• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Tampilkan postingan dengan label SOSIAL POLITIK. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SOSIAL POLITIK. Tampilkan semua postingan
Senin, 26 Maret 2012
no image

Nilai-Nilai Islam dalam Upacara Tradisi Nguras Kong di Kompleks Makam Raja-Raja Imogiri

Nilai-Nilai Islam dalam Upacara Tradisi Nguras Kong di Kompleks Makam Raja-Raja Imogiri

Tradisi Nguras Kong
Oleh Team www.seowaps.com
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah


Sebelum Islam datang dan berkembang di pulau Jawa, masyarakat Jawa telah lama menggemari kesenian, baik seni pertunjukan wayang dengan gamelannya maupun seni tarik suara. Oleh karena itu, walisongo mengambil siasat menjadikan kesenian itu sebagai alat da'wahnya, guna memasukan ajaran Islam kepada masyarakat lewat apa yang selama ini menjadi kegemarannya.
Awal mula langkah da'wah menggunakan kesenian  diterapkan oleh Sunan Kalijaga. Ia menggunakan media wayang sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam pada masyarakat Jawa. Hal ini pertama kali  dilakukan di serambi masjid Agung Demak dalam rangka memperingati MauliNabi Muhammad Saw.[1] Cerita wayang yang dibuat oleh Sunan Kalijaga banyak bernafaskan Islam, isinya menggambarkan etnik Islam, kesusilaan hidup berdasarkan tuntunan dan ajaran Islam.[2]
Selain itu masyarakat Jawa juga memiliki kebiasaan pemujaan terhadap roh leluhur, sesajen-sesajen dalam kehidupannya, bahkan berkembang setelah agama Hindhu Budha masuk ke Nusantara yaitu sekitar abad ke-IV M. Kebiasaan ini berjalan terus hingga agama Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-VII M, bahkan sampai sekarangpun masih banyak ditemui. Melihat kenyataan tersebut Sunan Kalijaga tidak langsung memberantas dan melarang adat kebiasaan tersebut, tapi cukup dimasuki dengan unsur-unsur ajaran Islam.[3]
Melalui cara seperti ini penyebaran agama Islam tidak harus dengan jalur formal, tetapi dapat dilakukan melalui adat kebiasaan yang masih dilakukan, baik itu melalui kesenian maupun upacara tradisi masyarakat, yang dalam pelaksanaannya disisipi dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dengan demikian proses penyebaran agama Islam dapat dilakukan secara tidak langsung.
Kesenian atau upacara tradisi telah lama ada bahkan sampai sekarang masih tetap dilakukan. Hal tersebut dilakukan dengan maksud untuk mengingat kembali peristiwa bersejarah yang terjadi pada saat itu dan untuk melestarikan budaya yang mereka miliki. Hal ini dapat dilihat dalam upacara Mauludan, Rajaban, Sekaten dan lain sebagainya. Kegiatan tersebut merupakan upaya untuk mengingat kembali pada peristiwa-peristiwa bersejarah yang berkaitan dengan syiar Islam.
Seperti yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa yakni di daerah Imogiri, Bantul, Yogyakarta, mereka mengadakan upacara tradisi turun temurun. Upacara tersebut dilakukan untuk mengenang jasa-jasa Sultan Agung dalam menyebarkan ajaran Islam. Sultan Agung adalah raja Mataram yang ke tiga.
Selama masa pemerintahan Sultan Agung, kerajaan Mataram Islam dapat menyatukan Jawa dan Madura kecuali Banten dan Jakarta. Sebagai orang Islam, Sultan Agung telah berhasil memajukan agamanya. Namun rupanya usahanya belumlah sampai tujuan, hal ini terlihat adanya campuran Islam dengan unsur-unsur lain.[4] Percampuran antara unsur Islam dengan unsur Hindu, Budha dan unsur-unsur kepercayaan lain yang ada di Indonesia sampai sekarang masih terasa, yakni terlihat dalam beberapa upacara tradisional yang masih biasa dilakukan, salah satunya adalah tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Imogiri, Yogyakarta.
Upacara tradisi tersebut oleh masyarakat setempat dikenal dengan sebutan nguras Kong, yakni upacara penggantian air di dalam gentong/ tempayan.[5] Gentong tersebut oleh masyarakat Imogiri dan sekitarnya sering disebut dengan istilah kongKong tersebut oleh masyarakat dianggap sebagai benda pusaka dan bersejarah serta diyakini bahwa air yang ada di dalam kong  dapat membawa berkah. Kong tersebut berjumlah empat yang diperoleh Sultan Agung dari kerajaan lain sebagai tanda takluk.
Masing-masing kong tersebut oleh Sultan Agung diberi nama yakni Kyai Danumaya (dari kerajaan Aceh), Nyai Danumurti (dari kerajaan Palembang), Kyai Mendung (dari kerajaan Rum, Turki), Kyai Syiem (dari kerajaan Siam, Thailand). Pada zaman dahulu kong tersebut disimpan oleh Sultan Agung di dalam istana kerajaan sebagai tempat air wudhu keluarga. Setelah Sultan Agung wafat keempat kong tersebut diboyong ke  makam Imogiri yakni tempat  Sultan Agung dimakamkan.
Upacara tradisi nguras kong biasa dilakukan satu tahun sekali yaitu pada hari Jum'at atau Selasa Kliwon pada bulan Suro (Muharram). Proses pelaksanaan upacara penggantian air kong diawali dan diakhiri dengan acara tahlilan bersama oleh  keluarga kraton, abdi dalem, masyarakat setempat serta pengunjung yang berkeinginan untuk mengikuti acara tahlil tersebut.[6]
Dalam perkembangannya upacara tradisi nguras kong tersebut dirasa lebih meriah karena diadakannya Kirab Budaya dengan disertai arak-arakan gunungan di sepanjang jalan menuju makam. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa menghormati para leluhur mereka, terutama seorang raja seperti Sultan Agung, mereka menganggap raja adalah utusan Tuhan YME di muka bumi ini.

B.     Batasan dan Rumusan Masalah

Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah tentang nilai-nilai Islam yang terkandung dalam tradisi nguras kong di makam raja-raja Mataram Imogiri, sehingga dalam penelitian ini hanya terbatas di lingkungan Imogiri, Yogyakarta yang merupakan daerah tempat pelaksanaan tradisi tersebut. Penelitian terhadap upacara tradisi nguras kong ini, dibatasi pada kajian budaya. Hal ini disebabkan karena upacara nguras kong merupakan salah satu upacara tradisi yang digunakan sebagai sarana penyebaran Islam yang dilakukan oleh Sultan Agung. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
a.       Bagaimana latar belakang munculnya upacara tradisi nguras kong?
b.      Bagaimana bentuk pelaksanaan upacara tradisi nguras kong?
c.       Nilai-nilai Islam apa saja yang terkandung dalam upacara tradisi nguras kong?

C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan Penelitian :
a.       Untuk menjelaskan tentang latar belakang munculnya upacara tradisi nguras kong.
b.      Mengkaji lebih dalam tentang bentuk pelaksanaan upacara tradisi nguras kong.
c.       Mengkaji tentang nilai-nilai Islam yang terkandung dalam upacara tradisi nguras kong.
Kegunaan Penelitian :
1.      Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat tentang upacara nguras kong yang mengandung nilai-nilai Islam.
2.      Sebagai alas pijak dan in put yang berguna bagi para peneliti berikutnya, dalam rangka pengembangan ilmu, khususnya dalam masalah yang sama.
3. Sebagai pelengkap dalam ilmu pengetahuan terutama berkaitan dengan upacara tradisional yang terus berkembang, khususnya upacara-upacara yang terdapat di makam raja-raja Mataram Imogiri.

D.    Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang upacara tradisi masyarakat telah banyak dilakukan, namun untuk pembahasan tentang tradisi nguras kong di makam raja-raja Mataram belum ada pembahasan secara khusus. Walau demikian penulis juga menggunakan beberapa penelitian yang pernah membahas tentang makam Imogiri. Adapun referensi tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, sebuah buku kecil yang ditulis oleh R. Ng. Martohastono berjudul  Riwayat Pasarean Imogiri Mataram, buku ini berisi tentang sejarah berdirinya makam Imogiri.[7]   
Kedua, skripsi yang ditulis oleh Maryadi Habib, tentang tinjauan terhadap upacara ziarah tradisional di makam Imogiri. Penelitian ini juga membahas tentang adanya beberapa upacara tradisi yang biasa dilakukan di makam Imogiri yang salah satunya adalah tradisi nguras kong. Namun pembahasan mengenai tradisi tersebut hanya sedikit tidak secara keseluruhan, karena dalam penelitian ini lebih ditekankan pada makna ziarahnya.[8]
Ketiga, juga berupa penelitian yang dilakukan di makam Imogiri, yakni tentang makna simbolik dalam tata busana abdi dalem dan juru kunci makam Imogiri. Penelitian ini lebih menekankan pada makna-makna dalam tata busana yang digunakan para abdi dalem dan juru kunci makam Imogiri.[9]
Berdasarkan beberapa penelitian diatas, menunjukkan bahwa belum ada penelitian yang membahas tentang upacara tradisi nguras kong secara mendalam dan menyeluruh. Penelitian-penelitian tersebut hanya menyinggung sedikit tentang upacara nguras kong dan memaparkan tentang sejarah dibangunnya makam raja-raja Mataram, namun skripsi tersebut serta buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan dapat penulis jadikan sebagai bahan yang membantu dalam mencari data-data yang otentik.

E.     Landasan Teori

  Nilai merupakan objek keinginan yang mempunyai kualitas dan dapat menyebabkan seseorang mengambil sikap, baik setuju maupun memberi sifat-sifat tertentu.[10] Nilai itu bersifat ide dan abstrak, oleh karena itu tidak dapat disentuh oleh panca indra. Menurut Pringgodigdo nilai merupakan sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, seperti nilai-nilai agama yang perlu kita indahkan.[11]
Perasaan seseorang mengusai batin manusia sehingga banyak cerita-cerita yang tidak masuk akal tetapi kebenarannya diakui. Misalnya mitos, yakni  sebuah kebenaran religi dalam bentuk cerita. Cerita dalam kerangka sistem suatu religi dimasa lalu atau masa kini, telah atau sedang berlaku sebagai kebenaraan keagamaan.[12] Begitu juga halnya dengan cerita-cerita yang ada dalam  masyarakat Jawa yang mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan mereka.           
Religi dan upacara religi merupakan suatu unsur dalam kehidupan masyarakat di dunia. Menurut Koentjaraningrat sistem religi merupakan salah satu unsur pokok dalam kebudayaan, sedangkan upacara adalah melakukan kegiatan adat, kegiatan untuk rasa kebesaran, tanda-tanda kebesaran, peringatan atau perayaan. [13]
  Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan Antropologi yaitu pendekatan yang mengungkapkan nilai-nilai yang mendasari perilaku tokoh sejarah, struktur dan gaya hidup, serta sistem kepercayaan yang mendasari pola hidup dan sebagainya. Menurut ahli Antropologi, sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek yaitu :
1.      Tempat upacara keagamaan dilakukan, yaitu berhubungan dengan tempat-tempat keramat seperti makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, masjid dan sebagainya.
2.      Saat-saat upacara dijalankan, yakni mengenai saat-saat beribadah, hari-hari keramat dan suci.
3.      Benda-benda dan alat upacara, yakni aspek tentang benda dan alat yang dipakai dalam upacara seperti patung-patung, lonceng, seruling, genderang atau benda lainnya yang dianggap suci.
4.      Orang-orang yang melakukan upacara dan memimpin upacara, yaitu para pelaku upacara keagamaan seperti pendeta, biksu, dukun dan sebagainya.[14]
Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori W. Robertson Smith tentang upacara bersaji, sebuah teori mengenai azas-azas religi. Ia berpendapat bahwa disamping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama. [15] Sesaji merupakan aktualisasi dari pikiran, keinginan dan perasaan manusia untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Sesaji juga merupakan simbol yang digunakan sebagai perantara untuk berhubungan kepada hal-hal ghaib.     
Melalui pendekatan Antropologi dan teori W. Robertson Smith tersebut penulis mencoba menganalisis data yang terhimpun meliputi beberapa hal yang berkaitan dengan upacara tradisi Nguras Kong, mulai dari sistem pelaksanaan upacara, sesaji yang dipersembahkan, serta nilai-nilai yang terkandung didalam rangkaian upacara.

F.     Metode Penelitian

Untuk mempermudah penelitian dan memperoleh hasil yang maksimal, maka penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :
1.      Pengumpulan Data
a.       Jenis Data
Jenis data yang akan dikumpulkan adalah jenis data primer dan skunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari responden dengan menggunakan wawancara dan observasi, sedang data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumentasi dan bacaan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
b.      Tehnik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang maksimal, penulis menggunakan beberapa tehnik yaitu :
1.      Wawancara, yaitu dengan cara mengadakan tanya jawab secara terarah guna mendapatkan keterangan yang aktual dan positif dari responden sesuai dengan yang diteliti.[16] Tehnik wawancara ini dibagi menjadi 3 yaitu ;
a.       Interview bebas, metode ini penulis gunakan untuk mewancarai peserta upacara tradisi Nguras Kong.
b.      Interview terpimpin, metode ini digunakan untuk memperoleh data dengan mewancarai para pejabat makam raja-raja Mataram Imogiri.
c.       Interview bebas terpimpin, penulis gunakan untuk wawancara dengan masyarakat umum.
2.      Observasi, metode ini diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan denga sistematis fenomena-fenomena yang sedang diselidiki.[17] Metode ini penulis gunakan untuk melengkapi metode wawancara serta dilakukan secara langsung pada objek penelitian di lokasi.
3.      Dokumentasi, metode ini penulis gunakan untuk mengetahui keabsahan atau bukti nyata dari kegiatan yang dilakukan, misalnya dengan memberikan catatan-catatan, gambar atau lainnya yang bisa dijadikan sebagai bukti nyata.
2.      Kritik Sumber
Penelitian ini menggunakan kritik sumber yaitu cara-cara untuk meneliti otentisitas dan kredibilitas sumber yang diperoleh.[18] Kritik dilakukan dengan kritik intern dan ekstern.
3.      Analisis Data
Data yang terkumpul bukanlah merupakan hasil akhir dari suatu penelitian ilmiah, tetapi data-data tersebut masih perlu dianalisis, baik analisis selama di lapangan maupun setelah meninggalkan lapangan.
4.      Penulisan
Setelah langkah operasional dilakukan, maka hasil penelitian ini ditulis berdasarkan fakta dan data yang diperoleh selama penelitian.[19]

G. Sistematika Pembahasan

Pembahasan dalam penelitian ini dibagi dalam 5 bab, yakni : bab pertama, merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Penjelasan pada bab ini merupakan bab pengantar dan gambaran secara global dari seluruh pembahasan.
Bab kedua membahas tentang gambaraan umum makam raja-raja Mataram Imogiri meliputi, letak dan sejarah makam Imogiri, upacara-upacara lain yang dilakukan di makam, serta keadaan makam raja-raja Mataram Imogiri. Pembahasan dalam bab ini merupakan penjelasan secara keseluruhan tentang makam Imogiri yang menjadi tempat pelaksanaan upacara.
Bab ketiga, membahas bentuk dan pelaksanaan upacara tradisi nguras kong, meliputi latar belakang munculnya, rangkaian pelaksanaan upacara, tujuan pelaksanaan upacara tradisi nguras kong, sesaji upacara dan maknanya. Pembahasan ini dimaksudkan untuk mengungkapkan secara lebih lengkap hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan upacara tradisi nguras kong dengan harapan dapat menggali nilai-nilai Islam yang terkandung dalam upacara tersebut.
Bab keempat, berisi tentang nilai-nilai Islam yang terkandung dalam  tradisi nguras kong yang terdiri dari nilai akidah, ibadah, akhlak, dan nilai sejarah. Pembahasan dalam bab ini merupakan pembahasan inti, karena membahas nilai-nilai Islam yang terkandung dalam upacara tradisi nguras kong.
Bab kelima, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan dengan disertai saran-saran dan penutup.

                       
Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tags: Nilai-Nilai Islam dalam Upacara Tradisi Nguras Kong di Kompleks Makam Raja-Raja Imogiri
no image

Nilai-Nilai Islam dalam Tradisi Ngijiring pada Upacara Selametan Nyewu Dusun Mudal Argomulyo

Nilai-Nilai Islam dalam Tradisi Ngijiring pada Upacara Selametan Nyewu Dusun Mudal Argomulyo 

Upacara Selametan Nyewu
Oleh: Team www.seowaps.com
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Hasil pemikiran, cipta dan karya manusia merupakan kebudayaan yang berkembang pada masyarakat, pikiran dan perbuatan yang dilakukan oleh manusia secara terus menerus pada akhirnya menjadi sebuah tradisi.[1] Tradisi merupakan   proses situasi kemasyarakatan yang di dalamnya unsur-unsur dari warisan kebudayaan dan dipindahkan dari generasi ke generasi.[2]
Dalam sejarahnya, perkembangan kebudayaan masyarakat Jawa mengalami akulturasi dengan berbagai bentuk kultur yang ada. Oleh karena itu corak dan bentuknya diwarnai oleh berbagai unsur budaya yang bermacam-macam. Setiap masyarakat Jawa memiliki kebudayaan yang berbeda. Hal ini dikarenakan oleh kondisi sosial budaya masyarakat antara yang satu dengan yang lain berbeda. Kebudayaan sebagai cara merasa dan cara berpikir yang  menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan kelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan waktu. Salah satu unsur budaya Jawa yang menonjol adalah adat istiadat atau tradisi kejawen.[3]
Simbol yang juga merupakan salah satu ciri masyarakat Jawa, dalam wujud kebudayaannya ternyata digunakan dengan penuh kesadaran, pemahaman, penghayatan tertinggi, dan dianut secara tradisional dari satu generasi ke generasi berikutnya.[4] Hal ini disebabkan orang Jawa  pada masa itu belum terbiasa berfikir abstrak, maka segala ide diungkapkan dalam bentuk simbol yang konkrit. Dengan demikian segalanya menjadi teka-teki. Simbol dapat ditafsirkan secara berganda. Juga berkaitan dengan ajaran mistik yang memang sangat sulit untuk diterangkan secara lugas, maka diungkapkan secara simbolis atau ungkapan yang miring (bermakna ganda).[5]
Di kalangan masyarakat Jawa terdapat kepercayaan adanya hubungan yang sangat baik antara manusia dan yang gaib. Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai ritual sakral. Geertz menuturkan bahwa hubungan manusia dengan yang gaib dalam dimensi kehidupan termasuk cabang kebudayaan.[6] Salah satunya adalah Tradisi Ngijing pada Upacara Selametan Nyewu di Cangkringan Sleman. Tradisi ini merupakan implementasi kepercayaan mereka akan adanya hubungan yang baik antara manusia dengan yang gaib.
Tradisi ini tidak diketahui secara pasti asal-usulnya. Para pelaku tradisi hanya bisa mengatakan bahwa tradisi ini  mereka warisi dari nenek moyang mereka kurang lebih tiga atau empat generasi yang lalu.[7]
Ngijing merupakan bentuk kata kerja dari kijing yang artinya nisan, dengan demikian arti ngijing adalah meletakkan nisan diatas makam. Makna upacara dalam tema ini lebih mengarah pada kronologisasi ritual selametan nyewuSelametan berasal dari kata selamat, masyarakat Jawa memaknainya sebagai sebuah media untuk memanjatkan doa memohon keselamatan bagi yang meninggal dan yang ditinggal.  
Selametan nyewu atau selamatan seribu hari adalah prosesi ritual paling penting, karena selametan nyewu merupakan upacara penutup dari rangkaian upacara selamatan orang meninggal. Pada masyarakat Jawa, apabila salah seorang keluarganya meninggal maka ada serangkaian upacara yang dilaksanakan, antara lain upacara pada saat kematian (selametan surtanah atau geblag), hari ketiga (selametan nelung dina), hari ketujuh (selametan mitung dina), hari keempat puluh (selametan patang puluh dina), hari keseratus (selametan nyatus), peringatan satu tahun (mendak sepisan), peringatan kedua tahun (mendak pindo) dan hari keseribu (nyewu) sesudah kematian.[8] Dan ada juga yang melakukan peringatan  saat kematian seseorang untuk terakhir kalinya (selametan nguwis-uwisi).[9] Pada setiap upacara yang dilakukan selalu diadakan tahlilan dan doa untuk memohon ampunan kepada Tuhan atas kesalahan dan dosa arwah yang meninggal. Prosesi selametan nyewu pada masyarakat Jawa umumnya sama. Lain halnya dengan selametan nyewu yang ada di Dusun Mudal, nyewu bukan hanya sekedar selametan dengan tahlil dan doa, melainkan disertai dengan upacara ngijing yang terkesan sekedar simbolis. Makam hanya dibongkar untuk diambil pasaknya (kayu penutup jenazah) kemudian jenazah yang telah menjadi tulang belulang didoakan layaknya mendoakan jenazah yang baru diletakkan di liang kubur, kemudian liang kubur tersebut ditimbun  dengan tanah dan dipasang batu nisan (kijing).  
Setidaknya ada dua fungsi yang terkandung di dalam tradisi ini. Pertama hanya sebagai syarat sebelum dipasangi batu nisan (kijing), pasak yang umumnya terbuat dari kayu harus dicabut karena khawatir keropos sehingga tidak mampu menahan beban berat batu nisan yang terbuat dari batu tatahan.
Fungsi yang kedua, tradisi ini juga merupakan implementasi kepercayaan mereka akan adanya siksa kubur dengan melihat posisi tulang-belulang yang terlihat berantakan seperti tengkorak kepala ada di kaki, hal itu merupakan siksa kubur yang diterimanya sebagai imbas dari perbuatan buruknya selagi hidup di dunia. Begitupun sebaliknya ketika mereka mendapati tulang- belulang dalam keadaan utuh seperti saat raga dikebumikan, mereka percaya  bahwa semasa hidupnya  almarhum orang yang baik. Kepercayaan mereka tentang adanya siksa kubur versi tulang-belulang seringkali terbukti, karena durasi seribu hari adalah waktu yang singkat  untuk membuktikannya. Tentunya kepercayaan ini akan lebih mengingatkan manusia bahwa suatu saat manusia pasti akan mengalami hal seperti itu, sehingga seseorang tersugesti untuk merefleksikan jalan hidupnya menjadi lebih baik.[10]
Pemaknaan tersebut yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian, adanya korelasi antara agama dan tradisi yang kemudian keduanya saling mempengaruhi dan menyentuh berbagai aspek kehidupan.
Sebelum tradisi Ngijing dilaksanakan, ada beberapa tahapan yang dilakukan. Tahap pertama yaitu tiga hari sebelum prosesi, pada malam harinya mengadakan tahlilan. Tahap kedua  yaitu dua hari sebelum prosesi, pada malam hari mengadakan yasinan. Tahap ketiga yaitu satu hari sebelum prosesi, pada malam harinya orang yang berhajat mengadakan khataman al Qur’an. Semua proses ini melibatkan para kerabat terdekat dan warga sekitar dengan dipimpin oleh seorang modin.[11] Kaum lelaki ikut serta dalam proses tersebut, sedangkan para perempuan membantu urusan dapur.
Rangkaian prosesi ini jelas mencerminkan nilai-nilai ke Islaman yang terdiri dari nilai aqidah, nilai syari'ah dan nilai akhlaq. Nlai-nilai fundamental dalam Islam ini kemudian oleh penulis dijadikan kajian pokok dalam kajian budaya ini. Penulis berusaha mengungkapkan nilai-nilai tersebut dengan berlandaskan pada Naqal (Al-Qur'an dan Hadits).  
Di antara semua kewajiban sosial, menurut Niels Mulder, kewajiban untuk turut ambil bagian dalam upacara kematian dianggap paling penting. Tidak ambil bagian dalam peristiwa penuh duka yang merupakan puncak dalam lingkaran kehidupan dianggap sebagai bukti penghinaan terhadap tata tertib yang baik. Akibatnya ia dapat dikucilkan dari kehidupan sosial, orang enggan datang bila dia mengadakan slametan dan juga tidak mau membantu berbagai keperluannya. Ia hidup diluar partisipasi ritual dan sosial, di luar kehormatan dan secara sosial ia mati. Penolakan serupa itu adalah sarana sosial guna menandaskan batas-batas di dalam mana kerukunan dan keadaan slamet harus diutamakan.[12]
Penelitian ini penting dilakukan mengingat Tradisi Ngijing Pada Upacara Selametan Nyewu merupakan rangkaian sejarah masa lalu yang mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan melihat realitas sekarang ini, yakni masuknya budaya luar yang dapat berdampak positif maupun negatif, maka diperlukan usaha penanaman kembali nilai-nilai moral melalui tradisi yang ada. Selain itu juga untuk mendokumentasikannya agar tradisi ini tidak hilang ditelan jaman.

B.     Pembatasan dan Perumusan Masalah

Fokus penelitian ini adalah Tradisi Ngijing Pada Upacara Selamatan Nyewu  di dusun Mudal, Argomulyo, kecamatan Cangkringan, kabupaten Sleman. Dengan menitik beratkan pada analisa nilai-nilai Islam.  Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa yang melatar belakangi dilakukannya Tradisi Ngijing  pada Upacara Selametan Nyewu di dusun Mudal, Argomulyo, cangkringan, Sleman?
2.      Nilai-nilai Islam apa yang terkandung dalam Tradisi Ngijing?
3.      Apa pengaruh nilai-nilai Islam dalam tradisi Ngijing terhadap prilaku keagamaan masyarakat dusun Mudal?


C.    Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penelitian ini adalah:
1.      Untuk menjelaskan latar belakang dilakukannya Tradisi Ngijing Pada Upacara Selametan Nyewu.
2.      Untuk menjelaskan nilai-nilai Islam  dalam tradisi Ngijing pada upacara selametan nyewu. 
3.      Untuk menjelaskan nilai-nilai Islam dalam tradisi Ngijing yang mempengaruhi prilaku keagamaan masyarakat dusun Mudal.
     Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat berguna:
1.      Sebagai acuan atau pembanding dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam realitas kehidupan.
2.      Untuk memperkaya khazanah kebudayaan Islam.
3.      Untuk menambah wawasan khususnya wawasan tentang nilai-nilai Islam dalam Tradisi Ngijing Pada Upacara Selametan Nyewu.
4.      Memperluas khasanah kebudayaan lokal yang ada di Indonesia.

D.    Tinjauan Pustaka
Dari pengamatan peneliti selama ini, belum ditemukan buku ataupun tulisan yang berkaitan dengan Nilai-nilai Islam dalam Tradisi Ngijing Pada Upacara Selametan Nyewu. Hal ini tidak menyurutkan semangat penulis untuk melanjutkan penelitian yang kemudian merujuk pada perbandingan pustaka. Dengan kata lain penulis mencari tema-tema yang relevan dengan tema yang diangkat antara lain:
Drs. Moh. Rofangi dalam penelitiannya tentang Sedekahan di Yogyakarta (Suatu study tentang pola interaksi sosial), sedekah atau shodakoh dimaksudkan untuk mensyukuri nikmat Tuhan sebab adanya kelahiran dan perkawinan dengan membagikan besek. Pada  ritual upacara kematian, sedekahan dilakukan dengan niat pahala shodakohnya di limpahkan kepada almarhum agar almarhum dijauhkan dari siksa kubur. Masyarakat Cangkringan pun demikian, sedekahan mewarnai norma kesusilaan mereka. Sedekahan bukan hanya sekedar makna ritual saja, toleransi dan kerukunan beragama adalah hal terpenting dalam menilai arti sebuah tradisi[13].          
Drs. H. Zarkasyi A. Salam dalam hasil penelitiannya[14] tentang ritual kematian yang mempunyai makna toleransi dan kerukunan beragama yang tinggi.
Seperti penelitian yang penulis lakukan, ritual seputar kematian mempunyai fungsi dan pengaruh yang sarat dengan norma-norma kehidupan bermasyarakat.
Muhamad Hisyam dalam skripsinya[15] membahas beberapa aspek akulturasi Islam di Jawa. Di antaranya tentang rangkaian selametan yang diadakan bertepatan dengan saat-saat penting di dalam kehidupan (dari masa kehamilan sampai keseribu sesudah kematian).
Adanya penggunaan simbol dalam bentuk sesajen[16] yang menyertai doa-doa berbahasa Arab menjadi bukti adanya akulturasi Islam di Jawa. Relevansinya dengan tema yang diangkat terletak pada akulturasi Islam di Jawa. Penggunaan sesajen sebagai sebuah simbol, dengan pemaknaan yang mendalam dan penuh kesadaran ataupun hanya sekedar mengikuti kebiasaan, selalu diikutsertakan dalam melangsungkan tahlilan dan doa yang tentunya bernafaskan Islami.
Koentjaraningrat dalam bukunya,[17] memaparkan secara komprehensip tentang kebudayaan orang Jawa dari akar budayanya sampai dengan ritual dalam lingkaran kehidupan dari kelahiran sampai dengan kematian. Karya etnografi tersebut merupakan sumber primer dalam penelitian ini, karena tema yang diusung oleh penulis juga merupakan bagian dari bahasannya.
Penelitian ini memfokuskan pada Nilai-nilai Islam yang terkandung dalam Tradisi Ngijing Pada upacara Selametan Nyewu.

E.     Landasan Teori
Kebudayaan cenderung di ikuti oleh masyarakat pendukungnya secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya, meskipun sering terjadi anggota masyarakat itu datang silih berganti disebabkan munculnya bermacam-macam faktor, seperti kematian dan kelahiran.[18]
Menurut Malinowski dalam Magic, Science and Religion, (Boston, 1984), hlm. 33-35, kematian merupakan krisis yang paling  atas dan paling akhir, serta krisis yang paling penting. Kematian menimbulkan dalam diri orang yang berduka-cita suatu tanggapan ganda cinta dan segan, sebuah ambivalensi emosional yang sangat mendalam dari pesona dan ketakutan yang mengancam baik dasar-dasar psikologis maupun sosial eksistensi manusia. Orang-orang yang berduka-cita ditarik ke arah almarhum oleh rasa kasih sayang kepadanya, disentakkan  belakang darinya oleh perubahan yang ditimbulkan oleh kematian. Ritus-ritus pemakaman, dan praktik-praktik duka-cita yang menyertainya, berpusat di sekitar hasrat paradoksal ini baik untuk memelihara ikatan berhadapan dengan kematian maupun  dengan segera dan sama sekali memutuskan ikatan itu, dan menjamin dominasi kehendak untuk hidup atas kecendrungan untuk berputus-asa. Ritus-ritus kematian menjaga kelangsungan kehidupan manusia dengan mencegah orang-orang  yang berduka-cita dari penghentian entah dorongan untuk lari terpukul-panik dari keadaan itu  atau sebaliknya, dorongan untuk mengikuti almarhum ke kubur[19].  
Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologis, yaitu pendekatan yang menggunakan nilai-nilai yang mendasari perilaku tokoh sejarah, status dan gaya hidup, sistem kepercayaan yang mendasari pola hidup dan sebagainya.[20] Dengan pendekatan ini, penulis mencoba memaparkan situasi dan kondisi masyarakat yang meliputi kondisi sosial budaya dan kondisi keagamaannya. Antropologi memberi bahan prehistoris sebagai pangkal bagi tiap penulis sejarah. Kecuali itu, konsep-konsep tentang kehidupan masyarakat dikembangkan oleh antropologi, akan memberi pengertian untuk mengisi latar belakang dari peristiwa sejarah yang menjadi pokok penelitian.[21] Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.[22]
 Teori adalah kreasi intelektual, penjelasan beberapa fakta yang telah diteliti dan diambil prinsip umumnya.[23] Dalam Poerwadarminta teori adalah asas-asas dan hukum-hukum umum yang menjadi dasar sesuatu kesenian atau ilmu pengetahuan.[24] Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Hermeneutik oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911),  seorang filsuf Jerman yang menaruh perhatiannya pada sejarah dan lebih banyak dikenal dengan riset-riset historisnya. Dilthey memandang sebuah peristiwa sejarah sebagaimana ia memandang dunia yaitu dalam dua wajah, wajah luar (eksterior) dan  wajah dalam (interior). Secara eksterior, suatu peristiwa mempunyai tanggal dan tempat khusus atau tertentu; secara interior peristiwa itu dilihat atas dasar kesadaran atau keadaan sadar. Kedua dimensi dari peristiwa sejarah ini tidak bernilai sama. Bahkan dapat dikatakan bahwa kedua dimensi itu saling bergantung satu sama lain.[25] Eksterior sebagai sesuatu yang riil pastinya mengandung nilai yang abstrak atau interior,  Hermeneutik sebagai sebuah teori interpretasi  digunakan untuk mengungkapkan interioritas eksterior. Dalam kebebasanya yang inheren manusia membayangkan sebuah tema di dalam angan-angan dan mengevaluasi tema tersebut menurut kebebasannya. Bila seorang sejarawan berdiri ditengah-tengah reruntuhan dan memandangnya sebagai peninggalan masa lampau, sejarawan tersebut mengetahui person-person dan segala perbuatannya seakan-akan bermunculan dalam benaknya dengan segala corak dan warnanya sendiri yang khas. Sejarawan itu kemudian "mengaktifkan kembali" segala peristiwa yang ada dengan bantuan data yang terdapat dalam reruntuhan tersebut. karya semacam itulah yang disebut hermeneutik atau interpretasi. 
Dengan teori hermeneutik ini, penulis mencoba menganalisa data yang telah terhimpun untuk menjelaskan nilai aqidah, syari'ah dan akhlak sacara  sendiri-sendiri. Selain itu penulis mencoba memaparkan latar belakang dilakukannya tradisi Ngijing. Dengan pendekatan antropologi penulis menganalisa dapatkah nilai-nilai diatas  mendasari perilaku  keagamaan penganut tradisi tersebut.

F.     Metode penelitian
Dalam penelitian ini, penulis memerlukan sebuah metode penelitian yang berguna  untuk memperoleh  data yang akan dikaji. Metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian mempunyai tujuan mengungkap fakta mengenai variabel yang diteliti. Tujuan untuk mengetahui (goal of knowing) haruslah dicapai dengan menggunakan  metode atau cara-cara yang akurat.[26]
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah, yaitu sebuah proses yang meliputi pengumpulan dan penafsiran gejala, peristiwa ataupun gagasan yang timbul di masa lampau, untuk menemukan generalisasi yang berguna dalam usaha untuk memahami situasi sekarang dan meramalkan perkembangan yang akan datang.[27]
Metode sejarah meliputi empat tahapan sebagai berikut:
1.      Pengumpulan Sumber atau Heuristik
Heuristik sebagai tahap pertama dalam metode sejarah digunakan untuk mengumpulkan informasi-informasi yang terkait dengan penelitian yang akan dibahas. Untuk itu, pada tahap ini dilakukan cara-cara pengumpulan sumber sebagai berikut:
a. Metode observasi atau pengamatan dilakukan  agar dapat memberikan informasi atas suatu kejadian yang tidak dapat diungkapkan dan telah menjadi kebiasaan masyarakat setempat. Di samping itu, metode observasi juga digunakan sebagai langkah awal yang baik untuk menjalin interaksi sosial dengan tokoh masyarakat dan siapa saja yang terlibat dalam penelitian ini.
b. Metode Interview atau wawancara dilakukan dengan bertatap muka  dan mendengarkan secara langsung informasi-informasi dan keterangan-keterangan. Penulis melakukan tanya jawab secara langsung kepada pelaku tradisi, orang yang mengetahui tentang tradisi Ngijing pada Upacara Selametan Nyewu. Menurut prosedurnya penulis melakukan wawancara bebas terpimpin yaitu kombinasi antara wawancara bebas dan terpimpin dengan menyusun pokok-pokok permasalahan, selanjutnya dalam proses wawancara berlangsung mengikuti situasi.[28]
2.   Verifikasi atau kritik sumber
Penelitian ini menggunakan  kritik historis yaitu cara-cara untuk meneliti otentisitas dan kredibilitas sumber yang diperoleh.[29]  Kritik dilakukan dengan kritik ekstern dan intern.
a.        Kritik Ekstern
Kritik ekstern dilakukan untuk mengetahui tingkat keaslian sumber data guna memperoleh keyakinan bahwa penelitian telah dilakukan dengan mempergunakan sumber data yang tepat.[30] Dengan kritik ekstern ini penulis berusaha mendapatkan kebenaran sumber data dengan mengkaji berbagai faktor seperti adanya kesesuaian hasil wawancara dengan observasi dan penelitian yang penulis lakukan. 
b.       Kritik Intern
Kritik Intern adalah kelanjutan kritik ekstern bertujuan untuk meneliti kebenaran isi (data) sumber data itu.[31] Adapun terhadap sumber lisan, penulis melakukan kritik ini dengan melihat integritas pribadi informan, usia informan, jabatan informan, dan keterlibatan informan dalam pelaksanaan tradisi Ngijing.
3.   Interpretasi
Dalam tahap ketiga ini, penulis melakukan analisis terhadap sumber data yang telah diverifikasi dengan cara mengklasifikasikan sumber data di bawah tema-tema tertentu. Apabila terdapat data yang berbeda dalam suatu permasalahan  yang  sama maka peneliti membanding-bandingkan satu dengan yang lainnya untuk menentukan yang lebih mendekati kebenaran. Berdasarkan teori yang dipakai, penulis mencoba mengorganisasikan data berdasarkan tema-tema yang dibuat dan kemudian ditarik kesimpulan. [32]
4. Historiografi
Sabagai tahap terakhir dalam metode sejarah, historiografi disini merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan sehingga menjadi sebuah karangan sistematis yang dapat dibaca orang lain dan di dalamnya mengandung pelukisan tentang kehidupan suatu masyarakat dan kebudayaan di suatu daerah.[33]
           

G.    Sistematika Pembahasan

            Rangkaian pembahasan penelitian harus selalu sistematis dan saling berkaitan satu dengan yang lain agar menggambarkan dan menghasilkan hasil penelitian yang maksimal. Sistematika pembahasan ini adalah deskripsi urutan-urutan penelitian yang digambarkan secara sekilas dalam bentuk  bab-bab.
            Garis besarnya, penelitian ini memuat tiga bagian yaitu pendahuluan pada bab pertama, isi atau hasil penelitian terdapat di dalam bab dua, bab tiga dan bab empat, sementara kesimpulan ada pada bab lima.
Bab Pertama, adalah  pendahuluan yang merupakan  latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab ini adalah kerangka pemikiran penelitian yang dimaksudkan untuk lebih memfokuskan proses penelitian yang dilakukan.
Bab Kedua, membahas situasi dan kondisi masyarakat dusun Mudal kecamatan Cangkringan, meliputi kondisi  geografis, kondisi sosial budaya dan kondisi keagamaan. Bab ini dimaksudkan memberikan gambaran tentang masyarakat dan lingkungannya yang menjadi latar belakang tradisi Ngijing pada Upacara Selametan Nyewu. Bab ini sebagai aplikasi bab pertama dan sebagai pengantar atas bab selanjutnya.
Bab Ketiga, membahas deskripsi Tradisi Ngijing pada Upacara Selametan Nyewu, yang ditekankan  pada latar belakang dilakukannya tradisi Ngijing. Pemaparan rangkaian ritual pra-prosesi tradisi Ngijing yang meliputi tahlilan, yasinan dan khataman Al-Qur'an. Persiapan dan perlengkapan tradisi Ngijing dan prosesi upacara selengkapnya.
Bab Keempat, membahas nilai-nilai Islam dalam tradisi Ngijing pada Upacara Selametan Nyewu yang mempengaruhi prilaku keagamaan masyarakat dusun Mudal yang terbagi dalam tiga hal yaitu nilai aqidah, nilai syariah dan nilai akhlaq.
Bab Kelima, merupakan penutup yang  berisi kesimpulan dari hasil pembahasan secara keseluruhan dan disertai dengan  saran-saran.

Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tags: Nilai-Nilai Islam dalam Tradisi Ngijiring pada Upacara Selametan Nyewu Dusun Mudal Argomulyo
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net