Senin, 26 Maret 2012

PENGARUH NEOPLATONISME DALAM WAĤDATUL WUJŪD IBNU ‘ARABI


PENGARUH NEOPLATONISME DALAM WAĤDATUL WUJŪD IBNU ‘ARABI

NEOPLATONISME
 Oleh Team www.seowaps.com 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Di dalam Islam, sufisme memberi makna isoteris yang melandasi formalisme. Mengkaji tasawuf berarti mempelajari dimensi-dimensi isoterik dari sebuah bangunan kepercayaan, sehingga sebuah agama (Islam) dapat dipandang secara utuh dan universal, bukan sekedar dogma-dogma yang mengukung tanpa makna. Apabila Islam dipisahkan dari aspek ini, maka hanya menjadi kerangka formal. Ibaratnya apabila kerangka tersebut tidak dibalut dengan daging dan kemudian dihidupkan sesungguhnya keindahan Islam tidak akan pernah ditemukan.
Tasawuf seperti halnya sebuah mata air yang mengalir terus menerus yang berasal dari alam dan menjadi sumber untuk memenuhi segala kebutuhan hidup sekaligus sebagai obyek pengkajian dan penelitian yang tidak akan pernah berakhir, meskipun pada setiap masa, tuntutan yang ditujukan padanya nampak dalam kerangka yang berbeda-beda. Dalam ranah aktivitas intelektual, pembahasan tasawuf dapat dikatakan cukup meriah dari waktu ke waktu. Bahkan saat ini pembicaraan mengenai nilai-nilai spiritual dianggap sangat urgen dan mendesak untuk dikaji. Hal ini mungkin suatu keniscayaan yang terjadi sebagai reaksi dari arus perkembangan zaman, yang membawa manusia pada peradaban yang dirasa semakin kehilangan orientasi keilahiannya.
Memang, dalam satu sisi manusia boleh bangga, usahanya yang terus menerus untuk mencapai kesempurnaan alamiahnya dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan sudah pada titik keberhasilan. Dunia modern menciptakan keajaiban-keajaiban yang mencengangkan. Dengan pesatnya perkembangan teknologi, kemudahan-kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan dapat tercapai. Dalam era globasisasi ini terdapat – meminjam istilahnya Dimitri Mahayana[1] – ledakan-ledakan yang luar biasa yaitu : ledakan besar komunikasi (communication big bang), ledakan besar informasi (information big bang), ledakan besar pengetahuan (knowledge big bang) dan ledakan besar manajemen (management big bang). Ledakan di sini dalam arti suatu loncatan kemajuan yang amat besar yang berhasil diciptakan oleh manusia. Big bang-big bang inilah yang mengantarkan manusia pada puncak kesempurnaan peradabannya.
Pada era tanpa batas ini, kita bisa menguji keberhasilan manusia dengan melontarkan satu pertanyaan, apa yang tidak dapat diperbuat manusia saat ini? Kita bisa menengok ke belakang ke jaman dahulu kala untuk menjawab pertanyaan itu sebelum kemudian membandingkannya dengan saat ini. Beberapa abad yang lalu dapat dibayangkan betapa manusia hidup dalam ruang yang sangat terbatas. Dunia terasa amat luas tanpa terjangkau oleh pikiran maupun indera. Manusia tidak mengenal apa-apa kecuali lingkungan yang sangat sempit, masyarakat yang satu, yaitu yang melahirkannya sekaligus tempat kematiannya. Kini jaman telah berubah, sejak terjadinya gelombang pencerahan pada abad 18 dan revolusi industri di Inggris, manusia mulai menggunakan akalnya dan muncullah temuan-temuan teknologi yang merubah seluruh sendi kehidupan.
Yang mengagumkan adalah manusia sudah mampu membuat miniatur dunia dengan segala perniknya dalam sebuah layar komputer dan internet. Internet merupakan sebuah lambang kesempurnaan kehidupan manusia. Di dalamnya mampu mencakup segala aspek yang berkaitan dengan kebutuhan manusia mulai dari hiburan, informasi, komunikasi dan bisnis.
Internet membuat dunia begitu kecil, begitu global menuju arah yang disamping positif juga negatif. Bahkan amat mengerikan yakni kebebasan tanpa batas. Dunia yang global memunculkan persoalan-persoalan yang rumit jika dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat kodrati seperti etika moral dan spiritual.
Itu hanyalah sekelumit gambaran tentang bagaimana manusia dengan memanfaatkan akal pikirannya, disatu sisi mencapai keberhasilan dan sekaligus dalam waktu yang sama secara perlahan manusia kehilangan dimensi keilahiannya. Menurut Fromm dalam bukunya Revolution of Hope, masyarakat tidak lebih dari sebuah mesin otomatis dan manusia sebagai onderdil-onderdilnya menjadi bagian dari mesin besar peradaban dan teknologi.[2] Pada mulanya manusia yang menciptakan teknologi demi kebutuhan-kebutuhannya tetapi kemudian manusialah yang akhirnya menjadi budak dari teknologi itu sendiri. Muncullah suatu fenomena yang tidak dapat dipungkiri oleh setiap manusia modern yakni kekosongan spiritual.
Jika dulu Aristoteles mengklasifikasikan hal-hal dalam 10 kategori yaitu substansi, ruang, waktu, kualitas, kuantitas dan lain-lain kini manusia modern mereduksi dirinya menjadi satu kategori saja yaitu kuantitas. Nilai-nilai yang dianut manusia dalam menentukan keberhasilannya diukur dari hal-hal yang empirik, material dan bersifat biologis. Lalu bagaimana peran agama dalam menghadapi krisis spiritual dunia modern? Kenyataannya adalah meskipun agama tetap dipegang akan tetapi hanya menjadi kerangka formalitas yang tidak mempunyai makna dan kekuatan untuk mengatur roda kehidupan.  
Adalah penting untuk menyadari bahwa spiritualitas tidak hanya sekedar bagian dari relitas manusia, tetapi spiritualitas adalah keseluruhan makna manusia. Keseluruhan integral ini adalah batu fondasi dari kesadaran diri, dan mencakup semua aspek khusus (manusia). Ia menjadi terlihat di dalam apa-apa yang kita ketahui dan pahami, di dalam bagaimana kita bertindak, berpikir, dan merasakan. Singkatnya kita adalah makhluk spiritual dan keseluruhan dari apa yang disebut dengan dunia material diruhanikan. Kita harus hati-hati terhadap pemikiran yang menganggap spiritualitas hanya berhubungan dengan salah satu fakultas dalam diri kita, atau sebagai sesuatu yang sepenuhnya berada di luar dunia ini, yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Kita juga harus berhati-hati agar tidak terjatuh ke dalam perangkap intelektual yang terlalu mudah memisahkan akal dari intuisi, kepala dari hati. Ini jauh dari realitas yang dijelaskan oleh Ibnu ‘Arabi. Bagi dia, setiap realitas dunia, atau setiap aspek dari dunia, hanya dapat dipahami dengan tepat melalui asal-usul spiritualnya. Ia  menghubungkan setiap realitas keduniawian dengan prinsip ilahiahnya, dan karena itu menempatkan segala sesuatu di tempat yang sebenarnya.[3] 
Jika tasawuf memberikan makna isoterik bagi formalitas, dengan metode-metode mujahadahmusyahadah dan intuisi, lain halnya dengan filsafat yang menawarkan akal, argumentasi dan logika untuk mencapai tujuannya. Sekilas keduanya seperti dua hal yang berlawanan dan tidak mungkin bertemu. Tetapi ketika kita menyakini bahwa kebenaran adalah satu seperti halnya kita beriman bahwa Tuhan adalah satu,  maka pertentangan itu tidak ada. Baik tasawuf maupun filsafat hanya sebagai instrumen untuk mencapai kebenaran. Menurut Charis Zubair, untuk menangkap kebenaran dari realitas, alat-alat yang digunakan dari yang terendah adalah indera, naluri, akal rasional, dan intuisi. Jika kita menggunakan secara bersamaan maka akan diperoleh kebenaran hakiki yang mencakup dimensi transenden dan imanen.[4] Dalam hal ini tasawuf dan filsafat adalah frame bagi instrumen-instrumen tersebut.
Dengan demikian pengkajian terhadap nilai-nilai spiritual sekaligus filosofis diharapkan mampu menghidupkan kembali eksistensi kemanusiaan kita yang nyaris terlupakan. Sebagai salah satu upaya memenuhi kebutuhan rohani di tengah peradaban moderen yang gersang. Selain itu dimaksudkan untuk melestarikan pemikiran-pemikiran paratokoh islam dengan mencari sisi-sisi positif yang mungkin untuk dipertimbangkan dalam menghadapi zaman global.
Kegelisahan merupakan ciri universal manusia di sepanjang masa dan di berbagai tingkatan, tetapi semakin kentara di dunia modern ini pada mereka yang justru serba kecukupan. Sebenarnya kegelisahan tak perlu ditafsirkan negatif, karena pada dirinya ia tidaklah buruk. Ia malah menunjukkan kepada kita rahasia terdalam eksistensi kita sebagai manusia. Kegelisahan inilah yang oleh SH. Nashr disebut sebagai The Mystical Quest atau pencaharian spiritual. Pencaharian mistik adalah wujud kerinduan sang jiwa untuk kembali ke tempat asalnya, yaitu Allah SWT. Manusia tidak akan penah berhenti mencari – dan karena itu akan selalu gelisah- sebelum mencapai apa yang dirindukannya selama ini, yaitu prtemuan dengan Tuhan atau kesatuan mistik (mystical union) dalam istilah yang dipakai para sufi.[5]
Hal pokok yang paling mendasar dalam agama wahyu adalah ajaran tauhidnya, yaitu pemahaman tentang keesaan Tuhan.[6] Ajaran tauhid ini merupakan suatu jawaban yang diberikan Tuhan kepada manusia atas segala upayanya selama berabad-abad kehidupannya dalam rangka pencarian terhadap realitas Tuhan. Namun pada dasarnya manusia diciptakan dengan segenap fitrah yang dimilikinya, mempunyai agama hakiki sejak lahir, yaitu agama Tauhid. [7]
Dalam suatu masa tertentu, kadang seorang manusia terlahir sebagai seorang terpilih yang mempunyai kemampuan melampaui manusia lain dalam hal menggunakan potensi kemanusiaannya dalam melihat realitas obyektif serta melahirkan cara pandang independent dan uviversal yang sama sekali baru dan mempengaruhi jamannya juga jaman sesudahnya. Tokoh-tokoh ini mencapai derajat kemanusiaan sejati tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Hal  ini terjadi pula dalam hal pemahaman terhadap realitas tauhid. Salah satu eksponen yang paling menonjol dalam fenomena ini adalah pemikiran Syaikh Akbar Ibnu ‘Arabi dengan gagasan tentang tauhidnya yang terkenal : Wahdatul wujud.
Menurut A.E. Affifi, wahdatul wujud adalah satu bentuk pantheisme, yang mengasumsikan bahwa Tuhan itu sesuatu yang absolut, yakni wujud yang tidak terbatas dan abadi yang merupakan sumber dari landasan puncak dari wujud kini, yang lalu dan yang akan datang yang lambat laun menjadi suatu bentuk akosmisme yang menyatakan bahwa Dunia Fenomena itu hanyalah semacam bayang-bayang yang lewat dari realitas yang terletak dibelakangnya. Segala sesuatu yang terbatas dan temporal hanyalah ilusi dan tidak riel.
Wahdatul wujud merupakan doktrin yang paling populer dalam sejarah perdebatan dunia sufistik. Sebagian kalangan menganggapnya sebagai ajaran yang menyesatkan dan sebagian lagi menilainya sebagai suatu produk yang berasal dari ketajaman pemikiran dan keagungan hati. Bahkan sampai saat ini boleh dibilang polemik wacana tentang Ibnu ‘Arabi dan wahdatul wujudnya masih berlangsung.
Suatu lembaga dakwah yang berdiri di Saudi Arabia baru-baru ini menerbitkan buletin yang disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia dengan tujuan mempropagandakan misi-misinya, yang salah satu buletinnya memberikan penilaian yang negatif terhadap sufisme dan ajaran tasawuf. Dan pada buletin yang lain menyatakan dilarangnya paham penyatuan agama (wahdatul adyan) yang notabene berakar dari faham wahdatul wujud.
Dilain fihak, di Barat khususnya di kalangan intelektual, semangat untuk melakukan penelitian-penelitian terhadap sufisme khususnya dalam hal ini Ibnu’Arabi terus menyala. Sebut saja misalnya Henry Corbin,  Stephen Hirtenstein atau William Chittick yang malah mengkhususkan dirinya menelaah filsafat Ibnu ‘Arabi hingga sudah menghasilkan belasan buku tentang tokoh satu ini. Hal ini tentu tidak menafikan bahwa banyak juga sarjana timur yang menulis tentang Ibnu ‘Arabi.
Kajian tentang doktrin wahdatul wujud menjadi penting pula, mengingat pengaruhnya yang luar biasa dalam sejarah pemikiran sufi hampir di seluruh pelosok negeri-negeri Islam, termasuk Indonesia. Pengaruh doktrin ini terus membekas secara mendalam dan berkembang dengan subur sampai sekarang pada pemikiran mistik Islam kontemporer. Minat terhadap kajian pemikiran Ibnu ‘Arabi semakin meningkat. Sikap simpati terhadap sufi dari Andalusia ini ditunjukkan pula oleh sekelompok sarjana yang mengaguminya dengan mendirikan suatu organisasi bernama The Muhyidin Ibn ‘Arabi Society.[8] Organisasi yang didirikan pada 1977 dan berpusat di Oxford itu, sejak 1982 menerbitkan sebuah jurnal yang diberi nama Journal of the Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society. Organisasi ini secara berkala mengadakan pertemuan umum tahunan dan simposium tahunan di tempat-tempat berbeda. Dalam pertemuan dan simposium itu para sarjana menyajikan makalah tentang berbagai aspek pemikiran Ibnu ‘Arabi.
Di Indonesia sendiri, polemik juga tidak dapat terelakkan. Disamping penulisan secara obyektif dan netral, ada juga yang bersifat menolak dan bahkan mengunggulkan. Sebuah buku karangan Drs. H. Abdul Qadir Jailani berjudul Koreksi terhadap Ajaran Tasawuf  mengatakan bahwa ajaran yang disebarluaskan guru-guru sufi adalah ajaran sesat yang berasal dari agama kuno, yaitu Hindu, yang salah satunya adalah doktrin pantheistik wahdatul wujud.[9] Sedangkan dalam bukunya Menjemput Masa Depan, Dr. Dimitri Mahayana justru menawarkan doktrin wahdatul wujud sebagai alternatif untuk menjawab berbagai tantangan zaman, khususnya di Indonesia. Bahkan dalam buku ini Dimitri memberikan sebanyak dua belas point untuk memperkuat argumennya dalam menawarkan doktrin ini.
Berkaitan dengan antusiasme yang besar dalam mempelajari pemikiran Ibnu ‘Arabi, kajian yang tertuang dalam skripsi ini diharapkan dapat ikut serta memberikan masukan dan inventaris ilmiah pada pengkajian pemikiran sufi filosofis dan ikut serta dalam upaya pelestarian nilai-nilai tradisi spiritual Islam.
Berikut ini adalah uraian yang menunjukkan bagaimana pengaruh yang ditimbulkan oleh Ibnu ‘Arabi dapat menjadi alasan yang memadai untuk menjadikan Ibnu’Arabi sebagai obyek penelitian dan sumber inspirasi yang tiada habisnya bagi para pemikir, dan para peneliti.
Seperti apa yang diuraikan oleh AJ. Arberry dalam Pasang Surut Aliran    Tasawuf :
Ibnu ‘Arabi menandai satu titik balik dalam sejarah tasawuf. Kendati diserang hebat-hebatan karena ajaran pantheistik (namun tatanannya lebih monistik ketimbang pantheistik) dan hujah-hujahnya yang berlebihan, tidak ada sufi setelahnya terlepas dari pengaruhnya, dan ia juga berjasa dalam semua literatur mistisisme sesudahnya. Bukanlah pada tempatnya membahas dampak bagi mistisisme Kristen zaman pertengahan, dan cukuplah disebutkan bahwa hal ini kini lazim dianggap memang terbukti. Untuk memaparkan secara sederhana ihwal pelestarian gagasan-gagasannya dalam tulisan-tulisan ke-Islaman terkemudian rasanya akan memadai kalau disebutkan bahwa penyair Parsi, Iraqi (W 688 H / 1289 M) menggubah Lama’atnya setelah mengenal ajaran Sadruddin Qonawi (W 672 H / 1273 M) dalam Fushusul Hikamnya Ibnu ‘Arabi. Perlu disebut pula bahwa Jami tidak saja merangkum sebuah ulasan tentang Al Lama’at tapi juga menyusun Lawa’ihnya untuk menandingi karya itu. Dua risalah mungil yang artistik ini, yang sama-sama berasal dari kitab berbahasa Parsi, Sawanih dari saudara Al Ghazali, Ahmad (W 517 H / 1123 M) mengandung tema khas doktrin trinitas mistik tentang cinta, pecinta, yang dicinta dan yang mereka tafsirkan dengan garis-garis teosofi Ibnu ‘Arabi.9

Dalam halaman lain buku ini juga menjelaskan :
Doktrin manusia sempurna yang dikembangkan oleh Abdul Karim Al Jili (W 832 H / 1428 M) dalam kitabnya yang terkenal Al Insanul Kamil, dipengaruhi oleh gagasan Ibnu ‘Arabi tentang kesatuan wujud yang melacak asal-usul wujud sejati yang tidak bernama, tidak bersifat; melalui tiga tahap manifestasi beruntun yang disebutnya : kesatuan (ahadiyah), ke Dia-an (Huwiyah) dan ke Akua-an (aniyah). Manusia pada hakikatnya adalah pikiran kosmik yang mempertalikan wujud mutlak dengan alam melalui tiga tahap yang bersesuaian dari penerangan mistik (tajalli) sang mistikus bisa berharap dapat menelusuri kembali asal-usulnya dan akhirnya dapat menjadi manusia sempurna, bersih dari segala atribut, kembali sebagai mutlak dari yang mutlak. Gagasan tentang turunnya ruh semesta ke dalam materi dan tentang pendakian penyucian manusia dari materi, memang akrab dalam pikiran kalangan sufi, jauh sebelum zaman Al Jili. Sumbangsih istimewa Al Jili yang terletak pada penghabluran konsepsi itu, di bawah pengaruh tatanan umum Ibnu ‘Arabi, menjadi sebuah metafisika yang jelas dan konsisten.10
Alasan lain yang tidak dapat dianggap remeh dalam penelitian tentang konsep wahdatul wujud Ibnu ‘Arabi adalah, bahwa jika dibandingkan dengan obyek lain seperti mahabbah, ma’rifah atau Hullul dan ittihad, wahdatul wujud lebih bersifat luas dan universal yang mencakup seluruh realitas yang ada. Sedangkan yang lain bersifat individual atau pemikiran yang berasal dari pengalaman mistis pribadi ketika berhubungan dengan Tuhan. Ketika faham lain hanya bisa dirasakan dan dipahami sendiri oleh sang mistikus tanpa dapat dipahami orang lain dengan akal sehat, konsep Ibnu ‘Arabi dapat ditelusuri dengan cara berfikir yang logis bahkan mampu menawarkan pandangan yang tajam untuk memahami realitas.
Seperti halnya pada filsafat Islam, dalam tasawuf tidak ada yang dapat menyangkal kenyataan bahwa keduanya bercorak hellenistik, karena memang sejarah telah mencatat bahwa pengaruh pemikiran Yunani amatlah besar bagi para filosof Islam dan para Sufi. Meskipun berbagai penelitian dilakukan untuk mengembangkan filsafat Islam dan tasawuf menjadi satu disiplin yang otentik yang berhakikat pada Islam (Qur’an dan Sunah) tetapi tidak dapat dipungkiri pemikiran Yunani menjadi salah satu pangkal mata rantai yang kuat sebagai dasar terbentuknya sistem-sistem dalam filsafat Islam dan sufisme. Demikian pula yang menjadi kenyataan dalam sistem sufi besar Ibnu ‘Arabi. Selain Plato dan Aristoteles pengaruh pikiran Yunani yang sangat kentara dalam pemikirannya adalah Neoplatonisme.
Neoplatonisme adalah sebutan yang diberikan untuk hasil pemikiran Plotinus, orang filosof abad pertengahan. Disebut Neoplatonisme karena pada prinsipnya Plotinus merujuk pada ajaran Plato. Bedanya, Plato mendasarkan ajarannya pada Yang Baik, sedangkan Plotinus pada Yang Satu (The One).
Filosofi Plotinus berpangkal kepada keyakinan, bahwa segala ini, Yang Asal itu adalah satu dengan tidak ada pertentangan di dalamnya. Yang satu itu bukan kwalita dan bukan pula yang terutama dari segala keadaan dan perkembangan dalam dunia, segala datang dari sesuatu, Yang Asal. Yang Asal itu adalah sebab kwantita, bukan akal bukan jiwa, bukan bergerak bukan pula tenang terhenti, bukan dalam ruang dan bukan dalam waktu. Yang satu itu tidak dapat dikenal, sebab tak ada ukuran untuk membandingkannya. Orang hanya dapat mengatakan, apa yang tidak sama dan serupa dengan Dia, tetapi tidak dapat dikatakan apa Dia. Pada dasarnya yang satu itu tidak dapat, karena nama-nama yang satu, yang baik, berlainan dengan Yang Asal. Yang satu itu menunjukkan apa artinya baik itu untuk makhluk Yang lain, bukan apa itu baginya sendiri. Hanya satu saat yang positif yang tidak boleh tidak ada padanya, yaitu Yang Asal itu adalah permulaan dan sebab yang pertama dari segala yang ada.11

Dari sini kita dapat melihat sisi persamaan antara wahdatul wujudnya Ibnu ‘Arabi dan The One-nya Plotinus. Akan tetapi sebenarnya tidaklah sama antara keduanya, karena pemikiran Plotinus hanyalah salah satu unsur dari sekian banyak unsur yang mempengaruhi sistemnya Ibnu ‘Arabi.
Dikarenakan Plotinus hidup pada periode terakhir dalam fase Hellenisme Romawi, maka sistem Neoplatonisme menjadi lebih lengkap, jelas, dan konsisten dibanding Plato dan Aristoteles. Sehingga hal ini menjadikan pengaruhnya lebih dirasakan bagi tokoh sesudahnya. Pengaruhnya yang besar pada tokoh-tokoh Islam maupun Kristen sesudahnya patut untuk dikaji. Tokoh-tokoh Islam yang tidak dapat melepaskan diri dari pengaruhnya adalah antara lain : Al Farabi, Ibnu Sina, Ihwanus Shafa, dan tak terkecuali Ibnu ‘Arabi. Semua yang disebut adalah para tokoh yang tidak dapat dipandang sebelah mata dalam kancah pemikiran dunia Islam. Hal lain yang menjadi alasan untuk mengulas Plotinus adalah karena ajarannya yang bisa disoroti dengan seksama dan jelas jika dikaitkan dengan para sufi, teutama pada teori emanasi dan hirarkinya. Begitu pula yang mempengaruhi Ibnu ‘Arabi lebih signifikan pada teori ini.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah seperti yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengajukan dua hal pokok sebagai rumusan masalah, yaitu:
1.      Bagaimana proses terwujudnya keterkaitan antara wahdatul wujudnya Ibnu ‘Arabi dengan filsafat Neoplatonisme? Jika ada, dimanakah letaknya?
2.      Bagaimana persamaan dan perbedaan antara filsafat Neoplatonisme dengan wahdatul wujud Ibnu ‘Arabi?

C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian

I.       Tujuan Penelitian

a.       Mencari keterkaitan antara pemikiran Ibnu ‘Arabi dengan filsafat Neoplatonisme.
b.      Mengetahui titik-titik persamaan dan perbedaan antara filsafat Ibnu ‘Arabi dengan Neoplatonisme.

II.    Kegunaan Penelitian

a.       Sebagai partisipasi penulis dalam rangka ikut melestarikan pemikiran tokoh islam khususnya Ibnu ‘Arabi.
b.      Memenuhi sebagian persyaratan guna meraih gelar kesarjanaan strata 1 (S1) di bidang kefilsafatan pada fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

D.    Metode Penelitian

 

Penelitan ini bersifat kepustakaan murni atau library research. Artinya data-data yang digunakan berasal dari sumber kepustakaan baik primer maupun sekunder, baik berupa buku, ensiklopedi, jurnal, majalah dan lain sebagainya. Yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:
  1. Model penelitian historis faktual mengenai tokoh dan alirannya. Dalam hal ini adalah Ibnu ‘Arabi dengan wahdatul wujudnya dan Plotinus dengan Neoplatonismenya.
  2. Model penelitian komparatif, yaitu membandingkan antara sistem Ibnu ‘Arabi dan filsafat Neoplatonisme sebelum kemudian mencari titik temunya.
Metode yang akan digunakan adalah deskriptif sintesis. Deskriptif adalah menggambarkan konsep atau pemikiran Ibnu ‘Arabi dan Plotinus lengkap dengan riwayat hidupnya. Sintesis adalah suatu usaha mencari kesatuan dalam keragaman atau mencari titik temu antara kedua pemikiran sehingga terwujud keterkaitan.

E. Tinjauan Pustaka

Sudah dijelaskan bahwa antusiasme pengkajian terhadap Ibnu ‘Arabi sejak lama sampai saat ini terus menyala. Pemikiran Ibnu ‘Arabi menjadi daya tarik yang luar biasa melebihi tokoh-tokoh sezamannya dalam bidang tasawuf, untuk selalu dan selalu dikaji dan dipelajari. Ratusan karya yang membahas tentangnya sudah diterbitkan baik berupa buku, artikel, maupun jurnal yang ditulis intelektual Barat maupun Timur termasuk Indonesia. Seperti halnya sebuah obyek yang tidak hanya mempunyai satu sisi untuk dilihat, Ibnu ‘Arabi menawarkan banyak sisi yang selalu menantang untuk diteliti, pemikirannya yang luas dapat dilihat dari banyak segi.
Ada sebagian tokoh yang mengkhususkan diri meneliti riwayat hidupnya saja, misalnya Claude Addas dalam bukunya Quest for the Red Sulphur atau R.W.J. Austin dalam Sufis of Andalusia. Buku yang pertama memaparkan biografi Ibnu ‘Arabi dan yang kedua mengenai riwayat hidup dan zamannya yang memberi penjelasan tentang tujuh puluh orang Maghribi yang menurut Ibnu ‘Arabi dari merekalah dia “mengambil manfaat di jalan akhirat”.
Buku-buku yang memberikan gambaran tentang pemikiran Ibnu ‘Arabi juga tidak kalah banyaknya. Sebagai contoh buku Seal of the Saints dan An Ocean without Shore yang memberikan gambaran yang jelas tentang kedalaman ajaran Ibnu ‘Arabi tentang kewalian dan Qur’an. Buku ini ditulis oleh Michel Chodkiewicz. Sedangkan Henry Corbin dalam bukunya Creative Imagination in the Sufism of Ibnu ‘Arabi  menyajikan ajaran Ibnu ‘Arabi dengan cara sendiri. Stephen Hirtenstein bahkan menulis tentang ajaran dan kehidupan spiritual pribadi Ibnu ‘Arabi sekaligus dalam satu buku, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran & Kehidupan Spiritual Syaikh Al Akbar Ibnu ‘Arabi .
Dari sekian banyak buku yang membahas tentang Ibnu ‘Arabi, ada juga yang berusaha sekedar menterjemahkan karya-karyanya dalam bagian-bagian tetentu. Misalnya William C. Chittick mencoba menerjemahkan bagian-bagian dalam Futtuhat Makiyah dalam buku The Sufi Path of Knowledge dan The Self Disclosure of God. Ada juga Angela Seymour yang menerjemahkan 12 bab dari Fusushul Hikam dalam The Wisdom of the Prophet.12
Untuk mewakili tokoh intelek Timur yang menulis buku tentang Ibnu ‘Arabi, kita bisa menyebut A.E. Afifi yang bukunya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi. Di dalamnya memaparkan hasil pemikiran Ibnu ‘Arabi yang dia petakan sebagai berikut : Ontologi, logos, Etika dan Estetika. Keempat klasifikasi tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Tokoh lain dari Timur yaitu S.H. Nashr yang memasukkan Ibnu ‘Arabi dalam tiga besar pemikir Islam dalam buku Three Muslim Sages yang meskipun karya pendek tetapi cukup representatif untuk memaparkan pemikiran Ibnu ‘Arabi.
Ironis rasanya jika menyebutkan tokoh-tokoh pengkaji Ibnu ‘Arabi tanpa mengikutkan tokoh dari Indonesia, sedangkan penelitian ini dilakukan di tanah air dan juga karya-karya yang dihasilkan tentang Ibnu ‘Arabi masih bisa dhitung dengan jari. Tokoh-tokoh yang dimaksud adalah DR. Kautsar Azhari Noer dan DR. Yunasril Ali. Tokoh yang pertama menghasilkan karya berupa Disertasi yang saat ini sudah dibukukan dengan judul Ibnu ‘Arabi, Wahdatul Wujud dalam Perdebatan. Karya ini menampilkan pemikiran wahdatul wujud Ibnu ‘Arabi, membandingkan dengan Pantheisme dan polemik pemakian istilah Pantheisme untuk wahdatul wujud.
Tokoh yang kedua, DR. Yunasril Ali berhasil menulis sebuah buku tentang konsep Insan Kamil dari Ibnu ‘Arabi yang dikembangkanoleh Al Jili. Buku yang juga berasal dari Disertasi penulis ini diberi judul Manusia  Citra Illahi, Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibnu ‘Arabi oleh Al Jili.
Dengan demikian, sejauh penelitian awal yang dilakukan penulis, pembahasan mengenai Ibnu ‘Arabi dan filsafat yang melatar belakangi pemikirannya belum pernah dilakukan. Mengenai Plotinus sendiri, memang ada seorang tokoh bernama Michael Anthony Sells yang melakukan studi banding antara teori emansi Plotinus dan Ibnu ‘Arabi, tetapi tidak secara eksplisit karena disamping Ibnu ‘Arabi ada tokoh John the Scot dan Meister Eckhart yang ikut serta diperbandingkan.
Adapun mengenai skripsi yang telah disusun oleh mahasiswa-mahasiswa Ushuludin, penulisan tentang Ibnu ‘Arabi sudah banyak dilakukan, tetapi sejauh pengamatan penulis, belum ada yang meneliti tentang filsafat yang telah mempengaruhi pemikirannya. Tentang Ibnu ‘Arabi, skripsi yang telah disusun adalah: Mengenai Epistimologi (Ahmad Khamin, 1987), pandangan tentang Tuhan (Alih M.S. 3053), tentang wujud (Alimuddin, 3695), Pantheisme (Haryanto, 05852383), dan tentang kejahatan (Ahmad Sahidah Rahem, 9251213). Sebagian dari skripsi itupun sudah lama dibahas sehingga kondisinya ada yang dalam keadaan nyaris tak bisa dibaca. Skripsi terbaru tentang Ibnu ‘Arabi adalah tahun 2003 yang disusun oleh Saltana dengan judul Hubungan Kualitatif Antara Tuhab dan Manusia Menurut Ibnu ‘Arabi. Sedangkan tentang Plotinus, Muh. Isnanto (05863574) menyusun skripsi berjudul Pemikiran tentang Emanasi antara Plotinus dan Al Farabi. Demikianlah telaah pustaka yang sementara ini dapat dilakukan oleh penulis.

F. Sistematika Pembahasan
Agar mendapat gambaran yang sistematis dan konsisten secara utuh, maka skripsi ini dituangkan dalam suatu sistematika penulisan secara ringkas sebagai berikut :
Bab I. Pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika pembahasan.
Bab II. Mendeskripsikan biografi tokoh, yaitu Ibnu ‘Arabi dalam beberapa sub Bab. Meliputi Riwayat hidup, Corak pemikiran, unsur-unsur yang mempengaruhi pemikiran tokoh, dan karya-karyanya.
Bab III. Membahas tinjauan umum tentang definisi wahdatul wujud dan Neoplatonisme. Sub ba pertama meliputi pengertian dan perdebatan tentang istilah wahdatul wujud. Sub bab kedua tentang Neoplatoisme yang meliputi pengertian dan tokoh-tokohnya ; fase-fase dan unsur-unsur yang mempengaruhinya.
Bab IV. Merupakan inti dari penulisan Skripsi.Yaitu mengenai pengaruh Neoplatonisme dalam wahdatul wujud Ibnu ‘Arabi. Meliputi point-point yang menghubungkan keduanya. Perbedaan dan persamaan kemudian merefleksikannya.
Bab V. Merupakan Penutup. Terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.

Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

PENGARUH NEOPLATONISME DALAM WAĤDATUL WUJŪD IBNU ‘ARABI
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net