• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Tampilkan postingan dengan label HUKUM ISLAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HUKUM ISLAM. Tampilkan semua postingan
Rabu, 15 Januari 2014
no image

PENGERTIAN NIKAH SIRI DAN NIKAH MUT’AH


nikah sirri
“NIKAH SIRI DAN NIKAH MUT’AH”
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang Masalah
Pernikahan adalah ibadah, sesuatu yang telah diteladani oleh Rasulullah SAW. Namun meski pun demikian, tidak semua pernikahan itu bernilai ibadah, ada juga pernikahan yang tergolong makruh, bahkan haram (bathil).
Untuk itu, dalam makalah ini kami mencoba sedikit mengulas tentang pernikahan, khususnya tentang “nikah Siri dan Nikah Mut’ah”.
1.2.       Rumusan Masalah
Terkait dengan uraian di atas, kami merumuskan beberapa masalah, yakni:
a.         Apa yang dimaksud dengan nikah siri dan bagaimana menurut hukum (Hukum Negara dan  Syari’at Islam) ?
b.        Apa pula yang dimaksud dengan nikah mut’ah serta bagaimana menurut pandangan Islam ?
1.3.       Tujuan Penulisan
Adapun tujuan kami menulis makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan dan wawasan keberagamaan kita, khususnya dalam masalah pernikahan (siri dan mut’ah).


BAB II
PEMBAHASAN
2.1.    Nikah Siri
a.        Pengertian Nikah Siri
Nikah secara bahasa adalah berkumpul atau bercampur, sedangkan menurut syariat secara hakekat adalah akad (nikah) dan secara majaz adalah al-wath’u (hubungan seksual) menurut pendapat yang shahih, karena tidak diketahui sesuatupun tentang penyebutan kata nikah dalam kitab Allah -Subhanahu wa ta’ala- kecuali untuk makna at-tazwiij (perkawinan). Kata “siri” berasal dari bahasa Arab sirrunyang berarti rahasia, atau sesuatu yang disembunyikan. Melalui akar kata ini Nikah siri diartikan sebagai Nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan Nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan.
Nikah siri sah secara agama dan atau adat istiadat, namun tidak diumumkan pada masyarakat umum, dan juga tidak dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang beragama non Islam. Ada kerena faktor biaya, tidak mampu membiayai administrasi pencatatan; ada juga disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri menikah lebih dari satu (poligami) tanpa seizin pengadilan, dan sebagainya. Ketiga; Nikah yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena takut menerima stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu Nikah siri atau karena pertimbangan-pertimbangan lain yang akhirnya memaksa seseorang merahasiakannya.
Nikah siri kadang-kadang diistilahkan dengan nikah “misyar”. Ada ulama yang menyamakan pengertian kedua istilah ini, tetapi tidak sedikit pula yang membedakannya. Nikah siri kadang-kadang diartikan dengan nikah “urfi”, yaitu Nikah yang didasarkan pada adat istiadat, seperti yang terjadi di Mesir. Namun nikah misyar dan nikah urfi jarang dipakai dalam konteks masyarakat Indonesia. Persamaan istilah-istilah itu terletak pada kenyataan bahwa semuanya mengandung pengertian sebagai bentuk Nikah yang tidak diumumkan (dirahasiakan) dan juga tidak dicatatkan secara resmi melalui pejabat yang berwenang.
Nikah siri yang tidak dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara sering pula diistilahkan dengan Nikah di bawah tangan. Nikah di bawah tangan adalah Nikah yang dilakukan tidak menurut hokum negara. Nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap Nikah liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupa pengakuan dan perlindungan hukum.
b.        Nikah Siri Menurut Hukum Negara
Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 2 [2] disebutkan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sedang dalam PP No 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan, pasal 3 disebutkan:
1.         Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinannya dilangsungkan.
2.         Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3.         Pengecualian dalam jangka tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu alasan yang penting diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa negara dengan tegas melarang adanya nikah siri dan setiap upacara pernikahan harus memberitahukan kepada pegawai negara yang berwenang. Bahkan negara akan memberikan sanksi pidana kepada para pelaku nikah siri dengan alasan pernikahan siri telah menimbulkan banyak korban, yang mana anak yang lahir dari pernikahan siri akan sulit mendapatkan surat lahir, kartu tanda penduduk, hak-hak hukum seperti hak waris, dan sebagainya.
Hanya dengan alasan itu pemerintah melarang sesuatu yang sah menurut syariat Islam, sementara disisi lain pemerintah seakan lupa berapa persen dari anak Indonesia yang lahir dari hubungan zina dalam setiap tahunnya. Dengan kata lain, perutaran pemerintah yang melarang nikah siri ini secara tidak langsung ikut berperan menyuburkan praktek zina di Indonesia.
c.         Nikah Siri Menurut Islam
Hukum nikah siri dalam Islam adalah sah sepanjang hal-hal yang menjadi dan rukun nikah terpenuhi, dimana rukun nikah dalam agama Islam adalah sebagai berikut :
1.          Adanya calon mempelai pria dan wanita
2.          Adanya wali dari calon mempelai wanita
3.          Adanya dua orang saksi dari kedua belah pihak
4.          Adanya ijab ; yaitu ucapan penyerahan mempelai wanita oleh wali kepada mempelai pria untuk dinikahi
5.          Qabul; yaitu ucapan penerimaan pernikahan oleh mempelai pria (jawaban dari ijab)
Jika dalam pelaksanaan nikah siri rukun nikah yang tertera di atas terpenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat agama Islam, hanya saja tidak tercatat dalam buku catatan sipil. Dan proses nikah siri lainnya yang tidak memenuhi rukun-rukun diatas maka pernikahan tersebut tidak dianggap sah menurut syariat Islam, dalam hadits disebutkan :
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil”
(HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557)
2.2.    Nikah Mut’ah
a.        Pengertian
Mut’ah secara bahasa diambil dari bahasa arab Al-Tamattu’ artinya bersenang-senang. Sedangkan Nikah Mut’ah menurut istilah adalah perkawinan yang dilakukan untuk waktu tertentu dengan memberikan sesuatu sesuai dengan kesepakatan dan berakhir sesuai waktu yang telah ditentukan tanpa adanya talak. Dinamakan Nikah Mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja.
Ada beberapa pendapat ulama mengenai defenisi nikah mut’ah ini, di antaranya yakni:
1.        Ibnu Qudamah:
نِكَاحُ اْمُتْعَةِ اَنْ يَتَزَوَّجَ اْلمَرْأَةَمُدَّةً, مِثْلُ اَنْ يَقُوْلَ زَوَّجْتُكَ ابْنَتِى شَهْرًا اَوْسَنَةً اَوْاِلى انْقِضَاءِ اْمُوْسِمِ اَوْقُدُوْمِ اْلحَاجِّ وَشِبْهِهِ سَوَاءٌ كَانَتِ اْلمُدَّةُ مَعْلُوْمَةً اَوْ مَجْهُوْلَةً.
Artinya: “nikah mut’ah adalah adanya seseorang mengawini wanita (dengan terikat) hanya waktu yang tertentu saja; misalnya (seorang wali) mengatakan: saya mengawinkan putriku dengan engkau selama sebulan, atau setahun, atau sampai habis musim ini, atau sampai berakhir perjalan haji ini dan sebagainya. Sama halnya dengan waktu yang telah ditentukan atau yang belum.
2.         Sayyid Saabiq mengatakan:
نِكَاحُ اْلمُتْعَةِ: اَنْ يَعْقِدَ الرَّجُلُ عَلَى اْلمَرْأَةِ يَوْمً اَوْ اُسْبُوْعًااَوْشَهْرًا. وَيُسَمّى  بِالْمُتْعَةِ: لِاَنَّ الرَّجُلَ يَنْتْفِعُ وَيَتَبَلَّغُ بِالزَّوَاجِ وَيَتَمَتَّعُ اِلَى اْلاَجْلِ الَّذِىْ وَقَّتَهُ.
Artinya: “perkawinan mut’ah adalah adanya seseorang pria mengawini wanita selama sehari, atau seminggu, atau sebulan. Dan dinamakan mut’ah karena laki-laki mengambil manfaat serta merasa cukup dengan melangsungkan perkawinan dan bersenang-senang sampai kepada waktu yang telah ditentukannya.
Bertolak dari definisi di atas, maka pengertian nikah mutah adalah suatu ikatan perkawinan yang terikat dengan waktu tertentu, sehingga bila waktu tersebut sudah habis, maka
b.        Nikah Mut’ah Menurut Hukum Islam
Untuk menentukan status hukum tentang nikah mut’ah maka dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam pendapat; yaitu:
1.         Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Al-Laits dan Imam al-Auzaa’iy mengatakan; “Perkawinan mut’ah itu hukumnya haram”.
Pendapat ini didasarkan pada beberapa Hadits yang antara lain berbunyi:
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ حَرَّمَ اْلمُتْعَلةَ فَقَالَ: يَااَيُّهَ النَّاسُ اِنِّى كُنْتُ اَذَّنْتُ لَكُمْ فِى الْاِسْتِمْتَاعِ, اَلاَوَاِنَّ اللهَ قَدْحَرَّمَهَا اِلَل ىَوْمِ الْقِيَامِةِ. رواه ابن ماجه.
Artinya: “bahwasanya Rasulullah SAW mengharamkan kawin mut’ah, maka ia berkata: hai manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kamu sekalian kawin mut’ah. Maka sekarang ketahuilah, bahwa Allah mengharamkannya sampai hari kiamat”. (H.R. Ibnu Majjah).
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لحُوُمِ اْلحُرُوْمِ اْلاَهْلِيَّةِ. رواه النسائى.
Artinya: “bahwasanya Rasulullah SAW telah melarang perkawinan mut’ah terhadap wanita pada peperangan Khaibar dan (melarang pula) makan daging keledai peliharaan”. (H.R. An-Nasaa’i)
2.         Imam Zufar berkata: perkawinan mutah hukumnya sah, meskipun syaratnya batal. Oleh karena itu, dibolehkan dalam ajaran Islam. Dikatakan sah karena keterangan hadits yang dikemukakan oleh pengikut kaum Syi’ah (“bahwasanya ‘Umar berkata: dua macam perkawinan mut’ah (yang pernah terjadi) di masa Rasulullah SAW. Maka dapatkah aku melarangnya dan memberikan sangsi hukum terhadap pelakunya? (keduanya itu) adalah perkawinan mut’ah terhadap wanita (diwaktu tidak bepergian) dan kawin mut’ah (pada waktu bepergian) menunaikan ibadah hajji. Karena hal itu, merupakan perkawinan yang berguna (pada saat tertentu), maka perlu menentukan waktu berlakunya seperti halnya sewa-menyewa.),  tetapi syaratnya batal karena tidak disertai dengan niat kawin untuk selama-lamanya, kecuali hanya waktu sementara saja. Bertolak dari beberapa pendapat di atas, maka penulis mengikuti pendapat Imam Abu hanifah beserta Imam Madzhab yang sependapat dengannya, karena memandang bahwa kebolehan kawin mut’ah telah dihapus oleh larangan melakukannya, sebagaimana keterangan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah dan An-Nasaa’i di atas.


BAB III
PENUTUP
3.1.       Kesimpulan
Nikah secara bahasa adalah berkumpul atau bercampur, sedangkan menurut syariat secara hakekat adalah akad (nikah) dan secara majaz adalah al-wath’u (hubungan seksual) menurut pendapat yang shahih, karena tidak diketahui sesuatupun tentang penyebutan kata nikah dalam kitab Allah -Subhanahu wa ta’ala- kecuali untuk makna at-tazwiij (perkawinan). Kata “siri” berasal dari bahasa Arab sirrunyang berarti rahasia, atau sesuatu yang disembunyikan. Melalui akar kata ini Nikah siri diartikan sebagai Nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan Nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan.
Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 2 [2] dan pasal 3 PP No 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan, pemerintah melarang pernikahan siri. Namun, Islam sebagai agama yang di anut mayoritas rakyat Indonesia membolehkannya sepanjang memenuhi persyaratan menurut syari’at Islam.
Mut’ah secara bahasa diambil dari bahasa arab Al-Tamattu’ artinya bersenang-senang. Sedangkan Nikah Mut’ah menurut istilah adalah perkawinan yang dilakukan untuk waktu tertentu dengan memberikan sesuatu sesuai dengan kesepakatan dan berakhir sesuai waktu yang telah ditentukan tanpa adanya talak. Dinamakan Nikah Mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja.
Menurut pendapat jumhur ulama, nikah mut’ah itu pada mulanya hukumnya sah (halal), tetapi kemudian diharamkan, hal itu berdasarkan dari beberapa hadits yang dengan tegas mengharamkan nikah mut’ah. Namun demikian, nikah mut’ah masih tetap dilestarikan khususnya oleh kalangan pengikut Syi’ah.
3.2.       Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami menyarankan kepada teman-teman yang ingin lebih memahami tentang nikah siri dan nikah mut’ah untuk mencari referensi tambahan melalui buku-buku yang sekarang mudah didapat.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Warson Munawwir.1997. Al Munawir: Kamus arab Indonesia (Cet. XIV).Surabaya: Pustaka Progressif
Happy Susanto. 2007. Nikah Siri Apa Untungnya? (Cet I). Jakarta: Visimedia
Zuhaili, Wahbah. 2008. Fiqih Imam Syafi’I (terjemahan). Jakarta: Almahira
Senin, 26 Maret 2012
no image

Sanksi dan Istinbat Hukum bagi Pembunuhan Non Muslim (Perbandingan Pemikiran Ibnu Hazm dan Mahmud

Sanksi dan Istinbat Hukum bagi Pembunuhan Non Muslim (Perbandingan Pemikiran Ibnu Hazm dan Mahmud
Sanksi dan Istinbat Hukum
Oleh Team www.seowaps.com
BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Hukum Islam dikenal dengan nama Syari'ah yang mencakup setiap aspek kehidupan manusia, persoalan-persoalan hukum, moral, ritual bahkan masalah kesehatan. Awalnya, kaum Muslim bertindak berdasarkan kebiasaan masyarakat Arab, tetapi pembentukan masyarakat politiko-religius di Madinah mengharuskan mereka berhadapan dengan persoalan baru, secara perlahan al-Qur'an menetapkan aturan-aturan tentang hal tersebut.[1])
Kejahatan ada di dunia ini bersama-sama dengan adanya manusia. Kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Di sisi lain manusia ingin hidup secara tentram, tertib, damai dan berkeadilan. Artinya tidak diganggu oleh perbuatan jahat. Upaya-upaya manusia untuk menyedikitkan kejahatan telah dilakukan, baik yang bersifat preventif maupun represif. Di dalam   ajaran Islam bahasan-bahasan tentang kejahatan manusia berikut upaya preventif dan represif dijelaskan dalam fiqh jinayah.[2])
Pembahasan tentang fiqh jinayah, sering menyiratkan kesan “kejam”. Hukum potong tangan, Rajam, Qişaş,[3]) dan Jilid sering di jadikan alasan di balik kesan tersebut, sekalipun dalam kenyataan, hal itu hampir tidak pernah dilakukan dalam sejarah hukum pidana Islam, kecuali dalam perkara yang sangat sedikit. Oleh karena itu, kenyataan mengenai hukum pidana Islam tidak sesederhana kesan terhadapnya. Pembahasan yang mendalam mengenai hukum pidana Islam dapat membuktikan kekeliruan kesan tersebut. Dalam pembahasan yang mendalam itu terlihat fakta bahwa tidak semua tindak pidana (jarimah) diancam dengan hudud [4]) atau qişaş, akan tetapi, pada umumnya diancam dengan ta'zir.[5])
Hukum diturunkan untuk kebaikan manusia itu sendiri, guna memagari akidah dan moral. Itulah sebabnya, akhlak jadi tolak ukur bagi semua pekerjaan. Selain itu, hukum Islam mengawinkan dunia dan akhirat, seimbang antara kebutuhan rohani dan kebutuhan jasmani. Ia mudah diamalkan, tidak sulit, tidak mempersulit dan tidak sempit, serta sesuai pula dengan logika yang benar dan fitrah manusia. Manfaat yang diperoleh bagi yang mematuhi suruhan Allah dan kemudlaratan yang diderita lantaran mengerjakan maksiat, kembali kepada pelakunya sendiri, baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok masyarakat.[6]) Pada dasarnya dengan adanya sanksi terhadap pelanggaran bukan berarti pembalasan akan tetapi mempunyai tujuan tersendiri yaitu, untuk mewujudkan dan memelihara lima sasaran pokok, agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan, serta harta. Lima hal pokok ini, wajib diwujudkan dan dipelihara, jika seseorang menghendaki kehidupan yang bahagia di dunia dan di akhirat. Segala upaya untuk mewujudkan dan memelihara lima pokok tadi merupakan amalan saleh yang harus dilakukan oleh umat Islam.[7]) Sebagaimana firman Allah SWT.:
([8]ولكم فى القصاص حيوة يأولى اْلأالبب لعلّكم تتّقون.
Al-Qur'an telah banyak menjelaskan tentang hukum-hukum pidana berkenaan dengan masalah-masalah kejahatan. Secara umum, hukum pidana atas kejahatan yang menimpa seseorang adalah hukum qişaş yang didasarkan persamaan antara kejahatan dan hukuman. Di antara jenis-jenis hukum qişaş disebutkan dalam al-Qur'an ialah: qişaş pembunuh, qişaş anggota badan dan qişaş dari luka. Semua kejahatan yang menimpa seseorang, hukumannya adalah dianalogikan dengan qişaş yakni berdasar atas persamaan antara hukuman dengan kejahatan, karena itu adalah tujuan pokok dari pelaksanaan hukuman qişaş.[9])
Pada dasarnya, berlakunya hukum pidana itu berkaitan erat dengan kondisi suatu masyarakat yang mengenal struktur kekuasaan. Dalam pelaksanaannya, sesungguhnya pemberian hukuman kepada setiap pelaku kejahatan yang bersifat publik terdapat dalam setiap masyarakat.
Salah satu dari ajaran Islam adalah memperhatikan dan menghormati hak hidup manusia, baik Muslim maupun non-Muslim. Islam menyamakan kedudukan kaum muslimin dengan kaum Żimmi, yaitu orang kafir yang berlindung di bawah kekuasaan Negara Islam, dalam kehidupan sosial dan politik. Sedangkan dalam bidang akidah tidak boleh ada persamaan sama sekali, juga tidak boleh kompromi. Dalam hal ini Islam telah menarik garis nyata antara kaum Muslimin dan orang-orang kafir.[10])
Persamaan hak di muka hukum adalah salah satu ajaran pokok hukum Islam, baik ibadah dalam arti sempit yang berhubungan antara mahluk dan khaliknya, maupun dalam arti yang luas yaitu hubungan muamalah antara manusia, hukum Islam mengakui dan menegakan prinsip adanya persamaan hak di muka hukum untuk semua umat manusia.[11]).
Persamaan hak di muka hukum tidak saja berlaku bagi sesama umat Islam melainkan juga berlaku bagi penganut-penganut atau pemeluk agama lainnya. Kepada mereka diberikan hak sepenuhnya menurut agama masing-masing, kecuali kalau mereka sendiri dengan suka rela meminta hukum menurut ketentuan hukum Islam.[12])
Sejalan dengan asas persamaan, syari'at Islam menegakan keadilan yang merata tanpa pandang bulu. Semua orang berkedudukan sama dihadapan hukum. Syari'at Islam hanya mengenal satu hukum yang berlaku bagi semua orang. Tidak ada hukum khusus atau pengakuan hak previlese bagi sekelompok orang tertentu. Kejahatan serupa yang dilakukan oleh rakyat jelata, ulama atau penguasa dijatuhi hukuman yang sama pula.[13])
Adapun kaidah hukum Islam bahwa hak mereka, orang Żimmi, apa yang menjadi hak kita, dan kewajiban mereka apa yang menjadi kewajiban kita, maka Islam menghormati orang Żimmi dengan keyakinan agama mereka dan menghormati hak hidup mereka untuk tinggal bersama-sama dengan orang Islam secara aman, tenang dan damai di dalam Negara Islam sebagai warga negara.[14])
Pembunuhan yang dilakukan orang Muslim terhadap orang Żimmi adalah pelanggaran terhadap perjanjian perlindungan dan hak asasi manusia yang dihormati oleh Islam. Pemberian sanksi merupakan konsekuensi hukum yang harus diberikan kepada pelakunya sebagai wujud persamaan antara orang Muslim dan orang Żimmi di muka hukum.
Di kalangan jumhur ulama menyatakan, bahwa orang Muslim yang membunuh orang non-Muslim hanya di kenakan hukuman ta’zir, yaitu suatu hukuman yang kualitas dan kuantitasnya relatif lebih ringan dari hukuman qişaş.[15]).
Pendapat jumhur ini di dasarkan pada sebuah hadis Nabi sebagai berikut:
)[16]  لايقتل المسلم بالْكافر
Adapun Ibnu Hazm berpendapat tentang sanksi pembunuhan non-Muslim yang dilakukan dengan sengaja lebih menekankan pada aspek keyakinan, karena keyakinan seorang Muslim dengan non-Muslim itu berbeda.[17]) Sedangkan menurut Mahmud Syaltut, sanksi bagi pelaku pembunuhan non-Muslim adalah melihat dari aspek keadilannya dan bukan dalam aspek keyakinan, karena semua manusia berawal dari Adam.[18])
Dengan memberikan hukuman bagi pembunuh orang Żimmi, diharapkan rasa keadilan yang bersemayam di hati setiap manusia dapat terpenuhi secara wajar baik Muslim atau non-Muslim.
Sesungguhnya pemberian hukuman kepada setiap pelaku kejahatan yang bersifat publik terdapat dalam setiap masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari kenyataan bahwa dimana ada masyarakat, disana tentu ada aturan atau hukum yang dipegangi bersama.[19])
Al-Qur’an sendiri menyatakan:
([20]اعدلوا هو أقرب للتّقوى.
Kemudian al-Qur'an menandaskan lagi dalam ayat yang lain:
([21]. واذا قلتم فاعدلوا ولوكان ذا قربى.   


B.     Pokok Masalah

            Bertolak dari latar belakang masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa pokok masalah yang dapat dikaji sebagai pembahasan dalam skripsi ini, yaitu :
1.      Bagaimana pemikiran Ibnu Hazm dan Mahmud Syaltut tentang sanksi pembunuhan terhadap non-Muslim.
2.      Bagaimana metode istinbat hukum yang digunakan oleh kedua tokoh dalam menetapkan sanksi bagi pembunuhan tersebut.

C. Tujuan dan Kegunaan

1.       Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :
a.       Mendeskripsikan penyebab perbedaan dan persamaan  pandangan Ibnu Hazm dan Mahmud Syaltut terhadap sanksi pembunuhan non-Muslim.
b.      Menjelaskan istinbat hukum Ibnu Hazm dan Mahmud Syaltut tentang sanksi pembunuhan non-Muslim.
2.       Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.       Menambah Khazanah ilmu pengetahuan, dalam hal ini yaitu, Hukum Pidana Islam, yang akan memberikan kontribusi informasi ilmiah bagi studi hukum kepidanaan, khususnya Hukum Pidana Islam.
b.      Mengetahui istinbat hukum yang digunakan oleh Ibnu Hazm dan Mahmud Syaltut tentang sanksi pembunuhan non-Muslim.
c.       Menjadi kajian yang memperkaya wacana Hukum Pidana Islam, khususnya hukum bagi pembunuhan non-Muslim, sehingga diharapkan para intelektual Muslim dapat menuangkan pemikirannya terhadap Hukum Pidana di Indonesia.


D. Telaah Pustaka

            Hukum Islam merupakan salah satu substansi ajaran agama Islam yang diyakini kebenaran dan kesempurnaannya yang bersumber dari Allah SWT. Melalui malaikat-Nya, yang didemonstrasikan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai utusan-Nya yang simbiosisnya tumbuh pada waktu periode madinah.
            Secara teoretis hukum Islam atau yang dikenal dengan fiqh bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah, tetapi para fuqâha (jama dari fâqih) sering berbeda pendapat dalam memahami konsep kunci yang termaktub dalam dua sumber tersebut. Perbedaan ini di pengaruhi oleh kurun waktu dan lingkungan dimana para fuqâha berada dan perbedaan metode istinbat yang di gunakan.
            Setelah melakukan penelusuran terhadap literatur-literatur hukum Islam atau fiqh hampir dapat dipastikan tidak terlewatkan pembahasan mengenai pembunuhan (al-Qatlu) dan hukuman yang berlaku atas kejahatan (al-Jarîmah) tersebut. Namun subyek dan obyek dalam pembahasannya kebanyakan antara sesama orang Muslim yang secara idiologi mereka sama, sedangkan pembahasan terhadap pembunuhan non-Muslim (Żimmi) porsi pembahasannya tidak lebih banyak dari pembahasan sesama Muslim.
            Di antara literatur-literatur tersebut adalah: Buku yang bejudul Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam, antara Fakta dan Realita yang ditulis oleh Abd. Salam Arief. Dalam buku ini dibahas mengenai pemikiran-pemikiran Mahmud Syaltut, di antaranya mengenai bidang tindak pidana yang dilakukan terhadap non-Muslim. Akan tetapi kajian pidana dalam buku ini hanya terbatas satu pemikiran saja dan hanya sekilas[22])
            Kemudian M. Abduh Malik dengan artikelnya dalam buku Pidana Islam di Indonesia; Peluang, Prospek dan Tantangan. Membahas tentang kejahatan terhadap jiwa dalam perpektif hukum pidana Islam, ia menjelaskan bahwa prilaku bangsa Arab sebelum Islam merupakan salah satu embrio adanya qişaş, dikarenakan sudah menjadi suatu kebiasaan di kalangan bangsa Arab pra-Islam bahwa pembunuhan dibalas dengan pembunuhan. Namun pada saat itu belum dijelaskan aturan pembalasannya, dan setelah datangnya Islam dijelaskan aturan-aturannya melalui ayat al-Qur'an.[23])
Hasbi Siddiqi dalam bukunya Pidana Mati dalam Syari'at Islam, memaparkan adanya sanksi terhadap orang yang melakukan penganiayaan yang menyebabkan luka atau hilangnya nyawa seseorang, maka orang yang melakukan tindak pidana tersebut di atas dikenakan hukuman hadd, qişaş dan ţa'zir. Selain membahas tema pokok pembunuhan dalam Islam, ia juga menjelaskan tentang pidana mati itu adalah pidana yang ditetapkan oleh syari'at Islam yang berdasarkan atas perintah Allah yang sama sekali tidak boleh diganggu-gugat oleh siapapun.[24])
Selain buku-buku di atas, masih banyak karya yang membahas mengenai sanksi pembunuhan non-Muslim, adapun literatur-literatur yang membahas mengenai permasalahan jinayat (sanksi-sanksinya terhadap pembunuhan non-Muslim), kebanyakan masih bersifat global dan merupakan bagian sub bab dari bab-bab yang ada, dan tidak membahas secara rinci.
Adapun pembahasan mengenai Hukuman (sanksi) pembunuhan non-Muslim pernah ada yang membahas dalam bentuk skripsi, yaitu "Hukuman Bagi Muslim Pelaku Pembunuhan terhadap ahl-Żimmah, Studi atas pemikiran Ibnu Hazm"[25]) oleh saudara Ahmad Yadi, dalam skripsinya ia menjelaskan pemikiran Ibnu Hazm yang dikomparasikan dengan pemikiran Jumhur Ulama. Sedangkan diketahui permasalahan ini masih menjadi perdebatan yang hangat. Oleh karena itu, untuk membedakan skripsi ini dengan bahasan yang sudah ada, penyusun akan membahas mengenai sanksi (hukuman) bagi pelaku pembunuhan non-Muslim menurut Ibnu Hazm dan Mahmud Syaltut yang  penyusun anggap dapat mewakili kedua kelompok antara ulama klasik dengan ulama Kontemporer, dengan harapan pembahasan ini akan menjadi bahasan yang lebih lengkap dan seimbang. Dengan demikian, sepanjang hasil pengamatan penyusun dari berbagai sumber, bahwa judul yang diajukan yaitu Hukuman Pembunuhan Muslim terhadap non-Muslim menurut Ibnu Hazm dan Mahmud Syaltut, belum pernah ada yang mengkaji dan menelitinya.
             

E. Kerangka Teoritik

            Dalam bentuknya yang sudah maju, teori hukum Islam (Islamic Legal Theory) mengenal berbagai sumber dan metode yang darinya dan melaluinya hukum (Islam) diambil. Sumber-sumber yang darinya diambil adalah al-Qur'an dan Sunnah Nabi, yang keduanya memberikan materi hukum. Sedangkan sumber-sumber yang melaluinya hukum berasal adalah metode-metode ijtihad  dan interpretasi, atau pencapaian sebuah konsensus (ijma'). Tempat utama dalam urutan seluruh sumber-sumber ini adalah al-Qur'an, kemudian diikuti oleh Sunnah yang, walaupun menduduki posisi kedua, memberikan materi hukum terbanyak yang bisa diambil. Ketiga adalah konsensus, yakni cara untuk mencapai kesepakatan di mana para ahli hukum Islam yang kreatif (mujtahid), mewakili mayoritas komunitas, dianggap telah sampai pada sebuah persetujuan yang atas sebuah hukum teknis yang berlaku, dan karenanya ia menjadi konklusif dan pasti secara epistemologis sebagaimana al-Qur'an dan Sunnah. Kepastian yang diberikan atas sebuah kasus hukum menjadikan kasus itu, bersamaan dengan pemberlakuannya, sebagai sebuah sumber materi di mana kasus hukum serupa bisa diselesaikan melaluinya. Para mujtahid, yang mempunyai otoritas melalui wahyu Ilâhiah (divine revelation), mampu mentransformasikan sebuah keputusan, yang diambil melalui ijtihad manusia, kepada sebuah sumber tekstual yang validitasnya mereka sepakati. Proses-proses yang terlibat didalamnya, yang digolongkan sebagai qiyas, merepresentasikan sumber hukum keempat. Metode-metode penalaran alternatif yang didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan lebih baik (istihsan) atau kemaslahatan umum (istishlah) memiliki validitas yang terbatas dan seringkali menjadi obyek kontroversi.[26])    
            Sebagaimana telah diketahui bahwa pembunuhan adalah perbuatan yang di larang keras oleh agama karena akibat yang di timbulkan dari perbuatan tersebut dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat. Perbuatan membunuh itu sendiri pada dasarnya adalah merampas hak hidup orang lain dan mendahului kehendak Allah, karena Dia-lah yang berhak membuat hidup dan mati.
            Dalam rangka memberikan solusi atas permasalahan yang berhubungan dengan sanksi pembunuhan orang Żimmi ini, di kalangan para ulama terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya perbedaan dalam memahami naş-naş hukum dan berbeda dalam menggunakan metode istinbat.
            Pembicaraan tentang pembentukan atau pengembangan hukum yang dalam istilah Ushûl al-Fiqh disebut ijtihad berkaitan erat dengan perubahan-perubahan sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Secara umum ijtihad itu dapat dikatakan suatu upaya berpikir secara optimal dalam menggali hukum Islam dari sumbernya untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan yang muncul dalam masyarakat.[27])
            Dalam eksplorasi dan pengembangan hukum Islam, ijtihad memegang peranan penting sebagai aktivitas intelektual para fuqaha'. Untuk mendapatkan hasil yang diakui kebenarannya, seorang mujtahid diharuskan menggunakan metode yang baku yang diakui oleh kalangan uşûliyyûn, yang dimaksud metode ijtihad  disini adalah metode istinbat, yaitu cara yang dipergunakan para mujtahid dalam upaya menggali dan menemukan hukum yang belum dijelaskan secara tegas dan pasti oleh naş.
            Metode-metode itu antara lain Qiyas, Istihsan, Istislah, Istishab, Sadd az-Zari'ah,  dan 'Urf.[28])
            Seseorang yang ingin mengistinbatkan atau mengambil hukum dari sumber-sumber tersebut harus betul-betul mengetahui bahasa Arab dengan seluk beluknya. Ia harus mengerti betul kehalusan dan kedalaman yang dimaksud oleh bahasa itu (dalalah). Begitu pula harus mengetahui tata cara mengutarakan sesuatu, apakah dengan bentuk hakekat atau dengan bentuk Majaz (qiyasan).[29])
Banyaknya masalah dan problema hukum yang muncul kemudian, akhirnya menimbulkan pemikiran dan menyita perhatian di kalangan ulama, karena masalah-masalah tersebut tidak terkover dalam naş. Dengan demikian peran ijtihad sangat penting dalam menggali hukum Islam. Adapun penerapan metode-metode ijtihad dalam prakteknya juga didasarkan atas Maqâşid asy-Syâri'ah.
            Maqâşid jamak dari kata maqsid yang berarti tuntutan, kesengajaan atau tujuan. Menurut istilah maqâşid asy-Syâri'ah adalah al-Ma'anni Allati Syuri'at Laha al ahKâm (kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum). Jadi, Maqâşid asy-Syâri'ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum. Kajian terhadap Maqâşid asy-Syâri'ah itu sangat penting dalam upaya ijtihad hukum. Karena Maqâşid asy-Syari'ah dapat menjadi landasan penetapan hukum. Pertimbangan ini menjadi suatu keharusan bagi masalah-masalah yang tidak ditemukan ketegasannya dalam naş.[30])
Pentingnya penelitian ini karena tuntunan-tuntunan perubahan dan dinamika masyarakat melahirkan persoalan-persoalan hukum. Jawaban terhadap persoalan-persoalan itu sebagian dapat secara langsung ditemukan dalam nas al-Qur'an dan hadis, yang kerap terdapat hanya dalam bentuk isyarat, serta ada pula nas yang memerlukan penalaran terlebih dahulu. Dalam melakukan ijtihad, seorang mujtahid harus menguasai aspek Maqâşid asy-Syâri'ah. Dalam bukunya Ilm Ushûl al-Fiqh, Abd. Wahab Khalalf menyebut dengan tegas bahwa naş-naş syara' tidak dapat dipahami secara tepat benar kecuali oleh seorang yang mengetahui tujuan hukum dan mengetahui kasus-kasus yang berkaitan dengan ayat-ayat yang diturunkan. Fathi al-Daraini dalam bukunya al-Fiqh al-Islâmi al-Muqâran Ma'a al-Mazâhib, mengatakan bahwa pengetahuan tentang Maqâşid asy-Syâri'ah  merupakan pengetahuan yang berdiri sendiri dan memiliki proyeksi masa depan dalam rangka pengembangan teori ushûl fiqh.
Ushûl al-Fiqh menurut batasan yang diberikan oleh para ahlinya adalah ilmu tentang kaidah Istinbath (penggalian) hukum Syara' dari dalil-dalilnya yang Tafsīli. Keberhasilan penggalian hukum dari dalil Tafsīli (al-Qur'an dan hadis) akan sangat ditentukan oleh pengetahuan tentang maksud Syara' itu sendiri yang dapat ditelaah dari dalil-dalil Tafsīli tersebut. Maka dalam corak seperti itu Maqâşid asy-Syâri'ah tidak hanya menjadi faktor yang cukup menentukan dalam melahirkan produk-produk hukum yang dapat berperan ganda (alat sosial kontrol dan rekayasa sosial) untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, akan tetapi lebih dari itu dengan pertimbangan Maqâşid asy-Syâri'ah, para ulama dapat memberikan dimensi filosofis terhadap produk-produk hukum yang dimunculkan dalam ijtihad hukum.[31])        
            Dalam membahas masalah sanksi hukum pembunuhan non-Muslim penyusun menggunakan pendekatan normatif, menerangkan bagaimana istinbat hukum yang digunakan oleh Ibnu Hazm dan Mahmud Syaltut dalam memberikan sanksi bagi pelaku pembunuhan non-Muslim.

F. Metode Penelitian

1.      Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian pustaka ( library research ), yaitu suatu penelitian untuk mendapatkan data sebanyak-banyaknya yang berkaitan dengan permasalahan dari berbagai literatur yang ada.
2.      Sifat Penelitian.
Sifat penelitian ini adalah deskriptif.[32]) yang berusaha untuk menggambarkan dengan jelas dan sistematis masalah penelitian, dan dilakukan analisis secara bersama-sama dalam setiap pembahasan.
3.      Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah, Pendekatan normatif, maksudnya analisis data didekati dari norma-norma hukum, yaitu menganalisis pandangan Ibnu Hazm dan Mahmud Syaltut mengenai sanksi dan metode istinbat bagi pelaku pembunuhan terhadap non-Muslim.
4.      Pengumpulan Data.
a.       Data yang dikumpulkan adalah jenis data kualitatif, karena yang menjadi obyek penelitian merupakan konsepsi-konsepsi dalam pemikiran seseorang atau banyak orang.
b.      Sumber data yang digunakan :
                                i.      Data primer, yaitu pengumpulan data pustaka dari sumber/buku pokok/induk. Dalam penelitian ini, buku induk yang digunakan adalah kitab: Ibnu Hazm, al-Muhalla, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), VII: 352. dan Islam Aqidah Wa Syari’ah, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980).  karya Mahmud Syaltut, dan kitab-kitab lain yang relevan.
                              ii.      Data sekunder yang digunakan, yaitu pengumpulan data pustaka yang relevan dengan masalah tersebut.
5.      Analisis Data.
Akumulasi data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode sebagai berikut :
a.       Induktif, yaitu dengan mengurai data yang bersifat khusus dan menarik kesimpulan yang bersifat umum. Metode ini digunakan dalam menjelaskan pendapat-pendapat dari Ibnu Hazm dan Mahmud Syaltut mengenai sanksi pembunuhan non-Muslim dan menarik kesimpulan dari pendapat-pendapatnya itu.
b.      Komparatif, yaitu menganalisis data yang berbeda dengan jalan membandingkan untuk diketahui mana yang lebih benar atau untuk mencapai kemungkinan mengkompromikan.

G. Sistematika Pembahasan 

            Untuk menggambarkan secara garis besar mengenai kerangka pembahasan dalam penyusunan skripsi ini, maka perlu dikemukakan sistematika pembahasan sebagai berikut :
Bab pertama berisi pendahuluan untuk mengantarkan pembahasan skripsi secara keseluruhan. Bab ini terdiri dari tujuh sub bab; yaitu latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teorotik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Pada bab kedua merupakan pemikiran Ibnu Hazm tentang sanksi dan istinbat hukum bagi pembunuhan non-Muslim, yang terdiri empat sub bab, pertama biografi singkat, kedua pengertian dan macam-macam pembunuhan, yang terdiri dari pengertian, kriteria dan macam-macam pembunuhan, yang ketiga menerangkan sanksi dan alasan penjatuhan hukuman, dan yang keempat Metode Istinbat hukum.

Kemudian pada bab ketiga adalah pemikiran Mahmud Syaltut tentang sanksi bagi pembunuhan non-Muslim yang yang terdiri empat sub bab, pertama biografi singkat, kedua pengertian dan macam-macam pembunuhan, yang terdiri dari pengertian, kriteria dan macam-macam pembunuhan, yang ketiga menerangkan sanksi dan alasan penjatuhan hukuman, kemudian yang keempat Metode istinbat hukum.
Untuk bab keempat dilakukan analisis terhadap Pemikiran dan Metode Istinbat hukum Ibnu Hazm dan Mahmud Syaltut. Mengenai pengertian, kriteria, macam-macam pembunuhan, sanksi dan alas an penjatuhan hukuman bagi pembunuhan non-Muslim.
Terakhir adalah bab lima, merupakan penutup yang terdiri dari; kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang ada, serta saran-saran sebagai rekomendasi untuk kajian lebih lanjut dan lampiran-lampiran.


Selengkapnya Silahkan >>>DOWNLOAD


Tags: Sanksi dan Istinbat Hukum bagi Pembunuhan Non Muslim 
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net