara mendetail tentang tarekat dan tokoh tarekat yang terlibat, yang mana dalam karya Sartono tidak dilukiskan secara jelas, dan dia tidak melihat dari segi agama, melainkan lebih ke sosial.
Martin Van Bruinessen, dalam“Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia”, (1992). Sudah menyajikan deskripsi tentang  masalah politik dan tarekat, dia telah menyajikan data yang cukup komplit tentang keterlibatan guru-guru tarekat Naqsyabandiyah,[19] dalam persoalan-persoalan politik di Indonesia, pada zaman kolonial maupun zaman kemerdekaan. Van Bruinessen telah mendeskripsikan, secara historis, geografis dan sosiologis, keterlibatan guru-guru tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah dalam politik yang kemudian melahirkan berdirinya Partai Politik Tarekat Islam (PPTI). Partai ini telah membawa Dr. H. Jalal Al-Din, pendiri tarekat tersebut, menjadi anggota DPR Pusat pada zaman Orde Lama. Sedangkan guru-guru tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah melibatkan diri dalam beberapa pemberontakan terutama di Banten dan di Lombok. Hanya saja, Martin sedikit menggambarkan  keterlibatan guru tarekat di Banten, ia hanya menggambarkan satu guru tarekat yaitu Abdul Karim yang diduga kuat memiliki peranan besar dalam pemberontakan Banten, menurut sumber-sumber Belanda.
Dalam bukunya yang lain, “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat”, (1995).[20] Secara spesifik Van Bruinessen (1995) juga telah membahas keterlibatan beberapa guru tarekat dalam kegiatan politik di Indonesia. Ia juga menunjukkan keterlibatan guru-guru tarekat dalam masyarakat Madura dalam partai politik terbesar pada zaman Orde Baru (Golkar) sehingga melahirkan konflik dan perpecahan internal kelompok tarekat. Dalam buku ini, sedikit Van Bruinessen menyoroti tentang Qadhi, Tarekat serta struktur Lembaga Keagamaan di Banten pada Zaman Kesultanan, yang dibahas dalam bab II. Walaupun karya Van Bruinessen ini mempunyai lingkup yang terbatas, kehadirannya sangat berarti bagi studi lanjut tentang Naqsyabandiyah.
Berbeda survei yang dilakukan Van Bruinessen. Mahmud Sujuthi dalam  “Politik Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Jombang”, (2001). Mengkaji tarekat Rejoso dan cabang-cabang yang berasal dari tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dalam konteks struktur dan sejarah politik,[21] yang begitu besar pengaruhnya, baik terhadap orang Madura maupun etnis Jawa. Mahmud melihat tarekat dalam pertarungannya melawan kekuasaan yang menganut model produksi kapitalis. Dari studi yang dilakukan terhadap salah satu tarekat muktabar, yaitu tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Jombang, bahwa tarekat bukanlah fenomena tunggal. Dalam kajian  ini, ia mengambil subyek hubungan agama, negara dan masyarakat dengan fokus politik tarekat.
Penulis lain, Zulkifli Zul Harmi, “Sufi Jawa Relasi Tasawuf-Pesantren”. (2003),[22] buku ini menawarkan sebuah tinjauan singkat yang istimewa tentang sepak terjang Sufisme di Jawa dan sebagian didasarkan atas pengalaman pribadi penulis tentang pendidikan pesantren di Jawa. Buku ini memberikan suatu pemahaman dasar tentang ciri-ciri utama pesantren dan gabungan makna Tasawuf-Tarekat di Indonesia. Studi banding yang dilakukan Zulkifli atas dua pesantren yang terpenting di Jawa, yaitu Pesantren Tebuireng di Jawa Timur dan Pesantren Suryalaya di Jawa Barat, dengan memfokuskan pada posisi intelektual para pendirinya dan peranan yang diberikan kepada Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di masing-masing institusi, Zulkifli hanya menyinggung sepintas tentang tokoh tarekat yang terlibat dalam pemberontakan rakyat Banten, yaitu Haji Tubagus Ismail dan Haji Marjuki, sebagai pengganti KH. Abdul Karim yang memainkan peranan signifikan dalam penyebaran tarekat sufi, hanya dalam satu paragraf kecil.  Dan kajian yang diteliti Zulkifli sangat berbeda dengan penulis. Objek kajian yang diteliti difokuskan pada tarekat yang sama, di tempat yang berbeda pada abad XIX.
Dudung Abdurrahman dalam tesis berjudul, “Gerakan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Suryalaya dalam Perubahan Sosial di Tasikmalaya 1905-1992”.[23] Dalam tesis ini dijelaskan tentang gerakan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah selama perkembangannya pada abad XX, terutama yang berlangsung melalui  pusat pengembangannya di Suryalaya Tasikmalaya. Selain itu, juga dijelaskan tentang posisi tarekat Suryalaya dalam bidang pendidikan, bidang inabah, dan reformasi dakwah. Bidang-bidang tersebut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah pada abad XIX di Banten belum disentuh sama-sekali, maka dari itu, penelitian ini berbeda dengan tesis tersebut, meskipun objek penelitiannya sama yaitu mengangkat tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, tetapi waktu dan tempatnya tidak sama. Penulis mengarahkan objek penelitian ini pada abad XIX dan tepatnya di Banten.
Berbeda dengan studi-studi di atas, studi ini secara teoritis menjelaskan pola-pola hubungan antara sufisme dan politik berdasarkan data yang sudah dikumpulkan dalam sumber-sumber tertulis. Studi ini mengambil sekop wilayah Banten. Dengan demikian, penelitian ini memiliki signifikansi yang tinggi dan memberi kontribusi yang besar bagi studi Islam dan masyarakat Indonesia. 

E.  Landasan Teori

Apabila diperhatikan dari segi perkembangan sejarahnya, bahwa gerakan tasawuf sudah menjadi budaya orang Islam. Walaupun sebenarnya faktor yang mendorong  lahirnya tasawuf ini bersumber dari Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits.
Sehubungan dengan judul skripsi tentang gerakan kaum tarekat, maka konsep tasawuf perlu diketengahkan. Tasawuf adalah kesadaran fitrah yang dapat mengarahkan jiwa kepada kegiatan-kegiatan tertentu untuk mendapatkan suatu perasaan berhubungan dengan wujud Tuhan yang mutlak (Al-Haq).[24] Hubungan manusia dan Tuhan digambarkan sebagai hubungan yang menunjukkan dekatnya Tuhan dan manusia, bahkan manusia merasa bersatu dengan Tuhan. Cara yang efektif untuk mendekatkan diri dengan Tuhan adalah melalui tarekat. 
Berkenaan dengan tarekat itu sendiri, sejarah banyak mencatat bahwa tarekat merupakan bagian keagamaan Islam yang berpengaruh dalam penyebaran Islam di Indonesia. Tarekat merupakan media yang penting  untuk dakwah dan pembinaan agama Islam. Dalam pengertiannya secara bahasa, tarekat adalah jalan, yaitu berasal dari bahasa Arab, “thariqah”, dan seringkali diartikan sebagai jalan menuju Tuhan. Jalan yang dimaksud adalah cara atau metode para sufi, sehingga pada umumnya tarekat disebut sebagai sistem latihan meditasi dan amalan, baik zikir maupun wirid, yang dihubungkan dengan sejumlah guru sufi.[25] atau lebih lengkap di mana waktu melakukan amalan-amalan tarekat tersebut si pelaku berusaha mengangkat dirinya melampaui batas-batas kediriannya sebagai manusia dan mendekatkan dirinya ke sisi Allah SWT. Perkataan tarekat lebih sering dikaitkan dengan suatu organisasi tarekat, yaitu suatu kelompok organisasi (dalam lingkungan tradisional).[26]  Pada masa-masa permulaan, setiap guru sufi dikelilingi oleh lingkaran murid mereka, dan beberapa dari murid ini akan menjadi guru pula. Seorang pengikut tarekat akan mendapat kemajuan dengan melalui sederet ijazah berdasarkan tingkat pengetahuannya, yang diakui oleh semua pengikut tarekat, dari pengikut biasa (mansub) hingga murid, selanjutnya hingga pembantu syeikh atau khalifahnya, dan akhirnya menjadi guru yang mandiri (mursyid).
Istilah pemberontakan petani (Peasants’ Revolt) dalam penelitian ini, memerlukan sedikit penjelasan. Istilah itu tidak berarti bahwa peserta-pesertanya terdiri dari petani semata-mata.[27] Sepanjang sejarah pemberontakan-pemberontakan petani, pemimpin-pemimpinnya jarang sekali petani biasa. Mereka berasal dari golongan-golongan penduduk pedesaan yang lebih berada dan lebih terkemuka, dan mereka adalah pemuka-pemuka agama, anggota-anggota ningrat atau orang-orang termasuk golongan penduduk desa yang terhormat. Pemimpin-pemimpinnya merupakan satu golongan elit pedesaan, yang mengembangkan dan menyebarkan ramalan-ramalan dan visi sejarah yang turun-temurun mengenai akan datangnya Ratu Adil atau Mahdi. Dalam banyak hal, pemuka-pemuka agamalah (Ulama) yang telah memberikan bentuk yang populer kepada ramalan-ramalan dan menerjemahkan ke dalam perbuatan dengan jalan menarik massa rakyat agar berontak. Anggota-anggota gerakan terdiri dari petani, akan tetapi pimpinan organisasi berada di tangan kaum elit agama yang terdiri dari ulama, haji, dan guru tarekat.
Pemberontakan yang terjadi di Banten ditokohi oleh para ulama. Untuk itu, konsep ulama diperlukan dalam penelitian ini. “Ulama” di sini dikembangkan berdasarkan kategorisasi sosial yang berlaku pada zamannya. Sebagaimana dikatakan oleh Robert van Niel, bahwa ulama di Jawa pada masa kolonial Belanda terkelompok di dalam golongan “Ulama Tradisi” yang memperoleh perlindungan penguasa pribumi di bawah kekuasaan penguasa kolonial, dan golongan ulama lainnya adalah mereka yang tidak terikat oleh penguasa dan seringkali menjadi penggerak massa dalam perlawanannya terhadap pemerintahan kolonial.[28] Kedua golongan itu, dipertegas lagi perbedaannya dalam peristilahan G. F. Pijper, menjadi “Ulama Birokrat” dan “Ulama Bebas”. Menurut Adviseur Belanda ini, antara kedua kelompok Ulama tersebut sering terjadi persaingan serta perbedaan kecenderungan menghadapi Pemerintahan Kolonial.[29] Tanpa terikat dengan kategorisasi Ulama dari kedua ahli tersebut, konsep-konsep mereka di dalam penelitian ini dijadikan salah satu acuan.
            Dalam pembahasan sejarah sebagai kisah yang tidak semata-mata bertujuan menceritakan kejadian, tetapi bermaksud menerangkan faktor-faktor kausal maupun kondisional, masalah pendekatan sebagai bagian pokok ilmu sejarah harus diketengahkan. Penelitian ini termasuk dalam disiplin sejarah, sehingga pendekatan utama yang dipergunakan di dalam tema ini akan dikaji dengan pendekatan sejarah, pendekatan ini diharapkan dapat menghasilkan sebuah penjelasan yang mampu mengungkap gejala-gejala yang berkaitan erat dengan waktu dan tempat berlangsungnya gerakan pemberontakan yang dilakukan Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Kemudian dapat menjelaskan asal-usul, dan segi-segi dinamika sosial serta struktur sosial di dalam masyarakat yang bersangkutan.[30] Kemudian perubahan sosial yang terjadi menurut Sartono Kartodirdjo, dapat dilihat dari proses transformasi struktural, yaitu adanya proses integrasi dan disintegrasi, atau disorganisasi dan reorganisasi yang silih berganti. Dalam proses transformasi struktural yang terjadi mengubah secara fundamental dan kualitatif jenis solidaritas yang menjadi ikatan kolektif, dari ikatan komunal menjadi ikatan asosiasonal yang berupa organisasi komplek.[31] Gejala-gejala itulah yang terjadi dalam gerakan pemberontakan para pengikut tarekat di Banten yang menjadi objek skripsi ini.

F.  Metode Penelitian

            Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang ingin menghasilkan proses-proses pengkisahan atas peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu suatu proses untuk menguji dan menganalisis secara kritis peninggalan masa lalu guna menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya serta melakukan sintesis terhadap data, agar menjadi cerita sejarah yang dapat dipercaya.[32]
Metode sejarah bertujuan untuk merekonstruksi kejadian masa lampau secara sistematis dan objektif. Dalam hal ini penulis melakukan tahapan sebagai berikut:
Pertama, heuristik atau pengumpulan sumber-sumber sejarah yang berkaitan dengan sebuah penelitian. Penelitian ini bersifat kepustakaan murni, karena sumber datanya adalah buku-buku dan artikel-artikel, baik buku-buku sejarah maupun artikel-artikel tentang pemberontakan dan tarekat yang berhubungan dengan penelitian yang akan ditulis, di samping itu, jurnal-jurnal yang membahas tentang kajian ini, serta kamus-kamus sebagai sumber pembantu.
  Kedua, verifikasi atau kritik sumber setelah pengumpulan data, baik kritik intern maupun kritik ekstern. Kritik intern, dilakukan untuk meneliti kebenaran isi yang membahas tentang  tarekat dalam suatu pemberontakan, apakah sesuai dengan permasalahan atau tidak sama sekali, apabila kritik intern sudah dilakukan maka dilanjutkan dengan kritik ektern yaitu untuk mengetahui tingkat keaslian sumber data guna memperoleh keyakinan bahwa penelitian telah diselenggarakan dengan mempergunakan sumber data yang tepat.[33] Dalam hal ini, penulis menyelidiki bagaimana sumber data itu, baik gaya bahasanya maupun pembuatnya.
Ketiga, interpretasi atau penafsiran sejarah yang seringkali disebut juga dengan analisis sejarah, yang bertujuan untuk melakukan sintesa atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama dengan teori-teori disusunlah fakta itu kedalam suatu interpretasi yang menyeluruh.[34] Maka untuk itu digunakan metode analisis deduktif untuk memperoleh gambaran tentang pemberontakan rakyat Banten dan politik kaum Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang menjadi objek penelitian.
Langkah yang terakhir adalah historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan.[35] Peneliti berusaha menyajikannya secara sistematis agar mudah dimengerti.




G.  Sistematika Pembahasan

            Sistematika pembahasan dalam bab ini terdiri dari lima bab pembahasan. Meskipun dari setiap bab itu tidak mengikuti urutan-urutan kronologis, tetapi di antara bab-bab itu saling berkaitan. Dalam bab pertama atau pendahuluan, memuat latar belakang permasalahan, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
            Pada bab kedua akan dijelaskan mengenai kondisi Banten menjelang pemberontakan 1888, yang meliputi kondisi sosial-ekonomi, politik dan keagamaan.
            Bab ketiga akan menguraikan tentang Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten pada abad ke-19, dalam bab ini akan dibagi pembahasannya mengenai asal-usul Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan perkembangan di Banten, ajaran dan ritual tarekat, pengaruh Syeikh Abdul Karim bagi masyarakat Banten.
            Bab keempat akan menjelaskan tentang bentuk-bentuk keterlibatan kaum Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dalam pemberontakan rakyat Banten. Pada bab ini diawali dengan kaum tarekat dan protes sosial politik, kemudian diuraikan tentang kepemimpinan tarekat dalam pemberontakan, gerakan tarekat dalam peristiwa peristiwa geger Cilegon 1888. 
Bab kelima atau terakhir merupakan penutup dari penelitian ini, yang berisi kesimpulan dan saran-saran.


Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

 Tags: Keterlibatan Kaum Terekat Qadariyah Wa Naqsabandiyah dalam Pemberontakan Rakyat Banten)
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net