• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Senin, 26 Maret 2012
no image

KEBIJAKAN KEAGAMAAN SULTAN AURANGZEB DI INDIA (1658-1707 M)

KEBIJAKAN KEAGAMAAN SULTAN AURANGZEB DI INDIA ( 1658-1707 M )
SULTAN AURANGZEB


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah tentang Aurangzeb tidak dapat dilepaskan dari kebesaran Dinasti Mughal yang didirikan oleh Zahirudin Muhammad, yang lebih dikenal sebagai Babur.[2] Ia dapat menyatukan India[3] yang pada awal abad XVI M merupakan daerah terpecah-pecah dan memiliki pemerintahan yang merdeka. Wilayah kekuasaannya terbentang dari Sungai Gangga sampai Oxus. Babur hanya berkuasa selama empat tahun, dengan demikian dia belum sempat melakukan pembaruan yang berarti bagi Mughal.
Penguasa Mughal setelah Babur adalah putranya, Nashirudin Humayun (1530-1540 M dan 1555-1556 M). Masa pemerintahannya kondisi negara dalam keadaan tidak stabil. Ia harus menghadapi berbagai pemberontakan, seperti pemberontakan Bahadur di Gujarat dan Sher Khan.[4] Humayun dapat dikalahkan oleh Sher Khan yang mengakibatkan Ia melarikan diri dan mencari suaka politik ke Persia.
            Sher Khan menobatkan dirinya sebagai raja Delhi dengan gelar Sher Shah. Ia melakukan pembaruan di bidang administrasi, keuangan, perdagangan, komunikasi, keadilan, perpajakan, dan pertanian di India.[5] Sher Shah merupakan satu-satunya penguasa yang berusaha menyatukan India tanpa membedakan ras dan agama. Pengganti Sher Shah adalah penguasa-penguasa yang lemah, sehingga Humayun dapat menguasai kembali Delhi pada Juli 1555 M, namun satu tahun kemudian Humayun meninggal  dunia karena kecelakaan, jatuh dari lantai dua perpustakaan Sher Mandal di Delhi.[6] Pendapat lain menyatakan bahwa Ia meninggal karena jatuh dari kuda ketika sedang bermain chaugan (permainan yang sangat populer di kalangan bangsawan India-Persia seperti hoki, hanya saja pemainnya menunggang kuda). Ia dimakamkan di Sahsaram.
Jalaludin Muhammad Akbar (1556-1605 M) menggantikan tahta ayahnya saat berusia empat belas tahun.[7] Ia adalah penguasa terbesar Mughal. Akbar memperluas imperium ini dari wilayahnya yang asal di Hindustan dan Punjab, Gujarat, Rajastan, Bihar, dan Bengal (Bangla).[8] Ke  arah utara Ia merebut Kashmir, Sind, dan Baluchistan. Sebelum akhir abad XVII M, imperium ini telah meluas sampai ke ujung utara dan merebut Bijapur, Golkunda, serta beberapa wilayah merdeka di India Selatan.[9]
Akbar mampu mendirikan negara kesatuan di India utara dan memperoleh dukungan dari mayoritas Hindu India. Sebagai raja, Akbar tidak berusaha menindas dan memaksa mereka untuk memeluk kepercayaan yang sama. Akbar sangat menonjolkan toleransi dan universalisme dalam pemerintahannya, sehingga tidak mengherankan jika dia menghapuskan jizyah yang ditetapkan oleh Syariah bagi dzimmi. Pada 1575 M, Akbar mendirikan Ibadat Khana (rumah ibadah), tempat berdiskusi dan berkumpul para ahli dari semua agama. Pada puncaknya dia memperkenalkan Din-e-Ilahi, yakni semacam sintesis dari berbagai agama. Pluralisme yang diterapkan Akbar sangat berbeda dengan komunalisme garis keras perkumpulan Syariah masa itu, sehingga Akbar dinilai telah murtad.[10]
Sepeninggal Akbar, Salim, putranya, naik tahta dengan gelar Nurudin Muhammad Jahangir Padsah Ghazi (1605-1627 M).[11] Meskipun  Jahangir juga melakukan penaklukan ke beberapa wilayah, Ia tidak sekuat ayahnya.[12] Pada 1615 M Ia menaklukkkan Mewar yang dikuasai Raja Amar Singh dan pada 1620 M dapat menguasai Bijapur dan Golkunda, sehingga seluruh Deccan (wilayah India yang paling selatan) menjadi miliknya. Jahangir masih meneruskan Sulh-e-Kul (toleransi universal) ayahnya, tetapi tidak Din-e-Ilahi. Meskipun Jahangir lebih ortodok dari ayahnya, dia mempunyai kebiasaan buruk yaitu mengkonsumsi minuman keras.
Jahangir berkuasa selama 22 tahun. Ia wafat 7 November 1627 M. Kekuasaan kemudian dipegang oleh Shah Jahan (1627-1658 M). Semasa berkuasa Ia menghadapi beberapa pemberontakan yaitu Khan Jahan Lodi (kepala daerah/raja muda Deccan) dan Jujhar Singh, putera Bir Singh Bundela dari Oricsha. Shah Jahan lebih taat kepada Syariah dibandingkan dengan ayahnya.
Tampuk kekuasaaan Mughal setelah Shah Jahan diduduki oleh Aurangzeb setelah menyingkirkan saudara-saudaranya.[13] Pada 31 Juli 1658 M, Aurangzeb menobatkan dirinya menjadi raja Mughal dengan gelar Abu al Muzafar  Muhyi al Din Muhammad Aurangzeb Bahadur Alamghir Padshah Ghazi  (1027-1118 H/1618-1707 M).[14] Setelah kemenangannya itu Aurangzeb tinggal di Delhi dan Agra. Ia segera melakukan penaklukan, yang terpenting adalah ke Palamau, daerah utara Bihar, yang dipimpin oleh Daud Khan, Gubernur Patna pada 1661 M, penaklukan Chittagong oleh Shayesta Khan, Gubernur Bangla pada tahun 1666 M. Selanjutnya menyerang Tibet melalui Khasmir.
Kekuasaaan Aurangzeb mendapat pengakuan dari negara-negara muslim lain. Sekitar 1661-1667 M, mereka mengirimkan dutanya ke India seperti: Sharif Mekah, Raja Persia, Balkh, Bukhara, Kasghar, Urganj (Khiva), Shahr-e-Nau, Gubernur Turki di Basrah, Hadramaut, Yaman, serta Raja Abessinia.[15]
Aurangzeb dikenal sebagai penguasa Mughal yang melakukan gerakan puritan dengan menerapkan Islam Orthodok. Ia menggantikan kebijakan konsiliasi Hindu dengan kebijakan Islam. Untuk itu Ia mensponsori pengkodifikasian hukum Islam dalam karya agungnya yang dikenal dengan Fatawa-e- Alamghir.[16]
Setelah memperkuat kekuasaannya, secara bertahap Aurangzeb menghapuskan semua praktek (tradisi) yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Ia juga menghapuskan delapan puluh  pajak yang sangat memberatkan rakyat, namun di pihak lain Ia menerapkan kembali jizyah yang telah dihapuskan Akbar.
Selanjutnya untuk menegakkan kehidupan religius di masyarakat, Aurangzeb berusaha menerapkan pola baru dengan mengangkat muhtasib (petugas pengawas moral), yang mempunyai kewenangan untuk mengontrol perjudian, prostitusi, pengguna narkotika, minuman keras, serta hal-hal yang merusak moral lainnya (1659 M).[17]
Hal  tersebut di atas pada umumnya dianggap menyulut kemarahan orang Hindu, yang berdampak pada timbulnya pemberontakan di masa itu. Dalam keadaan yang demikian pemberontakan itu dapat ditumpas, namun secara umum tidak semua dapat dipadamkan. Akhirnya Aurangzeb meninggal pada 3 Maret 1707  M dan dimakamkan di Khuld-e-Makan, 4 mil arah barat Daulatabad.[18] Penguasa Mughal setelah Aurangzeb adalah penguasa-penguasa lemah sehingga Mughal mengalami kemunduran.
 Figur Aurangzeb menurut R.C. Majumdar dan S.M. Ikram sangat mengagumkan. Ia taat beragama, gagah berani, kuat ingatan, keras kemauan, dan pantang menyerah, tidak seperti penguasa lainnya. Ia seorang sultan yang  saleh,  sederhana, dan menghindari kesenangan duniawi. Sebagai seorang raja Ia tidak pernah duduk di singgasananya.[19]
 Aurangzeb merupakan orang yang senantiasa menjadi perbincangan kalangan sejarah. Ia sebagai satu-satunya pengusa Mughal yang secara disiplin menerapkan syariat Islam. Pada masa pemerintahannya imperium Mughal telah sangat luas, melebihi masa Akbar, tetapi filosofi pemerintahannya berbeda dengan Akbar. Ia berusaha untuk memberi corak keislaman di India yang mayoritas beragama Hindu itu. Oleh karena itu penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui bagaimana kebijakan keagamaan yang diterapkan Aurangzeb di India dan pengaruhnya, mengingat agama merupakan masalah krusial yang rentan menimbulkan polemik.

B. Batasan dan Perumusan masalah
Penelitian ini memfokuskan pada kebijakan keagamaan Sultan Aurangzeb di India 1658-1707 M. Dengan alasan bahwa tahun tersebut merupakan masa di mana Sultan Aurangzeb menduduki tahta di Mughal dan menjalankan kebijakan-kebijakannya dalam berbagai bidang kehidupan.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dari permasalahan kebijakan keagamaan Sultan Aurangzeb di India, maka perlu dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi keagamaan India sebelum Sultan Aurangzeb?
2. Apa pokok kebijakan keagamaan Sultan Aurangzeb di India dan respon masyarakat terhadap kebijakan tersebut ?
3. Bagaimana  pengaruh kebijakan keagamaan Sultan Aurangzeb di India baik di bidang pemerintahan, ekonomi-sosial, pendidikan, karya satra, seni, dan arsitektur?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Setiap kegiatan yang dilakukan manusia pada umumnya memiliki tujuan yang hendak dicapai, maka sesuai dengan judul yang telah dikemukakan di atas, tujuan pokok penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mendeskripsikan tentang kondisi sosial keagamaan sebelum Sultan  Aurangzeb
2.      Untuk mendeskripsikan tentang kebijakan Sultan Aurangzeb di India
3.      Untuk mendeskripsikan tentang pengaruh kebijakan keagamaan Sultan Aurangzeb
Adapun kegunaan penelitian ini dimaksudkan sebagai berikut:
Berguna sebagai informasi dan menambah wawasan tentang kebijakan keagamaan Sultan Aurangzeb di India, bagi  peneliti lain yang melakukan kajian serupa. Selain itu kajian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber sejarah periode Aurangzeb dalam bahasa Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka
Penulisan tentang sejarah kebijakan keagamaaan Sultan Aurangzeb di India pada kurun waktu yang telah disebutkan di atas menarik untuk dikaji. Hal ini mengingat tulisan yang bersangkut paut dengan pembahasan belum memadai, terlebih dalam bahasa Indonesia. Tulisan yang ada sebagian besar dalam bahasa asing. Selain itu, kajian yang ada biasanya berisi gambaran yang umum tentang sultan-sultan Mughal, bukan membahas secara rinci tentang kebijakan keagamaan Aurangzeb.
Untuk mendukung penelitian ini digunakan beberapa literatur yang dapat dijadikan sebagai acuan pokok:
Pertama, buku The History of India as Told by Its Own Historians karya Sir H.M. Elliot. Buku ini terdiri dari VIII volume dan diterjemahkan pada 1873 M dari bahasa aslinya, Persia.    Sejarah tentang Aurangzeb ditulis oleh sejarawan masa itu seperti Rai Bharmal dengan karyanya Lubbut al Tawarikh-e-Hind (ditulis sekitar 1108 H/1696 M); Mirza Muhammad Kazim, putera Muhammad Amin Munshi, penulis Alamgir Nama (1688 M); Khafi Khan dengan Muntakhab al Lubab; Muhammad Saki Mustaid Khan, dengan Ma’asir Alamgiri-nya (selesai ditulis pada 1710 M).
Kedua, buku yang ditulis oleh Elphinstone (Mountstuart), History of India: The Hindu and Mahometan Periods. Buku ini terdiri dari 12 bab dan diterbitkan oleh Jhon Murray pada 1857 M di London. Pembahasan tentang Aurangzeb terdapat pada bab ke-11 dan disistematisasikan secara periodisasi, sehingga sangat membantu penulis.
Ketiga, buku yang secara lebih spesifik membahas  tentang Sultan Aurangzeb adalah Aurangzeb and the Decay of the Mughal Empire, oleh Stanley Lane PooleBuku yang terdiri dari dua belas bab ini memuat tentang pemerintahan Aurangzeb di Mughal. Namun buku ini lebih banyak mengutip tulisan-tulisan sejarawan masa Aurangzeb yang telah diterjemahkan oleh Elliot and Dowson.
Buku lain yang cukup representatif membahas tentang Aurangzeb adalah karya K. Ali, History of India, Pakistan, and Bangladesh yang diterbitkan di Dhaka pada 1980. Dalam bukunya, Ali memaparkan sejarah India kuno hingga berdirinya Bangladesh. Sejarah yang ditulisnya disertai dengan pendapat dan kritikan untuk sejarawan yang telah menulis India. Karena itu buku ini memberikan cakrawala baru bagi penulis.

E. Landasan Teori
Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang ingin menghasilkan bentuk dan proses pengkisahan atas peristiwa-peristiwa manusia yang telah terjadi di masa lalu. Dengan penelitian sejarah ini diharapkan dihasilkan sebuah penjelasan tentang berbagai hal mengenai kebijakan keagamaan Sultan Aurangzeb di Dinasti Mughal pada masanya baik dari segi asal usul dan mengapa kebijakan itu berlangsung, bentuk kebijakan, dan pengaruh kebijakan tersebut.
Kalau kebijakan dianggap fenomena politik dan dimaknai sebagai distribusi kekuasaan, maka tidak dapat dielakkan bahwa kebijakan keagamaan Aurangzeb adalah sebuah proses politik. Akan tetapi pola distribusi tersebut jelas dipengaruhi faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya.[20] Karena itu penelitian ini tidak hanya ditekankan pada politik an sich, tetapi lebih pada aspek non politik yang mempengaruhi terbentuknya kebijakan dan sekaligus dampaknya bagi masyarakat atau negara, sehingga diperlukan pendekatan ilmu sosial. Jadi secara singkat penelitian ini adalah penelitian sejarah dengan pendekatan ilmu sosial.
Pendekatan ilmu sosial yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan behavioral. Dengan pendekatan ini tidak hanya akan tertuju pada kejadiannya, tetapi tertuju pada pelaku sejarah dalam situasi riil. Bagaimana pelaku menafsirkan situasi yang dihadapi. Dari penafsiran tersebut muncul suatu tindakan yang menimbulkan suatu kejadian, dan selanjutnya akan timbul konsekuensi dari tindakan pelaku sejarah.[21] Dari pendekatan di atas maka akan dapat dikaji bagaimana Aurangzeb menginterpretasikan totalitas situasi yang dihadapi. Pada saat yang sama akan diterangkan pula manifestasi tindakan kebijakan keagamaannya dipandang dari segi tujuan, motif, rangsangan, dan lingkungan yang menyebabkan lahirnya kebijakan keagamaan dan pengaruhnya di masyarakat setelah adanya kebijakan tersebut.

F. Metode Penelitian
Sesuai dengan maksud dan tujuan dalam penelitian ini, yaitu untuk mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa masa lampau, maka dalam penelitian ini digunakan metode historis yang bertumpu pada empat langkah kegiatan yaitu: pengumpulan data (heuristik), kritik sumber (verifikasi), penafsiran (interpretasi), dan penulisan sejarah (historiografi).[22]
Keempat langkah tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1.      Heuristik (pengumpulan data)
Heuristik adalah suatu teknik atau seni, dan bukan  suatu ilmu,[23] oleh karena itu heuristik tidak memiliki peraturan-peraturan umum. Heuristik seringkali merupakan suatu keterampilan dalam menemukan, mengenali, dan memperinci bibliografi, atau mengklasifikasikan dan merawat catatan,[24] maka dari itu penulis mengumpulkan data yang sesuai dengan obyek penelitian melalui dokumentasi. Pengumpulan data dilakukan dari buku-buku, majalah, artikel, dan sumber-sumber lain yang relevan dengan obyek kajian dan pembahasan ini.
  1. verifikasi (kritik sumber)
Setelah sumber sejarah terkumpul, tahap berikutnya adalah verifikasi, yang lazim disebut kritik sumber, untuk memperoleh keabsahan sumber. Dalam hal ini harus diuji pula keabsahan tentang keaslian sumber (otentisitas) yang dilakukan melalui kritik ekstern, dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas) yang ditelusuri melalui kritik intern.[25] Dalam tahapan ini penulis mengawalinya dengan tahapan membaca sumber-sumber sejarah.
  1. interpretasi
Dalam langkah ketiga ini tahap yang dilakukan adalah menganalisis dan mensintesiskan data yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah, kemudian disusun menjadi fakta-fakta sejarah yang berkaitan dengan tema yang dibahas.
  1. Historiografi
Sebagai tahap terakhir dalam proses penelitian ini, penulisan dilakukan secara deskriptif-analisis dan berdasar sistematika yang telah ditetapkan dalam rencana skripsi.
Dalam penelitian ini juga digunakan metode komparasi. Penjelasannya adalah bahwa sejarah sebagai pengungkapan peristiwa unik, yakni hanya sekali dan tidak berulang, namun apabila diperhatikan akan nampak kemiripan pola, tendensi, dan struktur antara peristiwa satu dengan yang lain.[26] Komparasi kebijakan Aurangzeb dengan para pendahulunya dapat menonjolkan kemiripan yang mengantarkan pada suatu generalisasi.

G. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan penelitian ini terdiri dari lima bab:
Bab I yaitu Pendahuluan, terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan kegunaan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Teori, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan. Bab ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai penelitian secara umum.
Bab II membahas tentang kondisi keagamaan sebelum Aurangzeb. Dalam bab ini diuraikan tentang kondisi keberagamaan serta kebijakan keagamaan para penguasa Mughal sebelum Aurangzeb, yakni Babur, Humayun-Sher Shah, Akbar, Jahangir, dan Shah Jahan.
Sementara itu kebijakan keagamaan Aurangzeb diuraikan pada bab ke tiga. Pada bagian inilah dibahas tentang biografi Aurangzeb masa sebelum dan sesudah menjadi sultan. Hampir sebagian besar sisa hidupnya dihabiskan dalam pertempuran-pertempuran baik di perbatasan Afghanistan maupun Deccan. Selain itu dipaparkan juga pokok kebijakan keagamaan, dan respon masyarakat Hindu atas kebijakan tersebut, seperti Jat, Satnami, dan Bundela.
Bab IV mendeskripsikan tentang pengaruh kebijakan pemerintahan Aurangzeb terhadap kemajuan India. Pada bagian inilah dipaparkan mengenai pengaruh kebijakan Aurangzeb dalam bidang pemerintahan, ekonomi-sosial, pendidikan, karya sastra, seni, dan arsitektur. 
Bab V merupakan bab terakhir atau penutup yang berisikan kesimpulan dari uraian yang telah dikemukakan dalam skripsi. Selain  itu juga memuat saran-saran atas segala kekurangan dari karya tulis ini.

Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tags:  KEBIJAKAN KEAGAMAAN SULTAN AURANGZEB DI INDIA ( 1658-1707 M )
no image

Kaligrafi Kontemporer (Studi Pengembangan Seni Lukis Kaligrafi di Yogyakarta 1976-2000)

Kaligrafi Kontemporer 
( Studi Pengembangan Seni Lukis Kaligrafi di Yogyakarta 1976-2000 ) 
Kaligrafi Kontemporer

Oleh Team www.seowaps.com
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah

Peradaban Islam mulai muncul di permukaan ketika terjadi hubungan timbal balik antara peradaban orang-orang Arab dengan non-Arab. Pada mulanya, Islam tidak memerlukan suatu bentuk kesenian; tetapi bersama jalannya sang waktu, kaum muslimin menjadikan karya-karya seni sebagai media untuk mengekspresikan pandangan hidupnya. Mereka membangun bentuk-bentuk seni yang kaya sesuai dengan perspektif kesadaran nilai Islam, dan secara perlahan mengembangkan gaya mereka sendiri serta menambah sumbangan kebudayaan di lapangan kesenian.[1] Salah satu bentuknya adalah seni kaligrafi.[2]
Kaligrafi atau biasa dikenal dengan khath [3] tumbuh dan berkembang dalam budaya Islam menjadi alternatif ekspresi menarik yang mengandung unsur penyatu yang kuat. Kaligrafi berkembang pesat dalam kebudayaan Islam adalah: Pertama, karena perkembangan ajaran agama Islam melalui kitab suci Al-Qur’an. Kedua, karena keunikan dan kelenturan huruf-huruf Arab. Khath sendiri sebagai satu bentuk kesenian yang memiliki aturan yang khas, telah tumbuh secara lepas maupun terpadukan dalam bagian-bagian unsur bangunan yang mempunyai makna keindahan tersendiri. Salah satu fakta yang mempesona dalam sejarah seni dan budaya Islam ialah keberhasilan bangsa Arab, Persia, Turki dan India dalam menciptakan bentuk-bentuk dan gaya tulisan kaligrafis ke berbagai jenis variasi, antara lain: Kufi, Riq’ah, Diwani, Tsuluts, Naskhi dan lain-lain.[4]
Di Indonesia, kaligrafi hadir sejalan dengan masuknya agama Islam melalui jalur perdagangan pada abad ke-7 M, lalu menyebar ke pelosok nusantara sekitar abad ke-12 M. Pusat-pusat kekuasaan Islam seperti di Sumatera, Jawa, Madura, Sulawesi, menjadi kawah candradimuka bagi eksistensi kaligrafi dalam perjalanannya dari pesisir/pantai merambah ke pelosok-pelosok daerah.[5]
Pada masa permulaan Islam di Indonesia, penampilan kaligrafi atau khath dapat dikatakan kurang menonjol. Hal ini disebabkan oleh penerapan kaligrafi (dekorasi) sangat terbatas. Karya-karya arsitektur pada masa permulaan Islam seperti masjid-masjid di Banten, Cirebon, Demak dan Kudus, tidak banyak memberikan peluang yang berarti bagi penerapan kaligrafi (khath). Di samping itu, dalam fungsi dekoratifnya, kaligrafi sering dipadukan dengan motif hias tradisional, dan kadang-kadang juga dipadukan dengan aksara Jawa dalam bentuk candra sangkala (sebagai petunjuk angka tahun berdirinya suatu bangunan), sehingga kaligrafi Islam tidak dapat berdiri sendiri sebagai cabang seni rupa. Pada masa itu, sebagian besar karya kaligrafi lebih mementingkan nilai-nilai fungsional dari pada nilai estetis. Dengan kata lain, nilai-nilai keindahan tulisan itu sendiri sebagai karya seni menjadi terabaikan.[6]  
Belakangan ini tampak gejala penggarapan kaligrafi, baik secara kaidah khathiyah maupun yang ‘lebih bebas’ ke dalam lukisan. Kaligrafi murni mengalami bentuk pengungkapan baru ke dalam komposisi huruf yang diramu dengan motif dekorasi. Seperti munculnya kembali penggunaan bahan kaca sebagai medium seni lukis, karya-karya seni kaligrafi dalam berbagai bentuk wayang dan tokoh cerita dalam agama Islam dengan gaya khas Cirebon. Namun manifestasi kaligrafi Islam masih tidak beranjak dari konsepsi masa awal Islam yaitu mengisi bidang gambar yang tersedia, hanya saja keterikatan itu tidak sekuat pada masa awal Islam.[7]
Angin baru ditiupkan oleh A. Sadali, AD. Pirous (Bandung), Amri Yahya (Yogyakarta) dan Amang Rahman (Surabaya) yang dengan kemampuan tekniknya melahirkan karya-karya seni lukis kaligrafi yang berkarakteristik. Kaligrafi yang hadir dalam karya pelukis-pelukis tersebut menjadi ekspresi yang larut dalam mediumnya. Unsur-unsur garis, bentuk, warna, tekstur, dan unsur bentuk lainya, mampu mencuatkan nilai-nilai baru dalam seni lukis kaligrafi di Indonesia sebagai kaligrafi kontemporer.
Kehadiran seni lukis kaligrafi di Yogyakarta sebagai karya “pemberontakan” terhadap kaidah-kaidah khathiyah merupakan kebangkitan kembali pada seni kaigrafi, baik pada seniman maupun penikmatnya. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh para tokoh pembaharu dalam seni lukis kaligrafi untuk menemukan cara-cara baru dalam berekspresi semangat Islami melalui tulisan indah, adalah tanda-tanda yang memberi harapan besar bagi seni Islam yang sangat dihormati ini.
Studi ini memfokuskan pembahasannya mengenai permasalahan seni lukis kaligrafi dalam perkambangannya pada penghujung abad XX, terutama yang berlangsung di Yogyakarta antara tahun 1976 sampai tahun 2000. Pengambilan batas waktu tersebut karena pada tahun 1976 merupakan awal mula munculnya ide kreatif dari seorang seniman lukis batik Indonesia, Amri Yahya, untuk menuangkan seni kaligrafi ke dalam media lukisan batik. Seperti diketahui, Yogyakarta merupakan satu di antara tiga kota yang mempelopori aliran baru dalam seni kaligrafi kontemporer Islam, yaitu seni lukis kaligrafi yang diwujudkan dalam berbagai tema, melalui pengolahan gaya-gaya lama maupun baru, dan dengan media lama maupun baru pula. Oleh karena itu banyak sekali permasalahan dalam seni lukis kaligrafi yang bisa diungkap, dari berbagai aspek dan berbagai sudut pandang, seperti: aliran dan ragam yang muncul di dalamnya, faktor-faktor yang mendasari munculnya “pemberontakan”[8] terhadap kaidah-kaidah khathiyah [9] dan perbedaan pandangan di kalangan senimam muslim secara umum yang terjun ke bidang seni lukis kaligrafi (tidak hanya pelukis Jogja) terhadap perkembangan seni lukis kaligrafi. Hal ini menarik untuk dikaji lebih seksama, sehingga dapat terungkap permasalahan yang muncul di dalamnya secara lengkap.

B.  Batasan dan Rumusan Masalah

   Permasalahan pokok yang dibahas dalam skripsi ini, ialah kaligrafi kontemporer di Yogyakarta dalam perkembangannya dari tahun 1976 sampai tahun 2000. Kajian mengenai kaligrafi kontemporer ini difokuskan terhadap permasalahan yang muncul dalam perkembangan seni lukis  kaligrafi. Untuk penjabaran permasalahan tersebut, akan dipandu melalui perumusan masalah sebagai berikut:
      1. Apa yang dimaksud dengan seni lukis kaligrafi dan mengapa disebut kaligrafi kontermporer?
      2.  Bagaimana perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta dan faktor apa yang mendasari   munculnya “pemberontakan” terhadap rumus-rumus dasar kaligrafi?
      3.  Siapa tokoh seni lukis kaligrafi di Yogyakarta dan aliran apa yang mereka kembangkan dalam seni lukis kaligrafi?

C. Tujuan dan Kegunaan 

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
  1. Studi perkembangan di sini bertujuan untuk memberi penjelasan tentang seni lukis kaligrafi dan mengetahui secara pasti munculnya istilah kontemporer dalam perkembangan seni kaligrafi, khususnya di Yogyakarta.
  2. Mengetehui bagaimana perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta dengan berusaha mengungkap secara jelas faktor-faktor yang mendasari munculnya “pemberontakan” terhadap kaidah khathiyah, sehingga  melahirkan sebuah karya yang serba aneh dan unik, serta menghadirkan unsur kaligrafi “secara mandiri” yang dilatari unsur lain dalam kesatuan estetik dengan penampilan sebagai gaya ungkapan, media, dan teknik, seperti lukisan kaligrafi.
  3. Mengetahui siapa tokoh-tokoh yang mampu mengembangkan aliran dan gaya dalam seni lukis kaligrafi di Yogyakarta.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
  1. Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang seni rupa Islam, khususnya seni lukis kaligrafi.
  2. Diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk memperkaya wacana tentang perkembangan seni rupa Islam di Indonesia khususnya Yogyakarta. Atau sekedar untuk kebutuhan apresiasi.

D.  Tinjauan Pustaka

Kehadiran kaligrafi sebagai salah satu simbol budaya Islam telah mendorong para pelukis (seniman) muslim untuk mengkaji lebih lanjut, tidak hanya berkenaan dengan tulis-menulis yang indah seperti umumnya buku-buku tentang kaligrafi, akan tetapi mengubahnya ke dalam gaya tulisan bebas. Sehingga lahirlah satu kesatuan bentuk “lukisan” kaligrafi yang sesuai dengan keinginan pelukisnya.
Sepengetahuan penyusun, buku-buku yang mengkaji tentang kaligrafi hanya terpusat pada kaligrafi murni atau tradisional.[10] Sedikit sekali yang membahas kaligrafi kontemporer, terutama seni lukis kaligrafi. Seperti buku-buku yang dapat penyusun jumpai, antara lain: “Kaligrafi Islam” oleh Yasin Hamid Safadi terjemahan Abdul Hadi W.M. Secara jelas memaparkan tentang kaligrafi secara umum dari asal-usul huruf Arab sampai pada perkembangan awal di masa khalifah Usman bin Affan tahun 651 M, dan perkembangan lanjut kaligrafi pada abad ke-13 M. Sampai memasuki awal abad ke-19 M tidak menunjukkan perubahan berarti dari rumus-rumus dasar kaligrafi, yang hingga sekarang masih menjadi standar yang baku.
Ismail Raji al-Faruqi dalam bukunya “Seni Tauhid, Esensi dan Ekspresi Estetika Islam” terjemahan Hartono Hadikusumo, membahas tentang kaligrafi kontemporer lebih berifat umum (dalam skala dunia Islam internasional). Pembahasannya pun hanya berkutat pada keberadaan kaligrafi kontemporer dan corak yang digolongkan ke dalam beberapa kategori tanpa kejelasan periodesasinya.[11]
Buku “Seni Kaligrafi Islam” oleh D. Sirojuddin AR., pada bab XI kaligrafi kontemporer yang dijelaskan di dalamnya juga masih bersifat umum. Membahas tentang pengertian sampai pada pengaruh luar terhadap kaligrafi, yang akhirnya muncul istilah kaligrafi kontemporer. Di dalamnya juga membahas seputar keberadaan seni lukis kaligrafi dalam dunia seni rupa Islam di Indonesia.[12]
Dalam buku “Seni Rupa Islam Pertumbuhan dan Perkembangannya” oleh Oloan Situmorang, pada bab IV juga dijelaskan secara singkat tentang penertian dan keberadaan seni lukis kaligrafi.[13] Dari tinjauan buku-buku yang penyusun peroleh tersebut, pembahasan tentang kaligrafi kontemporer (seni lukis kaligrafi) lebih bersifat umum dan terpusat pada definisi, corak serta keberadaannya sebagai sebuah bentuk karya seni yang paling baru. Belum ada yang mengkaji sampai pada permasalahan (perbedaan pandangan) yang ditimbulkan oleh seni lukis kaligrafi. Apalagi studi tentang pekembangannya yang bersifat lokal.

E.  Landasan Teori

Kaligrafi kontemporer adalah istilah atau sebutan untuk sebuah karya yang “memberontak” atau “menyimpang” dari rumus-rumus dasar kaligrafi, yang merupakan bentuk manifestasi gagasan dalam wujud visual. Secara estetika kaligrafi kontemporer mengacu kepada kaidah penciptaan seni rupa kontemporer secara umum dan secara etika bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, yang membawa muatan artistik-apresiatif yang berfungsi sebagai tontonan (media apresiasi), di sisi lain mengandung muatan etik-religius yang berfungsi sebagai tuntunan (media dakwah).
Sering diistilahkan adanya jenis kaligrafi “murni” dan “lukisan” kaligrafi. Pertama, dimaksudkan sebagai kaligrafi yang mengikuti pola-pola kaidah yang sudah ditentukan dengan ketat, yakni bentuk yang tetap berpegang pada rumus-rumus dasar kaligrafi (khath) yang baku. Penyimpangan, ataupun percampuradukan satu dengan lainnya dipandang sebagai kesalahan, karena dasarnya tidak sesuai dengan rumus-rumus yang sudah ditetapkan. Sedang yang kedua, adalah model kaligrafi yang digoreskan pada hasil karya lukis, atau coretan kaligrafi yang “dilukis-lukis” sedemikian rupa –biasanya dengan kombinasi warna beragam, bebas dan (umumnya) tanpa mau terikat dengan rumus-rumus baku yang sudah ditentukan.[14] Model inilah yang digolongkan ke dalam aliran kaligrafi Kontemporer. 
Segala aspek yang terkait dengan perkembangan seni kaligrafi, kiranya dapat dipahami dengan pemikiran yang lebih umum tentang kebudayaan Islam. Teori tentang kebudayaan Islam secara umum juga dapat disebut dengan teori evolusi.[15] Secara hipotesis dapat dikatakan bahwa kebudayaan Islam berkembang dari bentuk-bentuk yang sangat sederhana menjadi semakin  kompleks;  dari  sebuah  aturan  lama  yang  telah dibakukan menuju
 pada usaha “pemberontakan” dan akhirnya tercipta sebuah aturan baru.[16] Teori evolusi berlaku dalam bidang tata-aturan hidup masyarakat dalam berkesenian karena tata-aturan ini diturunkan sesuai dengan tingkat perkembangan dan keperluan masyarakat yang senantiasa berevolusi. Dalam banyak segi, membicarakan masalah kebudayaan berarti akan mempermasalahkan  hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia baik sebagai manusia pribadi maupun manusia yang hidup berkelompok. Kita menyadari bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan adalah merupakan kelompok makhluk yang memiliki kemampuan dalam hal berfikir, berkehendak dan berkemauan maupun cita-cita yang tiada batasnya. Ia yang selalu bercita-cita dengan dibarengi usaha untuk mendapatkan apa-apa yang menjadi kebutuhan hidupnya. Dapat disebut bahwa manusia itu adalah makhluk yang mempunyai aktifitas dan kreatifitas tinggi dalam usaha memenuhi segala keperluan dan kebutuhan hidupnya. Semua kemampuan ini adalah merupakan ungkapan yang terjelma dari budi dan daya manusia.[17]
Dalam kajian keislaman, selalu saja kita terbentur pada sebuah jalan buntu ketika memasuki wilayah kajian seni Islam. Kebuntuan tersebut muncul dari ambivalensi[18] sikap kaum muslim sendiri dalam menangani persoalan dunia seni. Di satu sisi, sebagian besar orang Islam, dapat dipastikan, akan mengatan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan, apalagi melarang seni. Dengan penuh semangat mereka akan menunjukkan berbagai “dalil” baik Aqliyah19: bahwa Al-Qur’an sendiri mengandung nilai artistik, historis: bahwa hingga kini tilawah Al-Qur’an dan khath atau kaligrafi tersebar luas, maupun naqliyah20: semacam Hadis yang mengatakan bahwa ‘Allah itu Indah dan menyukai keindahan’.21
Dasar-dasar pemikiran di atas dipandang cukup untuk dijadikan acuan dalam studi ini, sehingga kajiannya dapat mendeskripsikan dan menganalisis perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta dalam kurun waktu yang telah ditetapkan. Memang banyak faktor yang menyebabkan perubahan dalam perkembangan seni kaligrafi, baik dari intern maupun ekstern, namun segala permasalahannya perlu didekati secara hitoris. Dengan pendekatan sejarah, diharapkan karya tulis ini dapat menghasilkan sebuah penjelasan yang mampu mengungkapkan gejala-gejala yang relevan dengan waktu dan tempat di mana seni lukis kaligrafi berkembang. Kemudian secara historis dapat pula diungkap kausalitas, pertumbuhan, dan beberapa pandangan yang muncul di dalamnya.
Pengkajian dan penjelasan terhadap kompleksitas gejala sejarah itu, pada gilirannya menghendaki penggunaan konsep-konsep dalam pendekatan ilmu sosial.  Dalam konteks studi ini, tentu saja konsep kepribadian, masyarakat dan kebudayaan seperti yang telah dikemukakan di atas, yang menjadi perhatian.

F.  Metode Penelitian

Penelitian tentang studi perkembangan ini bertujuan untuk mencapai penulisan sejarah, maka upaya merekontruksi masa lampau dari objek yang diteliti itu ditempuh melalui metode historis, yaitu suatu metode untuk memproses pengumpulan data, penafsiran gejala, peristiwa dan gagasan di masa lampau, guna menemukan generalisasi yang berguna untuk memahami situasi sekarang dan meramalkan perkembangan yang akan datang. 22
Kemudian untuk melaksanakannya diperlukan langkah atau tahap dalam peoses penelitian ini. Sedangkan langkah-langkah yang penyusun ambil adalah sebagai berikut:
  1. Heuristik, yaitu suatu tahap pengumpulan data baik tetulis maupun lisan. Dalam pengumpulan data ini, penyusun menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara:
    1. Studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan data dari literatur yang penyusun dapatkan dengan cara menelaah isinya melalui buku, katalog, majalah, surat kabar yang di dalamnya memuat penjelasan tentang perkembangan seni lukis kaligrafi, khususnya di Yogyakarta.
    2. Penelitian lapangan, untuk mendapatkan data yang lebih lengkap. Dalam hal ini penyusun mengadakan obsevasi dan interview, yaitu teknik pengumulan data dengan cara bertanya langsung kepada responden.23 Wawancara yang penyusun lakukan adalah wawancara bebas tanpa menggunakan susunan datar pertanyaan dan jadwal wawancara. Bentuk petanyaan dan jadwal wawancara menyesuaikan dengan kondisi para tokoh seni lukis kaligrafi serta  pelukis sebagai responden, yang menggeluti dan penyusun anggap banyak tahu tentang kaligrafi kontemporer, terutama seni lukis kaligrafi dan perkembangannya guna melengkapi data tertulis. Tokoh seni lukis kaligrafi yang akan penyusun wawancarai, antara lain:
1.      Amri Yahya, pelukis kelahiran Palembang, mengenyam pendidikan seni rupa di ASRI Yogyakarta, lulus sarjana tahun 1963.
2.      Syaiful Adnan, pelukis kelahiran Solok, mengenyam pendidikan seni lukis di ASRI Yogyakarta (1976-1982).
2.  Kritik, yaitu menguji dan menganalisis secara kritis terhadap data yang diperoleh melalui kritik ekstern dan intern. Kritik ekstern dilakukan untuk mencari keautentikan sumber. Adapun kritik intern berusaha mencari kasahihan dari informasi yang ada pada sumber tersebut. Dengan kritik inilah akan diperoleh validitas sumber sejarah.
3.      Interpretasi, yaitu menafsirkan fakta yang saling berhubungan dari data yang telah teruji kebenarannya.
4.      Selanjutnya memasuki tahap historiografi, yaitu merupakan langkah akhir dalam penelitian dengan menghubungkan permasalahan yang satu dengan yang lainnya sehingga menjadi rangkaian yang berarti. Historiografi ini merupakan penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian yang penyusun lakukan. 24

G.  Sistematika Pembahasan
Penyajian penelitian dalam bentuk skripsi ini mempunyai tiga bagian: awal, isi dan akhir. Bagian pertama tediri dari: Halaman sampul luar dan sampul dalam, halaman nota dinas, halaman pengesahan halaman persembahan, halaman matto, kata pengantar, dan daftar isi.
 Bagian isi merupakan bagian utama yang berisi: Pendahuluan, penyajian hasil penelitian, dan kesimpulan serta saran. Bagian ini disajikan dalam lima bab. Pendahuluan menempati bab pertama sebagaimana telah dibahas, di dalamnya menguraikan beberapa hal pokok yaitu latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan kini sistematika pembahasan.
Penyajian hasil penelitian dibagi menjadi tiga bab berikutnya (bab dua, bab tiga, dan bab empat), sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan satu dengan lainnya. Pada bab dua dipaparkan tentang seputar kaligrafi. Permasalahan penting yang dibahas meliputi pengertian dan asal-usul kaligrafi, kaligrafi murni dan lukisan kaligrafi, serta kaligrafi kontemporer yang menjelaskan tentang pembatasan masa kontemporer dan corak kaligrafi kontemporer. Kemudian kaitannya dengan perkembangan seni lukis kaligrafi di Yogyakarta, pada bab tiga dipaparkan tentang pertumbuhan dan perkebangannya, beberapa faktor yang mendasari munculnya “pemberontakan” terhadap kaidah khathiyah, dan pandangan seniman muslim terhadap seni lukis kaligrafi. Bab keempat membahas tentang tokoh seni lukis kaligrafi berikut biografinya, serta ragam aliran dan gaya seni lukis kaligrafi yang berkembang di Yogyakarta.
Bab berikutnya adalah kesimpulan dan saran. Kesimpulan atas keseluruhan pembahasan skripsi ini, yang diharapkan dapat menarik benang merah dari uraian pada bab-bab sebelumnya menjadi suatu rumusan yang bermakna. Rumusan kesimpulan dan saran tersebut ditulis pada bab kelima, dan sekaligus sebagai bab penutup.
Bagian akhir memuat hal-hal yang penting dan relevan dengan penelitian penyusun lakukan, yang terdiri atas daftar pustaka, lampiran-lampiran dan daftar riwayat hidup.


Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tags: Kaligrafi Kontemporer ( Studi Pengembangan Seni Lukis Kaligrafi di Yogyakarta 1976-2000 )
Copyright © Teologi ~ Sufisme & Tasawuf All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net