• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Tampilkan postingan dengan label AL QURAN HADITS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label AL QURAN HADITS. Tampilkan semua postingan
Senin, 26 Maret 2012
no image

POSISI ASBAB AL-NUZUL DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN DITINJAU DENGAN HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR



POSISI ASBAB AL-NUZUL DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN DITINJAU DENGAN HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR



Oleh Team www.seowap.com


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jika kita perhatikan akhir-akhir ini, kajian terhadap Al-Qur’an dan metodologi tafsir menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Barangkali ini adalah konsekuensi logis dari  Al-Qur’an  yang mempunyai posisi sentral bagi kehidupan umat Islam, yaitu sebagai hudan li al-nas. Terlebih ketika Al-Qur’an  diklaim sebagai salih li kulli zaman wa makan, pengapungan makna teks Al-Qur’an  menjadi sebuah keniscayaan.
Namun demikian, meng-up date ajaran-ajaran atau makna yang terkandung dalam Al-Qur’an  supaya selalu relevan dalam segala dimensi ruang dan waktu, dan operasional dalam kehidupan tersebut bukanlah persoalan mudah. Untuk dapat mencapai makna yang tepat dan untuk memperoleh pemahaman secara utuh terhadap spirit dan ide-ide yang terkandung di dalamnya, dibutuhkan suatu metode yang sesuai. Metode, selain juga pendekatan, inilah nantinya yang akan menentukan produk tafsir. Bahkan, dapat dikatakan bahwa aspek metodologis merupakan aspek yang determinan  dalam aktivitas penafsiran.
Dalam penafsiran Al-Qu’ran sendiri, sebenarnya sudah banyak metode yang telah diterapkan,[1] yaitu dalam setiap metodenya  mengambil salah satu bentuk dari dua bentuk tafsir yang ada, yaitu bentuk tafsir bi  al-ma’sur[2] atau tafsir bi al-ra’yi. Tafsir dalam kategori bi al-ma’sur lebih banyak ditemukan dalam karya-karya tafsir pada generasi awal, yaitu setelah tafsir disusun secara sistematis ke dalam sebuah kitab.[3] Tafsir bi al ma’sur ini baru dikenal sesudah periode sahabat dan tabi’in,[4] walaupun kegiatan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an  sudah dimulai jauh sebelumnya, yaitu semenjak zaman para sahabat Nabi saw.[5]
Setelah ilmu pengetahuan berkembang pesat pada masa Daulah Abbasiyah, metode tafsir bi al-ma’sur dianggap tidak memadai. Perkembangan dan perubahan zaman menuntut ulama tafsir untuk mengembangkan metode baru dalam tafsir. Mereka pun kemudian mengintrodusir sebuah metode baru yang melampau metode sebelumnya (tafsir bi al-ma’sur), yaitu mulai dipakainya bantuan bermacam-macam ilmu pengetahuan seperti ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu hadis, ushul fiqh, ilmu, sejarah, ‘ulum al-Qur’an dan lain-lain, yang kemudian di kenal sebagai metode tafsir bi al ra’yi atau tafsir bi al-ma’qul,[6]  yaitu metode tafsir yang memberi peran besar terhadap ra’yu atau penalaran.
Sejak munculnya tafsir bi al-ra’yi, ilmu-ilmu yang tercakup dalam ‘ulum al-Qur’an menjadi populer dalam penafsiran. Bahkan, pengetahuan terhadap ilmu-ilmu tersebut dijadikan sebagai pra syarat untuk dapat menafsirkan Al-Qur’an.  Salah satu yang tercakup dalam ‘ulum al-Qur’an  tersebut adalah ilmu asbab al-nuzul.[7] Ilmu ini muncul untuk mengakomodir pentingnya realitas tertentu yang dianggap punya korelasi dengan turunnya ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran. Latar belakang atau sebab tertentu yang dikenal dengan asbab al-nuzul tersebut, dianggap punya keterkaitan erat dengan diturunkannya  ayat-ayat  Al-Qur’an. Itulah kenapa kemudian sebagian ulama, khususnya ulama klasik memandang bahwa ilmu asbab al-nuzul sangatlah penting dan sebagai pra syarat yang tidak boleh dinafikan pada saat hendak menafsirkan ayat-ayat tertentu tersebut—yang diklaim mempunyai latar belakang atau asbab al-nuzul.
Berkaitan dengan metode penafsiran di atas, menafsirkan ayat dengan didasarkan pada laporan tentang peristiwa yang menyebabkan diturunkannya ayat (asbab al-nuzul), oleh Daud Rahbar, dipandang sebagai salah satu bentuk metode dari—paling sedikitnya—empatbelas macam metode yang telah dipakai selama ini untuk menafsirkan ayat  Al-Qur’an.[8] Barangkali pandangan Rahbar itu sendiri juga bukan tanpa alasan. Karena dalam kenyataanya, khususnya yang dilakukan ulama klasik, menafsirkan ayat dengan menggunakan pengetahuan asbab al-nuzul atau peristiwa tertentu yang dianggap punya keterkaitan dengan suatu ayat telah menjadi sebuah tradisi yang berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang dalam sejarah penafsiran Al-Qur’an. Melakukan penafsiran dengan memakai ilmu asbab al-nuzul sudah menjadi tradisi di kalangan ulama, khususnya ulama klasik. Bahkan, pengetahuan akan asbab al-nuzul, oleh kebanyakan ulama klasik, dijadikan sebagai salah satu syarat yang sangat mendasar bagi pemahaman dan penafsiran  Al-Qur’an.[9]
Pandangan dari ulama dalam kategori klasik—yang begitu mementingkan ilmu asbab al nuzul—ini dapat dilihat seperti pandangan dari Manna Khalil al- Qattan, bahwa untuk menafsirkan Al-Qur’an, ilmu asbab al-nuzul diperlukan sekali. Baginya, asbab al-nuzul merupakan sebab diturunkannya Al-Qur’an.[10] Termasuk juga Hasbi Ashshiddieqy, ia secara terminologis mengartikan asbab al-nuzul sebagai kejadian yang karenanya diturunkan Al-Qur’an untuk menerangkan hukum-hukumnya di hari munculnya kejadian-kejadian itu dan suasana yang di dalamnya Al-Qur’an diturunkan serta membicarakan hal tersebut, baik diturunkan langsung sesudah terjadi sebab itu atau pun kemudian, lantaran sesuatu hikmah.[11] Bahkan, Al-Wahidi memandang bahwa  memahami ayat tanpa asbab al-nuzul adalah tidak mungkin.[12]
Selain ulama klasik, dalam menafsirkan ayat, ulama kontemporer pun kebanyakan tidak berbeda dalam memperlakukan asbab al-nuzul. Kebanyakan dari mereka tetap memakainya sebagai bantuan dalam memahami kandungan ayat—kendati dalam memahami ayat, bantuan tersebut tidak terbatas pada asbab al-nuzul saja, melainkan juga meliputi faktor-faktor lain semisal ilmu kebahasaan (linguistik), nasikh-mansukh, ilmu balaghah, konteks sosiologis dan antropologismasyarakat Arab dan lain sebagainya. Asbab al-nuzul tidak menjadi raib dalam model penafsiran mereka, tetapi asbab al-nuzul masih dijadikan sebagai faktor pertimbangan meskipun penggunaannya tidak seradikal pada penafsiran ulama klasik. Asbab al-nuzul tetap digunakan oleh ulama kontemporer sebagai bantuan dalam mempertimbangkan makna ayat.. Walaupun disertai pra syarat-pra syarat lain atau meskipun sekadar sebagai ilmu bantu, asbab al-nuzul tetap harus ditilik. Karena, walaupun sekadar sebagai bantuan, asbab al-nuzul dianggap sebagai faktor yang dapat mempermudah memahami ayat. Dengan demikian, ulama kontemporer tetap memberi tempat bagi asbab al-nuzul ketika menafsirkan ayat-ayat tertentu—yang diklaim berasbab al-nuzul.
 Melihat tradisi penafsiran dengan metode seperti di atas yang memberikan tempat bagi asbab al-nuzul yang sedemikian rupa, maka penyusun tertarik untuk menghadapkannya pada metode hermeneutika yang dibangun oleh Ricoeur dalam menganalisis teks. Karena dalam memahami teks atau dalam mengungkap makna teks, Ricoeur ini mempunyai metode yang sama sekali lain dengan metode penafsiran yang memakai asbab al-nuzul di atas. Bahkan, antara keduanya saling bertolak belakang, terutama ketika memperlakukan konteks yang melingkupi ayat.
Ricoeur punya cara lain dalam menyikapi konteks.[13] Bagi Ricoeur, pengetahuan tentang konteks tidak menjadi syarat khusus karena menurut Ricoeur konteks tidak diperlukan dan bahkan harus diacuhkan. Di sinilah letak perbedaannya dengan metode penafsiran di atas. Teori otonomi semantik teks membawa Ricoeur untuk tidak mengikutsertakan konteks atau sesuatu yang melingkupi teks ke dalan penafsiran teksnya.[14] Sementara dalam tradisi penafsiran Al-Quran, sebagaimana yang digambarkan di atas, justeru sebaliknya. Konteks yang berbentuk asbab al-nuzul (konteks khusus yang melatarbelakangi ayat) justeru sangat signifikan dalam mengungkap makna yang memiliki asbab al-nuzul.
Memang, metode hermeneutika sudah sering dicoba diterapkan sebelumnya sebagai metode dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. Terutama akhir-akhir ini, metode ini tampak populer di kalangan ulama. Namun, hermeneutika yang diterapkan sejauh ini adalah hermeneutika yang memperlakukan konteks sebagai hal yang signifikan dan tetap harus dipertimbangkan dalam penafsiran ayat, walaupun konteks yang dimaksud di sini mempunyai arti lebih luas atau cakupannya melebihi asbab al-nuzul. Misalnya apa yang dilakukan oleh Fazlur Rahman ketika menafsirkan ayat. Teori double movement atau gerak ganda[15] (yaitu menafsirkan ayat dengan melihat konteksnya dari masa kini ke masa Al-Qur’an  diturunkan dan kemudian kembali lagi ke masa kini) yang digagasnya adalah teori hermeneutika yang justeru sangat memberi tempat bagi konteks dalam pencarian makna ayat. Teorinya mengharuskan menilik konteks baik pada masa lalu ketika ayat diturunkan maupun konteks sekarang ketika ayat kembali ditafsirkan. Dengan kata lain, Rahman dalam melakukan kontekstualisasi Al-Qur’an—dengan menggali spirit yang ada pada masa lalu untuk disesuaikan dengan masa kini tersebut—malahan begitu memberi peran terhadap konteks, yang itu berarti peran konteks justru sangat signifikan. Atau dalam kata lain, dengan teorinya itu, konteks justru sangat signifikan bagi hermeneutika Rahman, karena ia menjadi basis dari teori double movementnya.
Selain Rahman, Amina Wadud juga menawarkan metode hermeneutika yang dikutipnya dari Rahman. Metode Hermeneutika, menurutnya, adalah salah satu bentuk metode penafsiran kitab suci yang di dalam pengoperasiannya, untuk memperoleh kesimpulan makna suatu teks (ayat), selalu berhubungan dengan tiga aspek dari teks itu, yaitu: dalam konteks apa suatu teks ditulis (jika dikaitkan dengan Al-Qur’an, dalam konteks apa ayat itu diwahyukan); Bagaimana komposisi tata bahasa teks (ayat) tersebut (bagaimana pengungkapannya, apa yang dikatakannya); dan bagaimana keseluruhan teks (ayat), weltanschauung-nya. Tawarannya itu merupakan jawaban dari metode-metode sebelumnya yang ia kritik.[16]
Dalam kaitannya dengan pemakaian konteks tersebut, metode yang ditawarkan oleh Amina Wadud di atas pada dasarnya tidak berbeda dengan metode yang ditawarkan Rahman karena Amina Wadud juga tidak meniadakan konteks. Keduanya sama-sama mementingkan konteks ketika menafsirkan Al-Quran. Sehingga baik Rahman atau pun Wadud (atau juga yang lainnya barangkali), sekalipun mereka telah menggunakan hermeneutika, namun hermeneutika yang dipakainya, sekali lagi, tidak melepas konteks.
Artinya, sungguh pun hermeneutika telah dipakai dan diterapkan sedemikian rupa dalam penafsiran Al-Qur’an, namun hermeneutika yang diterapkan sejauh ini adalah hermeneutika yang pro konteks. Oleh karena itu, menjadi jelas di sini mengapa penyusun tertarik untuk mengkaji (eksperimentasi intelektual) penafsiran Al-Qur’an—lebih khusus terhadap penafsiran yang memakai asbab al-nuzul—dengan menilik hermeneutika Ricoeur, yaitu karena hermeneutika (model interpretasi teksnya) Ricoeur adalah melepas konteks (otonomi teks), sementara hermeneutika yang dikembangkan dalam penafsiran sejauh ini adalah hermeneutika yang pro konteks. Bagaimanapun juga, untuk menangkap spirit dan ide-ide yang terkandung dalam Al-Qur’an  secara tepat, utuh, holistik dan integralistik serta supaya Al-Qur’an  benar-benar salih li kulli zaman wa makan, tidak dapat tidak, diperlukan sikap kritis dan anti pemberhalaan terhadap segala yang telah dicapai sebelumnya, termasuk di dalamnya dengan sikap membuka diri terhadap perkembangan metode. Dalam hal ini adalah membuka diri dari model hermeneutika Ricoeur—sungguhpun nantinya hanya mampu berjalan sebatas “coba-coba” (baca: tidak dapat landing dalam penafsiran Al-Qur'an).

B. Rumusan Masalah

            Berdasarkan pada paparan latar belakang di atas, maka masalah yang nantinya akan dicoba dijawab dalam skripsi ini adalah bagaimanakah posisi asbab al-nuzul dalam penafsiran Al-Qur’an jika ditinjau dengan hermeneutika Ricoeur, khususnya berdasarkan teorinya tentang otonomi teks dan bagaimanakah kemungkinannya dalam memasuki wilayah penafsiran Al-Qur’an?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

            Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka skripsi ini bertujuan: untuk mengetahui posisi asbab al-nuzul dalam penafsiran Al-Qur’an jika ditinjau dengan hermeneutika Ricoeur, khususnya tentang otonomi teks dan untuk mengetahui kemungkinannya dalam memasuki wilayah penafsiran  Al-Qur’an
Sedangkan  kegunaan skripsi ini adalah untuk menambah daftar pustaka dalam penafsiran Al-Qur’an, khususnya yang berkaitan dengan metode hermeneutik dan persoalan asbab al-nuzul.

D. Telaah Pustaka

Sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa hermeneutika  telah menjadi tema yang cukup menarik dalam Islamic studies, khususnya dalam dunia penafsiran Islam. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian muncul buku-buku yang membahas tentangnya. Sungguhpun demikian, sejauh ini, sepengetahuan penyusun, belum ada buku ataupun kajian mengenai metode penafsiran Al-Qur'an dengan memakai hermeneutika  Ricoeur khususnya tentang otonomi teksnya. Buku-buku atau kajian tentang metode penafsiran Al-Qur'an sejauh ini khususnya dalam rangka kontekstualisasi Al-Qur'an hanyalah menggunakan hermeneutika demikian saja (secara umum), bukan secara khusus berdasarkan tokoh-tokoh tertentu. Artinya, memang pembahasan berkaitan dengan hermeneutika sudah cukup banyak, namun kajian tentang hermeneutika pada Penafsiran Al-Qur'an sejauh ini masih merupakan kajian hermeneutika secara umum sebagai metode penafsiran.  Diantaranya adalah Hermeneutika Qur’ani: antara teks, konteks dan kontekstualisasi.[17] Buku ini adalah review metode penafsiran Al-Qur’an  dalam tafsir al-Manar karya Syekh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha; dan tafsir al-Azhar karya Buya Hamka yang dikaitkan dengan metode hermeneutik, yaitu membahas sejauh mana metode interpretasi tafsir kedua kitab tersebut memuat unsur-unsur hermeneutik. Kemudian buku Memahami Bahasa Agama: Sebuah kajian Hermeneutik[18] yang ditulis oleh Komaruddin Hidayat. Buku ini lebih banyak mengupas masalah hermeneutika secara umum (membahas peran hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an  secara umum). Selain itu, terdapat buku  karya Amina Wadud, terjemahan  Yaziar Radianti yang berjudul Wanita di dalam  Al-Qur’an,[19] di mana dalam buku ini, Amina Wadud mencoba menerapkan teori hermeneutika dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an  yang khusus membicarakan tentang perempuan. Dengan metode hermeneutiknya itu, ia mencoba menafsirkan ayat-ayat tentang perempuan secara lebih proporsional. A.H. Ridwan, lewat karyanya yang berjudul Reformasi Intelektual Islam: Pemikiran Hassan Hanafi tentang Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam[20]  membahas tentang pemikiran Islam Hassan Hanafi yang menggunakan metode Hermeneutik. Kemudian buku yang berjudul Hermeneutika Pembebasan; Metodologi Tafsir Al-Qur'an menurut Hassan Hanafi,[21] yaitu tentang model hermeneutika Hassan Hanafi—di mana hermeneutika Hanafi ini adalah hermeneutika yang berorientasi praksis dengan banyak mengadopsi dan mengkolaborasikan pemikiran filsafat barat (dalam hal ini hermeneutikanya lebih cenderung kepada hermeneutika Gadamer). Selain itu, terdapat buku berjudul Nasr hamid Abu Zaid: kritik Teks Keagamaan,[22] yaitu tentang model hermeneutika Abu Zaid yang lebih cenderung pada model hermeneutika Schleiermacher; Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global,[23] karya Imam Chanafie al-Jauhari yang lebih banyak berbicara tentang hermeneutika dalam studi Agama secara umum; Menafsirkan Kehendak Tuhan,[24] karya Komaruddin Hidayat yang lebih banyak membahas mengenai hermeneutika secara umum dalam pemahaman teks Agama dan tulisan-tulisan lain mengenai hermeneutika secara umum, seperti Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir,[25] Hermeneutika Transendental: Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies.[26] Juga terdapat kajian tentang hermeneutik dalam jurnal-jurnal seperti Al-Qur’an  sebagai teks, teori teks dalam hermeneutik Al-Qur’an  Nasr Abu Zayd,[27] Tinjauan kritis terhadap konsep Hermeneutik,[28] Heremeneutika Eksistensia: Kajian atas pemikiran Heidegger dan Gadamer dan Implikasinya Bagi Pengembangan Stusi Islam.[29] Sementara buku dan tulisan yang membahas tentang asbab al nuzul dalam perspektif non konvensional di antaranya adalah Tafsir Al-Qur’an  Modern: Studi atas Metode Bintusy Syathi’,[30] Membumikan  Al-Qur’an,[31] Al-Qur’an  dan Ulumul Qur’an,[32] juga Konsep Asbab al-nuzul: Relevansinya bagi Pandangan historisis Segi-segi Tertentu Ajaran Keagamaan.[33] Skripsi-skripsi yang membahas tentang asbab al-nuzul sejauh ini belum ada yang mengaitkan dengan hermeneutik model Paul Ricoeur. Skripsi mengenai asbab al-nuzul diantaranya: Asbab Al-Nuzul dalam Surat Al-Duha: Studi Analisis atas Tafsir Muhammad Abduh, Bintusy Syati dan Quraisy Shiha;[34] Asbab Al-Nuzul dalam Kitab Rawa'i al-Bayan;[35] Asbab Al-Nuzul dalam Tafsir Al-Azhar.[36]
E. Metodologi Penelitian
Supaya penelitian ini bisa dikatakan ilmiah maka harus digunakan metodologi yang memenuhi kriteria keilmiahan pula. Di bawah ini akan diuraikan metodologi yang akan digunakan, yaitu:
1.      Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang menggunakan buku atau karya tulis lainnya (makalah, artikel, laporan penelitian dan lain-lain) sebagai sumber data.
2.      Sifat Penelitian
Sifat penelitian  ini adalah deskriptif analitis. Deskriptif adalah metode penyajian fakta secara sistematis sehingga dapat dengan mudah dipahami dan disimpulkan.[37] Sedangkan analitis adalah mengurai sesuatu dengan tepat dan terarah. Dengan metode deskriptif akan diuraikan tentang seluk beluk asbab al-nuzul serta hermeneutika Ricouer, dan dengan metode analitis akan dilihat posisi asbab al-nuzul dalam penafsiran Al-Qur'an dan kemungkinan metode hermeneutika Ricouer dalam menafsirkan al Qur’an.
3.   Pengumpulan Data
Karena penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, maka pengumpulan datanya akan dilakukan dengan mengkaji tulisan, baik dalam bentuk buku, artikel, laporan penelitian atau karya ilmiah sebelumnya (skripsi, tesis, desertasi). Sumber data yang digunakan dalam skripsi ini meliputi:
a.       Sumber data primer yang terdiri dari buku Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences,[38] Filsafat Wacana,[39] dan buku-buku yang membahas tentang hermeneutika Ricouer, serta buku-buku yang membahas tentang asbab al-nuzul.
b.      Sumber data sekunder yang terdiri dari buku dan tulisan lainnya yang tidak membahas tentang hermeneutika Ricoeur dan asbab al nuzul tetapi diperlukan untuk mendukung dalam melakukan pembahasan.
4.      Analisis Data
Dalam analisis data, akan digunakan metode berpikir induktif. Induktif yaitu penarikan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus kepada pernyataan yang bersifat umum.[40] Metode berpikir ini akan digunakan dalam melihat data-data yang telah dikumpulkan untuk kemudian dilakukan generalisasi.

F. Sistematika Pembahasan

Skripsi ini ditulis dalam lima bab pembahasan sebagai berikut. Bab satu    merupakan bab pendahuluan, yang diperlukan untuk memaparkan dan memberikan kejelasan tentang latar belakang masalah penelitian dan rumusan masalahnya, tujuan dan kegunaan penelitian, telah pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. 
Bab dua akan membicarakan tentang asbab al-nuzul secara teoretik.  Pemaparan tentang gambaran umum asbab al-nuzul ini tidak dapat ditinggalkan, yaitu sebagai landasan bagi pembahasan pada bab empat. Dari gambaran umum ini akan dapat diketahui bagaimana posisi asbab al-nuzul selama ini dalam penafsiran Al-Qur’an.
Bab tiga masih akan berbincang secara teoritis dan konseptual, yaitu memberikan kejelasan mengenai apakah hermeneutika itu dan teori interpretasi teksnya (hermeneutikanya) Ricoeur yang digunakan untuk membedah persoalan asbab al-nuzul dan untuk melihat kemungkinannya dalam penafsiran Al-Qur’an, atau diperlukan untuk memberi landasan bagi pembahasan selanjutnya.
Bab empat merupakan titik kulminasi dari eksperimentasi intelektual ini. Dalam bagian inilah akan dilakukan analisis mengenai asbab al-nuzul yang telah digambarkan dalam bab dua dengan menggunakan teori interpretasi Ricoeur yang diulas pada bab tiga sebelumnya atau menjawab inti persoalan yang disodorkan dalam rumusan masalah pada bab satu
Sementara bab lima merupakan bab penutup yang akan memberikan kesimpulan terhadap semua diskusi sebelumnya dan memberikan saran-saran seperlunya.


Selengkapnya Silahkan >>>DOWNLOAD



Tags: POSISI ASBAB AL-NUZUL DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN DITINJAU DENGAN HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR
no image

Pandangan Dunia Hizrah (Pendekatan Sematik Terhadap Al-Qur'an)

Pandangan Dunia Hizrah  ( Pendekatan Sematik Terhadap Al-Quran )
Pendekatan Sematik Terhadap Al-Quran
Oleh Team www.seowaps.com
BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an oleh beberapa sarjana ditempatkan sebagai sebuah karya asli Arab.[1] Senada dengan itu, Fazlur Rahman mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan firman Tuhan, dan dalam arti yang biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad.[2] Asumsi di atas dapat diterima sejauh dalam diskusi linguistik, bahwa itu semua merupakan ungkapan nalar verbalis dari eksternalisasi wahyu yang ditangkap oleh kesucian qalb Muhammad. Karena bagaimanapun tidak ada tempat baginya untuk ‘berpartisipasi’ dalam validitas materi wahyu.[3]
Al-Qur’an, bagaimanapun merupakan respon Ilahiyah terhadap kondisi umat dalam bentuk medium kebahasaan yang tidak bisa melepaskan diri dari relasi background-nya.[4] Dalam teknik penyampaian al-Qur’an menggunakan bahasa Arab, ini sesuai dengan fakta yang tidak dapat dibantah lagi, Muhammad secara geografis hidup di jazirah Arab,[5] hanya saja perlu dicatat di sini pemilihan bahasa lokal tersebut bukan berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam kehilangan nilai-nilai universalistiknya.
Bagi para penganutnya, al-Qur’an merupakan perwujudan kritik dari dalam yang mengambil bentuk kongkrit pada dekonstruksi ‘kungkungan logosentrisme’  Arab jahiliyah yang cenderung materialis, jadi al-Qur’an menggunakan apresiasi kebahasaan dari bahasa Arab untuk memperbaharui kesadaran keagamaan.[6] Al-Qur’an sendiri tidak mengambil langkah yang berarti terhadap penggantian daftar kosa kata pra-Islam tetapi sebaliknya tetap mempertahankan kosa kata populer tersebut, sebagai contoh sebut saja kata tija>rah, bay‘u, mi>za>n, qard}}, dan sebagainya.[7] Melalui penilaian proses diakronik dalam skala kecil, hampir keseluruhan kata yang digunakan tidak meninggalkan wacana yang hidup baik pada masa pra-Islam maupun Islam, tetapi dengan sangat menarik, kata-kata itu mengalami pergeseran arti sebagai akibat diadakannya perubahan muatan definisi yang diselaraskan dengan visi monotheistik. Fenomena ini merupakan konsekuensi logis ketika ada pergantian pandangan dunia, dan ini dibenarkan oleh definisi fungsional bahasa karena bahasa merupakan alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan sebagai hasil dari kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya.[8]
Melihat dari aktivitas kebahasaan di atas, amat beralasan apabila analisis kebahasaan menempati posisi yang sangat penting dalam dunia tafsir, ini terbukti ketika sejarah menceritakan nabi melakukan kegiatan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan kajian bahasa, tradisi ini terus dihidupkan pada masa sahabat, terutama oleh ibn ‘Abba>s, sampai pada masa para mufassir-mufassir besar.[9] Dan untuk zaman modern ini perhatian terhadap kajian bahasa memperoleh porsi yang sangat besar.[10]
Dengan kerangka pemikiran di atas pula penulis ingin mengangkat kembali diskusi tentang kata hijrah, dan untuk itulah tulisan ini sebenarnya didedikasikan. Hijrah memiliki berbagai latar untuk dijadikan sebagai salah satu kata kunci di dalam kosa kata al-Qur’an. Dapat dijelaskan secara pasti, peristiwa hijrah dijadikan patokan penanggalan kalender Islam.[11]Lebih penting dari itu, oleh beberapa pemikir diyakini bahwa hijrah adalah sebagai loncatan besar bagi pergerakan penyebaran risalah Ilahi yang ditempuh oleh beberapa rasul.[12] Hijrah sendiri membangun medan semantiknya sedemikian rupa sehingga dengan bantuan jaringan asosiasi semantik ia mampu membentuk pandangan dunianya yang khas.
Pemunculan kata hijrah dalam al-Qur’an dibarengi dengan istilah-istilah yang hampir memiliki kesamaan makna dengannya, seperti bara’a, taraka, kharaja[13]. Hanya saja istilah-istilah tersebut dipandang terserap oleh akar kata hajara, sebab akar kata tersebut mengandung semua makna dari akar kata lainnya. Mengikuti penanggalan kronologi wahyu dalam berbagai versi, kata hijrah sendiri sudah dikenal pada bagian awal penurunan wahyu yang hampir keseluruhannya menegaskan makna dasar, kemudian secara sistemik mengalami perubahan diakronik makna terutama  pada masa Madinah.
  Merujuk pada kekayaan semantikal hijrah yang terbentuk, amat disayangkan kemudian ketika perjalanan sejarah mereduksi makna hijrah sebatas dimaknai sebuah peristiwa masa lalu dengan sedikit kemungkinan akan terulang kembali. Hal ini banyak terlihat pada kesimpulan yang membingungkan dari sabda-sabda nabi yang seolah-olah hanya membatasi hijrah sebatas pada peristiwa yang ada pada zaman nabi belaka.[14] Hal serupa terjadi pula pada dunia tafsir, sebagai studi kasus ada asumsi ayat-ayat yang berkenaan dengan qita>l, atau yang dikenal pula dengan ayat al-Sayf, menurut beberapa mufassir seperti ibn ‘Abba>s[15] dan al-T{abari>[16] telah menghapuskan ayat ‘hajran  jami>lan’, tetapi menurut al-T{aba>t}aba>’i[17] ayat qita>l tidak menghapuskan ayat ‘hajran jami>lan’, karena bagaimanapun keduanya harus tetap dijalankan, bahkan Sayyid Qut}b[18] berpendapat,  pengambilan sikap hajran jami>lan apabila ditambah dengan sikap sabar merupakan perwujudan jihad dalam makna aslinya. Semua pendapat di atas melandaskan argumen pada dasar yang sama, al-Qur’an dan hadis, hanya saja masalah yang muncul mengindikasikan akan problem penafsiran baik metodologis maupun kecenderungan pra-konsepsi, jadi wajarlah ketika pandangan dunia hijrah belum terbentuk secara lengkap.
H-j-r dan derivasinya telah mengalami metamorfosis. Eksplorasi posisi hijrah pra-Islam patut dilakukan setidaknya sebagai modal awal guna pembahasan menyeluruh tentang istilah ini.[19] Dengan kata lain, ketika wahyu Islam dimulai, orang-orang Arab pagan di Mekah dan juga masyarakat kitab yang sudah memiliki fundamental values tidak mungkin memahami kata hijrah selain mengkaitkannya dengan semua unsur semantik yang ada pada pandangan dunia mereka yang notabene materialisme. Setelah kata hijrah dipergunakan oleh al-Qur’an secara otomatis merubah unsur semantik yang membentuknya sesuai dengan kosa kata al-Qur’an yang dipadukan ke dalam interpretasi sistemik yang sama sekali baru dalam sistem tersebut. Namun demikian, tanpa ‘disadari’ segala macam nuansa fenomena kesejarahan telah melahirkan paradoks yang mengaburkan eksistensi hijrah, semua itu berakibat keterasingan dan sikap penuh kecurigaan tatkala hijrah didengungkan kembali.
Kurang dari satu abad setelah nabi hijrah ke Madinah (622 M), istilah hijrah muncul kembali sesaat setelah selesainya  arbitrasi antara ‘Ali dan Mu’awiyyah. Khawarij sebagai pihak yang tidak puas menggunakan konsep hijrah untuk menggalang komunitas sebagai sikap teologis politis dari situasi saat itu. Mereka beranggapan bahwa kedua pimpinan alternatif di atas sudah berstatus zalim dan patut ditinggalkan bahkan patut diperangi.[20] Setelah sekian kurun konsep hijrah tenggelam, pada abad XX di Mesir muncul sebuah gerakan yang mendeklarasikan sebagai oposisi terhadap rezim setempat, mereka dikenal dengan nama al-Takfi>r wa al-Hijrah. Kelompok ini merupakan bagian Ikhwanul Muslimin yang berhaluan keras disebabkan menganut paham bahwa seluruh komunitas muslim di luar mereka saat ini adalah jahiliyah. Sesuai dengan namanya, grup ini memakai strategi hijrah.[21] Di Indonesia, beberapa dekade lebih awal dari al-Takfi>r wa al-Hijrah, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) menjalankan strategi hijrah sebagai jalur politik guna menarik garis furqa>n antara mereka dengan lawan politiknya. Dalam perjalanannya, ada konflik intern tentang dilanjutkan atau tidaknya konsep hijrah ini.[22] Tetapi informasi sejarah mengatakan bahwa pemberlakuan konsep hijrah tetap berlanjut sampai pada titik kulminasi pendirian NII (Negara Islam Indonesia) oleh S.M. Kartosoewirjo.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, setidaknya terdapat persoalan yang terangkat ke permukaan dan ini dianggap penting serta menarik oleh penulis untuk dikaji lebih jauh, yaitu:
         1.        Bagaimana para pemerhati al-Qur’an baik secara individu maupun kelompok memahami konsep hijrah ?
         2.        Bagaimana struktur pandangan dunia hijrah dalam al-Qur’an seutuhnya ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini penulis paparkan dengan tujuan sebagai berikut:
         1.        Untuk mendeskripsikan konsep hijrah menurut para pemerhati al-Qur‘an, baik mufassir individu maupun secara kelompok.
         2.        Mendeskripsikan struktur pandangan dunia hijrah dengan harapan akan diperoleh perimbangan  antara nilai teoritis dan aplikasinya.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari kajian ini sebagai berikut :
         1.        Memberikan kontribusi pengkayaan perspektif dalam memahami ajaran  hijrah secara teoritis.
         2.        Menselaraskan antara pemahaman teoritis dengan keakuratan dalam mengaplikasikan ajaran hijrah.

E. Telaah Pustaka

Untuk menganalisa pandangan dunia hijrah, penulis berupaya memanfaatkan rujukan-rujukan yang ada relevansinya dengan tema yang diangkat.
Buku yang telah membahas secara khusus tema hijrah, tentunya sesuai dengan pengetahuan penulis, Hamid Naseem Rafiabadi dengan judul Hijrah a Turning Point in Islamic Movement.[23] Buku ini berdasarkan penelitian kesejarahan yang dikonfrontasikan dengan keadaan zaman sekarang. Rafiabadi memandang hijrah sebagai kewajiban bagi muslim yang terus berjalan sampai tercipta kebebasan pelaksanaan syari’ah. Pembahasannya secara umum telah menyentuh berbagai aspek hijrah tetapi dalam bentuk global, seperti makna, filosofi, sejarah dan bahkan ia menyoroti berbagai pendapat orientalis tentang tema ini.
Sedangkan Isma’il R. al-Faruqi dalam bukunya Hakikat Hijrah[24] memandang hijrah membuat Islam menjadi suatu kemaujudan hukum, sosial, ekonomi, politik dan militer suatu negara, bahkan membentuk negara dunia yang potensial. Karenanya, al-Faruqi mencanangkan ’iqa>mah al-hijrah dengan melalui berbagai pendidikan dan dakwah. Uraian rinci Qur’ani belum terkuak karena ia menyoroti melalui kaca mata sosial-politis. Kajian yang sama dilakukan oleh Ali Syariati dalam Rasulullah Saw Sejak Hijrah hingga Wafatnya[25] yang menghasilkan kesimpulan bahwa hijrah membuka kungkungan domestik sehingga terbentuklah peradaban besar, sebagai contoh ia menyebut kejadian-kejadian kesejarahan yang menggambarkan peristiwa “hijrah”. Syari’ati berkeyakinan dengan kesatuan imanhijrah– jihad bukanlah suatu kebetulan tanpa makna. Tetapi dalam bukunya ini, ia tidak menjadikan hijrah sebagai objek kajian tafsir dan ini  diakui sendiri olehnya.
Muhammad Abdullah al-Khatib menulis buku Makna Hijrah Dulu dan Sekarang[26] di dalamnya ia berkesimpulan bahwa hijrah secara fisik, yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan  kembali sosial-politik pada masanya, ini telah mempercepat pengembangan agama Islam ke berbagai wilayah. Tanpa menafikan makna hijrah secara fisik, hikmah hijrah dalam dimensi metafisik harus lebih banyak digali. Pendapat serupa tergambar pada tulisan Nurcholish Madjid dalam bukunya Islam Agama Peradaban Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah,[27] ia mengatakan hijrah adalah peristiwa historis-sosiologis yang mengikuti sunatullah yang tak berubah, juga hijrah sebagai peristiwa supranatural, peristiwa metafisis, yang dari berbagai segi termasuk mu’jizat nabi dan tindakan supranatural beliau. Dalam semangat spiritual ini, berhijrah ialah bertekad meninggalkan kepalsuan, pindah sepenuhnya kepada kebenaran, dengan kesediaan untuk berkurban dan menderita, karena keyakinan kemenangan terakhir akan dianugerahkan Allah kepada pejuang kebenaran itu.
Dalam buku Sikap Hidjrah PSII[28] Kartosoewirjo berupaya memahami hijrah yang dikemas ke dalam sebuah konsep interpretatif-aplikatif. Hasil dari identifikasi terhadap bangsa Indonesia, ia berkeyakinan untuk membuat komunitas Islam dengan mempertimbangkan anasir politik dan sosial keagamaan. Kartosoewirjo menggunakan istilah "Madinah–Indonesia" dan “Makkah–Indonesia” sebagai konsekuensi keberpihakan ideologis, bahkan lebih jauh dari itu, ia berusaha membuat kategorisasi hijrah sesuai dengan kadar perjuangan.
Banyak lagi buku yang membahas tentang hijrah, namun kesemuanya tidak menjadikan sebagai tema tunggal dan kurang menggunakan pendekatan tafsir al-Qur’an, seperti M. Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat[29] dan buku-buku yang berkenaan dengan sirah rasul.
Sedang untuk penerapan semantik terhadap al-Qur’an, penulis tidak mendapati buku yang membahas hijrah. Buku-buku yang menggunakan semantik sebagai alat pendekatan seperti Toshihiko Izutsu dalam Konsep-konsep Etika Religius dalam al-Qur’an[30] dan Relasi Tuhan dan Manusia[31], di dalamnya ia membahas tentang konsep kufr sebagai tema sentralnya,  dan di dalam buku yang kedua, ia membahas secara dominan konsep Allah. Buku lainnya adalah karya Syinya Makino dengan judul Creation and Termination a Semantic Study of the Structure of the Qur’anic World View[32] yang membahas tentang penciptaan alam dan hari akhir.

F.  Metode Penelitian

Penelitian ini dibatasi hanya pada library research.[33] Dalam teknik penggarapan berupaya mengeksplorasi sumber-sumber pustaka yang terkait. Sedangkan karakter penulisan akan dicirikan dengan pemanfaatan metode semantik[34] serta didukung oleh kajian historis. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa metode semantik mampu menguraikan secara sekaligus hubungan-hubungan antara ekspresi sebuah bahasa dengan obyek yang berkaitan dengan ekspresi tersebut. Semantik pun dinilai mampu mengilustrasikan gerakan dari cakupan definisi.[35] Analisa obyek penelitian dipertajam dengan bantuan kajian historis. Penggalan sejarah yang akan dikaji meliputi fase Arab pra-Islam, fase nabi yang dibagi secara global menjadi periode Makkiyyah dan Madaniyyah dan terakhir adalah fase pasca nabi.
Pemilihan tema sentral mengharuskan penulis untuk menjadikan al-Qur’an dan terjemahannya sebagai data primer. Selain itu, dalam aplikasi semantik penulis merujuk pada karya Toshihiko Izutsu. Sedangkan data pendukung meliputi karya-karya dari disiplin keilmuan lainnya selama masih memiliki keterkaitan dengan tema penelitian. Misalnya, penulis merujuk ’Isfaha@ni@ untuk memperoleh makna kata yang luas berikut penerapannya dalam al-Qur’an. Kamus-kamus bahasa Arab, seperti Lisa>n al-‘Arab dan Ta>j al-‘Ars, mendapatkan tempat pula dalam penelitian ini, semata untuk melihat perubahan makna dari derivasi akar kata.

G. Sistematika Pembahasan

Penulisan skripsi ini dibuka dengan bab pertama berupa pendahuluan untuk mengantarkan menuju argumen, cakupan dan perihal mekanisme penelitian. Sementara gambaran umum mengenai konsep hijrah dalam penelitian ini muncul mula pertama pada bab kedua yang mengilustrasikan sebagian produk tafsir baik klasik atau modern yang berkaitan dengan tema hijrah, ini disusun sebagai peta awal guna memudahkan penelitian selanjutnya. Juga sebagai landasan alasan adanya celah untuk meneliti ulang tema hijrah ini.
Diteruskan dengan bab ketiga sebagai titik tekan pada penulisan ini memaparkan analisa struktur pandangan dunia hijrah melalui pelacakan makna dasar dan relasional, diawali dengan pencarian makna leksikal, makna pra-Islam dan perjalanan makna baik sinkronik maupun diakronik disambung dengan pembentukan struktur dalam (deep structure) dan bidang semantik hijrah. Mengenai urgensi pelacakan makna pra-Islam, dikarenakan keniscayaan mendeteksi pergeseran makna dalam pandangan dunia yang berbeda antara Arab pra-Islam dan Islam.
Karena ruang kerja semantik mencakup pula kajian perkembangan makna pada masa pasca wacana, maka pada bab keempat ini mencoba menghimpun data-data di mana hijrah dipahami setelah masa nabi oleh para pemerhati kajian-kajian Islam baik kelompok maupun individu. Observasi ini meliputi aliran Khawarij, al-Takfi>r wa al-Hijrah dan PSII. Penelitian skripsi ini ditutup dengan bab kelima yang berisikan kesimpulan dan saran-saran.

Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tags: Pandangan Dunia Hizrah (Pendekatan Sematik Terhadap Al-Quran)
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net